Tes Kostum
"Oh, astaga!"
Theo tak dapat berkata-kata melihat penampilan Fallen berbalut seragam cheerleader Theo semasa SMA yang masih disimpan ibunya.
Saat ini mereka berada di kamar Theo di rumah keluarga Timothy untuk mengepak beberapa barang yang akan dibawa ke rumah baru mereka setelah pernikahan. Sebenarnya, mereka tidak benar-benar membeli rumah baru, karena mereka hanya akan tinggal di rumah Fallen yang telah direnovasi. Tidak semua barang Theo akan dibawa, jadi mereka hanya akan memilih barang-barang penting. Dan saat ini, mereka sedang membongkar lemari Theo untuk memilih baju mana saja yang akan dibawa.
"Kau manis sekali, sayangku!"
Dengan gemas, Theo lantas memeluk Fallen. Menciumi pipinya.
"Baju ini sudah tidak muat untukku, tetapi sangat pas di badanmu, Fallen. Jadi, aku akan memberikannya untukmu!" seru Theo bersemangat. Rasanya, ingin terus menempeli Fallen, mengagumi kecantikan wanitanya itu.
"Y-yang benar saja." Fallen tak terima.
Ia sungguh malu melihat penampilannya sendiri di depan cermin. Dengan atasan crop top tak berlengan dan rok mini berbiku yang nyaris memperlihatkan celana dalamnya. Yang benar saja! Fallen tak akan pernah keluar menggunakan rok di atas lutut sekalipun. Apalagi sambil pamer perut dan ketiak.
BIG NO!
"Aku tidak mau, Theo," tolaknya.
"Tenang saja. Aku tidak akan membiarkanmu berpenampilan seperti itu di tempat umum. Kau bisa mengenakannya untuk menggodaku nanti malam, hehe."
Tak!
Satu jitakan meluncur di dahi Theo. Dari siapa lagi jika bukan Fallen yang satu detik setelahnya segera melepaskan seragam cheerleader itu dan menggantinya kembali dengan pakaiannya sendiri: sweter cokelat muda dengan tea length skirt polos berwarna hitam.
Sekarang, jidat Theo yang menonjol di balik poni hitamnya pun memerah. Tetapi, wanita itu hanya menyengir polos tanpa rasa berdosa.
Beberapa menit setelah mengobrak-abrik isi lemarinya, mata tajam Theo kembali menemukan sesuatu yang tampak mencolok berwarna merah jambu. Ia pun menariknya. Dan seketika menemukan dress ber-layer dengan motif bunga-bunga yang imut. Potongan lehernya berbetuk persegi berenda di sekelilingnya dengan sebuah pita lucu di bagian tengah. Gaun itu kira-kira sepanjang lutut dan lengannya panjang walau sedikit transparan. Itu masih cukup sopan, terlebih lagi, manis.
"Tidak," Farrel langsung menolak bahkan sebelum Theo menawarkan.
"Tetapi, gaun ini sangat manis, Fallen. Lihatlah!"
Theo seketika berdiri. Ia coba mencocokkannya di tubuhnya sendiri, yang jelas lebih tinggi 10 centi daripada Fallen. Dan itu tepat selututnya.
"Ini bukan rok pendek ataupun berlengan seksi. Cocok sekali untukmu," bujuknya.
"Tetapi warnanya terlalu mencolok," ucap Fallen tetap menolak.
"Siapa bilang?" tanya Theo heran. Warna gaun itu adalah perpaduan antara merah muda dan putih. Warna yang lembut. Dan harusnya tidak terlalu mencolok. Walau terkecuali untuk Fallen yang selalu menggunakan warna gelap.
"Ayolah, Fallen. Gaun ini sangat manis. Kau akan sangat-sangat cantik dengannya." Theo tak menyerah. Ia menarik lengan Fallen hingga wanita berkacamata itu ikut berdiri di depannya. Sedangkan tangan kirinya pun mengambil sebuah mantel berwarna dusty pink berkesan elegan. "Lalu aku akan memakai ini dan kita akan menjadi pasangan yang serasi, ya?”
Netra emas Theo menatap tepat di obsidian biru Fallen penuh harap. Yup, jurus puppy eyes.
"Fallen?" panggilnya dengan nada yang sangat amat lembut.
Fallen menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku akan menggunakannya sekali saja."
"Yay!!!"
Theo bersorak gembira.
Setelah memilah barang-barang, Theo dan Fallen pun berdandan dengan pakaian yang telah mereka tentukan. Tampaknya, tujuan mereka kali ini bukan untuk membawa barang-barang pulang, tetapi kencan sebentar. Theo bahkan mengepang rambut Fallen dengan manisnya. Sementara rambutnya sendiri ia ikat dengan pita hitam.
Sungguh, Fallen benar-benar tampil memukau dengan gaun itu. Theo semakin jatuh sejatuh-jatuhnya pada Fallen.
"Ayo kita kencan~"
Kedua wanita itu berjalan sepanjang trotoar menuju ke area taman sambil bergandeng tangan. Ketika menemukan sebuah truk es krim, Theo lantas menunjuknya. "Ayo kita beli es krim, Fallen!"
Fallen menoleh ke arah truk es krim yang ditunjuk oleh Theo. Antreannya cukup panjang.
"Kau tunggu di sini, biar aku saja yang mengantre," lanjut Theo sebelum Fallen mengiyakan ajakannya. Bahkan, wanita jangkung itu sudah melepaskan gandengan tangannya dan langsung bergabung dalam antrean.
"Baiklah," jawab Fallen yang tak lagi didengar oleh Theo. Ia pun memilih untuk berdiri di dekat tiang lampu taman yang agak jauh dari truk es krim tetapi masih terlihat di taman yang terbuka itu. Setidaknya, di sini lebih tenang daripada di dekat truk es krim yang ramai.
Sialnya, belum lama Fallen menunggu, dua orang pria yang melewati jalan di depannya tiba-tiba berhenti.
"Hei, Nona. Kau sendirian saja?" tanya salah satu laki-laki itu.
Malas menanggapi, Fallen mengalihkan pandangannya dari mereka. Pura-pura tidak mendengar.
"Ayolah, kau sendiri, kan? Ayo bermain bersama kami," ajak yang lainnya.
"Tidak," jawab Fallen dengan nada ketus. Kemudian, ia mengeluarkan ponselnya dan menyibukkan diri dengan benda itu. Bahkan, membalikkan badannya dari mereka.
Namun kedua pria itu tak menyerah dan coba memaksanya dengan meraih lengan Fallen yang kosong. "Ayo, kami akan mentraktirmu."
Refleks Fallen membawa pria yang berani menyentuh tangannya itu nyaris terluka ketika dengan cepat ia membalikkan keadaan sehingga Fallen memutar tangan pria itu sampai kesakitan. "Aku sudah punya suami," entaknya kesal seraya menatap sinis.
"A-aw. Hati-hati, Nona," ringis pria itu segera melepaskan lengan Fallen dari genggamannya.
"Apa yang kalian lakukan pada kekasihku?!"
Tiba-tiba, terdengar suara Theo yang muncul di balik pria yang telah dengan berani menyentuh Fallen-nya tersayang. Ia mendaratkan tangannya pada bahu kedua pria itu. Tatapannya tajam mengintimidasi layaknya wanita galak meskipun bibirnya tersenyum sangat lebar.
"Suami, huh?"
"Iya, aku suaminya. Memang kenapa?" tanya Theo seketika meremas bahu mereka dengan kuat. Cukup kuat sampai keduanya berjengit kesakitan.
"Baiklah, baiklah."
Dengan kasar, keduanya menepis tangan Theo. "Dasar wanita kasar," cemooh salah satu dari mereka sebelum beranjak dari sana.
"Kau yang kasar, dasar sinting!" jerit Theo kesal.
Namun, sikap galaknya seketika berubah ketika menatap Fallen. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya khawatir meski tahu Fallen pasti bisa menjaga dirinya. Tetapi, tetap saja Theo menyesal karena telah meninggalkan Fallen sehingga ada yang mengganggu istri manisnya itu.
Theo menggenggam tangan Fallen yang entah mengapa terasa lebih dingin dari sebelumnya.
"Tidak apa-apa," balas Fallen pelan. Ia memang terkejut saat ada pria yang mengganggunya, tetapi lebih terkejut lagi ketika Theo datang membantunya.
Suaminya, katanya. Fallen masih tak dapat mempercayai kata-kata yang didengarnya tadi. Atau lebih tepatnya, ia malu.
"Maaf, aku tidak jadi membeli es krimnya karena melihatmu diganggu mereka," ucap Theo meminta maaf.
Fallen menggelengkan kepalanya. Ia membalas genggaman tangan Theo, meremasnya erat. "Aku … minta maaf."
"Kenapa?" Theo menatap heran.
Tetapi, ia pun melepaskan genggaman tangan Fallen untuk melepaskan mantel hangat yang dipakainya. Lalu, ia memakaikannya di bahu Fallen. "Memang sebaiknya kau memakai pakaianmu yang biasa saja."
Theo menghela napas kasar. "Ada saja orang seperti mereka. Menyebalkan."
Fallen kembali menyentuh tangan Theo perlahan. Ketika menyadari hal itu, Theo segera menggenggamnya kembali dengan hangat.
"Ayo, kita ke kafe saja," ajak Theo kemudian menarik tangan Fallen menuju tempat yang dimaksud.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top