1 - Not Happily Ever After

Pagi itu adalah pagi paling dingin yang pernah dirasakan oleh sang gadis berambut pirang, apalagi saat kamar tidurnya dipindahkan ke loteng rumahnya, yang merupakan tempat paling dingin yang pernah ada di area rumahnya itu.

Ibu tirinya, sekarang bersikap sewenang-wenang, bahkan sudah begitu sejak ayah sang gadis meninggal, namun semakin menjadi-jadi saat saudari tiri sang gadis, Drizella, akhirnya bertunangan dengan sang pangeran dan tidak lama lagi akan resmi menjadi Ratu negeri ini di usia yang masih tergolong muda.

Sang gadis pirang, Ella, hanya bisa menerima nasib yang menimpanya. Sambil melakukan semua pekerjaan rumah karena tak ada lagi pelayan lain yang bekerja di rumahnya yang besar ini, yang tidak lama lagi akan ditelantarkan sang ibu tirinya setelah saudari tiri Ella menikah dengan sang pangeran.

"Ella!! Ella!!"

Suara Lady Tremaine bisa terdengar hingga dapur bawah tanah rumah Ella. Kali ini apa yang diinginkan sang ibu tiri untuk dilakukan oleh sang gadis berambut pirang.

Dengan bergegas, Ella meletakkan piring terakhir yang dia cuci ke dalam rak piring di samping wastafel dan membersihkan tangannya dari sisa air yang menyelimuti tangannya.

Melepaskan celemek yang melingkari tubuhnya, Ella segera bergegas menaiki tangga menuju tempat sang Lady Tremaine menunggunya.

Gadis berambut pirang berjalan menyusuri koridor lantai satu rumahnya, hingga dia tiba di depan pintu yang menuju ke arah ruangan musik, menyadari suara sang ibu tiri berasal dari dalam ruangan.

Dengan pelan, Ella mendorong pintu kayu tersebut dan melangkah masuk dengan hati-hati dan setengah menunduk.

"Ya, Nyonya?" tanya Ella setelah tiba di dalam ruangan, memberanikan dirinya untuk mengangkat kepalanya sedikit dan melihat sang ibu tirinya.

Dalam ruangan, terlihat sang Lady Tremaine sedang duduk di salah satu sofa dan mengipasi dirinya dengan kipas berbulu mahal yang ada di tangannya, seolah semua hal yang mengelilingi sang Lady merupakan barang yang harus memiliki harga paling tinggi di negeri ini.

"Apa kau sudah menyiapkan barang-barangku dan Anastasia? Sore hari nanti aku dan Anastasia sudah harus berangkat ke istana kerajaan untuk mengecek semua persiapan pernikahan Drizella."

Bagaikan kaset rusak, ucapan sang ibu tiri terngiang-ngiang dalam pikiran Ella. Gadis itu mengangguk singkat, kemudian membungkuk pelan seolah hal tersebut merupakan hal yang sering dia lakukan, dan memang seperti itulah.

"Ya, Nyonya. Semuanya sudah disiapkan dan siap diangkut ke dalam kereta kuda ketika sang kurir datang," ucap Ella dengan nada pelannya yang untungnya bisa menyembunyikan perasaannya saat ini.

Lady Tremaine bungkam beberapa saat, melihat Ella mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki sang gadis, memberikan penilaian dramatis dalam diam yang mengisi ruangan tersebut, hingga--

"Ibu!! Ibu!!"

Seruan sang termuda dari sang kakak beradik menyebalkan terdengar di kejauhan, yang kemudian semakin lama semakin mendekat, dan sosok berbalut gaun ungu menyolok penuh renda itu setengah menyambar Ella ketika memasuki ruang musik lalu berlari kecil mendekati ibunya yang memasang raut wajah tenangnya yang biasa ketika melihat Anastasia muncul.

"Ada apa, anakku tersayang?" Lady Tremaine mengubah ekspresi wajahnya menjadi lembut, senyuman yang bahkan tidak pernah ditunjukkan pada Ella meskipun sang gadis berambut pirang merupakan anak tiri dari nyonya besar yang menikahi ayah sang gadis abu beberapa tahun lalu.

"Menurut ibu, gaun apa yang seharusnya aku pakai hari ini? Yang warna kuning atau yang biru?? Yang mana menurut ibu?" tanya Anastasia antusias yang terlihat seperti anak kecil yang kebingungan dengan segala hal.

Sedangkan Ella hanya diam saja tanpa mengatakan apapun, meskipun dia mendengar semua ucapan itu, teringat bahwa sebagian besar gaun-gaunnya dia berikan pada saudari tirinya itu,sebelum akhirnya dia diperlakukan seperti pembantu di rumahnya sendiri.

Lady Tremaine tampak tersenyum pada anak bungsunya sebelum akhirnya kembali melihat ke arah Ella dengan tatapan datar umumnya yang biasa.

"Kembali lanjutkan pekerjaanmu, Ella. Semua itu tidak bisa selesai dengan sendirinya." Ucapan datar dan dingin dari sang ibu tiri cukup untuk membuat Ella membungkukkan badannya, memberi hormat.

"Baik, Nyonya."

Dengan itu, Ella berbalik dan berjalan keluar,meninggalkan ibu dan anak yang kembali fokus membahas kegiatan yang akan mereka lakukan nantinya.

Dengan tangan gemetar, Ella kembali berjalan ke arah dapur rumahnya. Perasaan campur aduk dalam dirinya, melihat bahwa keluarga tirinya mendapatkan kebahagiaan yang seharusnya pantas didapatkan oleh seorang Ella.

Gadis itu menghela nafas panjang, menyeret dirinya memasuki dapur rumah dan duduk di salah satu kursi meja makan yang terbuat dari kayu.

Sungguh gadis yang malang, yang mustinya dapat memiliki kebahagiaan, namun malah direbut dengan sebuah delusi nyata yang bahkan tidak pernah dipikirkan oleh sang Cinderella.

Butiran air mata terbentuk di sudut mata sang gadis berambut pirang, namun dengan cepat tangan Ella terangkat, menyeka air mata tersebut, menyembunyikan jejak kesedihan yang terlihat jelas di mata sang gadis.

Namun perasaan tersebut tidak dapat disembunyikan dengan baik oleh sang gadis. Rasa kekesalan, sedih, dan berbagai perasaan lainnya bercampur aduk, membuat gadis tersebut bahkan tidak bisa membedakan lagi mana yang delusinya dan mana kenyataan yang dia hadapi.

Dia ingin mengakhiri semuanya. Dia tidak sanggup. Ya, sang gadis malang, Ella si abu, sudah tidak sanggup menghadapi ini semua.

Hatinya yang bagaikan sepatu kacanya, seolah pecah dan hancur ketika dirinya jatuh dalam kesedihan bahwa dirinya tak dapat hidup bahagia.

Tanpa berpikir panjang, gadis itu berlari keluar dari dapur menuju halaman belakang rumahnya. Air matanya tak terbendung lagi, dan gadis itu tidak berniat menyekanya lagi.

Langkah kakinya mewakili tiap-tiap perasaan yang dirasakannya, bergerak dengan pandangan kabur menuju kandang kuda di rumahnya.

Dengan pelan dan hati-hati, gadis itu membuka pintu kandang kuda dan menemukan kuda putihnya berada di sana, sedang memakan rumput yang tersedia di tempat makan hewan ternak.

Ella segera menghampiri kudanya, setelah mengambil pelana yang tersampirkan pada pagar pembatas agar sang kuda tak dapat bergerak bebas, lalu memasangkan pelananya tersebut pada punggung sang kuda dan menungganginya.

Perasaan ragu kembali memenuhi hati sang gadis, namun tekad kuat dari rasa sakit hati sang gadis kembali berhasil mengalahkan perasaan ragu sang gadis.

Dan dengan itu, sang gadis memacu kudanya berlari meninggalkan kediaman yang selama ini sangat berharga baginya, penuh dengan kenangan masa kecilnya bersama kedua orang tuanya ketika mereka masih hidup.

Ella memacu kudanya di jalanan tanah yang sepi, tanpa berbalik melihat rumah yang menyimpan berbagai kenangan berharga bagi sang gadis.

~♠♔♠~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top