Kata ke-26: Wonderwall
"Eh?" Rin menatap surat itu, menyadari ada kertas kedua dari surat itu. "Len, ada lagi-"
"Apa?"
"Itu." Rin menarik secarik kertas lainnya yang berwarna sama dengan kertas atasnya. "Ini, kertas lainnya."
"Hoo, matamu jeli ya," balas Rinto, sembari menyandarkan silangan tangannya. "Baca lagi."
"Lagi?" Len menatap malas Rinto. Cowok dihadapannya cuma ngangguk.
"Ehem..."
Wonderwall
Kata yang tepat untukmu
Semenjak engkau datang tanpa sengaja
Fajar menuju senja
Engkau kupikirkan
Entah racun nan madu
Kata indah menggambarkan rasa
Oh Wonderwall
kupikirkan dirimu dengan rasa sebal
Mengapa hati terlalu bebal
untuk berhenti memikirkanmu
Oh Wonderwall
Engkaulah sang wonderwall
Maafkan aku wonderwall
Janji yang sangat maya,
membuatku nestapa
Maaf.
"Puisi lagi?" komentar Rin.
Len cuma menoleh ke Rin dan berkata, "menurutmu?"
"Ya mana tau surat beneran.."
Jemari Rinto diletakkannya di depan wajahnya, mencoba berpikir. Tidak, bahasanya sering di dengar, namun itu bahasa apa? Bahasa Inggris sudah tentu. Tapi,
"Artinya apa?" gumam Rinto tiba-tiba.
"Baik serendipity ataupun wonderwall, meski aku ngerti bahasa inggris, tapi dua kata itu jarang dipakai," balas Len.
Lenka melihat ketiga orang yang lebih tua darinya, menyeru, "Lenka tau!"
"Gak mungkin," balas Rinto.
"Punya hape kan? Gugelkan bisa," balas Lenka merengut. "Ehem."
"Malas, jadi apa artinya?" tanya Rinro.
Lenka tersenyum cerdik, menjelaskan, "Serendipity itu kalau misal seseorang nemui hal yang indah tanpa dia cari," Lenka menaikkan bahunya sekali, "Mungkin bagi kak (y/n), Kak Len itu serendipity yang dia alami."
Rin menaikkan alisnya, "Tunggu, Lenka tau hal ini dari mana?"
"Simpel," balas Lenka. "Mbah gugel, plus musik korea."
"Terus wonderwall itu apa?"
Lenka mengambil bangku hitam yang tersedia, lalu duduk karena capek.
"Wonderwall itu sebutan untuk orang," Lenka menurunkan tasnya dari lengannya, "Yaak, kata itu sendiri sebutan orang yang selalu kita pikirkan setiap saat. Intinya tergila-gila. Tapi, mungkin maksud kak (y/n), dia mikirin kakak setiap saat."
"Ini kata ke..." Len menatap seluruh isi surat. Tulisan tangan yang begitu hati-hati, seolah ini catatan akhir dan akan diberikan langsung. Entah ada halangan, entah memang (y/n) segan, Mereka berempat tak tahu akan hal itu. "Kata ke dua puluh enam."
Rinto kini menatap jam tangannya, mengusap kedua matanya agar lembab tadi hilang. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore hari. Ia ingat dia masih berniat jaga di kamar (y/n).
"Aku balik ya," ucap Rinto.
"Pulang?" tanya Len.
"Nggak," Rinto menjawab, "Balik ke kamar si (y/n). Aku balik jam tujuh ntar."
"Lenka pulang sama elu aja ya," balas Len.
"Eh?"
"Lenka mau?" tanya Rinto. Lenka cuma mengangguk. Langsung memegang tangan Rinto. Keduanya langsung berpegangan tangan, lalu Rinto mulai jalan.
"Dadah kakak!!" seru Lenka.
"Oh? Ada tamu?"
Cahaya sore berwarna oranye memasuki ruangan pribadi itu, menyinari samar-samar gadis yang terduduk lemah di atas tempat tidur pasien. Wajah anak laki-laki itu langsung tersenyum hangat ketika melihat kekasihnya sudah terbangun, disaksikan oleh Neru dan Gumi. Lelaki itu melepaskan genggaman Lenka yang kini melangkah cepat ke arah tempat tidur tersebut. (Y/n) bersuara kecil melihat Lenka, sang penguak perasaannya terhadap Len, membentang tangannya dan memeluk anak itu.
"Syukur kamu udah bangun," ucap Rinto menggenggam tangan kekasihnya dengan penuh kelembutan. Di balik tatapannya terdapat rasa pilu namun senyumnya terasa hangat.
"Kakak kenapa?" tanya Lenka.
"Kakak atid nih, habis jatuh."
"Lain kali hati-hati ya," balas Lenka. (Y/N) hanya mengangguk. Pandangan gadis itu terusik oleh wajah bingung Neru yang berisyarat itu anak siapa.
"Adeknya Len," balas Gumi yang juga melihatnya. Menunjuk ke arah sahabatnya itu, berucap, "ini orang emang udah kenal sama satu keluarga, tinggal nikah aja."
"Heh, masa depan ga ada yang tahu," balas (y/n).
Neru melihat ke arah Rinto, berharap lelaki itu mengucapkan sepatah kata apapun kepadanya. Hingga dia berdehem, mengalihkan perhatian Rinto. "Rinto, uh anu.. (y/n) ada yang mau kubicarain bentar sama Rinto-"
"Nanti aja-" balas Rinto.
"Pergi atuh, Neru dari tadi tanyain kamu," jawab (y/n).
Rinto cuma berdehem malas, melirik ke arah Neru yang terlihat gagap. "Lenka biar aku sama Gumi jagain," sambung (y/n) bercakap kecil dengan Lenka.
Rinto dan Neru keluar dari ruangan itu, tanpa bicara, menuju ke atap Rumah Sakit Kosoado dipandu oleh Rinto. Dengan sekaleng kola dingin dan teh kotak manis dingin, pembicaraan mereka dimulai dengan Rinto menyeruput teh itu dan berkata, "Ada apa?"
Neru menghela napas, mencoba merangkai kata di kepalanya. "Ini... video itu- video yang direkam senior kita."
"Kok tau?"
"Diceritain (y/n)."
"Apa gak sebaiknya diviralkan?"
"Maksudnya?"
"Kalau cuma dilaporkan, diakan artis, ada kemungkinan cuma ringan."
"Bukan ide bagus, terima kasih, percakapan kita selesai," ujar Rinto bangkit dari bangku panjang.
"Tunggu-"
"Apa lagi?" Rinto menoleh ke arah Neru.
Neru bangkit dari bangkunya juga. Dia bahkan belum membuka kaleng kola yang diberikan Rinto. Dia terlalu gugup.
Angin membuat daun pepohonan di atap berdesah. Keduanya saling terkena sinar mentari yang akan tenggelam beberapa menit lagi. Membuat Rinto sedikit lelah menunggu temannya untuk membuka mulut.
"Soal Len aku minta maaf, dia memang udah cinta mati sama (y/n)."
"Eh?"
Rinto menatap Neru yang terkejut akan ucapannya. Rinto berdecih, "Itu yang mau kau tanya, kan? Perjanjian kita batal. Maaf soal Len."
Neru menggeleng, "bukan... bukan itu. Tolong dengerin aku seperti dulu."
"Cepet katain," balas Rinto, "aku dengerin."
"Rinto," dengan sangat jelas terdengar di hadapan lelaki itu, Neru mengatakan, "aku suka sama kamu bukan sama Len."
"Bukan, bukan gitu.."
Suara tv menyala mengisi ruangan sepi itu. Ada Lenka yang duduk sembari menonton acara memasak dan ada Gumi dan (y/n) yang sedang berbicara empat mata berdua.
"Twitter? Ya, bener parah sih. Dia lupa dia itu populer." Gumi mengernyit, memajukan bibirnya. "Jadi hubungan kamu sama Rinto gimana?"
"Rinto? Ah... tentang dia..." (y/n) terdiam sebentar, menggenggam jemari miliknya. "Aku, dia."
"Lu ga ada ngerasa suka gitu sama dia?"
"Hah?"
Gumi menatapnya, dengan tangan yang menopang kepalanya. Bertanya, "Kau udah pacaran sama dia hampir satu semester, kan? Meskipun kau pernah bilang, itu cuma demi nepatin janji yang pernah kamu buat," Gumi menaikkan alisnya, "Apa sama sekali ga ada rasa suka sama dia?"
"Soal itu..." (y/n) menggaruk pipinya, mencoba berpikir. "Dia sempat membuat hatiku berdebar-- ya maksudku, siapa sih yang ga berdebar pegangan tangan?"
Gumi cuma menunggu jawaban pasti, dia terus menatap (y/n) dengan mata penuh penasaran.
"Apaan dah, kepo banget."
"Eh kasih tau dong!"
"Kasih tau rahasia kamu dulu dong!"
"Aku ga bisa masak," balas Gumi.
"Itu udah tahu."
"Ya apa dong?!"
"Dang ding dong, aish. Rahasia yang ga pernah kamu kasih tau ke aku," tawa (y/n). Gumi cuma tertawa sebentar. Namun dia menggigit bibir bawahnya, menghela napas.
"Kau yakin mau dengar?"
"Emang berat amat ya?"
"Ini ada kaitannya sama kamu mungkin."
"Ceritain!"
"Aku suka sama Len."
"Eh?"
Pandangan mereka berdua bertemu, muka (y/n) langsung terpaku. Gumi cuma diam menatap (y/n).
"Kena lu!" Gumi tertawa, mencubit pipi sahabatnya. "Masa iya, aku suka sama Len. Bercanda lho!"
Air mata mulai jatuh dan (y/n) merengek, menepuk bahu Gumi. "Ih apasih. Hobi banget buat aku sedih."
"Ulululu, jangan nangis dong beb. Bercanda doang, lagian aku memang udah tau kamu suka sama Len."
"Gumi jangan gitu, aku gak suka."
"Kok bisa nangis sih," kekeh Gumi melihat tingkah (y/n).
"Aish, aku ga tau mau bilang apa. Kalo memang kamu suka sama dia, ntar kamu sakit hati sama aku, ntar persahabatan kita--"
"Shush." Gumi menyengir, memegang tangan perempuan di hadapannya. "Persahabatan itu gak bisa digantikan dengan cinta. Dan kalau misalnya kita jatuh cinta sama orang yang sama-"
Gumi menatap dalam-dalam ke mata lembab milik (y/n). Jemari Gumi menghapus tetesan air mata yang kian hinggap di pipi sahabatnya, tersenyum lebar. "Aku tahu kau lebih pantas memiliki orang itu ketimbang aku. Karena pengorbananmu untuknya lebih besar. Tapi, persahabatan kita gak bakal putus! Ngerti kan! Jadi tenang oke?"
(Y/N) cuma mengangguk, kemudian tersenyum kecil. Gumi terus mengusap tangan temannya dengan penuh kelembutan.
"Yang penting sekarang kondisi kamu. Aku maunya kamu sembuh dulu, baru kita bicara tentang cinta-cintaan."
"Yang mancing cerita juga kamu," decih (y/n).
"Udahan, yang penting kamu itu sehat dulu. Urusan cowok itu ntaran juga bisa. Kalo ada yang bisa aku bantu, bilang secepatnya," ucap Gumi.
Gumi, gadis berambut hijau pastel itu hampir keceplosan. Baginya, perempuan yang sedang duduk di atas tempat tidur pasien ini, perempuan yang baru saja mengalami insiden namun masih bisa tertawa, perempuan yang masih menerima Gumi meski dia tak ada saat insiden berlangsung, dia adalah perempuan spesial yang selalu bersama Gumi sejak SMP. Masa manis dan pahit mereka alami berdua. Meski, hatinya harus berbohong seribu kalipun. Perasaan Gumi terhadap Len, hal itu hal terlarang bagi Gumi untuk dia katakan.
Hal itu terlalu menyakitkan bila dipikirkan terus menerus.
▪ Tbc ▪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top