Part 25 Perbaikan

Aku terburu-buru berlari ke kampus setelah mengantarkan Mama ke bandara. Kami bangun pagi-pagi sekali, dan memesan taksi pukul 05.30, setelah itu meninggalkannya setelah check-in dan terburu-buru kembali ke kampus dengan menaiki MRT. Ya, sebagai pelajar, murah itu penting dan uang itu jauh lebih berharga dibanding dengan mereka yang telah bekerja.

Orang-orang masih memandangku dengan aneh, beberapa yang lain masih menjauhi atau bahkan menjadikanku sebagai bahan pembicaraan mereka, tapi kali ini aku tak peduli. Sikapku jauh berbeda terhadap masalah ini, terutama setelah malam Mama mengizinkanku dengan tangisnya. Kemudian aku menyadari kalau aku tak membutuhkan dukungan mereka, tapi persetujuan dari Mama sendiri adalah dukungan. Dan lagi, aku bisa memilih jalanku sendiri-- seperti Pei Lin.

Aku memegang gulungan harian baru kampus di tanganku, dan tentu saja karena lagi-lagi seseorang menulis tentangku- atau RED, dengan judul yang memikat.

RED Berhenti Dari Dunia Menulis?

"Aku punya tiket Jay Chou nanti malam," Melanie datang sembari memamerkan dua lembar tiket di tangannya, sembari tersenyum bangga.

"Bagus!" jawabku sama riangnya.

"Kau dalam mood bagus hari ini."

Sudah seminggu terakhir semenjak Melanie terus berusaha menyenangkan, dan ia jadi lebih sensitif pada perubahan suasana hatiku.

"Aku hendak mengirim naskah baru ke READER," senyumku penuh rahasia.

"Itu bagus," Melanie tersenyum kaku, lalu berpikir sebentar sebelum berbisik, "Apa kau akan mengganti nama pena?"

"Tidak."

"Bagaimana jika mereka menulis berita tentangmu lagi?" Melanie berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, "Maksudku, kita tahu berita itu abal-abal...Tapi kau tahulah, para penggosip itu selalu siap siaga menyebarkan semua informasi."

"Tak masalah. Lagipula aku tak perlu mengirim tulisan ke koran sekolah lagi."

"Kenapa itu?"

"Aku akan melamar ke READER."

Langkah Melanie terhenti, dan aku ikut menghentikan langkahku. Ia menatapku dengan mata terbelalak, tubuh tak bergerak, dan bibir yang melengkung ke atas.

"Hanna, itu kabar bagus!" pekiknya girang.

"Aku bilang aku hanya akan melamar, bukannya diterima," aku tertawa.

"Tetap saja-- aku yakin kau bisa! Aku selalu berpikir kau akan jadi penulis yang bagus sekali. Kau tidak akan pulang dan menikah dengan Andre-siapa-itu!"

"Ya," dan aku tertawa.

Kemudian aku menceritakan apa yang terjadi, tentang Mama dan apa yang terjadi akhir pekan kemarin.

"Kau baru saja melewati badai topan," gumamnya, dan kami berdua tertawa.

"Kudengar hari ini acara pergantian Ketua Organisasi Harian Universitas," kataku licik.

"Ya," Melanie memandangku dengan was-was.

"Sebetulnya, aku butuh bantuanmu."

*

Ruang kelas Jurnalisme tahun ke-3 terletak di lantai tiga dan rupanya cukup luas. Ruangan terisi setengah penuh ketika itu, dimana orang-orang tengah mengobrol santai menunggu waktu kelas dimulai.

Cao Yang telah tiba sepuluh menit yang lalu, dan ia dengan teman-temannya tengah sibuk memilih bahan artikel untuk minggu depan. Berita politik seperti penggantian WaliKota takkan mengundang perhatian para mahasiswa, namun berita seperti anak anjing liar yang selalu berkeliaran di sekolah mendapat perlakuan kasar dari salah satu satpam yang berjaga akan mendapat respon yang luar biasa dari seluruh divisi.

Itulah yang ada dalam pikiran anak muda zaman sekarang: Binatang peliharaan, cinta dan rumor. Tapi sesuatu yang besar tak terjadi setiap saat, sementara kau harus terus menulis berita setiap saat. Ini perbandingan yang tidak adil.

Kunci utamanya adalah, kau harus menulis sesuatu yang dipedulikan oleh semua orang. Seperti penulis pena yang satu itu misalnya, semua orang gemas dengan siapa orang dibalik RED, dan setelah melacak mati-matian, aku menemukannya. Poin plusnya adalah, orangnya adalah Hanna Choo. Kutu buku pendiam yang tak menarik perhatian semua orang, menjelma menjadi RED. Hal ini menambah unsur dramatis di dalam berita, dan menjadikan segala sesuatu lebih menarik. Poin tambahan satu lagi, orang pendiam seperti itu takkan berkutik kalau kau mengatakan sesuatu tentang mereka. Sehingga kau tak perlu ragu, lagipula opini yang kau tuangkan dalam berita yang pertama kali muncul selalu menciptakan kepercayaan publik, dan perlahan akan membentuk suatu kebenaran.

"Cao, coba kau lihat ini," Vick menyodorkan handphonenya yang berisi foto Alex Zhang dengan mobil sport ungunya. Alex Zhang merupakan mahasiswa Business and Marketing, dan berhasil mendirikan perusahaan kecilnya.

"Kita bisa tulis judul 'Mahasiswa dan Ambisi Besar'," Vick menyarankan.

"Ya, lumayan," jawabku tanpa peduli. Berita seperti itu hanya akan memunculkan artikel motivasi yang memanasi semangat generasi muda selama beberapa waktu, kemudian hilang dan tenggelam. Lagipula, aku berani bertaruh uang Alex Zhang untuk mendirikan perusahaan berasal dari kantong orangtuanya.

Apa menariknya?

Pagi ini sendiri merupakan pagi yang monoton, masih ada dua belas menit hingga dosen Wang mungkin akan menginjakkan kakiknya dalam kelas.

"Cao," Ma Guo menepukkan tangannya ke bahuku ketika berjalan ke arah bangkunya.

"Mm," anggukku dan kembali pada buku di depanku.

"Permisi semuanya, aku ingin mencari seseorang yang bernama Cao Yang," suara seorang wanita yang mengatakannya dengan keras.

Dua wanita asing berdiri di depan kelas ketika aku menengadah, namun kemudian aku menyadari siapa keduanya. Wanita dengan rok biru tua dan rambut pendek menggulung serta mata khasnya yang tajam itu adalah RED. Wanita satunya lagi yang berdiri menjaga agar pintu kelas tetap tertutup itu tanpa perlu diragukan lagi adalah Melanie Ng.

Seisi kelas mendadak terdiam, tertegun dengan kehadiran mereka dan semua orang mulai mengarahkan pandangannya ke arahku, seperti menunggu suatu tontonan untuk dimulai.

"Kami mencari Cao Yang," Melanie mengulang kalimat itu sekali lagi, sembari melirikku dengan sinis. Tentu ia tahu siapa aku-- wanita emosian satu itu.

"Aku," jawabku dingin. Dan seluruh pandangan betul-betul tertuju padaku, kali ini termasuk wanita di depan kelas itu.

"Apa yang kau mau?" Vick balas menantang, dan berdiri ketika mengatakannya. Thanks untuk itu, bro.

"Aku hanya ingin menanyakan satu hal," ia melantangkan suaranya, "Berita apa yang akan kau tulis jika seorang ketua organisasi harian terbesar seuniversitas memiliki riwayat 12 pasangan asmara?"

Terdengar suara menahan nafas serentak, beberapa orang menutup mulut mereka dan semua mata jatuh ke arahku ketika kalimatnya dilontarkan.

"Apa yang kau bicarakan?" sergahku kasar.

"Menurutmu, apakah orang yang memiliki riwayat asmara berbelit pantas dinobatkan sebagai ketua organisasi harian universitas?" ulangnya lantang.

"Apa-..."

"Cao Yang mulai menjalin hubungan asrama ketika kuliah. Dan selama tiga tahun terakhir, kau telah memiliki riwayat 12 pasangan?"

Wanita sialan ini membuka lembaran foto pribadiku di layar depan, terdengar suara nafas tertahan dan bahkan beberapa orang tak bisa menahan mulut sialan mereka untuk tertawa.

"Foto-foto yang diposting oleh akun perempuan yang berbeda-beda dengan dirimu dengan mesra, dan beberapa bahkan menyebutkan baobei*"

Sialan. Informasi macam apa yang ingin ia buat? Lagipula darimana ia mendapat foto-foto itu. Keparat, wanita ini.

"Sebetulnya ini urusan pribadi," katanya setelah seisi ruangan terdiam sejenak.

"Bagus asal kau tahu itu," sergahku kasar.

"Sebetulnya ini urusan pribadi," ulangnya, "Dan belum tentu semua wanita yang ada di foto di atas adalah mantan kekasihmu. Kebanyakan adalah wanita yang kau tolak, kan?"

"Betul," aku mencamkan kalimat ini.

"Lagipula, urusan asmaramu tak ada hubungannya dengan pantas atau tidak kau dinobatkan sebagai ketua jurnalis."

"Karenanya, kemampuan seseorang tak bisa kau ukur dengan kehidupan pribadi mereka, terutama dengan sudut pandangmu sendiri. Sama seperti yang kau lakukan padaku. Minggu lalu kau menulis artikel yang mengungkap data diriku, dan tiga hari kemudian kau mempertanyakan pantaskah seseorang yang pemalu menjadi RED."

Aku menghela nafas panjang sekaligus hampir tertawa. Jadi itu alasannya datang kemari. Wanita ini datang dengan senyum mematikan sedingin es namun membawa informasi yang berapi-api untuk membalaskan dendamnya.

"Kau ingin aku meminta maaf untuk itu," aku terkekeh.

"Sebetulnya, pantas atau tidaknya diriku tak ditentukan olehmu. Ingin seperti apa aku menjadi keputusannya ada di tanganku. Maaf jika RED ternyata bukan orang yang kau nantikan, melainkan seorang mahasiswi senior yang membosankan dan kutubuku serta tak menarik."

"Aku bisa memaafkan penilaianmu dengan mata rabun, otak buram serta pemikiran dangkal semacam itu. Tapi hei, kau telah menulis tiga artikel tentangku, dan kau belum pernah sekalipun berbicara denganku. Terlebih lagi, berita-berita yang kau tulis telah membuat dampak buruk dalam hidupku selama beberapa waktu terakhir."

Ia selesai dengan pidatonya yang terdengar menyebalkan sama seperti gadis-gadis cerewet lainnya, namun anehnya terdengar cerdas dan lucu, dan ironisnya, ia tengah menamparku dalam pidatonya satu itu.

"Jadi kau datang untuk membalas dendam padaku?"

"Aku datang untuk megoreksi caramu menulis," sergahnya sambil berjalan ke depanku, "Dan lagi, aku percaya kau berhutang suatu permintaan maaf padaku."

Ia berbalik dan berjalan meninggalkan kelas bersama temannya, dan rok birunya bergoyang ketika ia berjalan. Ia keluar menyisakan gelak tawa beberapa orang di dalam, dan kelihatannya sekarang semua orang di sekitarku memihak padanya.

Sementara ia berjalan dengan arogansi kecilnya meninggalkan kelas.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top