7

***

KEDUA kakiku bergerak gelisah di bawah meja. Perginya wanita pramusaji itu hanya membuat perhatian Sasuke teralihkan dan sepenuhnya jatuh kepadaku. Sekilas, aku mendengar Sasuke menggeram rendah diiringi gerakan mengetuk dataran meja dengan jari jemari tangannya. "Dimana kau tinggal saat ini?"

"Di suatu tempat," jawabku singkat. Membicarakan masalah pribadi bersama pria yang baru saja berciuman panas denganku tidak termasuk ke dalam daftar wajib kegiatan harian. Dia memang mengenalku, sebagai sekretaris pribadinya, hanya itu.

Gerakan jari tangannya berhenti mengetuk meja, sedangkan aku menoleh ke arahnya, melihat ekspresi wajah Sasuke mengeras. "Aku temanmu di sini."

"Kau bukan temanku. Kau atasanku, dan semua mata yang menatapmu dengan cara yang berbeda di saat mereka menatapku menjelaskan segalanya." Aku mendesah, "Kau tidak seharusnya membawaku kemari. Ini bukan kawasanku."

Akhirnya kedua bahu tegap pria itu bergerak saling melemaskan diri. Sasuke menghela napas kemudian berkata setengah erangan rendah. "Kau akan terbiasa, hanya tetaplah berada di sampingku. Maka para wanita sialan itu tidak bisa menyentuhmu."

Aku terkesiap, mengetahui apa yang Sasuke maksudkan dengan para wanita tersebut. Mereka yang menatapku seolah aku adalah mangsa empuk untuk ditindas. "Kau menyadarinya?"

"Semua orang akan menyadarinya, bahkan disaat kau pertama kali menginjakkan kakimu ke dalam sini," Sasuke menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi berlapis kain lembut di belakangnya, lantas menatapku dengan sorot pandang yang berbeda. "Kenapa kau membenci kawasan umum?"

"Aku tidak membenci kawasan umum. Hanya tidak terbiasa dikelilingi manusia yang memiliki sumber keuangan fantastis, itu membuatku risih."

Senyuman tipisnya terbit, membuat hatiku berlomba untuk mencari tempat sembunyi. "Kau merasa risih padaku?"

Sasuke mungkin sama seperti orang-orang di dalam sini, tapi sikap dan perlakuan yang dia tunjukkan padaku bertolak belakang dengan mereka yang menganggap orang miskin seperti kami adalah hama. Aku menggeleng kecil tanpa menatapnya, tidak ada alasan bagiku untuk merasa risih karena kehadirannya. "Tidak," jawabku kemudian melanjutkan. "Mungkin memang tidak seluruhnya, tapi sebagian besar aku benci mereka yang merasa di atas segalanya. Bahkan Tuhan yang memiliki alam semesta tidak pernah bertindak demikian."

Dia terdiam, menatapku dengan tatapan selidik serta kedua tangannya yang saling bertaut di depan mulut. Tarikan posisi tersebut hanya semakin membuat otot lengan atas dan sepanjang bahunya terlihat sangat menggiurkan bagiku, dan mungkin juga bagi sebagian besar para wanita di luar sana. Sasuke seperti sebuah berlian, mahal, tidak tersentuh, dan hanya terdapat satu di seluruh dunia. Berlian antik itu kini duduk di hadapanku, menaruh seluruh perhatian kedua matanya untuk terpusat padaku. Aku merasa beruntung, sialannya terlalu beruntung.

"Kau benar," jeda sesaat sebelum akhirnya Sasuke terkekeh ringan. "Kau satu-satunya wanita yang berkata seperti itu padaku."

Dua orang pramusaji membawa pesanan kami dengan menggunakan roda dorong yang terbuat dari kayu. Kesan pada saat zaman lima puluhan dan terasa sangat mewah. Mereka meletakkan makanan khas italia tersebut ke atas meja, dan aku melihat salah satu dari mereka mengulum senyum saat melihat Uchiha Sasuke dari dekat. Oh Tuhan.

Aku tersenyum, "Terimakasih." dan beruntung mereka membalas ucapanku dengan senyum dan anggukan hangat. Profesionalitas, aku tahu itu. Aku beralih untuk menatap Sasuke yang tengah menjulurkan sedikit lidahnya, bergerak membasahi bibir dengan tatapan terjatuh pada bibirku. Aku gemetar secara seksualitas, merasa sangat tertantang untuk turut membasahi bibirku melihat gerakan lidahnya yang mengundang. Namun yang kulakukan adalah berdeham panik, merasakan wajahku kini menghangat dengan cepat.

Terdengar suara tawa Sasuke di hadapanku. Seperti alunan melodi indah yang menjerumuskan. "Wajahmu memerah," bisiknya rendah.

"Udara di Manhattan saat ini terasa sangat panas," Aku menatap sajian makanan di hadapanku panik, tertangkap basah bahwa aku tergoda pada gerakan lidahnya. "Wajahku mungkin memerah karena itu."

"Yang kuingat restoran ini memasang lebih dari tujuh pendingin ruangan di setiap sudut," Mataku naik, menangkap fenomena langka dimana bukan senyuman yang kudapatkan. Melainkan sebuah seringaian nakal, dan tatapan bergairah yang Sasuke berikan untukku. "Kau sedang bergairah."

Dan aku tidak bisa berbohong disaat tulang kering Sasuke di bawah meja bergerak dengan sengaja untuk menggesekkan diri dengan betis dalamku. Aku terpejam, menahan ringisan ngilu yang membakar bagian sensitifku. Dan disaat Sasuke melanjutkan ucapannya, aku seakan mengalami euforia seksual yang meletus melewati batas.

"Kau bisa membunuhku karena hormon sialan ini jika kau berniat melakukannya."

***

Aku membuka pintu rumah Naruto, dan mendapati pria itu tengah duduk di antara sofa panjang dengan toples cemilan manis di tangannya. Tangan Naruto berlumuran keju, sedangkan pemiliknya saat ini sedang tertawa lepas melihat tayangan komedi pada salah satu siaran televisi. "Hei bung, pencuri bisa saja datang dan merampok isi rumahmu jika kau bahkan tidak menyadari suara pintu terbuka."

Naruto menjulurkan lehernya, menatapku dengan senyuman konyol. "Mereka itu unik, kau harus melihatnya."

"Aha, akan kulihat itu nanti." balasku seraya menaruh tas pada meja pantry. Mengambil satu kaleng bir dingin dan meminumnya setelah membuka segel penutup di atasnya. Aku mendesah, seolah merasakan air kebebasan yang meluncur melewati tenggorokanku.

Naruto berdiri dari duduknya untuk mendekatiku, menjilati jari tangannya dari lumuran keju dan menyimpan kembali toples cemilan ke lemari makanan. "Kau terlihat... berbeda, maksudku, auramu sangat menusuk di sini," ujarnya. "Ada sesuatu yang terjadi, baumu seperti... wow tunggu sebentar, sejak kapan kau memakai parfum pria?"

Aku melotot, kemudian dengan cepat menarik sedikit kerah kemejaku, mencium bau samar yang menempel di sana. Maskulin dan berbau mint yang menenangkan. Sial, ini harum Sasuke. Bahkan parfum milikku terhalang dan tergantikan oleh harum milik pria itu. "Oh sial."

Naruto menarik sudut bibirnya, bersiap untuk melontarkan ribuan kata rayuan untukku. "Ah... aku mengerti," jeda sejenak. Naruto mengulum senyum kemudian tertawa lepas. "Kau berkencan dengan seseorang, aku tahu itu."

"Ini tidak seperti yang kau pikirkan," dengusku, kembali meneguk bir kaleng yang kini mulai menghangat di tanganku. Sensasi sejuk dalam lemari pendingin tidak pernah bertahan lama. "Kami, maksudku aku dan bosku... yeah, hanya sekedar makan malam."

"Hanya? Kupikir jika halnya sampai menimbulkan bekas wewangian itu tidak termasuk kata hanya," Naruto bergerak menuju samping tubuhku, turut membuka lemari pendingin dan membawa sekaleng bir keluar. "Dan kau terlihat sangat bahagia."

Aku terdiam. Mengingat bagaimana perlakuan Sasuke dan sikapnya yang dingin juga terkesan misterius mematahkan pendirianku untuk tidak berhubungan terlalu dekat dengan orang-orang kaya raya. Dia bahkan berniat untuk mengantarku pulang ke rumah Naruto jika saja aku tidak memberikan alasan yang jelas untuknya, dia akan tahu tempat tinggal sementaraku saat ini dan itu adalah sebuah kekacauan.

"Atau mungkin juga gelisah," tambah Naruto kemudian. Dia mengerti, selalu mengerti apapun yang sedang kupikirkan. Naruto mengenalku lebih dari diriku sendiri, dan aku merasa sangat beruntung memiliki pria sebaik dirinya dalam hidupku setelah ayah. "Apa yang atasanmu lakukan? Apa dia bersikap kurang ajar? Pukulan tanganku ada di sini jika kau membutuhkannya."

"Tidak, dia sangat baik dan terlalu baik." ucapku nyaris terdengar seperti gumaman memelas. "Dia menciumku, kami berciuman dan dia bersikap seolah-olah melupakan status kami yang hanya sebagai rekan kerja. Aku adalah sekretarisnya, tapi dia mentraktirku makan malam di tempat mewah. Bukankah itu berlebihan?"

"Mungkin ya, mungkin tidak." Naruto bergumam, mengusap dagunya yang kini mulai tumbuh rambut halus dengan jari telunjuk. "Biasanya para pria melakukan hal seperti itu disaat mereka penasaran, atau hal gila lainnya lagi mereka benar-benar tertarik pada sesuatu. Uchiha Sasuke mungkin sedang mengalami salah satu di antaranya."

Alisku tertarik naik, membentuk ekspresi tak mengerti yang jelas. "Apa maksudmu dengan salah satu di antaranya?"

"Dia sedang penasaran atau mungkin tertarik padamu, dalam berbagai persepsi. Hanya sekedar hubungan seksual, intim, panas yang membakar atau memang tertarik untuk mengenalmu, dan berakhir dengan timbulnya perasaan suka. Mungkin saja."

"Kau mulai berkata omong kosong," Aku mendengus seraya meremas kaleng bir di tanganku yang telah kosong. Melemparnya ke dalam tempat sampah yang berada di sudut pantry, dan masuk dengan sempurna. Sasuke menawarkan tawaran gila padaku, juga berbicara tentang ingin mengenal kehidupanku lebih jauh. Astaga, apakah aku terlalu percaya diri? "Dia hanya ingin akrab denganku, sebagai rekan."

Naruto menyusulku saat aku berjalan menuju sofa utama, berkata setengah jengkel. "Tutup mulutmu tentang rekan kerja. Uchiha itu tidak akan gencar melakukan hal-hal seperti yang telah kau katakan padaku jika halnya dia memang tidak tertarik."

Aku menghela napas, merasakan bokongku yang masuk ke dalam dataran sofa saat tubuhku roboh di atasnya. "Aku tidak ingin berpikir terlalu tinggi. Carlos kembali ke Manhattan dan dia adalah masalahku saat ini."

"Carlos?" Naruto berkata setengah menahan geraman kesal, rahangnya mengeras membentuk garis amarah yang terlihat jelas. Naruto tahu apa yang pernah Carlos lakukan, sesuatu yang lebih dari sekedar rasa sakit akibat pengkhianatan. "Apa yang pria itu katakan?"

Aku lebih rapuh dari itu. Seorang wanita bodoh yang memberikan segalanya pada seorang iblis seperti Carlos. Hati dan jiwaku hancur, aku menerima segalanya, membuka tangan pada apapun yang dia lakukan padaku hingga berakhir dengan aku yang jatuh terlalu keras. Aku menghela napas gemetar, berucap pada Naruto diselingi senyuman pedih. "Dia bilang bahwa dia merindukanku dan sesuatu yang terdengar seperti ajakan kembali ke masa lalu."

"Aku akan menghajarnya nanti," Naruto membuka kedua tangannya, dan aku bergerak untuk masuk ke dalam pelukannya setengah bergetar panik. Tangisku pecah, rasanya terlalu perih akibat lukaku yang belum sepenuhnya sembuh kini telah kembali tersayat. Carlos adalah mimpi burukku.

***

Rin muncul di balik pintu ruanganku dengan seulas senyuman bersahabat. "Hai Sakura, sudah waktunya istirahat makan siang. Tertarik dengan sepotong cheeseburger? Pedagang di seberang perempatan memiliki keju seperti potongan mozzarella."

Kedua tanganku bergerak mengarsipkan beberapa dokumen menjadi satu dan membawanya ke dalam pelukanku. Aku menghela napas, lantas tersenyum penuh rasa bersalah pada Rin yang kini menatapku kebingungan. "Maaf, tapi siang ini Sasuke memintaku untuk menemaninya bertemu rekan kerja sama di salah satu tempat makan."

"Menemaninya?" Raut wajah Rin yang terkejut membuatku mengernyit tak mengerti. Bukankah ajakan seperti itu terdengar biasa? Rin tertawa dan menyenggol bahuku dengan bahunya dengan gerak tubuh bercanda. "Kau sialan beruntung, Sasuke terbiasa melakukan segalanya seorang diri, dia hanya menganggap wanita itu sebagai masalah jika disangkut pautkan dengan pekerjaan. Bahkan Korsakov itu diusir dalam jarak radius tiga meter dari tempat Sasuke melaksanakan rapat atau pertemuan penting."

"Korsakov?" Aku berdiri di hadapan Rin, dengan kedua tangan yang penuh dengan beberapa berkas. Kami akan bertemu dengan rekan penting, yang mana akan menguntungkan pihak Uchiha Industries jika rayuan kontrak kerja sama ini berhasil.

"Kau belum tahu mengenai mantan tunangannya? Dia wanita asal Rusia. Cantik dan juga pintar, namun bedanya, Kylie Korsakov lebih banyak menggunakan tenaga mulutnya untuk mengoceh ketimbang memberikan bantuan untuk menguntungkan Sasuke dalam pekerjaan." Rin menghela napas kecil, kemudian turut melangkah setelah membantu untuk menutup pintu ruanganku. "Dia wanita yang menyebalkan dan sombong. Aku benci padanya."

"Kau mengenal sejarah kehidupan Sasuke lebih dari yang kukira," ucapku jujur, kemudian tertawa saat Rin memberikan ekspresi wajah seolah berkata aku adalah mantan seorang detective.

"Karena aku dan Kakashi dulu bekerja langsung di bawah kendali Sasuke. Apa istilah yang keren untuk itu... hm, seperti tangan kanan?" Kami berhenti di depan ruangan Sasuke. Rin membantuku untuk mengetuk pintu sebelum akhirnya berkata setengah berbisik di sampingku. "Jika aku seorang pria, aku sudah jatuh cinta padamu saat pertama kali kita bertemu Sakura. Kau benar-benar membuatku terkejut."

Aku terdiam di depan pintu, menatap Rin yang mulai menjauh dari tempatku setengah tak percaya. Apa maksud dari perkataannya? Kenapa setiap orang seolah berkata bahwa aku memiliki perbedaan dengan seseorang, lalu dengan seseorang lainnya lagi. Kenapa juga mereka senang membandingkan orang-orang yang berada di sekitar mereka.

Tanganku terangkat, berniat mengetuk dengan susah payah pintu ruangan Sasuke. Namun sebelum punggung tanganku bersentuhan dengan dataran kayu tersebut, pintu terbuka, memperlihatkan Sasuke dengan balutan kemeja putih bersih yang mengintip di balik rompi abu-abu formalnya. Dasi yang senada dengan warna rompi dan memiliki ukiran garis horizontal tipis itu terpasang rapi di lehernya, seakan menggodaku dengan melambai dan berkata kemari, tarik dan cium pemilikku sayang.

Sasuke terbiasa mengenakan jas, sepenuhnya menutupi tubuh bagian atasnya. Namun kini tampilan pria itu berbeda, terlihat begitu tangguh dengan lengan kemeja yang dilipat hingga bagian bawah siku, memperlihatkan pemandangan indah bagi sarana manstrubasi para wanita tentang seberapa kuatnya tangan itu saat memanjakanmu. Aku terengah, dan kini aku telah menjadi wanita nakal karena membayangkan Sasuke memanjakanku bahkan hanya dengan jari jemari tangannya yang panjang.

Tatapan Sasuke jatuh untuk menelusuri lengan atasku yang terbuka, kemudian menghela napas pendek. "Kau membawa kardigan atau sejenisnya? Rekan kita kali ini adalah deretan pria tua jika kau ingin mengetahuinya."

Aku mengernyit, lantas menurunkan tatapanku untuk melihat pakaianku. Atasan ini terbilang cukup tipis, memudahkan mata-mata kotor untuk memicing dan memperjelas sesuatu di dalam pakaianku. Wajahku memerah dan telingaku mulai terasa panas. Aku kembali menggadah, melihat senyum ringan Sasuke terpasang di sana. Lidahku kebas saat mengeluarkan suara ketika menyadari suatu hal, dia melihat bayangan pakaianku. "Tidak."

Sasuke​ mengangguk kecil, kemudian berbalik untuk mengambil sesuatu dari dalam ruangannya. Meninggalkanku yang termangu di depan pintunya, mencoba mengubur rasa malu yang menggerogotiku. Dia kembali dengan sepotong jas yang ukurannya lebih kecil dari ukuran tubuhnya sendiri, memberikan jas putih tersebut dengan tatapan menuntut. "Ini milik istri kakakku, pakai."

"Kenapa---" Suaraku tercekat saat tangan Sasuke yang terbebas dari pegangan jas terulur ke arahku, mencubit lapisan pakaianku yang tipis dengan ibu jari serta jari telunjuknya.

"Mereka bisa melihat isi dari pakaianmu," bisiknya di depan wajahku. "Warna merah muda yang kau kenakan di dalam sana membuat otak-otak kotor berpikir untuk merobeknya dalam sekali tarikan," Sasuke mengerang, mengecup pelipisku sebelum akhirnya kembali menegakkan punggungnya untuk berdiri tegap di atas lantai keramik. "Termasuk diriku."

Aku terbatuk, kemudian menerima uluran jasnya setengah gemetar akibat serangan mendadak yang Sasuke berikan. Sebuah ciuman ringan di pelipisku membuat tubuhku kaku. Bahkan disaat Sasuke bergerak untuk mengambil alih lembar dokumen dari tanganku ke dalam genggaman tangannya, kemudian berlalu untuk berjalan lebih dulu di hadapanku. Aku meringis dalam hati, merasa bodoh akibat perbuatanku sendiri dan memilih untuk segera mengenakan jas tersebut, menyusul Sasuke untuk segera masuk ke dalam lift.

***

Sasuke benar tentang rekan kami saat ini. Mereka adalah tiga orang pria tua dengan umur sekitar setengah abad, cenderung membosankan dan juga membuatku muak. Salah satu di antara mereka terang-terangan menatapku dengan pandangan menginginkan. Dia membuatku jijik. Bahkan di saat aku membuka suara ketika Sasuke meminta usulan pribadiku sebagai tangan kanannya, pria itu bersiul kurang ajar. Aku ingin menusuk mulutnya dengan hak sepatuku jika tidak mengingat dengan siapa aku berhadapan.

Diskusi kami selesai, dan Sasuke mengangkat sedikit punggungnya dari sandaran kursi. Berbisik di telingaku sepelan mungkin saat perhatian para rekan kerja teralihkan pada santapan makan siang mereka. "Kau bisa izin untuk sekedar ke belakang. Sesuatu di sini membuatmu tidak nyaman."

Aku menghela napas lega. Bersyukur bahwa Sasuke selalu menyadari kegelisahanku. Aku mengangguk dan tersenyum tipis, lantas berdiri dari dudukku sehingga seluruh tatapan mata itu terjatuh ke arahku. "Maaf, saya permisi sebentar."

Tanganku terulur untuk mendorong pintu toilet wanita dengan terburu-buru. Beruntung suasana toilet restoran ini sepi oleh pengunjung, hingga tidak mengharuskanku untuk bersikap sedikit sopan. Aku menyangga kedua tangan pada keramik wastafel, terengah keras ketika melihat pantulan wajahku di cermin yang kini terlihat memerah akibat menahan kesal.

Tatapan pria tua itu membuatku risih, dan aku benci untuk kembali ke sana jika bukan karena menemani Sasuke, keperluan merger ini dibutuhkan perusahaan untuk meraup keuntungan bagi Uchiha Industries dan pihak kerja sama itu sendiri. Aku mungkin bisa bertahan hingga beberapa menit lagi di sana hingga ponselku di dalam saku celana bergetar. Menampilkan sebuah nama yang membuat senyum bahagiaku mengembang. "Hai Dad."

"Hai sayang, bagaimana keadaanmu sekarang?"

"Aku baik," ucapku berbohong. Nada suara ayah di sana terdengar menyenangkan, meski aku di sini tengah berjuang untuk tidak melayangkan tinju pada seseorang dengan mata tak sopan. "Bagaimana dengan kakimu?"

"Semakin hari semakin membaik. Pihak medis memberikan fasilitas yang memuaskan kami para tenaga kerja yang tertimpa musibah. Kau tidak perlu khawatirkan aku."

Aku bergerak untuk menyalakan keran air agar menyala, membasuh sedikit kedua pipiku yang kini terlihat seputih kapas. "Itu membuatku bisa bernapas, Dad. Aku berjanji akan berkunjung akhir pekan nanti." bisikku seraya mengambil selembar tisu di dalam mesin yang menempel di dinding, dan membersihkan pipiku dari tetesan air.

Dia menghela napas, terdengar jelas bahwa ayah merasa tidak enak karenanya. "Jangan memaksakan dirimu sendiri, Sayang."

"Aku tidak pernah melakukannya," Meski sebenarnya aku siap untuk berbuat nekat hanya demi kebahagiaan pria ini. Dia udaraku, sumber pegangan kuat bagi kehidupanku, tidak ada alasan bagiku untuk tidak berjuang demi kehidupannya. "Omong-omong aku sedang bekerja, bisakah kita berbicara lagi malam nanti? Atasanku akan mengira aku kabur jika terlalu lama berada di toilet wanita."

Ayah tertawa di seberang sana, kemudian berkata. "Baiklah, berhati-hati di sana. Aku mencintaimu."

"Aku juga mencintaimu Dad," gumamku. Berbicara dengan ayah selalu membuat suasana hatiku membaik, selalu seperti ini sampai kapanpun. Jika aku membutuhkan bantuan untuk bangkit, ayah adalah orang pertama yang berhasil membuat kegelisahan hatiku terangkat dengan mudah. Aku menghela napas ringan, lantas kembali memasukkan ponsel ke dalam saku setelah memastikan wajahku terbebas dari pandangan mengerikan.

Menguatkan hati serta mempercayakan diri sendiri bahwa aku akan selalu baik-baik saja. Aku keluar dan mendapati Sasuke yang tengah menyandarkan punggungnya pada dinding, dengan salah satu kaki yang ditekuk seolah menunggu aku keluar dari dalam. Aku melotot, tak percaya bahwa aku baru saja melihat luka memar di sudut bibirnya yang mulai membiru. "Astaga, kau... Sasuke, ada apa?"

Dia meringis kecil saat aku mendekat dan mengulurkan tangan untuk menyentuh sudut bibirnya. Sasuke memberikan dokumen yang semula menjadi sarana kesepakatan antar petinggi perusahaan, sesuatu telah terjadi, dan aku tidak tahu apapun di sini. "Kontrak itu batal dan aku tidak menyesalinya."

"Kau baru saja berkelahi?" tanyaku tak berhenti dikagetkan oleh kelakuannya. "Dengan siapa? Kenapa bisa batal? Apa mereka kecewa dengan penawaran kita?"

Sasuke mengernyit dalam, menarik kedua alisnya saling bertaut di atas pangkal dahinya. "Aku tidak ingin membahasnya," gumamnya rendah kemudian berbalik untuk melangkah meninggalkanku. "Apa yang kau tunggu? Ayo kembali."

Aku gemetar mendengar nada suaranya yang berubah sinis. Tanpa menungguku berada di belakangnya, Sasuke berjalan dengan langkah lebar. Dan saat kami keluar dari kawasan toilet, seluruh pasang mata menatap kepergian kami dengan khawatir dan juga... takut. Di meja semula tempat kami membicarakan diskusi, terlihat tiga pria tua itu memandang sinis ke arah Sasuke dengan terang-terangan memberikan aura permusuhan.

Apa yang telah terjadi? Kenapa? Aku terdiam dengan terus melangkah menuju pintu, namun detak jantungku bekerja lebih cepat saat melihat salah satu diantara mereka babak belur, seakan baru saja menjadi samsak tinju bagi seseorang. Sudut bibir pria yang semula memberikan tatapan menginginkan padaku kini mengeluarkan darah segar yang menetes, sekilas dapat kulihat bibirnya membengkak akibat pukulan yang terlampau kuat dan sebuah benda putih yang berada di lantai. Apakah Sasuke yang melakukannya?

"Tunggu! Tunggu!" Aku berteriak, berlari untuk mengejar Sasuke saat pria itu hendak mencapai limosinnya. "Kau... kau menghajarnya? Ya Tuhan, apa yang kau lakukan?"

Tatapannya berubah, lebih dingin, lebih tajam. Dia membuatku bergidik ketakutan saat Sasuke bergerak untuk mendekatiku. "Masuk ke dalam, Sakura."

"Aku tidak---"

"Sekarang," tambahnya mutlak.

Aku ingin menangis. Namun yang kulakukan hanyalah memalingkan wajah ke arah lain, mengembuskan napas gusar akibat perang batin yang mengguncang kediamanku. Aku ingin mengetahuinya, segala hal yang berhasil membuat Sasuke semarah ini tapi pria itu memilih untuk tutup mulut. Aku masuk saat sang supir membukakan pintu untukku, mengabaikan Sasuke yang turut menghela napas gusar sebelum masuk ke dalam pintu yang berbeda.

Terakhir yang kudengar adalah geramannya yang berbahaya, lantas berkata nyaris berupa bisikan kecil. "Seseorang seharusnya pintar menjaga mulut saat berbicara."

***
To be continued...

Hai lagi, bdw buat kalian yang penasaran sama penampakan(?) Carlos. Okay, heree

NGH GAMBARNYA BAGOS YA :""" SPECIAL THANKS FOR YA LutchiRojo YANG UDAH SUDI PERJELAS WUJUD CARLOS :""))))❤️❤️❤️ Doi ganteng, cuma sayang niatnya gabae. Kzl. /udeh

Soal alur yang lambat beud ini maapkan ya, aku buat konfliknya perlahan tapi pasti. Gamau buru buru tapi terkesan gaje, jadi mohon ekstra sabar❤️ see you next time yaps! Jan lupa komense❤️

#TEAMSASUSAKU or #TEAMROSSAKU
(●'∀`●)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top