XII : Rumah?

Untuk Kakekku yang suka bercerita, dan untukku yang suka membaca cerita.

Tidak ada yang menghentikan mereka, saat Raja Goblin membawa Ilse keluar dari ruangan. Genggaman Raja Goblin di pergelangan tangan Ilse tidak pernah lepas. Ilse menatap tangan abu-abu bercakar yang melingkari lengannya, anehnya tidak takut kalau itu akan melukai kulitnya yang jauh lebih lembut. Langkah mereka hanya berhenti saat mencapai anak tangga batu yang menuju ke atas. Tanjakannya cukup jauh sehingga Ilse tidak dapat melihat ujungnya.

Raja Goblin memiringkan kepalanya ke arah Ilse, bibirnya tersenyum sedih saat pegangannya pada Ilse mengendur. "Apakah kamu benar-benar menginginkan ini? Kamu ingin pergi? Itu yang kamu inginkan?"

Ilse mengangguk, dia tidak percaya pada kata-katanya sendiri. Tidak yakin dia tidak akan berubah pikiran, karena sekarang saat dia melihat jalan untuk keluar dari takdirnya, dia merasa kembali tersesat.

"Kamu hanya harus mengikuti tangga," ucap Raja Goblin terdengar sangat tenang, itu membuat Ilse kesal. Dis ingin melihat ketenangan itu tergelincir. Dia ingin melepaskan monster yang ada di sana dan melihat apakah dirinya akan selamat dari amukan. Ilse ingin api dan melihat seberapa banyak dia bisa terbakar sebelum berlari. Ilse ingin Raja Goblin menahannya, memintanya untuk tinggal. Tapi Goblin tidak memohon dan tidak meminta maaf. Apa yang diinginkan Ilse benar-benar bodoh.

"Kamu tidak akan menghentikanku? Ini sama sekali bukan tipuan? Kamu bahkan tidak akan mencoba membujukku?" ucap Ilse sebagai usaha terakhir yang putus asa.

"Apakah itu akan membuat perbedaan?" Raja Goblin sepenuhnya menghadapnya sekarang. Ilse harus memiringkan kepala ke belakang untuk mempertahankan kontak mata di antara mereka. "Apakah kamu akan ingin tinggal jika aku memintamu?"

Ilse membuka mulutnya, hanya untuk menutupnya kembali.

"Itu dia yang aku pikirkan," ucap Raja Goblin, dia mengambil langkah lain, berdiri begitu dekat saat jarinya menyentuh rambut Ilse, menyelipkan ikal hitamnya ke belakang. Cakarnya menggoreng wajahnya, tidak dengan cara yang menyakitkan. Itu seperti sentuhan hantu, begitu ringan saat membelai sisi wajah Ilse dan berakhir di dagunya.

"Maafkan aku," ucap Ilse, dia benar-benar menyesal. Dia tidak mengenal Raja Goblin cukup lama, itu praktis hanya tiga hari yang singkat tapi Ilse benar-benar merasa menjadi orang yang berbeda saat bersamanya. Seseorang yang lebih baik? Yang lebih buruk? Ilse tidak yakin.

"Maaf dan terima kasih tidak berarti apa pun, jangan begitu mudah menggunakan kata-katamu, Manisku. Itu bisa menjadi pedang yang memotong tenggorokanmu sendiri."

Ilse mengangguk pada peringatannya. "Apakah ada sesuatu yang kamu inginkan dariku?"

"Selain tanganmu di pernikahan? Selain menjadikanmu Ratuku?" ucap Raja Goblin terdengar melankolis, tangannya bergerak untuk memegang tengkuk Ilse. Memiringkan kepalanya lebih jauh saat Raja Goblin membungkuk ke arahnya.

Ilse bisa merasakan napas Raja Goblin di pipinya, merasakan wajahnya sendiri berubah menjadi merah padam saat mereka begitu dekat. Ilse tidak berani mengalihkan tatapannya dari manik gelap yang saat ini memperhatikannya dengan intensitas yang memabukkan. Dia takut jika tatapannya beralih ke mulut penuh taring itu, dia akan kehilangan pegangan. Dia akan mendorong dirinya dan membiarkan ciuman itu terjadi. Ilse menginginkan itu begitu buruk, satu ciuman terakhir untuk mengingat bagaimana rasanya diinginkan. Hanya saja kali ini tidak ada anggur untuk disalahkan. Itu akan menjadi keputusan sembrono yang dia buat saat dia benar-benar sadar.

"Ya, selain itu," Ilse menelan ludah, udara terasa berat saat dia menarik napas dan mencium aroma hutan dan tanah basah. Ilse ingin memejamkan mata, tapi takut dia tidak akan bisa mengingat detail dari Raja Goblin setelah semua ini. Dia ingin menyerap semuanya, pada kulit abu-abu, mata hitam dan pipinya yang tajam. Pada taringnya yang mengancam serta rambut hitam yang diikat oleh banyak manik-manik. Ilse tidak ingin gambar itu memudar setelah dia kembali.

"Bagaimana dengan ini, satu ciuman untuk satu permohonan yang aku berikan padamu dengan bebas. Kapan pun kamu ingin menggunakannya?"

Jantung Ilse berdetak sangat keras, dia bisa mendengar itu di telinganya. Dia bahkan tidak benar-benar dapat mendengar jawaban yang keluar dari mulutnya untuk pertanyaan itu.

"Kamu tidak harus memberiku apa pun untuk balasannya," jawab Ilse, suaranya bergetar, tapi kali ini bukan karena rasa takut melainkan antisipasi dan keinginan.

"Aku lebih suka membayarnya dari pada berutang, ambil tawaranku atau tidak sama sekali. Terserah kamu, Manisku. Kamu tidak harus takut untuk mengambil apa yang kamu inginkan, kamu tidak harus selalu berada di bayang-bayang. Pilihanmu?"

"Oke, satu ciuman untuk satu harapan."

Ilse pikir dia melihat senyum samar Raja Goblin sebelum lengannya yang kuat menarik Ilse ke arahnya. Sebelum tubuhnya ditekan dengan erat ke dada keras dan kepalanya miring saat bibir itu menciumnya. Tidak ada yang lembut saat bibir Raja Goblin mengambil ciuman darinya, tapi Ilse tidak keberatan. Dia berjinjit, mendorong dirinya saat dia ingin ciuman itu berjalan lebih jauh. Ilse mengerang saat lidah kasar Raja Goblin membelai bibir bawahnya, memohon agar dia membiarkan mulutnya terbuka. Membiarkan dia masuk, dan memberinya akses lebih jauh dalam ciuman itu.

Ilse mengalah, bibirnya berpisah, lidahnya menemui miliknya dengan ragu-ragu. Berhati-hati untuk menghindari taring yang bisa memotongnya dengan begitu mudah. Ilse hampir tidak sadar telah menutup mata, tidak sadar saat tangannya mencengkeram rambut gelap Raja Goblin untuk menariknya lebih dekat, untuk memperpanjang ciuman itu. Ciumannya terasa memabukkan, seperti anggur itu sendiri. Ilse tidak ingin itu berakhir. Ilse bisa ketagihan dengan ini, dengan cara Raja Goblin mencium seakan Ilse berarti seluruh dunia untuknya. Saat lengannya yang kuat memegang Ilse dekat.

Semua itu seharusnya terasa menakutkan tapi satu-satunya yang dirasakan Ilse saat bibir mereka saling menyentuh adalah listrik dan api yang dinyalakan. Dia tidak ingin itu berakhir tapi kemudian Raja Goblin mematahkan ciuman itu. Lengannya memegangi kedua bahu Ilse saat dia membungkuk ke depan dan menempatkan ciuman lembut yang begitu ringan di pipi Ilse yang terbakar hingga merah cerah.

Ilse masih mengatur napas terengah-engah setelah ciuman itu. Masih merasakan jantungnya berlari ribuan mil per jam saat Raja Goblin melepaskannya dan melangkah mundur. Itu berakhir begitu cepat, pikir Ilse, tapi dia tidak berani untuk menginginkan lebih.

"Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan," ucap Ilse, dia mencoba untuk tersenyum. Mencoba untuk terlihat seolah ciuman itu tidak mempengaruhinya begitu banyak.

"Karena tidak ada yang harus dikatakan," ucap Raja Goblin, dia bahkan tidak terlihat berantakan. Ilse berharap dia tidak memiliki kulit abu-abu itu sehingga Ilse mungkin bisa melihat ketika dia memerah.

Ilse mengangguk, dan tanpa sepatah kata pun yang lain dia menginjak anak tangga pertama dan mulai naik. Dia tidak berani menoleh ke belakang. Takut dengan apa yang akan dia lihat jika dia melihat melalui bahunya.

Mana yang paling Ilse takutkan, melihat Raja Goblin masih berdiri di sana, menatap punggungnya yang semakin jauh dengan tatapan kecewa di matanya. Atau melihat ke belakang dan tidak menemukan siapa pun di sana untuk menyesali kepergiannya? Ilse tidak tahu, keduanya terdengar sama-sama mengerikan di kepalanya. Karena itulah dia tidak menoleh sama sekali dan terus menatap ke depan. Pada anak tangga berikutnya, pada cahaya yang bergoyang dari obor yang berjajar setiap beberapa langkah.

Anak tangga itu terus berlanjut. Naik dan naik yang membuat Ilse merasa seperti Orpheus yang mendaki dunia bawah demi kekasihnya yang sudah mati. Kecuali Ilse tidak membawa kekasihnya, dia meninggalkan Raja Goblin di sana untuk perang yang mungkin akan datang ke pintunya. Perang yang Raja Goblin tidak yakin dapat menangkan atau tahan. Ilse mengepalkan tangannya pada pikiran itu, tapi dia menolak untuk berbalik. Dia terus naik sampai akhirnya dia mencapai lubang di permukaan tanah. Dia harus memanjat ke atas, mengungkit dirinya saat jarinya mencengkeram tepian lubang dan menarik dirinya ke atas.

Ilse akhirnya pulang, atau apakah begitu?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top