Bab 9 Bikini II

"Kau!" aku terkesiap, dan Jaden Yap terkekeh, seolah menertawakan betapa lama waktu yang kubutuhkan untuk mengenalinya.

"Aku melihat keajaiban. Beberapa waktu lalu, seorang gadis pemalu dan depresi yang membenci dirinya sendiri datang dengan mata membengkak dan wajah kusut...dan sekarang lihat dirimu! Kau jauh lebih bahagia dan bersinar."

"Ya, aku sedang mencoba menjadi lebih percaya diri," aku tersipu.

"Apa itu percaya diri, menurutmu?" Senyumnya lenyap, berganti dengan tatapan serius.

"Kau lebih seperti Profesor jurusan filosofi daripada IT," aku mengeluh. Aku tak bisa melanjutkan pembicaraan yang terus-terusan membuatku tak bisa menjawab.

"Apa itu percaya diri menurutmu, Hanna?" ulangnya.

"Berani menunjukkan dirimu pada orang-orang," jawabku asal.

"Benar, namun tak sepenuhnya," ia menilai.

"Lalu?" Aku yakin aku tengah melototinya.

"Percaya diri berarti menjadi dirimu sepenuhnya. Ketika orang lain menyukaimu, itu bagus. Namun ketika ada orang yang tak menyukaimu sekalipun, kau tak apa-apa. Intinya, kau tetap menjadi dirimu sendiri".

Aku telah menghabiskan lima tusukan makanan, dan gelas kedua jus jeruk. Entah berapa lama dan kami masih berbicara, membahas tentang pesta, apa yang kami pelajari di jurusan masing-masing, dan kebiasaan di waktu senggang.

"Kau belum pernah ikut pesta manapun sebelumnya?" ia menanyaiku tak percaya. Aku menceritakan betapa aku menolak segala kegiatan sosialisasi, termasuk menghabiskan malam minggu di kamar untuk belajar.

"Kau tak keluar bersama teman, atau merencanakan perjalanan bertualang bahkan selama liburan?"

"Aku punya tugas dan skripsi yang menemaniku sepanjang waktu!" Aku membela diri, namun kemudian sadar kalau aku terdengar semakin menyedihkan.

"Aku tak percaya ada yang menyia-nyiakan waktu paling berharga semasa muda," ia menggelengkan kepalanya.

"Terserah," aku mendengus, kelihatannya pembicaraan kami lebih sering berakhir pada agrumen, "Jadi memangnya apa yang kau lakukan dengan dirimu sendiri?"

"Kau tahu," ia tersenyum bangga seolah tengah membuka rahasia besarnya, "Aku berkelana selama setahun penuh sebelum kuliah."

"Aku berangkat dengan membawa hanya satu ransel dan paspor, lalu sepasang kaki ini berjalan melewati Tibet, Afghanistan, Iran, Irak, Turki, kemudian sampai ke Eropa. Di Eropa, aku menghabiskan sisa waktu setahunku di sepuluh negara."

Dan ternyata ia memang punya hak untuk bangga. "Kau gila," tawaku.

"Hidup ini terlalu singkat untuk jadi biasa-biasa saja. Sekarang kau katakan padaku, hal gila apa yang pernah kau lakukan?"

Kesekian kalinya pertanyaan yang membuatku terdiam, dan aku tak suka itu. Aku tahu, aku tak pernah melakukan hal gila apapun selama beberapa tahun terakhir. Menolak Katie Leung? Menawar hingga setengah harga? Ia bisa menertawaiku setengah mati. Tapi kali ini, aku tak ingin 'mengalah', jadi aku semestinya memikirkan sesuatu yang cukup gila yang pernah kulakukan.

"Hei Jaden, mau menari?" Aku melangkah ke depannya, mengulurkan tanganku.

"Apa yang kau lakukan?"

"Kau bertanya hal gila apa yang pernah kulakukan. Jadi sekarang aku bertanya, apa kau mau menari bersamaku?"

Selama sesaat ia terlihat kebingungan, namun kemudian tersenyum. Tentu saja, ia menyambut uluran tanganku.

"Sesungguhnya, aku tak tahu harus menari seperti apa dan dimana," aku mengakui setelah ia menggenggam tanganku.

"Sungguh tak merencanakan sesuatu dengan matang," ia berdecak, menertawai kecerobohanku-- atau lebih tepatnya, kebodohanku. Ia membawa kami berjalan ke tengah pasir, di tengah-tengah ruang lingkup barbeque yang melingkar, dan berteriak meminta agar musik speaker dibesarkan volumenya. Di ujung tenda-- tempat barbeque, mereka memasang speaker sendiri yang memutar musik pantai dengan bunyi drum seperti tungkup kelapa.

Tapi melihat kami berdiri di tengah, para pekerja menyetelnya dengan lagu romantis. Lagu romantis! Kukira kami akan menari dengan musik pantai. Sekarang, setelah kami menarik perhatian semua orang, mata-mata tertuju ke arah kami.

"Siap?" Jaden menangkat sebelah alisnya.

"Ya," aku menelan ludah. Mau tak mau, aku telah jadi telur di ujung tanduk. Jaden pasti membaui kepanikanku, berbisik: "Ini hanya dansa bebas". Dan aku mengikuti gerakan kakinya yang maju-mundur-maju-mundur, dan ia menyuruhku meletakkan di atas bahunya, dan ia meletakkan tangannya di pinggangku. Keintiman seperti ini tak pernah kulakukan sebelumnya, dan ini benar-benar hal gila untukku. Kepalaku mulai pusing.

"Jadi, Hanna-- apa yang ingin kau lakukan setelah lulus nanti?"

"Mau jawabanku sejujurnya?"

"Sejujurnya."

"Aku tak tahu."

Aku mengatakannya dengan singkat, padat dan jelas. Aku lelah menutup-nutupi hidupku yang terlihat membosankan dan hambar dibandingkan dengannya. Tapi Jaden tak menghakimi atau berkomentar apapun, ia hanya terdiam.

"Sejujurnya...ak-aku tak tahu." Aku tak tahu bagaimana mengatakannya.

"Tak apa, kau bisa keluarkan begitu saja."

"Mamaku menjodohkanku, ingin aku menikah setelah lulus. Ini-ini mengerikan, aku hampir tak berani memikirkan masa depanku. "

"Kau bukan lagi anak kecil. Ia harusnya membiarkanmu memilih jalanmu sendiri."

"Itu sebabnya aku membangkang, dan hingga sekarang Mamaku tak mau berbicara denganku."

"Anak yang malang."

"Thanks," aku memutar bolamataku, dan kami tertawa. Kemudian musik berhenti, berganti dengan ritme yang sedikit lebih cepat, ritme seperti salsa, sehingga Jaden tak henti-hentinya membuatku berputar. Dan ketika aku sadar, beberapa orang lain telah turun dan ikut menari di atas pasir.

"Aku tengah memikirkan sesuatu untuk membuktikan diriku". Mengeluarkan kata-kata yang telah tersumbat dalalm dirimu selama berminggu-minggu lamanya ternyata melegakan. Lega rasanya, setelah seseorang ada disana untuk mendengarkan ceritamu, dan kekhawatiranmu berkurang secara ajaib.

Jaden tersenyum, sibuk mengangkat tanganku dan membuatku berputar. Dan ketika berputar, rasanya segala kepenatan hilang seketika. Rasanya telah terlempar keluar dan hilang di tengah putaran. Dan aku mulai menari penuh gairah, adrenalin dalam diriku terpompa. Aku tahu aku tertawa cekikikan, dan mulai menikmati irama musik. Persetan dengan rencana perjodohan dan segalanya.

"Dan sekarang katakan padaku, kenapa kau mengenakan kaos putih raksasa?"

"Karena, semua orang disini punya bentuk tubuh terbaik bak model. Dan aku tak punya perut cekung atau lengan berotot atau kaki jenjang. Aku tak ingin kalian semua melihatku," aku berterus terang, tertawa dan sibuk berputar lagi.

"Katakan lagi".

"Apa?"

"Katakan lagi, kenapa kau mengenakan kaos raksasa seperti ini?"

"Kau ini sungguh menganggu. Apa kau tak mendengar apa yang kukatakan tadi."

"Katakan."

"Karena-- Jaden Yap, aku tak ingin kalian semua melihat lemak di bawah kulitku."

Ia terdiam dan berhenti menari. Sehingga aku ikut berhenti menari dan menatapinya dengan bingung.

"Apa yang salah?"

"Perhatikan apa yang baru saja kau katakan, Hanna," ujarnya serius. Ia terdiam, membuatku berpikir keras tentang apa yang baru kukatakan.

Dan kemudian aku mengerti maksudnya. "Kau ingin bilang kalau aku baru saja tak percaya diri, menjadi pengecut dengan memakai kaos besar seperti ini."

"Tepat sekali. Nilai 100 untukmu," ia mengatakannya tanpa ekspresi.

Jaden Yap-- sungguh tukang perintah. Bahkan Melanie tak berkomentar apapun ketika aku bersikeras ingin memakai kaos. Tapi sekali lagi ia benar, dan aku mulai kesal karena ia selalu saja menemukan sela-sela kecil untuk mendorongku. Aku menatapnya lurus-lurus, menunjukkan betapa aku tak senang dengannya yang cerewet.

"Aku berani taruhan, kau tak berani."

Dan ketika itu kedua tanganku meraih ujung kaos dan melepaskannya melalui kepala-- di depan matanya, untuk membuktikan kalau ia salah.

"Sekarang kau perlu minta maaf karena kau salah," ujarku.

Tapi alih-alih mengakui kekalahannya, ia menyeringai. "Polkadot merah terang," dan ketika tersenyum, ia menampakkan gigi-gignya.

Ingin kucabut salah satu giginya, ketika semenit sebelumnya ia menantangku untuk hanya memakai swimsuit, dan semenit kemudian menertawai swimsuitku! Apa salahnya dengan motif polkadot? Semua orang punya selera masing-masing.

Aku ingat ia membuatku hampir meledak seperti cabe merah, tapi aku tak ingat bagaimana emosiku sirna dan kami kembali menari bersama musik.

"Sebetulnya," ia berkata ketika kami melompat-lompat kecil di atas pasir, "Merah polkadot itu seksi."

Tapi tak peduli seberapa banyak ia menggoda tentang swimsuitku, aku tak lagi peduli. Aku mulai terbiasa dan bahkan bersemangat dengan hanya mengenakan swimsuit. Aku tak percaya-- rasanya bebas, bebas menjadi dirimu sendiri. Rasanya seperti kau telah membuka diri pada dunia.

"Dan lagi, menjadi sedikit berisi jauh lebih seksi daripada manusia-manusia dengan kaki jenjang disana," ia menggodaku-- lagi, dan tersenyum.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top