XIII : Tidak Lagi Sama

Untuk Cardan Greenbriar Raja Fairy yang kejam, dan untukku yang menjadikannya favoritku.

Langit adalah warna tinta saat Ilse berdiri di tengah-tengah hutan. Di antara pepohonan yang mulai kehilangan warna hijau kehidupan saat musim dingin hampir tiba. Ilse sudah berada di sini untuk beberapa jam sekarang. Dia tahu, dia harus pulang, tidak ada gunanya tetap tinggal dan memperhatikan lubang di tanah yang sekarang tidak mengarah ke manapun. Hanya lubang dangkal yang sepertinya pernah menjadi sarang hewan pengerat, bukannya pintu masuk ke Underground.

Ilse menggigil saat udara dingin mengenai kulit telanjangnya, dia masih hanya mengenakan gaun tipis yang ia kenakan sejak terbangun dari tidurnya pagi ini. Sekarang itu terasa seperti bertahun-tahun yang lalu. Hampir seperti mimpi saat dia melihat bulan yang memata-matai di atas kepalanya. Ilse memeluk dirinya sendiri, merasakan merinding merayapi kulitnya seolah ada yang mengamati dirinya di balik bayang-bayang.

Menoleh ke sekelilingnya, Ilse berharap untuk menangkap salah satu Fair Folk yang mengintai tapi dia tidak melihat apa pun. Mungkin dia menjadi paranoid. Menggelengkan kepala seolah itu akan menjernihkan pikirannya, Ilse mulai berjalan untuk menemukan jalan setapak. Tidak ada Leshy yang mencoba membingungkannya, tidak ada dryad yang tiba-tiba muncul, bahkan tidak ada pixie yang terkadang terbang di antara dahan pepohonan. Hutan itu begitu hening saat Ilse berjalan dengan kaki telanjang, mengabaikan derak ranting dan daun kering di bawah kakinya.

Sebagian dari diri Ilse ingin berlari, tapi sebagian dirinya yang lain, yang tidak ingin terlihat pengecut jika memang ada yang mengawasinya menolak untuk melakukan itu. Jadi Ilse melangkah dengan mantap, dagunya terangkat tinggi saat angin sesekali meniup helain ikal hitam ke wajahnya. Saat Ilse akhirnya mencapai jalan setapak, langit telah berubah menjadi gelap sepenuhnya. Untung rumahnya tidak jauh, dia hanya harus berjalan beberapa menit setelah dia keluar sepenuhnya dari hutan dan ke jalan raya. Ilse bisa saja meminta tumpangan dari sana, tapi memikirkan berurusan dengan orang asing terdengar seperti mimpi buruk.

Ilse tidak ingin menjelaskan tentang kenapa dia berpakaian seperti ini, atau mengapa dia kehilangan alas kakinya. Kenapa dia, seorang gadis muda muncul dari tengah hutan sendirian selarut ini. Jika dia kembali dua hari dari sekarang, penampilannya bisa saja disalah artikan sebagai kostum. Orang mungkin hanya akan berpikir dirinya adalah salah satu gadis malang yang kehabisan tumpangan setelah pesta liar. Namun, Halloween masih dua hari lagi, dan Ilse tidak ingin menjelaskan keanehannya. Orang tidak akan percaya dengan cerita pengantin Raja Goblin yang diculik. Hanya keluarganya yang gila akan mempercayai cerita itu tanpa pertanyaan.

Pikiran tentang ayah dan ibunya, membuat Ilse merasa bersalah. Tiga hari terakhir, dia tidak terlalu memikirkan mereka. Bagaimana perasaan mereka saat Ilse tidak pulang, apakah mereka khawatir? Ilse tidak berpikir mereka akan melaporkan kasus hilangnya dirinya ke polisi. Ilse lebih yakin jika ayah dan ibunya akan percaya salah satu fair folk telah menculiknya, dan memang demikian. Bukan berarti itu membuat mereka kurang khawatir. Mereka mungkin percaya Ilse telah dimantrai atau semacamnya.

"Mungkin aku memang dimantrai, bukannya aku tahu apakah aku tersihir atau tidak," ucap Ilse tidak pada siapa pun, setengah tersenyum pada pemikiran itu.

Rumahnya tidak terlihat berbeda, bagaimanapun Ilse hanya menghilang selama tiga hari. Pagar putih yang lapuk berdiri setengah miring di halaman depannya masih sama. Ayah sepertinya juga masih belum memotong rumput yang terlalu tinggi. Lampu beranda masih mati, meninggalkan rumah itu dalam cahaya samar dari lampu di dalam ruang tamu yang terhalang oleh gorden yang sudah usang.

Ilse menaiki tangga beranda, buku jarinya mengetuk pintu kayu yang sudah tua. Tiga ketukan cepat, dan kemudian tiga lagi sampai pintunya mengayun terbuka. Ibunya berdiri di sana. Untuk sesaat sepertinya tidak ada di antara mereka yang bergerak, keduanya seakan membeku di sana. Ilse semakin merasa bersalah saat dia melihat ke mata merah dan bengkak ibunya. Pada kerutan penuaan yang sepertinya muncul terlalu banyak di wajah ibunya dalam hitungan hari.

"Ilse? Sayangku apakah itu benar-benar kamu?" ucap Ibunya dengan suara yang bergetar, tangannya terulur dengan ragu-ragu, seolah dia tidak yakin bisa memeluk Ilse.

"Aku pulang," ucap Ilse, dia mencoba tersenyum tapi itu terasa terlalu tegang di wajahnya.

Satu detik lain berlalu sebelum Ilse mulai menangis dan melemparkan dirinya ke pelukan ibunya. Pada lengan yang segera membungkus tubuhnya dengan pelukan yang terasa akrab dan menarik Ilse ke dalam, menutup pintu di belakang mereka dengan bunyi klik.

"Jonas! Sayang ... putri kita—" Ibu Ilse berteriak, tersenyum dan menangis di saat yang sama. Tidak melepaskan Ilse dari pelukannya. Mencium puncak kepala Ilse seolah dia kembali menjadi anak berusia lima tahun.

Ilse tidak menolak itu kali ini, bahkan dia sedikit menikmati saat ibunya menekannya begitu erat ke dadanya. Perfum ibunya masih menyengat seperti yang Ilse ingat, tapi Ilse menyambut baik itu. Apa pun yang menambatkan dirinya pada kehidupan lamanya yang normal.

Ayahnya praktis berlari dari dapur dan muncul di ruang tamu, Ilse tersenyum saat melihat dia masih mengenakan celana panjang khaki dan kemeja bergaris. Rambut hitamnya masih terlihat diminyaki, mungkin belum mandi sejak pagi ini.

"Ilse—"

Ilse tersenyum kecil, dia menyeka air mata yang tidak ia sadari telah tumpah saat berkedip. "Maaf sudah membuat semua orang khawatir."

"Sttsss ... tidak apa-apa, kami senang kamu pulang, hanya itu yang penting. Apakah kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi?" Ayahnya bertanya, memegang bahunya dengan lembut.

Ilse menggeleng, dia tidak ingin membicarakannya. Hanya saja Ilse tidak merasa lega seperti yang dia harapkan. Awalnya Ilse pikir dia akan merasakan kelegaan itu begitu dia kembali ke rumah. Tentu saja Ilse merasa senang bisa melihat ayah dan ibunya tapi dia tidak dapat menghilangkan kekosongan yang ia rasakan. Ilse mencoba mengabaikan perasaan itu saat dia membiarkan ayahnya memeluknya.

Ilse menghela napas dan menarik diri dari pelukan ayahnya. Dia tersenyum tapi perlahan dia mulai merasa senyum itu tidak benar. Dia hanya ingin memproses apa yang terjadi. Ingin waktu untuk dirinya sendiri.

"Aku lelah, bisakah aku pergi ke kamar? Aku hanya ingin tidur."

Cara ayah dan ibunya saling menatap dalam diam hampir mengingatkan Ilse pada Twilight dan Tuskroot. Ilse menggelengkan kepala pada pikiran itu. Terus mengingat apa yang terjadi di Underground tidak akan membawanya ke mana-mana selain merasa semakin bersalah.

"Tentu Sayang. Apakah ada hal lain yang kamu inginkan? Apakah kamu sudah makan? Ingin Mom menyiapkan air untuk kamu mandi?" ucap ibunya dengan khawatir, tidak ingin meninggalkan putrinya sendirian setelah baru saja kembali.

"Aku baik-baik saja, Mom, aku tidak lapar. Aku bisa menyiapkan mandiku sendiri. Sungguh, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Baiklah kalau begitu. Mom akan memasang penghalang di luar jendela kamarmu dan di pintu depan. Kamu yakin tidak ada yang mengikutimu? Apakah mereka menyakitimu?

"Aku seharusnya mendengarkan Nana. Dia bilang kamu terlalu mirip dengannya. Terlalu bergairah, terlalu menginginkan hal besar untuk terjadi. Aku seharusnya lebih mendengarkannya saat dia memperingatkan tentang dirimu yang akan diambil. Apakah itu yang terjadi? Sayang, kamu tahu kamu bisa menceritakannya pada kami, bukan?"

Ilse terkejut ketika ibunya mengatakan semua itu, dia pikir Nana hanya memperingatkan dirinya sendiri. "Apakah Mom tahu lebih banyak? Apakah Nana mengatakan sesuatu yang lain?"

"Hanya untuk mengawasimu dengan baik di akhir musim gugur. Untuk menjagamu tetap aman."

"Tidak ada yang lain? Sesuatu tentang Raja Goblin? Tentang pengantinnya?" ucap Ilse, berharap dia lebih banyak bertanya tentang Raja Goblin saat neneknya masih hidup.

"Tidak ada, Nana hanya mengatakan bahwa Raja Goblin naik setiap akhir musim gugur untuk mencari seorang pengantin. Itu saja. Apakah itu yang terjadi? Raja Goblin mencurimu?" Ibunya bertanya dengan khawatir.

"Aku tidak ingin membicarakannya. Bisakah kita membahas ini untuk lain kali? Aku benar-benar lelah."

Ilse tidak tahu apakah dia harus bersyukur karena terlahir di keluarga yang praktis menyembah takhayul, atau menyesalinya. Di satu sisi, ayah dan ibunya tidak akan mengirimnya ke rumah sakit jiwa jika dia menceritakan semua kebenaran. Di sisi yang lain dia berharap seseorang mengatakan bahwa dia gila, sehingga dia bisa memiliki semacam kenormalan.

"Tidak apa-apa. Kita tidak harus membicarakannya. Kamu hanya harus tahu, kami ada di sini kapan pun kamu membutuhkan kami. Atau kapan pun kamu ingin membicarakannya," ucap ayahnya lembut. "Pergi tidur."

Masih kurang satu bab lagi sampai tengah malam Minggu ini 🥲 doakan aku

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top