XIV : Rumor Tam

Untuk Adikku yang tidak pernah dilahirkan, dan untukku yang masih bertanya-tanya kenapa aku dilahirkan.

"Kamu tidak harus pergi ke sekolah hari ini, kamu tahu?" ucap Paul saat mereka berjalan di lorong menuju ke ruang kelas pertama mereka.

"Dan apa? Mengurung diri di kamarku sementara Mom mencoba mengetuk pintuku setiap menit? Aku yakin tidak ingin melakukan itu," balas Ilse, dia setengah frustrasi karena ibunya sudah mencoba membobol pintu kamarnya dua kali malam ini setelah satu hari sebelumnya dia mengurung diri di kamar. Ilse tidak bisa berurusan dengan itu lebih jauh atau dia akan menjadi gila.

"Bibi hanya khawatir, dia mencintaimu. Kamu satu-satunya putri yang dia miliki. Apa yang kamu pikir akan dia lakukan? Kamu tidak tahu betapa panik dan hancur mereka saat kamu tidak pulang."

"Aku tahu, aku hanya tidak ingin berurusan dengan Mom atau Dad untuk saat ini. Aku butuh sesuatu yang normal. Sesuatu yang tidak membuatku berpikir apakah aku sudah melakukan hal yang benar." Ilse berhenti bicara, mendesah seolah dia tidak yakin untuk meneruskan kata-kata berikutnya. "Aku takut, Paul. Aku tidak merasa seperti dulu."

Paul meringis saat Ilse mengatakan itu. "Apa yang mereka lakukan padamu? Maksudku, Nana banyak menceritakan hal gila, menakutkan, dan kejam. Apakah semua itu benar? Apakah kamu butuh psikiater atau semacamnya untuk pulih?"

Ilse menggeleng, dia juga tidak butuh sepupu yang mencoba menginterogasinya. "Tidak semua yang Nana katakan benar. Mereka tidak menyisaku atau apa pun."

Paul menatapnya seolah dia tidak sepenuhnya percaya dengan kata-kata Ilse saat menatap warna putih yang sekarang terselip di antara ikal gelapnya. Ilse sudah mencoba mewarnainya, tapi hanya bertahan dalam hitungan detik sebelum kembali menjadi warna putih yang mencolok. Akhirnya Ilse hanya mendesah pasrah dan membiarkan belang di rambutnya. Bukannya dia akan terlihat aneh, anak lain mewarnai rambut mereka setiap saat, itu seharusnya tidak akan menarik perhatian siapa pun.

"Satu-satunya hal yang aku butuhkan saat ini adalah semacam kenormalan. Aku tidak ingin diingatkan tentang Raja Goblin setiap kali aku menarik napas. Aku ingin dia keluar dari kepalaku."

"Maafkan aku," ucap Paul otomatis, itu hanya membuat Ilse semakin jengkel.

"Jangan minta maaf, mereka membencinya. Maaf dan terima kasih tidak berarti apa-apa di sana!" bentak Ilse. Paul menatapnya, terkejut pada ledakan kemarahan Ilse detik itu.

"Aku hanya mencoba membantu. Aku tidak bermaksud membuat kamu kesal. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi padamu. Kamu tidak ingin mengatakan apa-apa tentang tiga hari terakhir kamu menghilang. Kamu praktis mengurung diri. Semua orang khawatir, hanya cobalah untuk berhenti menyerang setiap orang yang mencoba bicara denganmu, bukan?" ucap Paul, kali ini terdengar sedikit terpotong dan kesal.

Ilse langsung merasa tidak enak dengan sepupunya. Dia tahu, dia tidak punya alasan untuk membentak Paul atau menyalahkan Paul untuk apa yang terjadi di kepalanya sendiri. Hanya saja sulit untuk tidak kesal ketika Ilse sendiri tidak tahu dengan apa yang sebenarnya dia rasakan. Dia berharap bisa kembali ke kehidupan lamanya. Bahwa dia pada akhirnya akan memiliki hidupnya kembali, tapi apa yang dia rasakan justru sebaliknya.

"Aku sedang mencoba, Paul," ucap Ilse suaranya melemah. "Apa yang dikatakan semua orang saat aku menghilang? Apakah sekolah menelepon ke rumah? Apa yang anak-anak lain ketahui tentang itu?" Ilse bertanya, mengalihkan topik pada kekhawatirannya yang paling mendesak.

Jujur saja, Ilse tidak yakin dengan rumor liar macam apa yang bisa muncul di antara teman-temannya atas hilangnya dirinya. Itu bisa apa saja. Mulai dari rehabilitasi narkoba sampai kabur dengan pria yang tidak dikenal. Ilse tidak tahu mana yang lebih buruk.

Paul meringis pada pertanyaan itu. "Apakah kamu benar-benar ingin tahu? Sekolah memang menelepon ke rumah dan Bibi mengatakan hal yang sedikit gila seperti diculik oleh fair folk. Kepala sekolah Henry menganggap itu benar-benar lelucon tentu saja, tapi beritanya menyebar. Setiap anak sepertinya memiliki asumsi yang masing-masing semakin liar."

Ilse mengedikkan bahu seolah dia tidak peduli dengan semua itu. "Yah, tidak ada yang berubah kalau begitu. Aku masih gadis aneh itu bagaimanapun juga."

"Setidaknya mereka tidak membicarakanmu langsung ke wajahmu, maksudku ini tidak seburuk yang aku harapkan. Kita bahkan tidak mendapatkan cukup tatapan, hanya beberapa lirikan ingin tahu," desah Paul. Ilse melihat ke sekeliling, dan Paul benar. Tidak ada yang menatap mereka secara terang-terangan bahkan tidak ada yang datang untuk benar-benar bertanya pada Ilse tentang apa yang terjadi.

"Mungkin karena aku tidak cukup penting. Aku sudah aneh sejak awal, jadi aku rasa hilangnya diriku hanya menjadi daftar lain keanehanku," ucap Ilse tapi Paul menggelengkan kepala pada pernyataan Ilse.

"Atau mereka punya gosip yang lebih besar untuk digoreng. Aku tahu kamu tidak menggunakan sosial media jadi kamu tidak tahu tapi jika kamu punya kamu mungkin ingin menghindari Tam untuk sementara waktu."

Itu menarik perhatian Ilse. Tam seharusnya menjadi sahabat Ilse, mereka praktis sudah berteman sejak kecil, tapi sebelum Ilse menghilang mereka telah bertengkar dan Ilse sama sekali tidak menghargai kata-kata kejam sahabatnya sendiri. Tetap saja jika sesuatu terjadi pada Tam, Ilse tidak ingin tertawa ke wajahnya. Meskipun sejak Ilse kembali, dia tidak mendapat kabar apa pun dari Tam. Bahkan tidak ada pesan singkat yang menanyakan tentang dirinya.

"Apa yang terjadi pada Tam? Tentang apa itu?"

Lagi-lagi Paul meringis, dia terlihat ingin tutup mulut. Tidak ingin membicarakannya sama sekali.

"Paul? Apa yang terjadi? Apakah ini ada kaitannya dengan Jack?" ucap Ilse kesal. Jika Jack benar-benar mempermainkan sahabatnya seperti yang Ilse curigai sejak awal, dia sangat ingin memukul hidungnya.

"Sebenarnya lebih buruk. Mereka putus omong-omong, aku tahu kamu dan Tam berteman, kemudian kamu juga naksir Jack. Kamu sangat kesal saat mereka berkencan dan itu alasan kamu bolos kelas sebelum menghilang hari itu bukan?" ucap Paul.

"Aku kesal karena Tam menjadi berengsek. Dia mengatakan hal-hal buruk padaku. Hanya karena dia berkencan dengan Jack. Aku tidak akan marah jika dia tidak mengungkit tentang betapa anehnya aku!" balas Ilse defensif.

"Yah, pokoknya kamu kesal dan pergi. Dua hari setelah itu, ada orang yang menyebarkan video saat Tam—" Paul berhenti di sana seolah dia benar-benar tidak bisa menemukan kata untuk apa yang harus dia katakan. "Intinya video itu buruk dan mengerikan. Jack putus dengannya setelah itu."

"Kamu pikir Jack mungkin terlibat dengan ini?"

Paul mengangkat bahunya. "Siapa yang tahu? Semua orang tahu Jack terkadang bisa menjadi bajingan."

Akhirnya selesai target minggu ini

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top