Bab 19 Dibalik Nama


Entah semenjak kapan orang-orang mulai membicarakan apa yang kutulis. Rasanya seperti membuat fenomena kecil ketika karangan baru keluar. Dua minggu lalu aku mulai memberanikan diri mengirim ke penerbit besar seperti READER, China Daily dan MOTTO, dua dari tiga karanganku diterima. READER menjanjikan akan menerbitkan tulisanku di edisi minggu kedua bulan ini, yang berarti akan keluar hari ini atau besok, sedangkan bulan depan untuk MOTTO.

Bayarannya lumayan, READER memberiku 500 Yuan untuk seribu lima ratus huruf yang kutulis, sementara 425 Yuan dari MOTTO. Memang tak cukup banyak untuk menghidupi diri, namun cukup untuk menambah uang bulanan.

Aku menggunakan nama pena yang sama di setiap judul: RED. Bukannya aku terobsesi pada merah atau apa, tapi kurasa merah menyimbolkan suatu keberanian. Dan suatu keberanian, itu yang kubutuhkan.

Pagi ini aku sampai di kelas hanya dua menit sebelum Laoshi Hou masuk. Aku menangkap kilasan koran di atas meja XiaoTao dengan ekor mataku. Xiao Tao dan Da Wei membicarakan tipe wanita seperti apa yang tergolong brainy sehingga cukup sexy di kampus. Mereka membahas dari tulisan yang kuberi judul 'Brainy is the New Sexy'. Aku bermaksud membahas betapa tidak zaman memberi nilai pada seorang wanita berdasarkan merk pakaian dan bentuk tubuh mereka-- dan kebanyakan wanita seksi tidak berotak. Kuulang, kebanyakan.

Aku memaksudkannya pada kumpulan wanita yang datang ke kampus hanya untuk menebar pesona dan mengumpulkan pujian. Sebetulnya mereka tak memiliki apa-apa dibalik balutan kulit bersinar mereka. Seperti misalnya, coba saja kau suruh Katie Leung memimpin tim debat, apa yang akan terjadi? (Maaf jika aku kejam, tapi toh aku tak menuliskan namanya sebagai contoh)

Sebetulnya ini inspirasi dari Katie Leung sendiri, yang diam-diam kubandingkan dengan Melanie. Maksudku, semua orang tahu mereka bersaudara dan sama-sama populer. Tapi tak ada yang menjelaskan mengapa Melanie tak sepopuler Katie Leung.

Aku tak mengatakan hal ini pada Melanie, karena aku tahu dirinya paling benci dibanding-bandingkan, terutama dengan Katie Leung. Ia alergi. Menurutnya Katie Leung diperlakukan sebagai tuan putri sehingga terlalu manja dan merepotkan-- yang kemudian aku mendapat ilham tulisan berjudul 'Penyakit Princess'.

Laoshi FuGang masuk dan memerintah agar semua orang membuka halaman 185, lalu mulai berbicara tanpa ekspresi di depan. Tepatnya ia membaca bagian penting di buku dan semua orang bertugas menstabilo bagian yang ia baca. Ini adalah penderitaan setiap Kamis selama satu semester.

Ia tengah membaca bagian "Kasus Jurnalisme" ketika melihat koran Xiao Tao yang tergeletak begitu saja di atas mejanya.

"Ini harian kampus huh, Xiao Tao?" Laoshi memotong bacaannya, dan seisi kelas mengangkat kepala mereka. Xiao Tao tertawa canggung, lalu menjawab: "Aku lupa memasukkannya ke dalam tas".

"Belakangan harian kampus kita hidup kembali," komentar Laoshi, lalu meraih koran itu sebelum Xiao Tao sempat memusnahkannya dari atas meja.

"Kudengar ada penulis yang baru bertunas di kampus, dan mendapat sambutan yang baik".

"Ya," Samuel Tan menyahut dari belakang, "Karangan RED".

Seisi kelas mulai teralih perhatiannya dari isi buku, dan mulai membicarakan judul-judul tulisanku. Sementara aku mencoba tersenyum dan berpura-pura tak tahu apa-apa, jantung di dalam diriku hampir mencelos rasanya. Ini seperti kau mendengar komentar dan pendapat dari para pembaca, seperti menunggu karyamu untuk dihakimi.

"'Brainy is New Sexy'," Laoshi membetulkan letak kacamatnya. "Jadi mahasiswa satu ini memakai nama pena untuk karangannya. Ada yang tahu siapa?"

"Bu zhi dao." Jawab Samuel Tan.

"Ah, identitas misterius. Semoga saja dari divisi kita, aku tak bisa membayangkan kalau anak divisi lain menulis karangan seperti ini...betapa terpukul jurusan kita".

"Sepertinya ia bukan dari jurusan kita," gumam Da Wei.

"RED pernah melampirkan tulisannya di tabloid jurusan ini, jadi ia semestinya anak juralisme," bantah Samuel.

"Karangan mahasiswa jurusan manapun diterima di tabloid jurnalisme," Da Wei mengangkat bahu.

Seisi kelas mulai membincangkan identitas RED. Aku tak tahu mengapa orang-orang tertarik dengan identitas asli penulis. Tapi mereka membincangkan hal ini untuk setengah dari jam pelajaran, dan Laoshi Hou ikut mendengarkan dengan antusias.

Aku menemukan READER edisi terbaru di kios kecil depan kampus seusai pelajaran. Aku mendapati mereka meletakkanku di halaman 15, tepat sebelum catatan wawancara dengan Aamir Kahn-- aktor India yang mendapat sambutan baik masyarakat China, wawancara dalam rangka pengeluaran film barunya.

Mereka baik sekali meletakkanku di halaman strategis, dan melihat tulisanmu terpampang di majalah tingkat pertama seantero negara membuat dadamu melambung, dan mungkin akan membuatmu melompat gila.

Keesokan harinya aku mendapati beberapa orang memegang READER di tangan mereka ketika aku membeli makan siang. Kau tahu, ketika kau menjadi sensitif terhadap suatu hal, dan mendadak matamu akan menangkap hal itu dimana-mana. Aku tak pernah peduli pada majalah apa yang dibaca orang-orang sebelumnya, tapi setelah tulisanku berada di dalamnya dan secara otomatis kau akan sensitif pada covernya yang berwarna putih, lalu mulai memerhatikan siapa dan siapa yang membacanya.

"RED mulai melangkahkan kakinya ke READER." Kedua wanita berjalan melewati mejaku, dan tanpa sengaja aku mendengar percakapan mereka. Mereka tak terlihat seperti mahasiswi dari gedung kami, lebih seperti dari jurusan kesenian, dimana salah satu dari mereka membawa gitar dalam tas hitam di punggungnya.

"Ya, tapi aku tak terlalu suka padanya," komentar wanita yang membawa gitar di punggung.

"Kenapa?"

"Tak tahu, aku hanya tak suka."

Mendengar orang mengomentari dirimu selalu seperti menaiki roller coaster, perasaan naik turun tak menentu.

"Tak usah kau pikirkan mereka." Melanie datang dengan nampan di tangannya, membawa semangkuk yuntun.

"Sekarang kau terkenal, jadi kau tak perlu mendengar komentar semua orang."

"Aku tak terkenal, RED yang terkenal."

Melanie memutar bola matanya. "Ada bedanya?"

Kami lanjut makan dalam diam, dan aku menghabiskan malatang-ku sebelum Melanie selesai dengan yuntun-nya. "Tetap menjadi dirimu bahkan ketika orang-orang tak menyukaimu, itu yang pernah Jaden katakan ketika kami..."

Melanie mengangkat wajahnya, tersenyum nakal dan memberi tatapan penuh arti.

"Apa?"

"Jaden Yap? Si seksi yang jenius?" godanya, "Kuperhatikan akhir-akhir ini kau sering membicarakan tentangnya."

"Masa?" aku memalingkan wajahku.

"Ya," Melanie menyengir lebar, "Kurasa ada yang tengah berbunga-bunga belakangan."

"Melanie, kurasa aku..."

"Apa?"

"Aku tak tahu. Sudahlah, tak ada...."

"Katakan."

"Aku tak tahu bagaimana mengatakannya."

"Katakan."

"A-aku mungkin merindukannya."

Melanie tersenyum. "Katakan dengan lebih berani. Hilangkan 'mungkin'. Kau merindukannya."

"Mudah saja. Kalau begitu telepon dia."

*

Dua e-mail baru masuk siang tadi, dan aku baru sempat membukanya sekarang. Undangan dari komunitas harian divisi jurnalisme untuk menjadi salah satu anggota dari mereka. E-mail satu lagi berasal dari Cao Yang, kepala komunitas harian itu sendiri. Aku pernah melihatnya beberapa kali di kelas Melanie, dan tak menyukainya. Melanie sendiri tak pernah menyukainya, dimana Cao Yang merupakan makhluk terangkuh di kelasnya-- dan lagi, ia kekasih Katie Leung. Dan Melanie tak pernah menyukai segala sesuatu yang berbau Katie Leung.

Semua orang memuji-muji betapa serasi pasangan terkaya di seluruh universitas, dimana mereka sama-sama memiliki pundi-pundi uang tak terhingga, popularitas serta wajah yang sering membuat orang-orang terpesona. Pasangan itu membuat iri seisi kampus, atau begitu kata mereka.

Aku akan ikut mengira mereka adalah pasangan 'terberuntung' kalau aku tidak tinggal di kelas sore hari minggu lalu. Ketika itu aku tinggal untuk menyelesaikan catatan, menyelesaikannya dan bangkit untuk pulang ketika sebuah suara tangisan terdengar dari luar. Dan ironisnya, itu adalah Katie Leung yang tengah terisak.

"Tapi ia mengatakannya. Ia mengatakannya di depan mukaku. Ia bilang aku bodoh!"

Sepengetahuanku, takkan ada yang akan mengatakan Katie Leung bodoh, mengingat banyaknya penggemar yang ia punya-- apalagi mengatakannya di depan mukanya.

"Tapi aku menyukainya-- amat menyukainya. Aku tak menyangka ia akan pernah kasar padaku," ia terus terisak, "Sebelumnya, aku selalu percaya ia adalah Pangeran Kuda Putihku."

Aku hampir tertawa, tapi kejadian ini lebih berupa tragedi. Siapa yang akan menyangka, kehidupan bak seorang putri raja dan pangerannya nyatanya tak seindah yang diumbar-umbar? Siapa yang tahu, kepahitan seperti apa yang harus kau telan ketika semua orang menganggap hidupmu sempurna?

Aku sendiri tak pernah menyangka Katie Leung akan pernah mengalami hal seperti ini. Aku sendiri tak pernah berurusan dengan Cao Yang, dan tak tertarik- Hingga e-mail ini datang dari akun pribadinya sendiri.

Sehari sebelumnya MOTTO mengirim e-mail yang mengatakan menyambut hangat menunggu tulisan berikutnya dariku, dan mereka menghargai kerjasama diantara kami.

Aku menghela nafas panjang. Ini semestinya sesuatu yang bagus, dimana masa depanku seolah menemui titik terang. Tulisanku membuahkan hasil, dan namaku mulai melambung. Tapi dibanding menikmati manisnya detik-detik ini, aku tak bisa berbohong kalau diriku ketakutan.

Semua ini terasa semu, dan dibalik sesuatu yang terlalu bagus selalu ada kegelapan yang menunggu. Hidupku terlalu terombang-ambing diantara ketidakpastian, dan aku segalanya tampak terlalu sempurna. Aku takut segalanya akan direnggut dariku dengan cara yang kejam.

Aku tahu aku telah berubah belakangan menjadi lebih percaya diri, dan hal-hal bagus lainnya. Tapi aku tak bisa menyangkal kalau sesuatu di dalamku tak berubah.

Ingat Pei Lin dan apa yang ia alami?

Aku tak ingin berakhir menjadi sepertinya. Tapi aku seolah melihat diriku tengah berjalan di jalan yang ia lalui.

Seandainya Jaden ada disini, apa yang akan ia katakan?

Aku membutuhkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top