Part 24 yang Akan Datang Akhirnya Datang
Aku pulang membawa sekantong besar makan ringan dan milktea setelah berasal dari market. Belakangan kadar gulaku terlalu rendah dan tingkat kesetresan terus meningkat, dan terutama setelah kejadian belakangan, sehingga aku butuh sesuatu yang manis. Aku mengambil potato chips, latiao, coklat, susu dan roti kacang untuk disimpan sebagai persediaan makanan.
Hari ini termasuk hari yang melelahkan, dimana aku menghabiskan setengah hari di perpustakaan setelah kelas. Waktu terus berjalan, dan aku butuh menyelesaikan skripsi sebelum deadline benar-benar tiba. Selain itu tugas masih terus bertambah, dan lagipula, omong-omong aku menulis sesuatu yang baru.
Aku tengah memikirkan judul baru tentang seorang wanita yang mengejar mimpinya meski ditentang seluruh dunia, ketika seorang bayang-bayang berdiri di depan pintu kamarku. Punggung dan gerak-gerik yang kukenal.
"Mama!" panggilku. Ini sebuah kejutan, bagaimana bisa Mama ada disini tanpa ada yang memberitahuku?
"Ma, kenapa tak memberitahuku akan datang?" aku berjalan mendekati Mama. Hanya kemudian untuk menyadari bahwa ia dalam mood jelek-- salah, suasana hati luar biasa jelek. Gerakannya kaku, wajahnya mengeras, tanpa ekspresi, dan aku tahu ada yang tak benar.
Mama tak mengeluarkan sepatah kata pun setelah memasuki pintu, memilih diam dan memeriksa seluruh isi kamarku dengan matanya.
"Mama mau minum?" Dan ia masih tak menjawab. Jadi kuasumsikan sebagai 'ya'. Apa yang membuatnya datang kemari? Butuh penerbangan sekitar tiga jam dari Henan untuk mencapai Guangzhou. Dan lagi, Mama datang dengan mood luar biasa parah. Terakhir Mama pernah emosi parah adalah ketika mengetahuiku melamar ke Jinan University diam-diam, dan wajahnya ketika itu tidak terlihat separah saat ini.
Aku sudah lama tak menelepon ke rumah, apa Mama emosi karenanya? Atau mungkin Mama masih marah setelah aku menolak dijodohkan?
"Aku datang untuk bicara. Bukan untuk minum."
Dari nada suaranya, bisa kukatakan aku takkan tidur nyenyak malam ini. Aku berjalan ke arahnya selambat mungkin, dan berusaha tak bertatapan dengannya.
"Sekarang katakan padaku, apa yang kau lakukan di kampusmu?"
Aku bergidik. Mama hampir tak pernah menanyakan kegiatan universitas dan apa jadwal belajarku. Sekarang ia menanyakan apa yang kulakukan di kampus. Apa yang ia ketahui tentang segala yang terjadi di universitas? Kecuali Mama mendengar sesuatu.
"Belajar," jawabku. Dan sialnya, aku menelan ludah ketika bebicara.
"Kau pikir aku terbang jauh-jauh kesini hanya untuk mengontrolmu 'belajar'?"
Kali ini kedua telapak tanganku mulai basah, mendingin. Apa yang Mama dengar tentang kejadian di universitas, apa yang Mama dengar...
"Kau mempermalukanku dengan menjadi penulis gadungan di tempat kuliahmu."
Akhirnya kalimat itu jatuh. Seperti sebongkah batu besar yang dijatuhkan ke dalam air danau, membuat sensasi getaran di seluruh permukaan yang awalnya tenang. Getaran ini menghantamku dalam-dalam, dan aku tak yakin apa wajahku tengah mengkhianatiku.
"Aku ulang, apa kau tengah mempermalukanku dengan menjadi penulis gadungan di universitasmu?"
Jam seolah berhenti berdetak, dan kendaraan di jalanan bawah seolah berhenti berjalan. Seluruh dunia berhenti berputar, menunggu jawabanku. Kalimat Mama jatuh dalam kekosongan, menungguku menjawab..
"A-aku tidak menjadi penulis gadungan," suaraku lebih terdengar seperti cicitan tikus.
"KAU TIDAK-APA?"
Teriakan yang dinanti-nanti akhirnya jatuh, memekakkan telinga dan tampaknya akan terdengar hingga ke kamar tetangga. Mama bukan tipe wanita yang suka berteriak, ia lebih sering memainkan perang dingin ketika marah. Dan ini yang menjadikan teriakannya barusan berkali lipat lebih mengerikan.
Ia meneriakiku karena telah membuat kesalahan bodoh di detik-detik terakhir selama kuliah, dan bagaimana aku telah menapaki jalan hidup Pei Lin.
Sesuatu dalam diriku tergerak ketika ia menggambarkan hidup Pei Lin sebagai sesuatu yang mengenaskan. Tapi ia tak mengerti. Mama tak mengerti tentang apa yang Pei Lin pilih dalam hidupnya, dan Mama tak mengerti apa yang tengah kulakukan. Mama dengan pemikiran sempitnya tak pernah apa yang bisa dipilih seseorang dengan kehidupan mereka.
Mama tak pernah membayangkan bahwa putrinya mungkin memiliki sesuatu besar yang ingin diraihnya. Mama tak pernah mengira bahwa mungkin saja, aku bisa menjadi sesuatu. Dan Mama tak pernah mengira, mungkin saja aku tak pernah dilahirkan untuk menjadi biasa-biasa saja.
Seseorang harus mengatakannya pada Mama. Mama harus tahu anaknya bukan lagi hanya seorang wanita pemalu yang akan menuruti keinginan semua orang, tapi telah tumbuh menjadi wanita yang memiliki impian untuk diraih.
"Mama," suaraku terdengar seperti bisikan.
Hanna yang lama mungkin akan menangis, menelan dan menyesali apapun yang pernah ia lakukan. Tapi tidak sekarang, tidak untuk Hanna yang baru.
"Mama," panggilku sekali lagi. Hanya kali ini suaraku tenang, stabil dan tak menyimpan keraguan.
"Aku tidak menjadi penulis gadungan. Itu berita palsu yang sengaja mereka sebar, Mama. Aku bahkan tak tahu darimana mereka punya ide gila seperti itu."
"Kalau sedari awal kau tak menjadi mencolok, tak akan ada yang akan mencelakaimu!"
"Mama, aku ingin menjadi penulis. Jurnalis. Aku punya impian. Aku ingin tinggal di Guangzhou dan terus berkembang di kota besar seperti ini. Aku suka menulis."
Untuk sesaat, Mama tertegun. Mama terlihat berpikir, dan jauh dalam pancaran matanya hampir tak memercayaiku. Atau lebih tepatnya, Mama tak percaya bahwa aku baru mengatakannya.
"Apa yang dipikirkan anak-anak zaman sekarang ini?" keluhnya.
Kedua tanganku bergerak tanpa diperintah, mencari kedua tangannya, memegang ujung jari-jarinya.
"Aku telah memikirkannya sebelumnya. Aku akan tinggal dan tetap di Guangzhou setelah lulus," aku menatap Mama lekat-lekat, "Mama, kalau aku pulang dan menikah, aku mungkin akan menjadi istri yang buruk. Aku akan punya suami hebat dan kaya, tapi aku akan membenci hidupku. Dan mungkin aku akan membencimu karena itu."
"Apa yang kau pikirkan?" Mama membebaskan kedua tangannya, melempar kedua tanganku.
"Aku ingin menjadi jurnalis yang menulis di kolom berita. Aku ingin melamar di penerbit besar seperti READER atau China Daily setelah lulus. Aku ingin melakukan sesuatu, Mama. Aku punya kemampuan dan aku tahu aku punya bakat untuk itu," aku bersikeras menyelesaikan kalimatku.
"Mama, selama ini aku selalu mendengarkanmu. Kali ini saja, Mama mendengarkanku?"
Mama menatapku, tak mengatakan apapun.
"Mama selalu bilang agar aku tak menjadi seperti Pei Lin. Tapi apa Mama tahu seperti apa hidup Pei Lin sekarang? Ia baik-baik saja, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia praktek di sebuah rumah sakit, dan suaminya membuka galeri lukisan, dan Xiao Peipei telah tumbuh jadi anak yang cerdas."
"Kau menemui Pei Lin?" Mama terkejut.
"Aku menemuinya di Shenzhen, Mama. Hal yang seharusnya kulakukan empat tahun lalu. Pei Lin bukan seseorang yang mempermalukan dirinya, ia hanya tahu apa yang ia inginkan. Dan ia benar. Ia sukses dan bahagia...bersama keluarganya. Tante Lin tahu tentang itu."
Mama bergeming.
"Aku bertemu dengannya di rumah Pei Lin."
"Aku tak tahu Tantemu pernah pergi mengunjungi mereka," Mama akhirnya berkata.
"Tante Lin bilang dirinya menyesal pernah melarang mereka bersama."
Setelahnya Mama tak banyak berbicara. Sesuatu membungkam dirinya, dan ia terlihat berpikir keras. Ekspresi wajahnya sulit dibaca.
Aku ingin bertanya apakah ia bisa berpikir ulang tentang Pei Lin? Bisakah ia menerima ulang kenyataan yang baru? Dan lagi, apa ia akan menerima bahwa aku takkan pulang dengannya, melainkan mencari pekerjaan impianku?
"...ik," Mama membelakangiku.
"Mama?" Aku curiga Mama baru saja terisak.
"Baik."
Dan untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Mama menangis di depanku mataku.
*
Mama tertidur setelah mandi dan menghabiskan sekotak malaxiangguo yang kupesan online. Ia telah menghabiskan sisa-sisa tenaganya secara fisik dan mental: Tenaga yang terkuras untuk terbang selama tiga jam, tenaga yang terkuras untuk menangis, dan tenaga yang terkuras untuk menstabilkan emosi.
Aku menyelinap keluar untuk membeli bahan mencuci, atau lebih tepatnya mencari angin segar. Udara malam hari ini jauh lebih dingin dari biasanya, dan bahkan dengan mantel bulu masih terasa dingin.
Aku melewati deretan restoran dan cafe kecil, berjalan lebih jauh dari biasanya, melewati deretan YueKen Road, memasuki daerah yang jarang kukunjungi.
Angin musim gugur mulai bertiup selama seminggu terakhir, namun tetap saja, suhu terasa lebih dingin dari seharusnya. Ketika itu, handphone dalam kantong mantelku bergetar. Hanya bergetar, tanpa soundtrack. Kebiasaan ketika kau tidak ingin handphonemu berdering tiba-tiba dalam kelas, mengagetkanmu sendiri setengah mati, membuat semua pasang mata menoleh ke arahmu dengan tatapan menertawakan, dan membuat dosen mengingat wajahmu.
Jaden.
Rasanya telah lewat berpuluh tahun lamanya semenjak kami terakhir bertemu. Apa ia tahu begitu banyak hal yang telah terjadi belakangan ini? Apa ia tahu apa yang terjadi di kampus? Apa yang ia lakukan belakangan ini? Dimana ia sekarang?
"Halo," aku mengangkat teleponnya.
"Hanna," suaranya dari seberang, terdengar lagu jadul yang diputar di belakangnya, memainkan peran sebagai soundtrack, sekaligus menunjukkan bahwa dirinya tengah berada di suatu tempat seperti cafe.
"Ada apa?"
"Eh, tidak ada. Aku hanya iseng. Dan omong-omong, ayahku sudah keluar dari rumah sakit."
"Itu kabar bagus, Jaden!" ujarku. Suaranya terdengar riang, dan ia terkekeh beberapa saat. "Ya, pada akhirnya," ujarnya, "Bagaimana denganmu? Apa yang kau lakukan belakangan?"
Aku ingin mengatakan bahwa hidupku belakangan bagai roller coaster, turun-naik tak menentu dan aku ingin mendengar suaranya. Aku ingin tahu apa yang akan ia lakukan, aku ingin mendengar apa yang akan ia katakan.
Aku ingin bilang aku rindu.
"Aku baik-baik saja," jawabku.
Kemudian hening sesaat. Aku bisa mendengar suara nafasnya dari seberang, dan mengira-ngira apakah ia mengendus kebohonganku.
"Jaden?"panggilku khawatir.
"Hanna," jawabnya, "Beberapa waktu lalu aku mengenal seorang gadis pemberani, cerdas dan sexy. Aku ingin ia tahu betapa memesona dirinya ketika menjadi dirnya sendiri. Aku tak tahu apa yang terjadi padanya karena aku harus pergi selama beberapa waktu terakhir. Ia bisa menceritakan segalanya jika ia mau."
Sesaat hidungku mulai gatal dan mataku perlahan buram, jantungku mulai berdetak cepat tak karuan. Air hujan mulai menetes tanpa peringatan, dan aku melihat sesuatu yang sangat kukenal di seberang jalan di depanku.
Motor besar warna hitam mengkilap dengan kedua ban yang mulai basah dengan hujan.
Lalu di belakang cafe dengan kaca jendela, aku melihat punggung yang kukenal.
Aku berlari menyebrangi jalan, dan melihat lebih dekat punggung di belakang kaca yang tengah memegangi telepon genggam di salah satu tangannya. Ia duduk seorang diri di meja kecil, memanggil-manggil namaku.
"Aku di belakangmu," bisikku di telepon.
Dan tanpa menunggu apakah ia telah mendengarku, aku mendorong pintu kaca itu, melangkah masuk dengan seluruh badan yang basah kuyup.
Tanpa banyak berpikir tanganku terangkat dan meraih bahunya, memutar pria yang kaget itu hingga menghadapku.
"Hanna!" ujar Jaden tanpa mampu merespons secara penuh.
"Apa kau masih berpendapat kalau aku cerdas, sexy dan memesona?" aku meraih kerah kaos hitamnya, menariknya hingga wajah kami hanya berjarak beberapa centimeter.
Jaden belum bisa merespons, keterkejutan dalam dirinya masih menguasainya. Mungkin ia tak tahu apa yang tengah terjadi, darimana aku datang dan apa yang tengah kulakukan.
"Y-ya," jawabnya bingung.
"Apa menurutmu kalau kita bersama?"
"Y-ya," jawabnya sama gagapnya seperti sebelumnya.
Tanpa berpikir lebih banyak aku menarik kerah bajunya, dan menempelkan bibirku di bibirnya.
Sebuah kecupan yang lembut, hangat dan ringan- tapi tetap saja, aku benar-benar melakukannya.
Mungkin aku hanya mengecupnya seperkian detik (atau menit)- aku tak tahu, waktu tak berkuasa ketika aku tengah tersesat dalam sensasi getaran yang kulakukan sendiri, sebelum akhirnya melepaskannya.
Hanya dalam kurun beberapa detik, kenyataan menghampiriku: beberapa pelayan toko melotot lebar-lebar menatapi seorang wanita gila yang basah kuyup dan menerobos masuk ke dalam cafe dan mencium paksa salah satu pelanggan mereka.
Lalu tatapanku beralih pada wajah Jayden, yang jika tak salah lihat dirinya tengah tersenyum lembut dengan kedua pipi dan telinga yang memerah panas. Lalu kemudian, aku menyadari seorang pria berusia tengah baya yang duduk tepat di sampingnya dengan kemeja putih dan celana hitam panjang datang, tersenyum lebar ke arah kami.
Aku bisa melihat Jaden menjadi tersipu, sementara aku tak bisa memikirkan apapun ketika otakku penuh dengan campuran segala hal, hingga ketika aku mendengar Jaden berkata: "Perkenalkan Hanna, ini ayahku."
Butuh tiga atau empat detik untukku mencerna kalimatnya, hingga perlahan aku mulai mengerti apa yang tengah terjadi.
Aku melirik wajah pria pucat yang tengah tersenyum itu, dan wajah Jaden yang tengah menyengir nakal.
Kurasakan panas meledak di wajah yang membuat wajahku mungkin semerah kepiting rebus.
Hingga akhirnya tak ada jalan keluar yang terpikir di dalam otakku, aku tak punya pilihan lain selain berlari dan kabur keluar dari pintu tanpa menyapanya sepatah pun.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top