Part 23 Suara Hati
Liu Ya
Dibanding dengan anak-anak lainnya, Hanna tak kalah. Terkadang bahkan ia lebih baik dari mereka. Sejak kecil ia selalu banyak ide di kepalnya, dan suka berbicara. Terlalu banyak mulut, kadang. Ia menunjukkan bakat bicaranya sebelum benar-benar masuk di sekolah dasar. Ia tipe anak yang licin dan mengungkapkan apapun yang ada di pikirannya. Ini tak bagus untuk seorang perempuan. Anakku perempuan, dan ia menunjukkan bakat-bakat seperti seorang anak lelaki di usianya yang masih kecil.
Di sekolah dasar kelas satu, ia membuat masalah dengan teman sekelasnya dan aku harus meminta maaf pada orangtua anak itu serta mengomeli Hanna di depan mereka beberapa kata. Tahu apa permasalahannya? Anak lelaki itu menangis setelah Hanna menertawainya masih memakai popok ke sekolah, yang kemudian berita itu menyebar dan menjadi bahan tertawaan anak-anak satu kelas.
"Anak lelaki masa kalah dengan Hanna", komentar Yang dan ia masih terkekeh dengan santai, bangga dengan anak perempuannya yang mengalahkan anak lelaki dalam kelasnya. Tapi tidak untukku, keadaan putri kami mencemaskan. Ia seorang anak perempuan, dan aku tak melihat sifat lemah lembut di dalamnya.
"Dia masih kecil, beberapa tahun lagi juga berubah." Yang selalu terlalu santai ketika kuungkit soal ini. Ia tak mengerti karena ia bukan memainkan peran seorang ibu. Tapi aku takkan membiarkan putriku tumbuh menjadi perempuan liar tak terdidik.
Hanna tergolong cerdas diantara anak seumurannya, tapi ia kalah jauh dibanding dengan kakak sepupunya, Pei Lin. Seiring pertambahan usia, perbedaan mereka berdua semakin jelas. Kemampuan Pei Lin dalam sains mengantarkannya ke olimpiade di usia 11, sementara Hanna masih hanya ranking lima besar, didahului beberapa anak dalam kelasnya.
Pei Lin cerdas dan gemulai, Viona dan Xiong mendidiknya dengan sempurna. Pei Lin tumbuh menjadi gadis lemah lembut dan berbakat. Anak itu punya masa depan yang cerah.
Sementara Hanna, aku harus mengarahkannya dengan keras sebelum ia tumbuh menjadi gadis jahil dan tak bertata krama. Seiring pertumbuhannya, ia lebih mengerti situasi dan perlahan mulai menjaga sikapnya. Aku membiarkan ia sering bermain bersama Pei Lin, berharap suatu saat ia bisa benar-benar menjadi seperti Pei Lin.
Lagipula, kakak sepupunya bisa mengajarinya mengerjakan tugas dan PR. Hingga Pei Lin berangkat untuk kuliah di Guangzhou, Hanna mulai memikirkan untuk mengikuti jejak Pei Lin hingga ke Guangzhou.
Ini hal bagus, hubungan seperti ini yang kuharapkan dari mereka. Pei Lin berangkat ke Jinan University, dan anakku mulai mengkahayal untuk masuk ke universitas itu. Aku pikir sebetulnya ia punya kemampuan untuk masuk, tapi aku tak pernah mengatakan padanya. Ia menjadi semakin giat belajar setelahnya, dan tentu aku tak berharap pujianku akan membuatnya mengendorkan diri.
Tapi kemudian sesuatu yang tak pernah diduga terjadi. Kesalahan terjadi pada Pei Lin. Anak satu itu jatuh cinta dengan seorang pemuda di kampusnya. Entah siapa namanya-- aku tak peduli. Ia mulai mengungkit pemuda itu di keluarga selama setahun terakhir, dan tentu saja Viona tak setuju! Pemuda itu mengambil jurusan seni. Bayangkan, jurusan seni. Dengan apa ia akan hidup setelah lulus?
Viona mulai tak sabaran ketika Pei Lin mengungkit kembali tentang kekasihnya di tahun kedua imlek setelah ia mengungkitnya untuk pertama kali tahun lalu. Aku bersama Viona berusaha memutuskan hubungan mereka. Pei Lin adalah gadis dengan masa depan yang cerah, kebanggaan keluarga, dan ia tak bisa sembarang memilih pemuda begitu saja.
Tapi siapa tahu ia membangkang. Pei Lin, anak paling penurut dan memiliki masa depan paling cerah di keluarga, menghancurkan segalanya dengan anak dalam perutnya. Dengan begitu ia tak hanya menentangku dan Viona, tapi membuat murka Mama serta mempermalukan nama keluarga.
Pei Lin, anak perempuan paling cerdas dan harapan keluarga hancur begitu saja.
Siapa tahu, anak-anak selalu terlihat penurut di depanmu. Tapi mereka membuat rencana bodoh sendiri dalam pikiran mereka.
"Jangan pernah menjadi bodoh seperti Pei Lin", ancamku pada Hanna setelah kejadian itu. Anak ini pasti tahu apa yang tengah terjadi pada sepupunya, tak perlu aku membuka mulut sendiri untuk mengatakannya.
Anak ini terdiam begitu lama setelah hari rapat tentang Pei Lin. Ia terlihat pucat dan ketakutan, dan ekspresinya seperti inilah yang kuharapkan. Ia tumbuh menjadi penurut dan tidak lagi banyak mengumbar kata-kata, tapi nyatanya keinginan dalam diri anak-anak tak sepenuhnya hilang.
Seperti mendaftar diam-diam di Jinan misalnya. Aku dan ayahnya tak pernah menyangka ia masih menyimpan keinginan untuk kuliah ke Guangzhou, dan terlebih lagi, tak pernah menyangka ia pernah mendaftarkan diri diam-diam dibalik sepengetahuan kami.
Aku tak ingin ia mengikuti jejak Pei Lin, tak ingin ia melewati jalan yang dilalui Pei Lin. Anak-anak selalu melakukan kesalahan bodoh kalau tidak dikontrol. Guangzhou terlalu jauh untukku mengontrolnya. Tapi Yang benar, ini adalah kesempatan besar untuk anak kami. Jinan bukan universitas sembarangan, dan barang kali ia tak memiliki kesempatan lain sebagus ini.
Kemudian ia disana selama hampir empat tahun, segera menyelesaikan kuliahnya. Aku membuat rencana selangkah di depan, mencarikan pasangan untuknya, namun ia tolak. Aku akan membicarakannya lagi di kelulusannya, anak-anak tak mengerti apa yang telah kami rencanakan untuk masa depan mereka.
Hanna selalu penurut, tapi anak itu tak pernah membuatku tenang. Ia terlalu lemah dan belum menjadi secerdas yang kuharapkan. Ia masih butuh bimbingan, kurang pengalaman dan pemalu.
Kupikir aku bisa tenang sampai kelulusannya. Tapi langit ternyata tak memberiku waktu untuk beristirahat dengan tenang. Deringan telepon Viona hampir mencopot jantungku.
Anakku Hanna Choo, yang tumbuh menjadi gadis pemalu dan tak memiliki pendirian tersendiri, membuat masalah di universitas dengan menjadi penulis palsu. Aku tak pernah membayangkan anakku bisa melakukan kejahatan seperti ini, tak terdengar sama sekali seperti Hanna.
Sudah kubilang kan, anak-anak selalu membuat kesalahan?
Aku tak bisa berhenti mengutuk diri mengapa kami pernah melepasnya kuliah di Guangzhou? Mengapa aku melonggarkan pengawasanku padanya? Kali ini permasalahan tak bisa diselesaikan dengan telepon. Aku harus terbang dan mengatakannya di depan mukanya. Karenanya, aku bertekad menyuruh Yang memesan tiket dan mengantarku ke bandara. Aku tidak terlalu tua untuk tidak mengetahui bagaimana cara mencapai kamar anakku. Aku bisa terbang ke Guangzhou seorang diri. Maka karena itu, Yang akhirnya setuju.
*
Anak itu melihatku dengan terbelalak, menghentikan langkah dan gerakannya selama lima detik. Kemudian ia berjalan mendekatiku dengan perlahan dan ragu.
"Mama?" panggilnya.
Aku telah berdiri di depan pintunya selama lebih dari setengah jam, dan memutuskan untuk menunggu daripada menelepon. Ia harus tidak menduga dengan kedatanganku.
"Mama, kapan Mama datang!" pekiknya histeris, "Bagaimana Mama bisa disini?"
Ekspresi wajahnya berupa campuran kaget, bahagia dan tak percaya. Tapi aku tak menginginkannya untuk merasa bahagia dengan kedatanganku. Ia seharusnya gugup. Senyumnya hilang melihat wajahku yang tanpa ekspresi.
Setahun lebih tidak bertemu, ia berubah banyak. Pertama, dari caranya berjalan dan tersenyum, bisa kukatakan ia seolah tumbuh lebih terbuka dari sebelum-sebelumnya. Kedua, pakaian. Aku tak lagi melihat jeans dan kaos kampungan yang sering ia kenakan. Ketiga, rambut. Ia tak memberitahuku bahwa ia telah memotong rambutnya, dan gulungan yang jatuh di pundak.
Selama setahun terakhir tidak mengontrolnya, dan lihat jadi seperti apa anak satu ini.
Ia menangkap hawa tak baik dalam wajahku, terdiam dan membuka pintunya tanpa berkata apa-apa.
Kamarnya rapi, jauh lebih rapi dan terang dibanding foto-foto yang ia kirimkan padaku sebelumnya. Ia menarik koper kecilku, meletakkannya di samping ranjang, lalu mulai bersiap hendak menyeduh teh untukku. Ia melakukan semuanya dalam diam dan wajah menunduk.
"Kau tak perlu repot-repot", ujarku dingin, "Aku datang untuk bicara."
Ia menurunkan kedua tangannya dari teko listrik, berbalik dan mau tak mau berjalan ke arahku. Aku menarik kursi belajarnya dan duduk. Anak ini terus menunduk, sesekali mengangkat wajahnya untuk melirik ekspresiku.
"Sekarang katakan padaku, apa yang kau lakukan di kampusmu?" Aku menatap langsung ke matanya.
"Aku? Aku belajar, tentu saja", jawabya kebingungan, seolah tak menyangka aku akan pernah menanyakan hal ini.
"Kalau kau hanya sekedar 'belajar', aku takkan terbang jauh-jauh kesini seorang diri kesini."
Ia terdiam, mulutnya terbungkam.
"Kau mempermalukanku dengan menjadi penulis gadungan di tempat kuliahmu", ujarku dingin. Ia terkesiap, kaget dan menatapku dengan mata bulat-bulat. "Aku tak pernah menyangka kau akan pernah mempermalukanku seperti ini."
"Aku tidak..."
"Kau tidak APA?" teriakku. Ia terlonjak kaget, kemudian menunduk.
"Aku membiarkanmu datang empat tahun lalu karena percaya kau takkan pernah membuat kesalahan bodoh. Waktu sisa beberapa bulan terakhir, dan mengapa kau tidak bisa menjadi mahasiswi baik-baik hingga lulus? Waktumu hanya beberapa bulan terakhir, HANNA."
Ia menunduk dan menangis. .
"Aku tak pernah menyangka kau akan pernah menapaki langkah Pei Lin. Kupikir kau telah belajar dan menjadi lebih pintar setelah itu. Tapi apa yang kau lakukan? Kalian-- kakak adik, sama -sama ingin menghancurkan reputasi keluarga."
"Kau tahu apa yang terjadi pada Pei Lin sekarang, Hanna? Seorang gadis yang menghancurkan masa depannya dengan memilih seorang pria. Kau bisa bayangkan bagaimana hidupnya sekarang? Kau ingin jadi sepertinya? Orang yang mempermalukan hidupnya sendiri."
Ia menjadi diam, diam sekali, tak bersuara maupun bergerak.
"Jadi sekarang, kau akan ikut pulang denganku dan ber-..."
"Mama", bisiknya.
"...dan mengemas barang-barangmu"
"Mama."
Ia menengadahkan wajahnya, menatapku lekat-lekat. Ia tak menangis, ataupun terisak, atau meringis. Ia hanya menjadi sangat tenang, seperti air danau.
"Mama, aku tidak menjadi penulis gadungan."
"Mama, aku ingin menjadi penulis. Jurnalis. Aku punya impian. Aku ingin tinggal di Guangzhou dan terus berkembang di kota besar seperti ini. Aku suka menulis."
"Apa yang dipikirkan anak-anak zaman sekarang ini? Satu per satu..."
"Mama", ia meraih kedua tanganku, "Kalau aku pulang dan menikah, aku mungkin akan menjadi istri yang buruk. Aku akan punya suami hebat dan kaya, tapi aku akan membenci hidupku. Dan mungkin aku akan membencimu karena itu."
"Apa yang kau pikirkan?" bentakku, melempar tangannya.
"Aku ingin menjadi jurnalis yang menulis di kolom berita. Aku ingin melamar di penerbit besar seperti READER atau China Daily setelah lulus."
Hanna tak pernah berbicara seperti ini. Anak yang kukenal, yang kubesarkan selama dua puluh tahun terakhir tak pernah seserius ini sebelumnya. Ia selalu adalah anak pemalu, penurut dan hampir selalu tak punya pendirian sendiri.
"Mama, selama ini aku selalu mendengarkanmu. Kali ini saja, bisakah Mama mendengarkanku?" Bulir air mata mulai memenuhi ekor matanya.
"Mama selalu bilang agar aku tak menjadi seperti Pei Lin. Tapi apa Mama tahu seperti apa hidup Pei Lin sekarang? Ia baik-baik saja, bahkan jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia praktek di sebuah rumah sakit, dan suaminya membuka galeri lukisan, dan Xiao Peipei telah tumbuh jadi anak yang cerdas."
"Kau menemuinya?"
"Aku menemuinya di Shenzhen, Mama. Hal yang seharusnya kulakukan empat tahun lalu. Pei Lin bukan seseorang yang mempermalukan dirinya, ia hanya tahu apa yang ia inginkan. Dan ia benar. Ia sukses dan bahagia...bersama keluarganya."
"Tante Lin tahu tentang itu. Aku bertemu dengannya di rumah Pei Lin."
Ini kali pertamanya aku mendengar kabar tentang keponakanku setelah beberapa tahun terakhir. Hal yang kutahu adalah anak itu menghancurkan hidupnya. Aku tak ingin Hanna berakhir sepertinya.
"Aku tak tahu Tantemu pernah pergi mengunjungi mereka."
"Pei Lin anaknya, setidaknya Tante Lin...Lagipula, Tante bilang ia salah. Ia salah pernah melarang mereka bersama."
Aku tak menjawab. Aku tak pernah mengira Hanna akan mengatakan ini semua. Apa aku tak benar-benar mengenal anakku?
Ia telah berubah. Ia tumbuh menjadi lebih dari yang pernah kuharapkan. Dua puluh dua tahun, waktu yang cukup pendek untuk melihat bayi di pelukanmu tumbuh menjadi wanita muda yang berdiri di depanmu, berbicara tentang impian dan kebenaran yang ia ketahui.
"Baik", kataku. Kedua pipiku terasa panas dan basah, rupanya dibasahi air mata. Setelah kemudian, aku mulai terisak.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top