4

***

AKU MENGHELA napas. Merasa tertekan hanya karena berlama-lama menatap gelang yang melingkar pada pergelangan tanganku, kemudian kembali pada tumpukan map yang berjejer di samping komputer kerjaku dengan lelah. Beruntung jadwal yang dimiliki Sasuke tidak terlalu padat untuk satu minggu ke depan. Dia hanya memiliki empat kali pertemuan luar kawasan kantor dan enam kali rapat antar kepala bagian, termasuk pekerjaan normalnya pada hari biasa.

Besok, satu pertemuan untuk bahasan kontrak kerja sama dengan perusahaan agen pariwisata, dan dua rapat rahasia. Aku mencubit pangkal hidungku yang meregang mengetahui fakta bahwa Sasuke benar-benar pria yang gila kerja. Dia memintaku untuk memberi jadwal agendanya hari ini, dan yang kudapat hanyalah dengusan puas darinya. Setumpuk berkas dan dokumen persetujuan tanda tangannya benar-benar mampu membuat Sasuke bahagia.

Namun ada beberapa hal dalam dirinya yang menjadi misteri bagiku. Sasuke tidak pernah memberiku tugas yang memungkinkanku untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. Dia hanya menghubungiku melalui telepon dalam kantor tanpa bertatap muka, termasuk saat aku memberitahukan perihal agenda kerjanya dan itu berlangsung melalui pesawat komunikasi. Dia terlalu jauh, sangat tertutup, ruang kerja seakan menjadi ruang lingkup pribadi baginya.

Seseorang mengetuk pintu ruanganku, dan Rin muncul di sana dengan senyuman konyolnya. "Hai, apakah aku mengganggumu? Ini sudah waktunya jam makan siang dan kupikir kau belum turun ke bawah, jadi... aku."

Aku tersenyum, berdiri dari kursiku setelah mematikan komputer dan merapikan kumpulan surat masuk di atas meja. "Tapi ruanganmu terdapat pada dua lantai di bawahku. Terimakasih, aku sangat senang kau kemari hanya untuk mengingatkanku tentang jam makan siang." balasku, mengangkat dompet yang kubawa sejajar dengan bahu.

Rin tersipu, manis sekali. "Well, makan siang bersama? Apakah itu terdengar buruk?"

"Apa aku punya alasan untuk menolak?" Aku tertawa saat Rin ikut tertawa mendengar jawabanku. Kami melangkah menuju lift saat aku sudah memastikan bahwa pintu ruanganku tertutup sempurna. Rin beberapa sentimeter di atasku dengan heels-nya yang mengetuk lantai setiap kali kami melangkah. Dia teman bicara yang menyenangkan, meski kami baru saja mengalami satu kali pertemuan, dan itupun berlangsung secara mendadak.

"Apa kau tahu menu udang bumbu manis di kantin kantor? Itu enak! Kau harus mencobanya, aku yakin kau akan sangat menyukainya."

Aku menggeleng dengan tidak enak. "Aku alergi udang, kurasa aku tidak akan pernah bisa mencicipinya."

"Oh astaga maafkan aku," Ekspresi wajah bersemangat Rin tergantikan oleh ekspresi sedih yang tidak dibuat-buat. "Baiklah, mungkin udang bisa kita lewati. Ada banyak menu di sana yang bisa kita makan, seperti daging atau salad."

Wajahku menghangat, merasakan sikap Rin yang memancarkan aura persahabatan yang begitu kental, membuatku nyaman pada orang baru. Aku mendengus menahan geli, kemudian mengangguk menyetujui apa yang dia ucapkan. "Aku baru pertama kali ke kantin, apa di sana ramai?"

Rin mengusap dagunya dengan jari telunjuk, memasang ekspresi wajah seolah berusaha mengingat sesuatu. "Kurasa tidak, di sana hanya akan ramai jika Mr. Uchiha ikut bergabung bersama para pegawainya."

Alisku tertarik ke atas, "Dia tidak pernah ikut makan siang?"

"Dia hanya akan meminta bagian dapur dalam untuk membelikannya makanan, kemudian membawa makanan itu ke ruangannya," Rin mendorong pintu kaca di hadapan kami dan menahannya sesaat aku ikut masuk ke dalam. Kantin Uchiha Industries tertata dengan rapi dan benar-benar terawat. Beberapa meja kaca yang disediakan juga fasilitas bagian penyaji makanan yang diatur sedemikian rupa, membentuk restoran berkelas yang dilengkapi suasana ramah lingkungan dengan beberapa tanaman hias yang tersimpan di beberapa sudut.

Aku terengah, mengigit bibirku saat indra penciumanku menghirup aroma daging panggang yang begitu menggoda. Rin menuntunku pada salah satu meja, mengangkat tangannya pada pramusaji yang mendekat melihat kedatangan kami. Aku menginginkan sesuatu untuk kumakan, tapi bahan makananku di apartemen lebih menjadi alternatif bagi isi perutku daripada harus membuang uang. "Mocha?"

Rin menoleh padaku, kemudian mengernyitkan dahinya kebingungan. "Kau hanya memesan kopi? Ini jam makan siang, Sakura."

"Aku terbiasa dengan segelas kopi, kupikir itu cukup untuk mengganjal amukan perutmu hingga sore. Ditambah juga, kopi tidak akan membuatmu mengantuk saat bekerja." Aku tersenyum yang dibalas Rin oleh kibasan tangan tak setuju. Wanita itu hendak memberiku protes agar aku memilih menu selain kopi, tetapi seseorang yang menarik kursi di sampingku menyela ucapannya lebih dulu.

"Pesanlah sesuatu," Suaranya kembali mengalun indah di telingaku. Aku menoleh, dan melihat wajah kaku atasanku yang sepertinya menahan rasa tidak suka berada di tempat umum. Aku memegang erat dompetku di bawah meja, dorongan kuat yang sama seperti tadi pagi kembali mendatangiku.

"Mr. Uchiha?" Rin bahkan tidak sadar bahwa dia berkata dengan ekspresi seolah melihat hantu, sedangkan aku menurunkan tatapanku pada kedua kakiku di bawah sana. Kenapa Sasuke memilih duduk di sampingku jika meja lain di sekitar sana masih sepi pengunjung? "Senang melihat anda di sini."

"Aku bersama Kakashi," Dia mengalihkan tatapannya pada sang pramusaji yang berdiri di samping meja kami, kemudian kembali padaku. "Dua daging panggang dan kentang goreng, juga kopi mocha dan kopi hitam."

Aku mengangkat kepala untuk menatapnya, melayangkan tatapan protes pada Sasuke. "Saya tidak---"

"Itu saja," Sasuke menggerakkan tangannya untuk memberi kode bahwa pesanannya telah selesai. Mengabaikanku yang jelas tidak menyukai apa yang telah dia lakukan. Mengambil alih menu pesanan bukan termasuk ke dalam daftar keberuntunganku hari ini.

Aku menghela napas. Memilih untuk melihat ke arah lain, kemana saja asalkan tidak bertatap muka dengan Sasuke di sampingku. Beruntung Kakashi datang dengan sebotol air mineral di tangannya, menarik kursi di samping Rin yang tertawa senang melihat kedatangannya. "Hai, kenapa suasana di meja ini canggung sekali? Dan hai Sakura." sapanya seraya menatap ke arahku.

Aku tersenyum, sedikit merasa lebih baik karena kehadiran seseorang yang telah kukenal lebih dari satu hari. "Hai."

"Rin yang membawamu kemari? Wow, kalian berteman sangat cepat. Omong-omong, sebentar lagi para pegawai akan berbondong-bondong datang kemari, persiapkan dirimu Sakura. Mereka selalu berisik seperti pasar malam." Kakashi mendengus di akhir kalimatnya, dengan sengaja melirik Sasuke yang duduk di sampingnya.

Sasuke menghela napas, "Kau yang membawaku kemari."

"Yep, itu karena kau harus bisa bersosialisasi dengan para pegawaimu, bos." sindir Kakashi. Pria bermasker itu terlihat sangat akrab dengan Sasuke. Aku tidak tahu apa hubungan di antara keduanya, dan terlalu lelah untuk berpikir disaat tatapan sang Uchiha tertuju ke arahku. "Kau kemari karena Sakura juga ada di sini, bukan begitu?"

Rin dan Kakashi terkekeh kecil, sedangkan aku menggeleng tak percaya bahwa aku baru saja menjadi sasaran godaan mereka. Aku mengangkat bokongku dari atas kursi, berniat kembali ke dalam ruanganku yang berfungsi sebagai pelindung saat ini. "Maaf, kupikir aku akan kembali---"

"Duduk," Sasuke menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, berkata dengan penuh nada memerintah yang tertuju untukku. Dan saat aku menunduk dan bergerak menatap pada kedua matanya, salah satu alis rapinya terangkat. Wajahku menghangat kemudian lambat laun terasa panas. Dia sedang menggodaku. "Kakashi benar. Jadi duduk, dan tunggu pesananmu datang."

Bibirku terbuka untuk melayangkan kata penolakan. Namun Rin lebih dulu menyela dengan nada riang, "Duduklah Sakura. Ini makan siang perdana kita."

Aku terdiam, menatap pada Kakashi dan Rin dengan pandangan memelas. Berharap bahwa mereka berdua mengerti bagaimana penderitaanku jika dihadapkan langsung dengan sang atasan. Namun sepertinya, hanya aku dan dewi keberuntunganku yang mengerti. Aku menghela napas kecil, kembali duduk di atas kursi dan membiarkan Kakashi berbincang bersama dengan Rin.

Sampai getaran pada ponselku membuat keningku membentuk kerutan halus. Seseorang mengirimkan pesan padaku, dengan nomor yang tidak kukenal.

Kau terlihat tidak nyaman berada di dekatku.

Jantungku bekerja keras, lantas mengalihkan pandangan pada pria di sampingku. Sasuke menekuk kedua alisnya menyatu di atas kening dengan ponsel yang dia genggam pada salah satu tangan. Dia terlihat sedikit kebingungan dan aku tidak mengerti. Aku menelan ludah, dia mengetahui nomor ponselku. Meski itu terdengar wajar karena saat aku melamar, seluruh identitasku akan diketahui pihak bagian kepegawaian dan Sasuke juga termasuk ke dalamnya.

Aku menahan udara di dalam dada, lalu mengembuskannya secara perlahan. Jari jemari tanganku bergerak di bawah meja untuk membalas pesannya, mereka gemetar karena mencoba melawan dorongan gairahku yang terlalu besar. Aku memekik kecil hingga membuat Rin dan Kakashi mengalihkan pandangan mereka padaku. "Kau baik-baik saja Sakura?" tanya Rin.

"Ya... aku baik," Aku berdeham seraya membenarkan posisi duduk di atas kursi. Astaga, Sasuke dengan sengaja membenturkan lututnya pada paha dalamku. Aku menoleh padanya, memberikan tatapan protes yang benar-benar protes. Namun yang kudapat hanyalah senyuman tipis darinya. Aku menggeser kursiku agar mendekat padanya, berbisik dan berdoa bahwa Rin ataupun Kakashi tidak mendengar ucapanku. "Mister, anda tidak bisa melakukan hal seperti tadi."

Sasuke ikut menegakkan punggungnya, mencondongkan tubuh bagian atasnya padaku dan balas berbisik. "Aku selalu bisa, Miss."

Aku terengah merasakan sapuan deru napasnya yang menerpa kulit wajahku. Ya Tuhan, berapa lama lagi aku akan bertahan? Aku kembali pada posisi awal saat beberapa rombongan pegawai mulai memasuki kawasan kantin. Sebagian besar dari mereka adalah para wanita dengan rok ketat yang membentuk pinggul mereka, memperlihatkan kaki jenjang layaknya para model yang selalu berjalan di atas catwalk.

Mereka berjalan melewati meja kami, sengaja menyapa Sasuke dengan cara yang sedikit melebih-lebihkan. Raut wajah Sasuke sendiri berubah menjadi lebih gelap. Aku mungkin tahu apa alasannya memilih makan siang seorang diri dalam ruangan, daripada harus melayani para wanita yang berlomba untuk meminta perhatian sang atasan utama. Aku mengigit bibir, gagal untuk tidak tertawa saat melihat perubahan ekspresi wajahnya yang terlampau jelas di mataku.

Kakashi mengangkat salah satu alisnya. "Kenapa kau tertawa?"

"Sakura mungkin menyadarinya, Kakashi." Rin menimpali dengan menggidikkan kedua bahunya. "Kau benar, wanita di sini mungkin sudah lupa tatakrama sopan santun yang sebenarnya. Sama seperti Natalie."

Kakashi mendelik saat mendengar nama Natalie. Matanya memicing, meminta Rin diam secara tidak langsung. "Rin..."

"Aku tahu, maafkan aku." ucap Rin seraya mengangkat kedua tangannya sejajar dengan telinga. Sedangkan aku terdiam melihat keduanya. Seolah ada sesuatu yang tidak kuketahui dan mereka coba samarkan dariku. Sesuatu tentang sekretaris lama Sasuke, serta alasan wanita itu keluar dari jabatannya sebagai sekretaris presiden Uchiha Industries. Sasuke sendiri memilih diam, tatapannya mengeras yang tertuju pada sudut lain.

Pramusaji datang dan menata makanan di atas meja kami dalam diam. Suasana di sini terlalu canggung. Aku tidak menyukainya, aku terbiasa berbicara dan setengah berteriak gila-gilaan bersama Naruto dalam segala situasi. Jika bukan teriakan, maka akan muncul umpatan kotor untuk mencairkan suasana. Tapi kali ini berbeda, mereka adalah orang-orang atas dengan isi dompet yang mampu mendirikan sebuah gedung perhotelan bintang lima. Aku tidak seharusnya berada di sekitar mereka. Tidak sama sekali.

Aku mengangkat tanganku dengan canggung, berkata pada sang pramusaji meski ucapanku terdengar seperti bisikan putus asa. "Maaf, bisakah kau membungkus makananku?" ucapku, berdiri dari duduk dan bergerak merongoh dompetku untuk mengeluarkan beberapa lembar uang.

Pramusaji itu mengangguk, dan saat dia bergerak menerima uang dariku, Sasuke lebih dulu menyodorkan uang miliknya. "Bungkus makanannya dan antarkan ke atas. Lantai yang sama, di seberang ruang kerjaku." Sasuke turut berdiri dari duduknya, menatap pramusaji itu dan aku bergantian.

Denyut nadiku berdetak lebih cepat. Aku tidak menyukai pemberiannya, meski berulang kali aku berkata tidak, Sasuke akan tetap melakukannya. Sama seperti pemberian celana kerja yang diantar langsung ke apartemenku, Sasuke menolak saat aku mengembalikan benda itu. Aku bisa membelinya dengan uangku, dengan keringatku sendiri.

Ini melukai harga diriku. Aku mendengus kasar. Tanpa menoleh pada sekitar, aku berbalik meninggalkan kantin dengan amarah yang merasukiku.

***

"Kau tahu, apa yang kau lakukan adalah salah."

Aku mengambil udara melalui mulut, kemudian mengembuskannya secara perlahan untuk menormalkan rasa takutku. "Aku tahu, aku hanya... tidak terbiasa. Aku ingin kau di sini, aku membutuhkan seseorang selain Naruto bersamaku. Kapan kau kembali?"

"Entahlah..."

Suaranya hilang oleh keheningan. Membuatku menunggu jawaban darinya yang kuharap dapat mengobati rasa rinduku. Karin terlalu lama pergi, dan aku membutuhkan seorang sepupu wanita sehebat dirinya yang mampu membuatku tenang dari rasa gelisah.

"...aku tidak terlalu yakin, tapi kurasa sekitar dua bulan aku akan tetap berada di sini."

"Apa yang kau lakukan di sana? Maksudku, Las Vegas?" tanyaku.

"Kau tahu bahwa kehidupan di dunia ini keras. Tapi kau tidak perlu tahu apa yang kulakukan di sini, bagaimana keadaan paman Kizashi sekarang?"

Hatiku rasanya tersengat, kembali mengingat salah satu kaki pria kesayanganku yang harus mendapatkan tindakan amputasi karena pekerjaannya, membuat air mataku berkumpul tanpa diminta. "Dia... baik, sangat baik. Kumohon, aku sangat membutuhkanmu Karin."

Dia tertawa lirih di seberang sana. "Kau tetap tidak berubah sejak duduk di bangku sekolah."

Aku turut mendengus geli, kemudian bangkit berdiri dari posisi tidurku di atas ranjang. "Kau benar, dan kuharap kau juga tidak berubah."

Karin terdiam cukup lama, hingga terdengar deru napasnya yang melambat, seolah menahan ribuan rasa sakit. "Well... yeah, aku tetap tidak berubah. Omong-omong, aku akan ke sana dua bulan lagi. Jadi... persiapkan pesta dan apapun yang menyenangkan, okay? Tuan putri seharusnya mendapatkan perlakuan khusus bukan?"

"Dalam mimpimu," Aku tertawa dengan salah satu tangan yang bergerak membuka lemari makanan. Mengambil satu botol anggur dan satu gelas, kemudian meletakkannya ke atas meja pantry. "Akan kusiapkan pesta yang luar biasa istimewa untukmu. Jadi segeralah pulang, berengsek."

"Dasar jalang cilik. Akan kupukul bokongmu nanti saat aku kembali."

Tawaku keluar lebih keras mendengar umpatannya. Ini lebih baik. Aku bisa menjadi diriku sendiri hanya bersama orang-orang terdekatku. Bukan orang-orang berdompet tebal di sekitar Uchiha Industries yang mengelilingiku di tempat kerja. Mereka bukan kawasan jajahanku, aku hanya akan menjadi kucing hilang jika berada di sekitar mereka.

Karin memutuskan sambungan telepon saat seseorang di seberang sana memanggil namanya setengah berteriak. Aku tidak tahu apa yang sedang dia lakukan di Las Vegas, karena Karin hanya mengatakan bahwa dia memiliki pekerjaan yang lumayan jika berada di sana. Karin adalah teman satu asramaku saat kami sama-sama duduk di bangku perkuliahan, hanya saja Karin memilih jurusan seni sastra dibandingkan dengan jurusan managemen sepertiku.

Dia satu-satunya sepupu perempuanku yang sampai saat ini tidak memutuskan ikatan secara sepihak. Sejak ibu meninggal, dunia terasa berbeda. Seluruh pihak menyalahkan ayah atas apa yang telah menimpa ibu, saudara sepupu, maupun kerabat dekat perlahan menjauh satu persatu. Mereka menghilang, bahkan disaat keluarga kami membutuhkan sedikit bantuan, mereka seolah menutup pendengaran, penglihatan, dan rasa peduli.

Aku menghela napas kecil, memutar jari telunjukku pada bibir gelas dengan gerakan berulang-ulang. Jika Naruto ada di sini, dia akan berteriak dan bersorak saat menonton film porno yang dia bawa kemari. Seperti oh fuck! terlalu cepat keluar! atau umpatan tidak terima seperti sial! Pemeran wanitanya terlalu kolot!

Naruto tidak datang kemari karena restoran tempatnya bekerja hari ini mengadakan buka toko hingga larut malam. Aku tidak bisa terus menerus menganggu kehidupannya, tidak lagi, aku sudah dewasa sekarang. Sudah saatnya bagiku untuk menata kehidupanku sendiri tanpa mengusik kawasan hidup orang lain.

Aku menuangkan cairan anggur ke dalam gelas, kemudian meminumnya dalam sekali tegukan. Seketika, rasa asam dan pait membakar tenggorokanku. Aku tidak seharusnya minum, aku tidak menginginkan keterlambatan dalam jam kerja lagi. Persetan! Besok adalah hari sabtu. "Mari minum, dan bangun dengan keadaan telanjang." gumamku tanpa sadar.

Suara ketukan pada pintu apartemenku membuat bibir gelas yang menempel pada bibirku tergelincir, hingga cairan di dalamnya tumpah dan membasahi baju yang kukenakan. Aku mengumpat, mengambil kotak tisu lalu mengelap jejak air di atas sana. Memakai kardigan yang tergeletak di atas sofa untuk menutupi baju atasku yang basah akibat tumpahan anggur, kemudian berlari menuju pintu utama sebelum orang di luar sana menghancurkan pintunya.

Kevin berdiri di sana dengan wajah berbinar semringah. "Kau bocah, angkat barang-barangmu dan pindah ke atas."

Alisku tertarik naik. "Apa maksudmu pak tua? Aku menyewa apartemen di sini."

"Ya, tapi mulai saat ini tempatmu adalah lantai di paling atas. Penthouse nomor tiga, jadi cepat kemasi barang-barangmu karena orang baru akan menempati kamar ini."

Aku terdiam, lantas menggeleng layaknya orang bodoh. "Tunggu sebentar, aku tidak meminta perpindahan... dan juga, penthouse? Kau ingin mengusirku karena tidak bisa membayar harga sewa untuk tiga bulan ke depan?"

Kevin menghela napas lelah. Dia melipat kedua tangannya di bawah perut, menatapku seolah aku adalah seorang gadis desa yang salah menempati tempat tinggal. "Seseorang memberikan harga sewa penthouse atas namamu selama satu tahun, kau pemilik penthouse itu selama harga bayar sewanya."

"Apa?" Aku terbelalak, meremas jari jemari tanganku di masing-masing samping tubuh seolah siap untuk menari salsa saat ini juga. "Siapa?"

Kevin menggidikkan kedua bahunya acuh. "Aku tidak tahu. Orang suruhannya yang membawakan koper uang kemari beserta beberapa penjelasan kilat, untuk apa aku peduli tentang itu? Uang adalah segalanya bagiku. Jadi bergegaslah, kucing liar."

"Aku harus tahu siapa orangnya," ucapku nyaris mengeja setiap kata dalam kalimatku. Aku ingin sesuatu yang bisa kutendang atau kupukul tanpa mengaduh kesakitan. "Kevin, kumohon. Ini bukanlah lelucon!"

"Aku tidak sedang melontarkan kalimat lucu, Sakura." Kevin menyugar rambutnya dengan jari-jari tangan. "Okay, dengar. Dia memberikan inisial nama, jadi bisakah kau bergegas saat aku sudah memberitahumu?"

Aku mengangguk cepat dan sangat tak sabaran. Aku tidak percaya ini, seseorang telah membayar harga sewa satu penthouse di gedung apartemen ini atas namaku. Dia seharusnya tidak melakukan hal gila seperti itu, aku bahkan tidak membutuhkannya, sungguh. Aku hanya ingin kamar kecil dan minimalis, tetapi mampu menampung setidaknya diriku sendiri di dalam. Tempat tidur dan beberapa fasilitas alat dapur. Tidak lebih dari itu. Tapi ya Tuhan, satu penthouse yang berada di lantai teratas adalah kamar terbesar.

"U.S."

Keningku membentuk kerutan halus. Mencoba mengingat dimana aku mengenal seseorang dengan inisial nama U.S atau kenalan kilat tak sengaja. Namun hasilnya nihil, aku tidak mengingat siapapun. Terkecuali jika, U.S yang berarti...

Aku terbatuk, disusul dengan seorang pria yang muncul di belakang Kevin. Dengan hanya mengenakan sweater putih setinggi leher dan celana jeans telur asin. Pria itu terlihat sangat casual, dan juga berkali-kali lipat terlihat lebih muda daripada usia aslinya.

...Uchiha Sasuke.

Apa yang dia lakukan di sini? Apa aku mendadak mengalami ilusi gila hanya karena segelas anggur yang tumpah di atas dada?

***
To be continued...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top