Go Wedding Go


Zagreb.

Pertama kali aku dengar nama kota itu adalah ketika aku masih TK besar. Saat Ayah marah-marah, karena Paman Andi menutuskan untuk bekerja di sana.

Itu perkara lama, sampai aku lupa bagaimana cara kakak beradik itu berdamai kembali. Hingga tidak terasa waktu telah berlalu 17 tahun lamanya, dan kini aku berusia―mungkin kalian bisa menyimpulkanya sendiri.

Aku menatap jendela salah satu kamar apartemen Om Andi, yang menjadi kamarku dan ibu sementara selama kami berkunjung. Ayah tidak ikut, karena ada urusan pekerjaan di Jakarta. Maka kami hanya berangkat berdua.

Kami tengah berada di Kota Zagreb, Kroasia. Tepatnya di jalan Ribnjak―atau di sini mereka menyebutnya Ribnjak ul, km 25. Aku tidak tahu bagai mana cara mereka melafalkan kata itu. Yang terdengar oleh telinga awam, seperti desisan tawon jantan yang ingin memikat ratu.

Sangat asing, bahkan yang terlihat di jendela saat ini. Memang hal yang biasa, jalan raya dengan sisi lainnya terdapat sebuah taman yang luas, bahkan sangat luas. Aku tidak sempat memperhatikan saat kedatanganku tadi malam, mungkin karena ngantuk, capek, mabuk jet lag, atau campuran segalanya.

Namun, kini aku tertarik untuk mengunjungi hijau selingan orange dan merahnya daun-daun pada gerombolan pepohonan, rumput segar hijau muda, dan lumut yang bertumbuh di batuan. Kursi-kursi taman yang terbuat dari kayu, atau ayunan yang kini lenggang tak berpenumpang. Pasti sangat mengasyikan. Kalau saja tidak sedang memiliki kegiatan yang harus dan wajib dilakukan.

"Suntari! Lama sekali dandannya?'' teriak sesorang dari lantai bawah.

"IYA SEBENTAR!'' balasku.

Kami harus mengahadiri acara pernikahan saudara, tepatnya anak dari adik ayahku―Om Andi. Sebenarnya aku sudah selesai dandan dari beberapa saat yang lalu. Hanya saja masih ingin mengagumi pemandangan di balik jendela kaca.

Aku telah memakai gaun pink soft, dengan tatanan kain jatuh meliuk indah sampai lutut, kerah v yang elegan, dan dengan garis lengan pendek yang menunjukan kulit kuning langsat khas wanita Semarang yang aku miliki.

Aku turun ke bawah. Menatap semua orang yang ternyata telah menunggu.

"Walah, ngala-ngalai seng dadi manten[1],'' celetuk Om Andi, yang ternyata masih fasih berbahasa Jawa.

"Iya Om, ayo berangkat,'' kataku, menghindari tuduhan.

Kami bergerak ke luar beriringan, turun lift, untuk menuju pinggiran jalan raya―tempat mobil Om Andi yang kini masih dipanasi.

"Ini, kok bisa sampai calon mempelai pria disuruh perbaiki mobil sebelum pernikahan. Haduh ...!'' ujar Kris―anak Om Andi―yang akan menikah hari ini.

Tinggal di Zagreb sejak usia 10 tahun, membuat aksennya saat berbicara terdengar aneh. Walau aku memang masih mengerti apa yang dia katakan.

"Karena kamu satu-satunya yang paham mesin Krisna. Sejak pagi sudah ayah coba, tapi nggak mau nyala.''

"Itu karena ayah sering lupa serfis. Lain kali, datang ke bengkelku sendiri. Jangan nunggu aku yang ambil! Aku ganti baju dulu.''

Kris lari menuju dalam rumah. Memang sedikit keterlaluan juga, mempelai pria yang nanti akan mengucap janji, harus menjadi montir dadakan.

Hanya dalam durasi 5 menit, Kris telah kembali. Memakai setelan kemeja putih, celana, jas, dan dasi kupu-kupu serba hitam. Wajahnya yang asia tulen, terlihat tegas dan gagah di saat yang sama. Merupakan keberuntungan bagi si calon mempelai wanita untuk memilikinya.

"Ayo masuk Kris. Kita berangkat bareng pakai mobil ayah saja,'' kata Om Andi. Membukakan pintu mobil Innova yang muat untuk 8 orang. Kami yang hanya berlima―aku, Om Andi, Tante Lina, Ibuku, dan Kris―bisa muat dalam satu kendaraan itu.

"Ne[2], males. Aku pakai mobilku sendiri saja.''

"Hus ...! Kamu itu Kris. Jangan kasar-kasar sama Ayahmu! Nanti kualat baru tau rasa!'' kata Ibuku, menasehati.

Namun Kris memilih tidak peduli. Malah kini mulai menatapku, untuk mengatakan sesuatu, ''Sun! Kamu mau berangkat bareng aku, apa sama yang tua-tua?'' kata Kris sedikit kasar.

Aku menimbang-nimang sejenak. Kemudian memperhatikan mobil Hond* CR-Z warna ungu gelap milik Kris. Karena Kris memiliki usaha modivikasi mobil, kendaraan pribadi yang sebenarnya sudah sudah ok dari awal, ditambah rombakan benerapa bagian seperti peleng, kursi, dan bemper, menjadikan tampilannya lebih memukau dan kekinian. Sungguh menggiurkan.

Kapan lagi aku bisa jalan-jalan ke luar negeri dan mengendarai tumpangan ketceh secara bersamaan?
"Bu, aku ikut Kris saja,'' putusanku.

"Ya kalau begitu hati-hati. Kris, ingat! Suntari nggak tahu apa-apa tentang negara ini. Jangan tinggalin dia barang semili pun!'' nasehat Tante Lina, pada anak lelakinya.

"Da[3], Ma ... tenang aja. Vidimo se kasnije[4]."

Kami masuk mobil. Kris menyalakan mesin, dan memulai perjalanan kami. Tempatnya cukup dekat. Menurut penuturan Paman Andi, jarak antara apartemen dan Zagrebaca Katredala hanya tiga menit perjalanan menggunakan mobil.

Memandang segala pemandangan yang tersuguh dari jendela di samping kursi penumpang sebelah kiri adalah sebuah keharusan. Namun yang mengherankan, selama hampir separuh perjalanan, hanya menyuguhkan pemandangan taman yang tak kunjung usai.

Ternyata, menurut penuturan Kris, taman ini adalah jantung kota kota Zagreb. Difungsikan sebagai paru-paru kota sudah sejak lama, bahkan sebelum dirinya pindah ke negara ini.

"Dulu, saat kami baru pindah, sekitar tahun 2007. Hantaman botol minuman keras, beberapa kali kesasar masuk rumah. Taman Ribnjak di malam hari, sering beralih fungsi jadi tempat mabuk-mabukan, pertarungan geng supporter sepak bola, dan hal-hal buruk lain,'' tukas Kris. Saat pemandangan rindangnya taman telah hilang. Digantikan deretan gedung bertingkat yang tidak kunjung usai.

Kris mulai memelankan laju, berbelok arah kiri jalan, pada sebuah prempatan.

"Sekarang masih kayak gitu, Kris? Perasaan tadi malam, ayem-ayem aja,'' tanyaku. Sambil memandang plakat jalan dengan tulisan Degenova ul.

"Tidak, semenjak peristiwa pembunuhan yang menimpa salah seorang seporter sepak bola pada tahun 2008 silam, pemerintah mulai turun tangan, dan menjaga keamanan taman Ribnjak selama 24 jam, agar insiden yang sama tak lagi terjadi.''

"Wah, serem banget. Sampai bunuh-bunuhan,'' sahutku. Bergidik membayangkan taman indah yang tadi kukagumi, ternyata adalah tempat sebuah pembunuhan keji pernah terjadi.

"Sebenarnya itu sudah sering terjadi, hanya saja yang terkuak cuma satu.''

"Uh ... jangan cerita lagi. Nanti aku nggak bisa tidur,''

Kris tertawa renyah. Kemudian menunjuk sebuah belokan yang hanya ia lewatkan.

"Belok sana, ada jalan tembusan untuk mencapai rumah lebih dekat.'' Kris menunjuk sebuah jalan bertuliskan Zvonarncka ul. "Ayah mungkin akan mengantar kalian pulang lewat jalan itu,'' lanjut Kris.

Benar juga. Pulang nanti aku tidak bisa lagi nebeng Kris. Mobil ini hanya dapat diisi dua penumpang. Dan Kris pastinya memilih pergi dengan istrinya.

Hm ... sayang sekali.

"Menurut rumor, jalan Zvonarncka, yang terletak di daerah pinggiran Taman Ribnjak, adalah tempat paling dekat―yang menjadi lokasi kejadian pembunuhan 2008 silam. Kalau kau melihat dua pohon besar di antara ayunan yang bergerak sendiri, maka di sanalah lokasinya.''

"Kris! Belum pernah dibogem sama Wanita Semarang, kan? Mau coba?'' Aku mengepalkan buku-buku jari tepat di depan wajah, juga tak lupa mengancam lawan bicara denga desisan murka.

"Hahaha ... maaf, yang barusan itu cuma rumor kok. TKP aslinya di depan apartemen kami.''

"Kris! ... please stop!'' Aku menutup telinga.

"Eh, kenapa begini?'' celetuk Kris tiba-tiba. Mobil CR-Z itu mengeluarkan bunyi aneh dari dalam mesin, membuat Kris harus menepi dan melihat kondisinya.

Ia keluar dari dalam mobil. Membuka hood, untuk memeriksa apa yang terjadi. Setelah menunggu beberapa lama, aku pun ikut turun dan menemuinya.

"Apa yang rusak Kris?'' tanyaku, saat melihat kris mebgutak-atik mesin depan, yang merupakan keahliannya.

"Apanya juga ini? Karburatornya baik-baik aja. Ung ... sial! Padahal 2 bulan kemarin, Hendrix, sudah aku suruh periksa aki. Apa dia tidur saat bekerja?'' Kris seoalah berkata pada diri sendiri.

"Jadi? Apakah kita akan naik bus?'' Aku menadang penuh minat pada bus-bus biru bertuliskan Atlas yang lewat beberapa kali. Aku rasa trasportasi rakyat, adalah salah satu cerminan kongkrit kemajuan sebuah negara. Dan membuatku ingin mencobanya.

"Apa kau membawa diompet? Aku tidak sadar telah memasukkan dompet pada mesin cuci saat ganti celana tadi,'' kata Kris.

"Eh ... apa rupiah berlaku?'' tanyaku polos.

"Sial! Kenapa kau tidak bawa uang di negara orang?''

"Karena semuanya ada di Ibuku. Siapa yang tahu kau juga tidak punya sepeser pun!''

Kris mengecek jam tangan. "Sial!''

Aku bosan mendengar umpatan yang sama berkali-kali. Mungkin ia tidak tahu, bahwa banyak kemajuan pada kata umpatan di Indonesia. Aku bermaksud akan mengajarkan beberapa kata, nanti.

"Kita hampir telat. Ayo! Lari saja!''

"Hah?''

"Ayo!''

Biasanya, aku sering mendenar istilah kawin lari. Kini aku benar-benar melihat ada pengantin lari. Ya Tuhan, sial―eh, jamban sekali hidupmu Kris. Sudah pagi-pagi disuruh perbaki mobil Om Andi. Malah sekarang mobilnya sendiri yang rusak.

"Kamu kualat ... Kris. Siapa suruh ... bentak-bentak ayahmu seperti tadi!'' kataku di sela lari pagi pukul 09.10 yang kami lakukan.

"Mungkin. Tapi ayo lebih cepat. Aku sudah telat ini ....''

"Iya, sana pergi! Tinggalkan saja aku. Biar langsung dikutuk ibumu jadi batu!'' kataku, kesal. Siapa yang bisa berlari cepat saat menggunakan high heels 10 senti.

Krisna menggerang marah. Dia berbalik mendekat ke arahku. Aku punya firasat dia akan memukulku.

"Pakai ini!'' perintahnya. Ia telah melepas sepatu pantovel hitam besar yang ia pakai, untuk diberikan padaku.

"Kau gila? Mana cukup!'' protesku.

"Cepat pakai!''

Melihat kemarahan dan ketidak sabaran Kris, aku pun menuruti titah yang ia berikan. Segera memasang sepatu kedodoran itu di kakiku.

Kris langsung menggeret tanganku untuk berlari bersamanya. Bunyi keteplak yang dihasilkan dari rongga dalam sepatu yang kupakai, mengiringi tiap langkah kami. Sedangkan high heels milikku, kini tersampir indah di lengan, untuk aku bawa berlari.

Hm ... pernah lihat pengantin lari telanjang kaki. Semua bisa melihatnya saat ini. Banyak orang menoleh mengawasi pasangan aneh yang berlarian sepanjang jalan. Si wanita yang memakai sepatu kedodoran, dan pria yang bertelanjang kaki. Apa lagi arah yang kami tuju adalah sebuah gereja. Pasti sangat romantis menurut mereka.

Kami melewati beberapa rumah berderet tanpa sekat, dengan dominasi cat yang umumnya menggunakan warna kalem. Hampir semua bangunan, memiliki lebih dari satu lantai. Minimal ada dua lantai. Untuk bangunan satu lantai, mungkin ada, tapi sangat jarang.


Menemukan sebuah gedung besar beratap kercut bergerigi, dengan berbagai ukiran-ukiran seni yang mempesona, adalah kebahagiaan sendiri. Kami melihatnya, lokasi yang menjadi tujuan pelarian ini. Zagrebaca Katredala, berdiri paling tinggi, kokoh, dan cantik di antara banyak bangunan. Menjadikan kami lebih semangat melanjutkan perjalanan. Hingga menemukan petak bunga warna-warni di tengah jalan paping tepat di depan gereja.

Kami kini dapat terlaihat pintu besar gereja yang tertutup, dengan seluruh keluarga Kris, dan ibu yang menunggu dengan kecemasan di wajah. Berhasil mencapai tempat mereka berdiri, walau dengan nafas yang tersengal sehabis berlari.

"Krisna!'' teriak Om Andi saat menjuampai kami.

"Maaf ... Yah. Mobilku ... mogok,'' papar Kris, yang terbata kehabisan napas.

"Hm! Salah siapa? Sudah tahu calon pengantin itu banyak cobaannya. Tadi disuruh berangkat bareng nggak mau,'' Tante Lina mulai mengomel. Membawa-bawa mitos Jawa samapai ke Kroasia.

"Ok. Aku ... sudah siap,'' kata Kris.

"Tata dulu napasmu!'' Om Andi menepuk nepuk punggung anaknya. "Dan, mana sepatumu? Kau ingin berjalan telanjang kaki di hari pernikahan?"

Aku segera melepas sepatu Kris untuk dikembalikan.

"Terimakasih Sun.'' Kris segera memakai sepatunya dengan buru-buru. Tidak ingin memperlama keterlamabatannya di hari pernikahan.

"Ayah, aku mohon restu.'' Kris mencium tangan Om Andi. Kemudian dibalas Ayahnya dengan pelukan erat.

"Hm. Jadi suami dan ayah yang baik untuk anakmu.'' Ia enepuk-nepuk punggung Kris dengan kasih. Kemudaian melepas pelukan mereka dalam haru.

Kris meminta restu pada Tante Lina dan Ibuku. Saling merangkul seolah hendak pisah jauh. Sebelum berailh kembali pada Om Andi yang masih menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca.

"Aku minta maaf, Yah. Aku kasar tadi pagi,'' pinta Kris. Menuturkan ketulusan.

"Tidak apa-apa. Cepat, Vanessa menunggumu!'' Om Andi mendorong Kris untuk segera masuk. Namun, sebelum itu, aku ingin mengatakan sesuatu padanya.

"Kris! Cestitamo[5],'' kataku menyemangati.

"Hvala[6],'' balas Kris, seraya tersenyum. Lalau membuka pintu gereja perlahan untuk segera menuju altar dan menunggu kedatangan pasangan wanita yang akan menjadi belahan jiwa.

Seluruh rombongan telah masuk dalam gereja, kecuali aku yang beralasan ingin menata penampilan yang maburadul setelah berlari.

Aku mengawasi bayangan wanita di cermin, yang kalah oleh janda beranak satu. Iya, Kris akan menikah dengan seorang wanita yang pernah hamil tanpa pernikahan. Tante-tante usia 36 tahun yang memiliki putra tunggal berusia 5 tahun. Sungguh di luar dugaan. Seorang pria tampan dan mapan seperti Kris, rela, dan bersedia menikahi wanita yang bersetatus ibu-ibu.

Mereka akan segera berucap janji. Mengatakan kejujuran untuk sehidup semati. Sedangkan kata terakhirku tadi merupakan kebohongan. Yang tidak akan pernah aku katakan.

"Volim te[7]!'' kataku, berandai pada kemalangan.

.

TAMAT

catatan:
1. Lebih ribet dari pengantinnya.
2. Tidak.
3. Ya.
4. Sampai jumpa.
5. Selamat!
6. Terima kasih.
7. Aku mencintaimu.

Terima kasih sudah mampir.

voment ya..

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top