SATU
Umpatan-umpatan kasar yang ada di cerita ini, bukan untuk ditiru ya :)
Semoga sedikit amanat yang terselip, nyampe ke kalian.
Selamat membaca :3
Gitta, Ilham, dan Hujan
“Hari ini sial banget, anjir.”
Matahari sudah malu-malu menampakan sinarnya saat Gitta dengan muka kusut berjalan pulang ke rumah sambil menggerutu sepanjang perjalanan. Kakinya bergerak menendang apa saja yang menghalangi jalannya.
“Telat.” Satu kerikil terlempar ke udara hasil tendangan Gitta.
“Ga bawa tugas kimia.”
“Dimarahin Bu Shinta.” Bibir Gitta mengerucut mengingat omelan guru BK-nya.
“Ulangan harian seni budaya dapet nilai 3.” Perempuan yang kucir rambutnya sudah berantakan itu mengangkat kertas yang sedari tadi ia pegang ke depan wajahnya.
“Gue emang nol banget di seni, tapi kenapa harus nilai 3?” Gitta meremas kertas ulangannya dengan kesal.
Tes
Tes
Tes
Gitta mendongak, merasakan air menetes ke wajahnya. Matahri tertutup awan berwarna gelap. Dengan sigap, Gitta mencari payung yang biasa ia bawa.
“Ini payung kemana, lagi?” Gitta berjongkok, menaruh tasnya di jalan, dan membongkar isi tas itu.
Hujan menjadi deras, seragam yang Gitta pakai mulai basah. Suara kendaraan yang tadi terdengar mulai terkalahkan oleh suara rintik hujan. Gitta tak menemukan payung yang biasa ia bawa. “Anjir,” umpatnya kesal sambil berlari mencari tempat berteduh.
Gitta berhenti di sebuah pos satpam perumahan Agraria. Napasnya terengah karena habis berlari. Ia menarik seragam sekolahnya ke depan, mencoba membuat seragamnya kering—walau ia tau itu tak berhasil. “Giliran ujan, gue ga bawa payung. Sial,” Gitta kembali menggerutu.
Sebenarnya, rumah Gitta ada di perumahan ini dan hanya memerlukan waktu lima belas menit jika berjalan. Gitta bisa saja terus berlari sampai rumah, tapi Gitta tak mau mengambi risiko. Hari ini perempuan berkulit sawo matang itu membawa laptop di tasnya. Gitta tak mungkin membiarkan laptopnya kehujanan lalu rusak. Sudah cukup kesialannya hari ini.
“Kampret emang. Bawa laptop buat presentasi, tapi gurunya ga masuk.”
Gitta mendecak. Ia memilih duduk setelah memperkirakan kalau hujan akan berlangsung lama dan pos satpam ini sedang kosong.
“Duduk, sendiri, ditemenin ujan, baju acak-acakan, ketiban sial. Duh, ngenes banget gue.” Gitta mengelap mukanya kasar.
“Kata siapa sendiri?” Suara seorang laki-laki membuat Gitta menengok dengan cepat.
“Astagfirullah!” Gitta mengelus dadanya dan mengatur napas yang tak beraturan.
Laki-laki itu tersenyum ramah pada Gitta.
“Kampret lo, Ham. Gue kira setan.” Gitta bernapas lega saat melihat Ilham duduk di sebelahnya.
“Gue udah daritadi kali, Git.”
Dahi Gitta menyerit. “Apanya yang daritadi?”
“Makanya, jangan ngedumel mulu.” Ilham mendrong kepala Gitta. “Dari lo jalan balik sekolah juga gue di belakang lo.”
“Masa?” Gitta menaikkan alisnya tak percaya.
“Ck. Nggak peka sama sekitar banget lo.”
Perempuan bertas coklat tua itu mengedikkan bahunya. “Yeh, kan gue gatau. Lagian, kenapa ga jalan bareng aja? Manggil gue kek.”
Ilham nyengir memperlihatkan gigi putihnya yang rapih. “Takut digigit. Gitta kan galak.”
Gitta mendelik. “Anjing ngomong anjing.”
“Setau gue anjing menggonggong bukan ngomong anjing juga.” Ilham memiringkan kepala ke arah Gitta sambil tersenyum polos.
“ga pernah denger anjing bersuara?” lanjutnya.
“Lha, yang lagi ngomong sama gue bukannya anjing?” tanya Gitta pura-pura tak mengrti.
Ilham langsung menarik kepalanya kembali tegak. “Ganteng gini dibilang anjing,” cibir Ilham.
“Butuh gue pinjemin kaca?” tanya Gitta sinis
Ilham menengok pada Gitta dengan cepat. “Pinjem hati lo aja boleh?” Mata Ilham berkedip-kedip.
“Bodoamat Ham, bodoamat.” Gitta mengalihkan pandangannya malas.
“Setau gue, Amat di sekolah kita dapet peringkat satu. Berarti ga bodo, kan?”
Gitta menghela napas, memandang Ilham jengah.
“Gue ganteng ya, Git? Muka lo ampe begitu.”
“Iya ganteng.” Gitta mengangguk. “Saking gantengnya jadi sama kayak pantat monyet.”
“Aw. Terhura gue.” Ilham mengusap matanya pura-pura menangis.
Gitta mendorong muka Ilham ke belakang. “Gila lo.”
Ilham malah membulatkan matanya. “Lo tergila-gila sama gue?”
Gitta mengeluh dalam hati. Ilham itu sahabat Gitta. Mereka bertetangga. Gitta sayang Ilham sebagai sahabat. Tapi, saat Ilham mulai menunjukan sifat menyebalkannya, rasanya Gitta mau cakar muka Ilham.
“Serah lo, Ham.” Gitta kembali mengalihkan pandangan, kembali menekuk mukanya mengingat kesialannya hari ini ditambah kehadiran Ilham disebelahnya.
Hening sejenak sebelum Ilham membuka suara. “Git,” panggil Ilham yang tak direspon oleh Gitta.
Ilham yang melihat itu,tetap melanjutkan ucapannya. “Lo hari ini kenapa?”
Gitta menjawab dengan pelan, “Sial.”
“Pantes,” jawab Ilham.
Gitta menoleh dan memandang Ilham dengan tatapan ‘kok-lo-tau.’
Ilham menunjuk dahi Gitta. “Soalnya di jidat lo ada tulisan ‘Gitta sayang Ilham’.” Ia tertawa melihat ekspresi Gitta yang seakan ingin memakannya hidup-hidup.
Gitta memajukan bibirnya beberapa senti, menatap Ilham dengan tajam. “Kenapa ketawa?!” tanyanya galak.
Ilham membiarkan pertanyaan Gitta “Pernah kupas bawang ga, Git?” tanya Ilham setelah tawanya reda.
Gitta yang sebal karena ditertawakan tak menjawab pertanyaan Ilham yang menurutnya aneh itu.
“Ngupas bawang kan bikin mata perih ya?” Ilham melanjutkan pertanyaannya.
Gitta memandang Ilham sebal. “Apaan sih, Ham?”
Laki-laki dengan mata hitam kecoklatan itu tak mengacuhkan pertanyaan Gitta. Ia malah balik bertanya, “Tapi kenapa tetep mau pake bawang buat masak?”
Dengan malas dan nada ketus Gitta menjawab, “Supaya masakannya enak.”
Ilham mengangguk-angguk mengerti. “Berarti lo pernah masak. Bagus.”
Gitta melongo. “Gajelas banget, kampret.”
“Lo emang mau hubungan kita diperjelas?”
“Najis. Amit-amit.”Gitta mengelus-elus perutnya sambil terus mengulang kata ‘amit-amit’.
Ilham mencebik dan berbicara pelan. “Gue ga semenjijikan itu kali.” Tapi ekspresinya kembali berubah, kemudian ia mengacak rambut Gitta sekilas. “Hidup juga gitu, Git.”
Gerakan tangan Gitta mengusap perut berhenti. Ia memandang Ilham dengan tatapan kesal sekaligus heran.
“Lebih milih ngupas bawang terus masakan lo enak atau gamau pake bawang buat masak?”Tanya Ilham.
Gitta baru saja akan membuka mulut, tapi Ilham mendahului. “Kalau gue, lebih milih ngerasain mata perih pas ngupas bawang supaya masakan gue enak nantinya daripada ga pake atau ga ngupas bawang, yang bikin makanan gue malah ga pas, ada yang kurang, dan gaenak.”
Alis Gitta menyatu, menandakan ia bingung dengan perkataan Ilham dan sorot mata Ilham yang menatapnya dalam. Tapi, ia tetap menganggukkan kepalanya setuju.
“Alisnya biasa aja mba.” Tangan Ilam terulur untuk menyentil bagian tengah alis Gitta. “Artinya, dalam hidup, gue harus ikhlas ngelakuin sesuatu yang nantinya bakal bikin gue ngerasain susah dulu sebelum gue ngerasain ‘enak’nya,” lanjut Ilham setelah melihat wajah memberenggut Gitta karena disentil. “Hampir sama kayak ‘apa yang gue tanam, itu yang gue tuai.’”
“Itu sih gue. Kalau lo mungkin lebih milih ga ngupas bawang dan ngebiarin makanan lo jadi ga enak diliat dari mulut lo yang daritadi ngedumel mulu. Ga ikhlas.” Ilham mengangguk sok tahu ke arah Gitta.
Gitta yang sedari tadi terpaku mendengarkan ucapan Ilham yang tumben sekali ‘bener’ langsung mencubit lengan Ilham karena ucapan terakhir laki-laki itu. “Terus, maksud lo, gue ga bakal ngerasaiin hidup ‘enak’ gitu?!” tanyanya galak.
Ilham mengangkat bahunya cuek. “Makannya ikhlas. Lagian, sialnya lo hari ini juga akibat perbuatan lo sendiri.”
Gitta menyipitkan matanya menatap Ilham. “Hidup itu Cuma sekali, Git. Manfaatin dengan baik,” Ilham menepuk bahu Gitta.
Dalam hati, Gitta setuju dengan presepsi Ilham. Gitta juga mengaku kalau ia salah. Jika saja kemarin ia tidak movie marathon sampai jam 2 pagi, mungkin kesialan tak akan menimpanya hari ini. Tapi, Gitta tak mau mengungkapkan isi hatinya pada Ilham. “Nanti dia malah kesenengan,” pikir Gitta.
Ilham mencubit pipi Gitta gemas. “Sayangnya Ilham mau balik ga?” mata Ilham mengerling jahil pada Gitta.
Gitta mengumpat dalam hati melihat sifat Ilham telah kembali. “Sayang-sayang pala lo peyang.” Gitta langsung beranjak dari duduknya. Matanya memandang awan yang masih meluncurkan titik-titik air.
“Gerimis doang. Gue bawa payung kok.” Ilham membuka payung yang dibawanya, merangkul Gitta kemudian mengajak perempuan itu berjalan.
Gitta menggeliatkan badannya tak suka saat tangan Ilham merangkul bahunya. “Gue bukan nenek-nenek yang perlu dituntun,” ucap Gitta galak.
“Kan lo calon nenek dari cucu kita. Jadi gapapa dong gue rangkul gini.” Ilham malah mengeratkan rangkulannya.
“Bacot.”
Perjalanan lima belas menit itu diisi oleh suara tawa Ilham yang berhasil menjahili Gitta dan teriakan Gitta yang membahana. Untung saja, sore ini perumahan Agraria sedang sepi. Kalau tidak, bisa dipastikan semua orang keluar rumah untuk memarahi dua orang itu.
“Lepasin ga tangannya?!” ucap Gitta saat ia sudah sampai di depan rumahnya.
Ilham tersenyum penuh arti kemudian dengan cepat mencium tangannya sendiri yang berada tepat di atas pipi Gitta.
“Gitta unyu ih kalau kaget gitu.” Ilham langsung berlari ke rumahnya—yang ada di sebrang rumah Gitta dan meninggalkan Gitta yang bengong dengan wajah memerah.
Seakan sadar, Gitta langsung berteriak. “ILHAM!” Gitta berlari mengejar Ilham yang berani membuat pipinya merona.
Baru sampai di depan gerbang rumahnya, Gitta berhenti berlari. Ia seperti melihat ada angin tornado lewat. Kaget. Ia menemukan Ilham terkapar tak berdaya di tengah jalan yang basah antara rumahnya dan rumah Ilham.
Gitta kembali berlari. Ia menepuk-nepuk pipi Ilham. “Lo kenapa, anjir?” Gitta menengok ke kiri saat telinganya mendengar suara kendaraan menjauh. “Lo ditabrak?” tanya Gitta panik. Ia tak peduli gerimis membuat bajunya tambah basah.
Gitta yang mengikuti ekskul PMR di sekolah, langsung mengecek denyut nadi dan napas Ilham dengan napasnya sendiri yang terasa sesak.
Sekitar dua menit kemudian, Gitta malah menghempaskan tangan Ilham lalu berjalan kembali ke rumahnya. “Tai.”
Gitta berhenti berjalan saat merasakan ada yang menahan tangannya. Ia menengok dan mendapati Ilham tersenyum tanpa dosa. Tanpa aba-aba Gitta menoyor kepala Ilham sampai Ilham sedikit terhuyung ke belakang. “Kalau mau pura-pura mati, acting kayak patung. Jangan senyum-senyum kayak orang gila!” Gitta kembali berjalan meninggalkan Ilham yang menggaruk tenguknya sambil cengengesan.
Tamat
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top