►8
Seorang pria dewasa berumur dua puluh tujuh tahun dengan setelan kemeja dan celana kain yang tersetrika licin berlari dengan wajah panik luar biasa di lorong rumah sakit. Gerah karena keringatnya yang kini mulai muncul, ia renggangkan ikatan dasi pada kerah lehernya agar ia bisa bernapas lebih lega karena pasokan oksigen yang ia butuhkan untuk berlari.
Sepintas, ia dilirik puluhan pasang mata pengunjung, pasien bahkan perawat rumah sakit itu yang melihatnya masih berlari tanpa suara di koridor rumah sakit itu.
"Maaf pak, anda tidak boleh berlarian di rumah sakit –"
"Tapi saya sedang buru-buru." Pria dengan wajah tampan itu memotong ucapan seorang perawat laki-laki yang menghalangi larinya. Napas pria itu memburu karena lelah sebahis berlari dan rasa khawatir yang sedang ia rasakan.
"Tapi pak –"
"Halah! minggir kamu!" dan pria itu kemali erlari. Dan saat ada papa berwarna hijau menunjukkan arah kemana ruang bersalin itu berada, ia segara belok ke kiri. Dan tidak lama kemudia, ia melihat dua waita paruh baya yang sedang memasang wajah khawatir, dan satu pria paruh baya yang sedang duduk untuk berdoa.
"Ibu!" seru pria itu.
Kedua wanita paruh baya itu menoleh melihat siapa yang memanggil.
"Rifki, nak!" salah satu dari wanita paruh baya itu menghambur ke arah pria muda itu.
"Ibu, dia –"
"Istrimu ada di dalam, nak. Temani dia selama proses persalinan."
Kedua mata pria yang bernama Rifki itu melebar, "Ana beneran mau lahiran sekarang?"
"Astaga Rifki," kali ini wanita paruh baya yang lain yang berbicara, "tentu saja. Cepat masuk ke dalam. Bunda tidak sabar menunggu kelahiran cucu pertama bunda."
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Rifki mengangguk dan segera berlari ke ruang bersalin, dimana ia langsung menemukan seorang –yang mungkin diketahuinya adalah bidan.
"Anda suami dari ibu Ariana?"
"Benar. Tunggu! Ana mau lahiran secara normal tanpa sesar?"
"Iya. Jika secara sesar, mana mungkin saya disini, pak."
Lalu Rifki terlihat khawatir saat ia mendengar suara teriakan istrinya dari dalam.
"Boleh saya ke dalam?"
"Tentu. Dukungan anda saat proses bersalin membuatnya lebih kuat. Mari, pak."
Dan saat Rifki membuka gorden berwarna biru yang ada di ruangan itu, terlihatlah wanita yang sedang terbaring lemah dengan kucuran keringat dan air mata yang mengalir di wajahnya. Membuat wanita itu terlihat kacau –namun dimata Rifki, istrinya itu terlihat cantik.
"Ana..." panggilnya lirih.
Wanita itu menoleh ke samping. Dan segera ia tersenyum melihat suaminya telah berada disampingnya. "Rifki..."
Rifki segera memegang tangan istrinya dengan lembut. "Bertahanlah."
"Bu Ana, ini sudah pembukaan ke delapan. Diusahakan ibu harus tarik napas dalam-dalam n hembuskan secara perlahan, kepala bayinya hampir terlihat. Ayo bu dorong lagi." Ucapan bidan itu membuat Ana tersentak.
"Rif, aku tidak bisa... ini sakit sekali."
"Ayolah, Na. Ini demi anak kita. Anak pertama kita. Ayo kau harus dorong bayi kita keluar –"
"BRENGSEK! GUE SAKIT BANGET BEGOO –ARGGHHH"
"EKHHHH –" Rifki langsung tercekik saat istrinya menarik dasinya seraya berteriak karena berusaha mendorong bayinya keluar.
"Iya bu, ayo terus dorong!!"
"A-ana lo nyekik g-gue –EKHHHHHH..."
"BODO! LO MASUKIN APAAN KE PERUT GUE RIF HINGGA GEDE GINI DAN NGELUARINNYA SAKIT –ARGGHHH SUSTER SAKIT INI WOII!!!!"
Rifki menghela napas lega setelah Ana berpindah meremas tangannya lagi.
"Astaga sus! Istri saya kok jadi gila gini?"
"Saya juga gak tau pak. Mungkin bawaan bayi –"
"KAMPREEETT RIFKI LO POKOKNYA JANGAN MASUKIN BARANG LO KE PUNYA GUE LAGI!!! SAKIT BANGET TAU GAK SIH? HOH... HOH.. –ERGGHH RIFKI BEGOOOOO."
"ANA LO JANGAN JAMBAK RAMBUT GUEE!!! SAKIT MONYEEETT!!!"
"OEKK... OEKKK~"
"Syukur... bu..pak anak kalian telah lahir. Laki-laki."
Dan saat Rifki dan Ana sedang menarik rambut mereka satu sama lain, bayi yang masih berlumuran darah telah keluar dengan tangisannya yang keras.
"A-anak gue lahir?" lirih Ana. Tak ia pungkiri, bahwa rasa bahagia telah membuncah di hatinya hingga ia menitikkan air matanya.
"Anak gue..." Rifki hendak menghampiri perawat yang menggendong anaknya, tapi langkahnya tertahan saat rambutnya kembali di jambak, "Adududuh... Na. Gue mau liat anak gue!"
"Enak aja anaknya elo! Lo gak ingat saat lo teriak 'Monyet' anak kita lahir? Jadi, untuk sebulan ke depan, lo gak boleh megang anak gue. Oke? Agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan."
"Tapi Na, tu bayi kan gue yang buat."
"Terus, siapa yang nampung dan nahan sakit? Gue kan? Jadi, JANGAN SENTUH ANAK GUE!!!
"ARGGHHH SAKIT NAA!!!"
.
.
.
"ARGHHHHHH"
Rifki bangun dari ridurnya dengan keringat yang sudah mengucur deras dari dahinya.
Mimpi buruk.
Ya. Rifki baru saja mimpi buruk ia bermimpi telah menjadi SUAMI ARIANA SI CEWEK SINTING ITU!
Rifki tidak percaya itu. Padahal ia sudah mulai ada rasa dengan gadis serampangan macam Ana, tapi di mimpinya, ia menjadi suami paling menderita di dunia –bahkan mungkin sampai akhirat.
"Apa mungkin Tuhan telah ngasih gambaran kalau gue pacaran dan nikah sama Ana, gue bakalan kayak yang ada di mimpi?"
Rifki menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat.
"Bego! Hah! Kalau gini caranya, mending gue nikah sama cowok aja deh!"
Ia lalu melirik jam kecil yang ada di nakas dekat ranjangnya, pukul lima pagi. Satu jam lagi ia harus segera siap-siap pergi ke sekolah.
"Yaudah deh, mending gue jogging aja. Lemes gue mimpi gituan."
Dan Rifki mulai ada keraguan tentang perasaannya terhadap gadis yang ada di mimpinya. Dan sekelebat, ia kembali memikirkan Wika yang kemarin tak dapat ia temui saat ia dan Ana berkunjung ke rumahnya.
.
.
.
.
(Ariana's POV)
"Kalo gue bilang, iya, lo mau apa?"
Gerrrrrrr!!! Kok gue denger ucapan Rifki si bego itu lagi sih tentang kemarin? Tunggu! Kalian jangan salah sangka sekarang gue sama Rifki sudah jadian gara-gara omongan absurd Rifki kemaren. Kagak! Sumpah gue kagak jadian sama itu anak monyet! Gue kemaren waktu Rifki bilang kayak gitu, gue langsung ngalihin pembicaraan dengan –
"Rif, rambut lo rada kritingan, bonding atau smooting sana."
Dan gue juga bilang –
"Eh, gue pengin p*p nih, hayuk pulang! Si Wika kayaknya lagi pergi tamasya ke binaria."
Dan pada akhirnya Rifki lupa akan pertanyaannya ke gue dan dia langsung pulang setelah sampai rumah gue dengan wajah bingung dan bego.
TAPIII –
Eh, gue kan satu bangku sama dia, tentu saja entar pasti dia inget lagi lalu nanyain lagi.
Refleks gue nepuk jidat gue –
"Astaga! Gue mesti gimana? Gue tau gue cantik, meskipun Rifki ganteng juga, gue gak semudah itu nerima perasaannya –"
"Mbak, parkir motornya yang bener bisa gak?"
Asem banget deh, baru aja gue dapet dialog bagus di cerita ini, malah ada suara berat bapak-bapak yang motong dialog –atau monolog? Bodo ah!
"Eh, pak Slamet. Sehat pak?"
Dengan wajah garangnya, satpam sekolah yang sudah hafal sama gue berkacak pinggang.
Gue meringis takut –iya, takut nanti pak Slamet lapor ke guru piket karena waktu itu gue nerobos tembok belakang waktu telat upacara bendera.
"Hehehehe... dimana pak parkirnya? Ini motor emang bego-bego manis. Kadang macetan pak."
"Gak ada yang tanya. Majuan dikit motornya! Kamu kelas 12 kan?"
Gue ngangguk-nggangguk aja.
"Udah senior kok masih gak ngerti cara markir."
"Lah, kan saya bukan tukang parkir –"
"Ehhh... masih ngeles ni anak."
"Iya pak...iya.. maap!" daripada entar gue berabe, mending gue nurutin kemauan tu satpam deh. setelah rada beneran gue markir motor gue, pak Slamet pergi dari tempat parkir menuju pos satpam.
"Gileee tu satpam, dendam banget sama gue."
Setelah mengunci motor gue, langsung jalan gue menuju kelas. Ah, mungkin nanti gue pindah sebentar sama si Agung? Atau mungkin gue duduk sama Dave lagi? Ehh, itu mah gak mungkin! Yang ada gue baru naroh bokong gue di kursinya Dani, udah dilempar kali gue sama tu bule.
Nah loh!
Panjang umur kan tu pasangan homo!
Baru aja gue omongin, udah nongol aja di ujung koridor. Pake remas-remasan tangan lagi!
"Asem banget dah! Pagi-pagi liat pasangan maho tapi manisnya minta ampun. Gue yang jomblo jadi pengin gigit ari-ari bayi!"
Dari pada gue entar pas-pasan sama mereka, mending gue balik aja deh, ke kantin dulu mungkin yak? Beli opor ayam terus kasih sambel empat sendok. Entar kan kalau gue diare bisa jadi alasan untuk gue gak masuk kelas karena harus ke UKS dan gak ketemu sama Rifki.
HAHAHA~
Gue pintar kan? Pinter banget~
Jadi gue yang tadinya mau ke kelas, muter badan dan berbalik menuju kantin. Tapi memang dewi fortuna lagi nyante sambil ngerajut baju, jadi keberuntungan buat gue ketunda. Karena saat gue berbalik, suara keras menyambut gue –
"WOII ANA –"
"Y-ya..yahhh.. si monyet dateng. Kampret banget~"
Waduh! Malah dia lari ke sini lagi.
Halah!! Halah! Halah! Gue harus puter balik lagi nih. Ayo lariiiiii~
"Woii Ana! Jangan lari –OIIII ~~"
Sori Rif, gue belom siap njawab pertanyaan lo kemaren. Gue masih ngarepin anaknya pak haji, dan gue juga kasian sama Wika –eh?
OH IYAAA~
WIKAA!!! Astaga!!! Gue lupa! Gue bisa nolak Rifki dengan alasan Wika suka sama dia. Mungkin Rifki belom nyadar tentang perasaannya Wika kali ya? Ah, gue juga ngerasa gak pantes sama Rifki –yah... alih-alih Riki cowok ganteng dan keren, tapi jika jodoh gak kemana kan yak? Hahaha... yaudah, karena gue udah terlanjur lari, mending gue terusin lari aja. Ketangkep Rifki juga gak enak. Diseretnya gak umum!
"Dave...Dani... minggir kaliaannn!!!"
"Dani –Dave! Tolong tangkep tu laler betina! Jangan sampe lepas."
Gue lari-lari di tempat tepat di depan Dani sama Dave. Dave keliatan bingung mau nurutin omongan gue untuk minggir atau nurutin omongan Rifki untuk ikutan nangkep gue.
"Gimana nih Dan, kita tangkep Ari, atau kita bebasin?" terdengar Dave bisik-bisik yang cukup gue denger ke Dani.
"Udah deh, gue lepasin aja Dave. Gue dalam bahaya nih –"
"Kita tangkep aja, beb! Mungkin ni bocah nyari masalah sama Rifki."
"KURANG AJAR LO DANI-MESUM! Minggir gak?!"
"ENGGGAAK~" teriak Dani tepat di muka gue.
Anjeeenggg tuh bule! Awas ya! Kapan-kapan gue terror bom ke rumahnya dan –
"Astaga! Astaga! Astaga! Adudududuh.... nyeri~~" tiba-tiba gue rasain rambut gue yang di kuncir belakang di tarik oleh seseorang. Dan saat gue berbalik –
"Halo Ana~"
Gue nyengir absurd sambil meringis kesakitan. "Hehe –aduh! Hehehe... eh, Rifki. Sakit lhoh ini rambut gue di tarik gini."
"Bodo. Ikut gue!"
Nah kan bener! Jika gue udah ketangkep sama ni monyet satu, gue di seretnya kagak umum! Lhah ini coba?! Masa rambut gue di tarik gini hingga gue jalannya mundur-mundur sambil nyengir kesakitan kayak bisul!
"Rif, bisa gak lo lebih berperikemanusiaan narik gue nya? Gue masih ada tangan kaleuuss~"
"Kalo ke lo gak ada kata kemanusiaan. Lo juga masih diragukan manusia apa bukan!"
Sementara Rifki nyeret gue dengan narik rambut gue yang udah kusut luar biasa, siswa-siswi yang aa di koridor kelas pada senyum-senyum gak jelas. Bahkan ada juga yang ngegodain.
"Cieee~ mau di tarik kemana tuh?"
"Ah, Ana mau di hajar di ranjang sama Rifki –aww~ so sweet!"
SO SWEET PALE LO?! Gue puyeng nih di seret-seret gini! Mana gak ada yang mau bantuin lagi.
Mana ada yang mau bantuin, lah itu lihat! Mukanya Rifki udah kayak pembunuh berdarah dingin! Serem~ alisnya aja sampe nyatu gitu saking asem nya tu muka!
Eh! Itu ada si Tyo, tau aja dia mau bantu.
"Tyo~ bantuin gue~ tolong, idup gue di ambang batas nih~" gue sengaja pegangan tiang yang ada agar Rifki mau berhenti.
Gue udah pasang wajah memohon paling kasian. Tapi emang nyatanya Tyo makhluk yang gak kalah absurdnya, sambil makan krupuk dia malah ketawa.
"Ngapain lo berhenti! Ayo buruan jalan? Atau gue potong nih rambut lo?!"
Rifki mulai ngancem, dan gue tambah setres karena Tyo masih ketawa-tawa aja sementara gue udah mulai di tarik lagi sama Rifki.
"AWAS LO YAH TYO! KALO GUE MATI, ELO YANG BAKAL GUE TERROORR~"
"GUE TUNGGU NA~"
Kampreeet! Dia malah kesenengen liat gue di kayak giniin.
"Gak bakal ada yang mau nolong lo. Udah lo ikut gue aja. Jadi anak baek-baek biar rambut lo gak tambah rontok."
Gampang aja lo ngomong kayak gitu! Huh! Dasar!
Gue monyong-monyong gak jelas, sampe gue rasa gue udah di belokan, gue lihat tutup botol –eh, maksudnya Rizal, anak kelas sebelas yang gue kenal, mungkin dia bisa bantu gue.
"Riz –" ucapan gue terputus, saat Rizal bergeser ke kanan, dan gue lihat Wika yang juga ngelihat gue –tidak, ia melihat gue dan Rifki. Sepertinya Rifki gak ngelihat Wika. Dan yang paling bikin gue diem adalah, saat Wika berbalik, sepintas gue lihat matanya berair. Sampai Wika lari dengan Rizal yang mengejarnya.
Sementara gue? Gue masih di seret sama Rifki dan berhenti di dekat gudang penyimpanan alat-alat olahraga.
"Gue mau ngomong sama lo."
Gue diem sambil menunduk –itu Wika pasti salah sangka kan antara gue sama Rifki?
"Gue minta lo lupain omongan gue tentang kenyamanan gue bareng lo, Na."
Itu si Wika tadi nangis ya? Beneran deh gue tadi liat matanya berair.
"Mungkin ya, gue nyaman Cuma sahabatan sama lo."
Gue mesti sms ke dia. Biar gak salah paham si Wika itu. Kampret banget si Rifki, kenapa dia gak nyadar selama ini kalo Wika suka sama dia?
"ANA! LO DENGER GAK OMONGAN GUE?"
Seketika gue berhenti ngeraba-raba saku rok gue yang tadi gue niat mau ambil ponsel gue.
"Huh? Apa? Iyaa gue denger!"
"Apa coba?"
Gue diem. Emang gue gak denger apa yang Rifki omongin tadi.
"Rif..."
"Apa?"
"Ada orang yang suka sama lo."
Alis Rifki naik sebelah, "Siapa?"
"Wika."
Dan memang sudah gue tebak. Rifki memang gak peka soal perasaannya Wika ke dia. Nyatanya, sekarang Rifki terkejut setelah apa yang gue omongin.
Tbc
A/N : ini.... gue cepet kan update nya? HAHAHA... maaf part ini rada ngaco dan sembrono, saya lagi emosi sama keyboard laptop yang minta saya congkel hahaha...
Maaf ya ini ancur banget. Tapi meskipun ancur, saya minta vote dan komentar dari para readers setelah baca cerita ini. Budayakan vote dan komentar ya agar saya semangat buat lanjut cepet-cepet ^^
Akhir kata,
Arigatchu~ :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top