Kata ke-25: Serendipity
Gelap. Hening. Hingga ku bertanya kepada diriku sendiri,
Kenapa aku tak bisa membuka mata?
Dimana?
Kenapa ada suara tangis?
Sampai mana tadi?
Kenapa ada suara tv yang menyala?
Demikian dengan suara orang bercakap-cakap. Aku bukan dikeramaian kan?
Badanku terasa lemah dan lemas.
"(Y/N)." Suara itu seperti kukenal. Suara hangat milik ibundaku.
"Nak, sayang.. nanti kalo butuh apa-apa bilang ya."
Benar, suara ibu yang terisak menangis. Sial, aku tak bisa menggerakkan sekujur tubuhku. Bahkan bibir tak bisa karena seperti di letak alat oksigen.
Oh.
Aku tahu sekarang.
Ceritaku sampai Miku mendorongku dari atap sekolah atau bisa kita sebut: Lantai 4.
Terakhir, aku terjatuh dengan memikirkan betapa bahanya gadis itu. Disaat itu juga aku melihat Meiko mencoba menolongku. Wajahnya pucat melihatku bergelantungan. "(Y/N) BERTAHANLAH! Aku akan menolongmu!" Meiko berteriak di kala itu menahan Miku.
Lucu, aku hanya ingat hari ini aku ada kegiatan ke rs buat jenguk Len bareng Rinto, belajar bareng Meiko dan Rin, dan makan malam bersama Ibu dan Ayah.
Aku bahkan tak berpikir aku akan mati.
Jika memang benar aku mati.
Mungkin jutaan orang bahagia karena aku, cewek yang disebut-sebut pacar Len pada akhirnya mati. Bagaimana dengan keluargaku? Mereka pasti sangat bersedih.
Bagaimana aku mau mati? Jika yang kulihat tiap pagi adalah senyum ibuku yang suka berceramah itu dan jika yang kulihat tiap pagi kekhawatiran Ayahku akan apa yang bakalan terjadi di sekolah kelak.
Dan saat Miku menendang jemariku yang tahan lagi saat itu, aku terjatuh. Syukur, Kaito disana.
Jika saja tidak ada Kaito yang menahan, Aku bisa saja mati dan membuat keluargaku bersedih.
"Dia dibius ya, nak?" suara ibu lagi. Dia bertanya sama siapapun aku tak tahu karena tak bisa membuka mata.
"Iya, tan. Biusnya ringan kok, paling ntar lagi bangun." Itu suara Rinto.
Oh ya, terakhir memang Rinto ya yang ikut.
Dia cowok yang baik.
Teman yang baik.
Aku sebenarnya tak pantas pacaran dengannya.
Meskipun dia sangat menyayangiku, tetapi dia tetap sabar dengan fakta bahwa dia tahu aku menyukai Len, aku berpacaran dengannya hanya memenuhi janji anak kecil. Dan memang, dia anak yang terlalu baik.
"Makasih ya, nak."
Suara ayah lalu terdengar. Suaranya berat dan tak seimbang. Seperti orang yang habis menangis. Pak tuaku itu jarang menangis. Dia sosok figur yang kuat dan tak berapa dekat denganku.
"Paman, temanku ada yang dapat rekamannya. Mungkin paman bisa pakai video ini."
Video apa? Mereka merekamku dan Miku?
Kepalaku penuh pertanyaan. Tubuh ini terasa sangat lemah. Aku tak berdaya.
"Nak?"
Aku mencoba menggerakkan jemari tanganku dengan sekuat tenaga yang kubisa. Sedikit terasa tanganku dipasang jarum. Tidak sakit, hanya saja agak gatal.
"Entar lagi... Dia paling bangun, tan." Suara Rinto tergugup, aku tak tahu apa yang sedang ia lakukan, tetapi yang pasti setelahnya, "Saya permisi, tante." suaranya menjauh. Suara pintu ditutup juga terdengar setelahnya.
Sebenarnya, apa yang akan terjadi kedepan?
"Iya--" ia membuka pintu perlahan, menjawab ketukan pintu-- "tunggu sebentar- Rinto?"
Rinto cuma berdiri, rautnya sangat sedih dan kesal disaat yang bersamaan. "Dimana, Len?" suaranya sangat kecil namun terdengar.
Rumah Sakit Kosoado. Tempat dimana Len dirawat, dan juga tempat dimana kekasih Rinto dirawat.
"Oh tiang listrik datang?" suara sang idola jepang kemudian terdengar. Perhatian Rinto berubah dari Rin ke Len yang sedang memakan sepotong semangka.
"Heh bodoh," Rinto berjalan lurus ke arah tempat tidur Len, mengabaikan Rin yang berdiri di depan pintu, "Kau tau apa yang udah kau perbuat?" suaranya terguncang.
"Apaan?--" sedetik kemudian kerah baju Len di pegang oleh Rinto-- "Mau kau apa?"
"Rinto!" teriak Rin setelah menutup pintu dan mencoba melepaskan tangan Rinto. Namun, anak itu terlalu kuat bagi Rin. Ditambah lagi lelaki itu sering berolah raga.
"Diam!"
Teriakan Rinto bagaikan auman singa. Dia benar-benar seperti orang naik darah.
"Kalian berdua, kalian udah tau kalo cewek ijo itu suka sama Len, ya kan?"
Rinto melepaskan pegangannya lalu menatap kedua anak itu. Mencoba mengendalikan emosinya. Rin dan Len hanya mampu terdiam.
"Kalian juga udah tau kalau cewek aneh itu terobsesi sama Len, kan?"
Pertanyaan Rinto hanya dijawab dengan diam. Rin yang menunduk dan memegang tangannya penuh resah, dan Len yang menelan ludah dan tetap melihat Rinto.
"Jawab aku!" Rinto sekali berteriak.
Sekali ini ada yang berbeda.
Dia mengeluarkan air mata.
Rinto sekali lagi bertanya, "Kalian sudah tau kan?"
Mereka berdua cuma berdehem dan mengangguk.
"Kenapa nggak kalian halangi?"
"Rinto," Len dengan helaan napasnya lalu berbicara, "Kami bahkan gak tau apa yang terjadi."
Lelaki yang berhadapan dengan Len mulai terguncang. Dia mengusap air mata di wajahnya.
"Oh oh, Rinto. Ada apa? Apa yang terjadi?" Rin memegang lengan Rinto dan mengusapnya dengan penuh kelembutan. "Maaf, aku sama Len gak tahu apa-apa."
Rinto menghela napas, namun air matanya masih mengalir.
"(Y/N) jatuh dari gedung. Emosinya gak stabil jadi dia jatuh koma."
"To, itu gak benar kan?"
"Lu kira aku bohong?" Rinto menatap Len yang mempertanyakannya.
Pandangan Rin membesar, seolah mendapat petunjuk. Namun takut akan hal itu. "Dan... ini semua gara-gara Miku?"
Rinto cuma menunduk, seolah berkata hal itu benar. Ketiganya tak berkata apa-apa. Hingga Len bertanya,
"Dimana dia dirawat?"
"Disini, di kamar tiga enam."
Tok tok tok, pintu berbunyi.
Rin menghapus air matanya dan berjalan ke arah pintu. Dengan penuh rasa, ia membuka pintu.
"Wah, Lenka?"
"Hai kakak!!"
Lenka si adik perempuan Len. Periang nan berani. Dia membawa buket bunga dan beberapa bawaan lainnya serta tas sandang di belakangnya.
"Lenka udah pulang sekolah?" tanya Rin.
"Udah nih. Lenka kan belum ada jenguk abang Lenka."
Rin memegang buket bunga dari sepupunya itu, lalu Lenka berlari secepatnya ke arah Len.
"Lenka?" suara Len sedikit kacau dan parau akibat menahan perasaan di dalam hatinya.
"Halo babang Len, Bang Nto!" Lenka menatap ke arah Rinto yang cuma terdiam. "Kak Rinto habis nangis?"
Len meletakkan jari telunjuknya di depan bibirnya, seolah berkata rahasia. "Urusan laki-laki."
"Ih kakak gitu," balas Lenka.
"Bang nto habis... habis makan pedes. Jadi nangis," ucap Rinto penuh alasan.
"Bang nto kan tahan makan pedes, kok bisa nangis?"
"Haha! Ah-uhm, Bang nto makan makanan yang lebih pedes lagi, ka," alibi Rinto.
"Kalo misalnya urusan laki-laki..." Lenka menunjuk ke arah Rin, "Kak Rin cewek tuh!" Lenka cemberut.
"Kak Rin udah gede, Lenka masih kecil," balas Len mengusap kepala adiknya.
"Oh iya, kak." Lenka mengeluarkan sesuatu dari tasnya. Di tangannya sepucuk surat yang berwarna merah muda, lalu diberikan kepada Len. "Ini buat kakak."
"Surat dari tugas sekolah?"
Siswi SMP tingkat satu itu menggelengkan kepalanya, berkata, "ini surat dari kak (y/n)."
"Hah? Lenka kapan ketemuan sama kak (y/n)?" tanya Rinto.
Lenka menatap Rinto yang sangat jauh perbedaan tinggi mereka, dia gelisah dan mengerucutkan bibirnya. "Anu, Lenka kan dulu pernah nginap di rumah kak (y/n)... tapi terus..."
"Terus apa, ka?" tanya Rin.
"Kan Lenka kesana sekaligus ngejalanin permintaan kak Len, suruh tanya kak (y/n)... bagi kak (y/n), kak Len itu gimana?.."
Rinto mengerutkan alisnya. "Ih basi. Apaan tu?"
"Itu perjanjian tantangan yang aku beri ke dia sejak awal semester, bego," balas Len.
Lenka berdehem, "Lenka lanjut ya."
Ketiganya hanya terdiam. Lenka kembali menunduk, dan melanjutkan ucapannya, "Lenka udah tulis emang kemarin apa yang kak (y/n) sebutin di papan tulis kakak."
"Khusus ya, alay banget sih kau," komentar Rinto.
"Diem dulu bang nto, Lenka belum selesai bicara," balas Lenka. Lenka menunjuk ke arah surat tadi, menjelaskan, "pas Lenka disana, ada surat. Lenka udah baca isinya, itu buat kakak. Terus diem-diem, Lenka masukin ke tas Lenka. Karena dia keliatannya gak bakal mau ngasih."
Lenka menunjuk ke arah depan surat, tertulis nama Len secara tersirat.
'Untuk si ketua osis yang sudah kukenal sejak dahulu'
"Bacain, mana tau puisi lagi," ujar Rinto.
Len cuma melirik ke arah Rinto, menatapnya dengan malas, seolah berkata ini masalah privasi.
"Apa? Dia pacarku, setidaknya secara ikatan, dia tetap pacarku," balas Rinto kembali melihat tajam ke arah Len.
"Bang nto pacaran sama kak (y/n)?"
Rinto cuma menjawab Lenka dengan anggukan. "Wah kasian, cinta segitiga. Kayak drama korea yang Lenka tonton," komentar Lenka.
"Lu nularin virus korea ke Lenka?" tanya Rinto.
Len cuma mengangkat bahunya serta alisnya, menjawab, "udah di dalam darah."
Dia lalu membuka surat itu, terdapat kertas bertulis tangan. Tulisannya biasa aja. Ya namanya juga tulisan tangan (y/n).
Len berdehem lalu membaca.
Serendipity
Mungkin itu yang cocok untukmu dan aku
Tanpa diketahui hati kita menyatu
Apa yang kutahu?
Bahkan kita baru bertemu,
setelah sekian lama hanya diam membisu
Aku tak mencarimu
Namun aku mendapatimu
Tanpa aku cari
Bagaikan serendipity
Ini bukanlah kisah cinta picisan,
Mungkin iya karena aku tak pandai menulis sajak puisi
Ya itulah yang kualami
Serendipity.
Keempatnya hanya terdiam pada beberapa saat. Rin berkata, "sejak kapan dia pandai berpuisi?"
"Dia sudah gemar menulis sejak tk. Karena imajinasinya yang terlalu tinggi," balas Rinto.
"Kok tahu?" tanya Len.
"Aku sering main sama dia sejak kecil."
Len menghela napas, menggenggam surat tadi. Ia membelai kepala adiknya. "Makasih, ka."
Lalu ia melihat ke arah Rinto, "To, aku belum bisa jalan-jalan. Kakiku baru diletak obat tadi pagi. Paling ntar malam baru bisa. Jadi tolong wakilkan aku."
"Cih," balas Rinto.
"Kita udah baekan kan?"
"Keknya gitu-"
Pintu ruang 36 dibuka, datang dua orang perempuan. Keduanya membawa buah tangan. Kue dan sekeranjang buah, itu sudah cukup.
Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tiga siang. Seharusnya siswa SMA Noboru jam segini melanjutkan aktivitas ekskulnya hingga jam lima. Tapi kedua siswa itu menyapa ibu pasien.
"Selamat siang," ucap keduanya.
"Gumi ya? Sama..."
"Ini Neru, tan. Teman sekelas juga," balas Gumi. Neru cuma mengangguk canggung.
"Ahah, silahkan duduk, (y/n) udah bangun. Tante keluar dulu ya, nemanin om di kantin."
"Gapapa nih, tan?" tanya Gumi.
"Aish, gapapa. Kalau ada apa-apa langsung panggil ya. Ntar lagi katanya nak Rinto mau jaga dia juga," balas Ibu (y/n). Ibunya keluar dari ruangan itu setelahnya.
"Rinto disini?" tanya Neru.
"Pastilah, Nel. Diakan pacarnya (y/n)."
"Apatuh gosipin gue," suara dari tempat tidur.
"Ulululu, cayang Gumi atid," canda Gumi. Keduanya mendekat ke arah tempat tidur gadis itu. Gumi memeluk (y/n) sambil tertawa sedangkan Neru cuma duduk penuh canggung di samping tempat tidurnya.
"Atid banget haha. Neru apa kabar?" sapa (y/n) yang membetulkan posisi duduknya setelah Gumi berhenti memeluknya dan duduk.
"(Y/n) apaan deh. Kan elu yang sakit, kok nanya aku."
"Wah syukur, aku cuma luka-luka aja sih."
"Mana-mana?" tanya Gumi.
"Di lengan, di lutut, di punggung. Di... ada beberapa lecet gara gara kena pagar atap sih, sama kena dinding."
"Maaf ya," ucap Gumi. Dia memegang tangan (y/n), "Aku gak ada buat kamu pas itu."
"Kan elu udah bilang di telepon, ntar lagi ada festival budaya. Jadi kamu gak bisa jalan-jalan, mesti rapat bareng Klub Sastra Klasik."
"Aku mau minta maaf." Neru menunduk, memainkan jemarinya. "Aku gak bisa nolong kamu... seharusnya aku ikut."
"Neru, Gumi, lihat aku," ucap (y/n), "Gak ada yang tahu Miku bakalan datang, gak ada yang tahu dia bakal ngedorong aku dari lantai setinggi itu, dan..." (y/n) tersenyum merunduk, "gak ada yang tahu... Kaito senpai ada disana dan bisa nangkep aku."
Gumi dan Neru tak bisa berkata-kata. Gadis ini terlalu tabah menurut Neru, dan hal itu mungkin menjadi kekurangan dalam dirinya. (Y/N) bukanlah gadis yang kuat untuk berdiri sendiri, menurut Neru. Dia pantas memiliki seseorang yang menjadi pendamping hidupnya seperti Gumi, Rinto dan Len.
"Dan... itulah takdir," Neru menatap ke arah (y/n), "Ya kan?"
▪ Tbc ▪
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top