Part 26 Bertanggungjawab!
"Hanna Choo, kami mencarimu sejak beberapa hari lalu!"ujar kedua gadis yang tak kukenal, tersenyum lebar dengan gigi putih mereka dan heels tinggi berkilau.
Aku tak tahu mengapa ada yang sempat merekam kejadian tempo lalu dengan Cao Yang dan menyebarkannya di internet. Dunia ini makin ribet saja, dan aku pusing setiap berpapasan dengan orang-orang yang tak kukenali dalam kampus mulai menanyaiku. Beberapa yang lain datang dan membicarakan betapa mereka menyukai tulisanku dan sebagainya. Aku tak tahu apa yang terjadi dengan Cao Yang sendiri setelahnya, tapi yang jelas tak ada lagi artikel tentang RED yang muncul.
Dan sekarang, dua wanita asing dengan pinggang luar biasa ramping, kaki jenjang, serta paaian modis berdiri di depanku, mengatakan mereka telah mencariku sejak beberapa hari lalu, mengundangku untuk meminum secangkir kopi bersama mereka.
"Jadi, selama ini kami part-time sebagai model di Gz Week," perempuan berambut sebahu bernama Alicia Zhong berkata.
"Tapi kemudian Mark melihat videomu di TikTok, dan kami bilang kalau kita satu universitas denganmu. Ia bilang selera fashionmu menarik, lagipula kau berkarakter. Mark butuh sesuatu yang berkharisma dalam pemotretan barunya," perempuan satu lagi, dengan rambut panjang sepinggang dan lesung pipit memikat, bernama Han Bai berkata.
Aku tertegun, apa aku salah mengartikan kalimat mereka? Atau mereka mungkin hanya bercanda Seseorang mencariku untuk menjadi model sebuah majalah?
"Yang benar?" ujarku tak yakin.
"Ya," Han Bai mengangguk, "Meskipun sejujurnya kau terlalu agak pendek dan jumlah lemak dalam tubuhmu agak terlalu banyak, tapi kau masih bisa diperbaiki."
"Kau bisa terlihat cantik, Hanna," Alica membujukku, "Kau bisa melakukan operasi plastik dari uang yang kau dapat dalam beberapa kali kerja."
Aku tertegun, memerhatikan wajah mereka. Hidung yang terlalu lurus dan mancung mengarah ke atas milik Alicia, serta bentuk rahang yang terlalu tirus membentuk huruf V milik Han Bai.
"Ini kesempatan yang tak ada duanya, karirmu akan dimulai begitu kau berhasil masuk sana," imbuh Alicia.
Godaan yang datang tiba-tiba dan menggiurkan. Imajinasi tentang hidup penuh glamour memenuhi pikiran. Aku bisa saja menjadi kaya dan memiliki pakaian bermerk seperti mereka. Hidup mungkin akan terasa lebih mudah. Tapi aku akan mau tak mau berhenti menulis, berhenti menjalani hidup seperti sekarang ini, dan mungkin mereka akan membuatku berubah, seperti yang mereka katakan.
Ini bisa jadi kesempatan sekali dalam seumur hidup, dan ini pekerjaan yang diinginkan semua gadis.
"Ini tawaran yang bagus sekali," aku berkomentar.
Mereka berdua mendengarkanku, menunggu jawaban. Tapi tidak, ini bukan duniaku. Godaannya menarik, tapi tujuanku tak pernah ingin menjadi model. Bayangan tentang memakai pakaian bagus dan kelebihan lainnya menarik, tapi aku tak pernah tercipta untuk itu. Lebih tepatnya, bukan itu yang benar-benar kuinginkan. Jika ingin memilih pekerjaan, aku butuh sesuatu yang menggunakan otak, dan aku takkan berhenti menulis.
"Tapi aku tak cocok untuk pekerjaan ini, jadi mohon maaf. Aku sangat berterima kasih pada tawaran kalian."
"Tapi kau akan melewatkan kesempatan ini selamanya!" sergah Han Bai.
"Aku tahu...Kalau begitu biarkanlah."
"Kalau begitu jangan menyesal nantinya," ucap Alicia sambil memasukkan lipstik dan benda-benda lainnya ke dalam tasnya, dan mereka beranjak meninggalkanku.
Tapi dipikir-pikir, aku takkan menyesali pilihanku.
"Sebetulnya," Melanie mengangguk-angguk sembari memasukkan beberapa lembar potongan kentang goreng tipis sekaligus ke dalam mulutnya, "Aku setuju denganmu."
Aku menceritakan padanya keesokan harinya, dan tentu Melanie akan setuju denganku. Ia tak pernah suka pada para model, dan ia jelas takkan bisa membayangkan jika aku berubah menjadi seperti mereka.
"Kau jangan lupa kalau kau tercipta untuk memanfaatkan otakmu, Hanna."
"Mm," aku mengangguk. Maksudnya adalah setidaknya aku butuh memilih pekerjaan yang menggunakan otak. Sedangkan ia sendiri, belakangan lebih banyak menghabiskan waktu bersama ayahnya. Ayahnya tengah mempersiapkan Melanie untuk terjun ke dalam bisnis yang telah ia kembangkan selama bertahun-tahun, dan menurut Ayahnya, Melanie lolos untuk itu. Tentu saja, Melanie cerdas dan cepat tanggap, ia selalu tipe yang takkan berhenti untuk diam, dan ia sendiri bersemangat untuk itu
Kemudian handphoneku bergetar, dan rupanya telepon dari Mama. "Hanna," Mama memanggil dari seberang, "Mama punya berita bagus."
Setelah kejadian terakhir kali Mama datang ke Guangzhou dan pulang, hubungan kami jauh membaik. Mama tak lagi sedingin biasanya, seperti ia mencoba berubah dan lebih terbuka, sehingga dinding tak kasat mata diantara kami perlahan mencair.
"Apa ? Mama akan datang ke Guangzhou lagi?" tebakku girang.
"Kita berencana merayakan ulang tahun Nenekmu yang ke-80," koreksi Mama.
"Bagus," jawabku. Ini kabar bagus, tapi tak cukup mengejutkan. Masalahnya, mereka selalu merayakan ulang tahun nenek setiap tahun.
"Kali ini, Pei Lin dan suami serta anaknya akan hadir," tambah Mama.
"Yang benar?"
"Ya."
Aku hampir tak percaya, tapi Mama tidak sedang berbohong. Lagipula, Mama tidak pernah berbohong. Aku terkejut, dan Mama terkekeh. Ia terdengar senang, yang pertanda bahwa mereka mulai berpikir ulang tentang cara bersikap pada Pei Lin. Aku turut bahagia untuknya karena itu.
"Semua akan hadir lengkap di acara tahun ini," imbuh Mama.
Ini benar-benar berita terbaik sepanjang tahun. Aku bisa merasakan bulir-bulir air mata telah lahir di ekor mata.
Hingga aku menangkap suatu bayangan di depanku.
Bayangan seseorang bertubuh tegap, tinggi dan kekar. Seseorang yang aku tahu siapa bahkan sebelum sempat berpikir. Orang itu menatap lurus ke arahku, dan jantung serta sistem dalam otakku kacau begitu melihatnya.
"...karenanya kami akan menyiapkan lebih banyak menu dari tahun-tahun sebelumnya. Juga kita akan menyiapkan makanan manis untuk anak-anak."
"Ya," gumamku tak jelas, tapi aku tak bisa benar-benar berkonsentrasi. "Em Mama, bisa aku telepon kembali nanti? Mendadak aku ada urusan."
"Hanna?" Mama terdiam sesaat sebelum berkata, "Kau tak apa-apa kan?"
"Ya,ya. Aku tak apa-apa. Hanya saja, bisa kutelepon nanti?"
"Ya."
Dan aku memutuskan sambungan, namun kemudian mendapati Melanie telah meraih tasnya dan beranjak pergi.
"Apaan?"
"Tugasku selesai sampai disini."
Ia tak menjelaskan apapun, keluar dari pintu dengan langkah besar-besar. Bayangan di depan berjalan ke arahku dengan pasti, dan jantungku hampir mencelos di setiap langkahnya. Aku ingat apa yang terjadi di terakhir kali kami bertemu, dan setelah itu aku tak pernah berani mengangkat telepon atau membalas pesannya. Aku mengaku aku menyesal, aku tak mabuk namun dalam keadaan hampir depresi membuatku gila, dan aku berjanji takkan pernah melakukan hal segila itu lagi. Meski aku takkan lupa seperti apa rasanya.
Tapi apa yang ia lakukan di Saliya's? Aku dan Melanie tengah menikmati pizza serta kentang sebelum ia muncul.
"Kenapa kau ada disini?"Aku yakin suaraku begetar, namun aku telah berusaha menahannya.
"Aku kesini untuk berbicara denganmu," jawabnya tenang, duduk di kursi milik Melanie sebelumnya.
"Tak ada yang perlu dibicarakan," gerutuku.
"Kau yakin?"
Aku mencuri pandangan ke arahnya, dan cepat-cepat menurunkan pandanganku ketika mendapatinya menatapiku lekat-lekat tak lepas.
"Aku datang untuk meminta pertanggung jawabanmu atas perihal sebelumnya," katanya.
Tanpa sengaja aku menelan air ludah. Aku tahu aku telah salah berbuat. Hanya saja aku tak pernah menyangka ia akan pernah meminta pertanggungjawabanku.
Apa maksudnya itu?
"O-oke. Aku salah, aku tak seharusnya berbuat gila dan..." aku tak menyelesaikan kalimatku, perkara tangannya meraih kedua telapak tanganku yang mendingin.
"Apa gadis yang telah mengalahkan ketua harian tempo hari takut padaku?"
Sontak aku menatapnya. Bagaimana bisa ia tahu? Aku tak pernah menyangka ia akan mendengar kabar soal itu. Mungkin video sialan yang tersebar itu alasannya.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku tahu semuanya, Hanna. Aku tahu setiap kali kau mengatakan 'tidak apa-apa', namun sebenarnya kau menyembunyikan perasaanmu."
Aku mengerjap beberapa kali, sebelum tatapanku jatuh di matanya. Sepasang mata yang selalu berhasil membuatku jungkir balik, tak berkutik.
"Kau tak tahu betapa menyesal aku tak bisa menemanimu di saat-saat genting. Tapi aku percaya kau adalah wanita kuat."
"Jadi mulai sekarang aku takkan membiarkanmu sendirian," ia meremas pelan tanganku, kemudian berdiri dan beranjak keluar.
Ia keluar dari pintu dan berlari ke tengah jalan raya, berdiri di tengah-tengahnya. Beberapa mobil berhenti, menekan-nekan klakson dan semua orang dalam restoran mulai melihat keributan di luar sana.
"Jaden!" teriakku.
"Hanna Choo," ia tak mempedulikan beberapa orang yang mulai memaki dari jendela mobil, "Kau adalah gadis paling berani, lucu, dan cerdas. Aku tahu aku terpikat padamu sejak pertama kali bertemu."
Mungkin wajahku merah padam, dan orang-orang mulai mengelilingku dengan tatapan mereka. Beberapa wanita lainnya penuh dengan tatapan iri.
"Hanna Choo, aku tak bisa membayangkan jika kita tak bersama."
Setelahnya aku tak mempedulikan begitu banyak, langkahku mengikuti arah matanya, dan berlari ke pelukannya dan membuatnya menggendongku dengan kedua tangannya.
"Ya," jawabku.
Dan setelah itu, aku tak mengingat terlalu jelas tentang klakson berisik dan tepuk tangan orang-orang yang menonton dengan tatapan iri.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top