►6
Rifki tidak tahu dan tidak mengerti, sudah beberapa hari ini, Wika sepertinya sedang menghindarinya. Ia tidak tahu kenapa. Tapi perasaannya begitu –bahwa Wika sedang tidak ingin dekat-dekat dengannya. Seperti kemarin waktu ia bertemu di kantin bersama teman kelas sebelasnya, Wika menolak ajakannya untuk makan siang bersama. Padahal seringnya Wika akan senang hati jika makan dengannya.
"Wika!"
Rifki yang memang siang itu sedang bosan dibuntuti temannya –si Tyo yang selalu membahas warna celana dalam milik bu Heni guru PKN yang masih lajang plus seksi itu, Rifki akhirnya berhasil melarikan diri darinya dengan kemunculan Wika bersama salah satu temannya yang ia kenali bernama Rizal di kantin.
Tidak seperti biasanya saat Rifki memanggilnya dengan reaksi wajah manisnya yang bersemu kemerahan dengan aura bahagia muncul, Wika yang kemarin memasang wajah dingin tak bersahabat. Tapi toh Rifki tetap tersenyum kearahnya sambil berjalan mendekatinya.
"Eh, kak Rifki." –itu bukan suara Wika, melaikan suara sumbang yang sok akrab dari Rizal. Sementara Wika malah mengalihkan pandangannya ke arah lain dan tak fokus dengan Rifki yang sekarang ada di depannya.
"Yang disapa Wika loh, bukal lo Zal." Rifki merasa heran, sebelah alisnya terangkat,dan bertanya-tanya –Wika kenapa?
"Halah, jangan gitu kak, masa Wika aja yang disapa."
namun Rifki tak meaggapi ucapa Rizal, ia malah fokus memandang Wika yang sepertinya malas berkontakan langsung dengannya. Lalu inisiatif sendiri, Rifki mendekat ke arah Wika yang kini berdiri di belakang Rizal dengan kedua matanya mengarah entah kemana. Rifki tepuk bahunya –dan seperti dugaannya, Wika menegang dan langsung mendongak menatap Rifki yang jangkung itu.
"Hei, Makan siang bareng?"
Biasanya Wika akan langsung mengangguk semangat jika Rifki sudah mengajaknya untuk makan bersama di kantin, tapi kali ini ia agak lama menjawabnya dan malah menatap Rifki dengan kedua mata bulatnya yang polos, dan beberapa detik kemudian, kedua mata bulat milik Wika beralih menunduk –memandang tangan kanan Rifki yang sekarang masih bertengger mais di bahu kirinya.
Adegan selanjutnya membuat Rifki merasa bahwa yang di depannya ini bukanlah Wika. Pemuda kecil manis yang menggemaskan yang di kenalnya selama ini. Wika menyingkirkan tangan Rifki yang ada di bahunya. Tidak kasar –bahkan amat pelan, tapi itu sukses membuat Rifki.... kecewa? Entahlah. Sikapnya ini menurut Rifki tidak seharusya Wika lakukan padanya.
"Maaf kak, mungkin lain kali." Lalu ia balik memandang temannya yang bengong melihat Rifki dan Wika –tentu saja! Rizal tahu kalau Wika naksir dengan Rifki, dan ketika kesempatan berdekatan dengannya ia tolak, itu membuat Rizal merasa aneh.
"Ayo, Zal kita ke kelas."
"Loh, tadi kan lo bilang mau makan."
Rifki tahu, sekarang Wika sedang salah tingkah, terlihat kedua matanya bergerak-gerak gelisah, namun ia dengan cepat mengontrol dirinya dan kembali memasang wajah dinginnya seperti tadi.
"Tidak jadi." Dan Wika berlalu pergi tanpa menunggu Rizal yang masih berdiri di sana dengan Rifki yang masih bingung dengan sikap Wika hari ini padanya.
Dan tidak hanya itu, ia ingat juga sebelum kejadian di kantin –yang berarti jauh hari sebelum penolakan Wika tentang makan siang, Rifki juga mendapati kabar dari Tyo kalau Wika ijin tidak mengontrol latihan klub. Bahkan ia menyerahkan kas klub sepak bola untuk membeli minuman jikalau perlu.
Ini aneh....
Dan tidak biasanya Wika seperti ini.
"Lo kenapa Ki? Serius banget liatin gawang lapangan."
Suara Tyo menghempaskannya dari lamunan tentang sikap Wika yang beberapa hari ini berbeda dan seperti sedang menghindarinya.
Kini ia sedang duduk beristirahat setelah latihan rutinnya. Dia sudah kelas dua belas. Sebentar lagi ia menghadapi ujian dan dengan sedikit tak rela, anak-anak kelas dua belas pensiun dari klubnya masing-masing termasuk Rifki. Jadi ia dan teman-temannya sepakat hari ini adalah hari terakhir kelas dua belas latihan sebelum pensiun dan melantik anggota baru minggu depan.
Tapi nyatanya bukan itu yang mengganggu pikiran Rifki. Tapi Wika.
Hari ini pun ia tak datang juga. Ia sudah mengiriminya SMS tapi tak di balas, mengiriminya pesan lewat LINE bahkan tak ia baca, di BBM juga sampai sekarang masih tercetak code 'D' berwarna biru di kotak pesan BBM nya dengan Wika. Dan itu sudah berlangsung beberapa hari –dua hari mungkin? Ah... Rifki kira mungkin sudah tiga hari dengan hari ini.
"Lo mikirin pensiunnya kita dari klub dan gak ikut pertandingan kalau ada pertandingan antar sekolah?" Tyo merasa tersinggung karena pertanyaannya tadi tidak Rifki gubris. Rifki malah masih melamun dan sesekali menghela napas layaknya Eyang kakungnya yang ada di Jawa.
Tyo berdecak sebal, ia lalu menjetikkan jarinya di depan wajah Rifki yang segera ia kaget karena itu.
"Apaan sih, Cing?"
"Lo yang apaan! Dari tadi gue tanya, lo malah terus ngalamun."
Lalu Rifki berdecak sebal, ia menghela napas, "Gue rasa si Wika lagi ngehindari gue."
"Masa? Emang apa alasannya ngehindar dari lo?"
"Cacing...cacing... kalo gue tahu sih, ngapain gue bingung kayak gini?"
"Kenapalo bingung? Toh, Wika bukan pacar lo."
Entahkenapa, ucapan Tyo tadi seakan menohoknya dan tepat mengenai sesuatu di dalam dirinya yang ia tak sangka akan tersentuh.
Ia juga tidak tahu, kenapa ia jadi uring-uringan saat Wika akhir-akhir ini menghindarinya?
Rasa yang baru ia sadari membuatnya merasa heran.
Benar apa kata Tyo, bukankah Wika bukanlah kekasihnya? Kenapa ia begitu susah seperti ini karena Wika tak berada dekat dengannya.
"Lo sama Wika temenan kan?"
Betul juga. Selama ini ia menganggap Wika adalah juniornya di sekolah sekaligus temannya. Iya. Hanya itu kok hubungannya. Iya itu.
Namun kenapa ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Rifki saat meyakinkan bahwa dirinya dan Wika hanya sebatas teman.
"Entahlah..." lalu Rifki mendesah.
"Astaga!"
Rifki memandang Tyo yang sedang menatapnya dengan kedua matanya yang melebar.
"Apa lagi sih, cing?"
"Lo...beneran suka sama Wika? –nah kan! Omongan gue dulu bener. Lo bakal jatuh suka –"
Belum selesai Tyo berbicara, Rifki sudah menyumpal mulut temannya itu dengan botol air mineral dan langsung ia dengar cacian Tyo padanya.
"Rasakan! Lo kalau ngomong gak pernah bener sama kayak Ana."
Ngomong-ngomong tentang cewek selengekkan macam Ana, Rifki jadi ingat waktu weekend kemarin. Setelah menonton pertandingan itu, ia tak langsung pulang dan sengaja mengajak cewek itu keliling kota sampai pukul sembilan malam. Ternyata jalan sama Ana tidak terlalu membosankan. Ia tidak seperti cewek kebanyakan yang terlalu manja atau terlalu malu-malu di depan laki-laki. Bahkan Rifki sering memukul kepalanya saat ia mengajaknya mampir ke kafe dan Ana dengan tidak sopannya berteriak kepada pelayan untuk membuat es teh untuk gelas keduanya. Sungguh memalukan. Bahkan pakaiannya saja waktu itu terbilang sangat tidak ke-cewek-an. Hanya memakai kaos yang di lapisi Hoodie dan celana jeans yang ujungnya sudah sedikit belel –mungkin karena sering ia pakai atau sekedar gaya fashion aneh milik Ana . Dan Ana memakai sepatu kets berwarna merah, rambutnya yang sudah mulai panjang ia kuncir jadi satu dengan tak rapi seperti biasa. Sungguh berantakan. Tapi entah kenapa Ana pantas saja dengan tampilan berantakan seperti itu.
"Yah...malah sekarang senyum-senyum gak jelas."
Dan sekali lagi Tyo menghentikan lamunannya.
"Siapa yang senyum-senyum gak jelas? Kayak orang gila aja.
"Elo! Ck! Udah deh. Dari pada lo kepikiran terus-terusan, mending lo datengin rumah Wika deh sana."
"Gue gak bawa motor."
"Kendaraan umum banyak, men. Jangan kayak orang susah yang di suruh bajak sawah pake kerbau deh."
Rifki mendengus geli mendengar perumpamaan aneh dari Tyo. Baiklah. Nanti kalau kendaraan umum yang menuju rumah Wika masih ada, ia akan kesana.
*****
Seperti yang Tyo sarankan tadi. Setelah ia bergegas membereskan peralatan sepak bolanya ke dalam tas, ia berganti pakaiannya yang bau keringat dengan kaos dan celana abu-abu nya. Dan tak lupa memakai jaket di atas kaos berwarna abu-abunya.
Dengan mengendarai angkot yang biasa Wika tumpangi –yang ternyata masih lewat saat itu padahal sudah mau maghrib, Rifki sampai di depan rumah Wika sekitar pukul setengah tujuh. Langit sudah gelap dan Rifki kurang enak jika berkunjung ke rumah Wika meskipun masih sore.
Rifki berdiri di depan gerbang rumah Wika yang terbuat dari kayu itu. Dari sini, ia dapat melihat kamar Wika yang ada di bawah depan kolam ikan kecil di halaman masih menyala. Yang mungkin Wika sekarang ada di dalam kamarnya.
"Masuk gak ya?"
Rifki sedikit ragu. Lalu ia mengambil ponselnya –menimbang-nimbangnya dan berpikir untuk menelpon Wika terlebih dulu sebelum masuk ke halaman rumah Wika dan menekan bel pintu depan.
"Tapi kalau Wika tidak mengangkat telepon gue gimana? –ah mending gue masuk saja." Sudah mau membuka gerbang kayu itu, tapi Rifki kembali berhenti, "Bagaimana kalau Wika sedang tidak ada di rumah?"
Kegalauannya semakin menjadi-jadi. Ia hanya ingin bertemu dengan Wika, menanyakannya apa dia sedang menghindar darinya atau tidak, sudah! Itu saja! Namun kenapa ia galau berat seperti ini layaknya orang yang mau menemui orang tua sang pacar untuk meminta ijin untuk melamarnya?
Aish!!!
Segera saja Rifki menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghapus pikiran konyol tadi.
"ASTAGA–" Rifki langsung membekap mulutnya kala ia kaget dan terhempas dari lamunannya karena suara ponselnya yang menandakan ada pesan yang masuk.
Segera saja ia keluarkan ponselnya. Dan ia ingin menjerit senang kala melihat nama dari si pengirim di layar ponselnya. Setelah berhari-hari, akhirnya Wika mau mengirim pesan untuknya! Oh... astaga! Rifki menyunggingkan senyum senang dengan melihat layar ponselnya, ia mungkin juga tak sadar sekarang ia masih berada di depan rumah si pengirim pesan.
Kak, Kak Rifki dimana?
Hanya pesan singkat itu, dan Rifki berbunga-bunga melihatnya. Dan begitu ia sadar sekarang ia ada dimana, Rifki kembali mengkerutkan keningnya bingung. Masa dia membalas 'aku ada di depan rumahmu.'
Nah!
Nanti Rifki bisa hilang harga dirinya karena berhari-hari ia bingung karena Wika hingga sampai ia menyusulnya ke rumahnya. Tidak. tidak. Tidak
Ia tak akan membalas seperti itu, jadi dengan sedikit bumbu kebohongan karena ia masih ingat harga dirinya sebagai lelaki sejati, ia membalas pesan dari Wika itu.
Gue lagi di Scorer –lapangan futsal deket perumahan lo. Kenapa?
Balas Rifki akhirnya. Yah... di lihat dari manapun, pesan itu tidak terlihat menggebu-gebu. Kalau diibaratkan dengan wajah, itu adalah wajah yang datar saat mengucapkannya. Mungkin Wika mau minta maaf melalui pesan karena sikapnya akhir-akhir ini. Mungkin karena ia malu berbicara langsung jadi dengan terpaksa, Wika mengiriminya pesan. Dan Rifki sangat senang karena Wika yang memulai duluan.
Sembari berdiri gelisah di depan pagar kayu rumah Wika, Rifki menunggu balasan Wika selanjutnya.
Ding!
Pesan pun di terima. Tentu saja itu balasan dari Wika, namun sialnya sepertinya pesan itu tidak baik. Karena terlihat kedua mata Rifki melebar sempurna.
Oh. Gue akan segera ke sana kak. Jangan pulang dulu. Gue mau ngomong sesuatu. Tunggu Gue 15 menit lagi.
Kampreeeettttt!
Dugaannya salah! Bagaimana bisa ia ke tempat futsal scorer dalam waktu lima belas menit tanpa adanya motor?
GAAHHH!!!!
Dugaannya salah banget! Ternyata Wika lebih berani dari yang ia duga. Ia akan berbicara langsung padanya! GOD!
Rifki melompat-lompat bingung, takut nanti kebohongannya terbongkar dengan Wika yang menemukan dirinya ada di depan rumahnya. Dan tanpa pikir lebih panjang, Rifki berlari sekencang-kencangnya. Tak sempat jika nanti ia harus menunggu taksi.
Sambil berlari, Rifki membalas pesan itu dengan 'OKE' dan mengirimkannya. Sesekali ia melihat jam tangannya. Sudah habis lima menit ia berlari namun gedung lapangan futsal itu belum terlihat.
"Siaaal!!!" tau begini, ia tak akan berbohong deh.
Dan waktu menunjukkan lima belas menit kurang 2 menit, Rifki sampai disitu. Ia masuk ke gedung dengan berlari kalap hingga menabrak salah satu pemain yang mungkin mau memakai lapangan futsal di gedung itu.
Rifki mengatur napasnya dan mengelap peluhnya dengan cepat. Sehingga jika nanti Wika datang, ia seperti habis keluar dari gedung dan baru selesai main futsal. Bagus! Akting yang bagus!
Kak, Gue udah ada di depan. boleh keluar sekarang?
Rifkitidak membalas. Ia sibuk merapika pakaiannya. Lalu dengan wajah yang di buat sebiasa mungkin, ia memutuskan keluar dan langsung menemukan Wika yang duduk di atas sepeda gunungnya.
Pantas ia bilang 15 menit, ternyata memakai sepeda –pikir Rifki.
"Baru selesai futsalan ya kak? Yang lain mana?"
Rifki menggaruk tengkuknya. Mana mungkin ada anak lain, orang dia kesini saja karena kepepet.
"Err... sudah pulang semuanya. Kan tadi lo bilang suruh gue nunggu disini dulu."
Wika mengangguk. Lalu ia turun dari sepedanya dan menstadankan sepedanya ke tepi dan Wika mendudukkan dirinya di undakan dekat pintu masuk gedung, Rifki pun mengikuti, ia duduk di sebelahnya.
"Kak..."
"Ya?"
"Gue... minta maaf soal sikap gue beberapa hari ini. Mungkin kak Rifki bingung dengan gue yang seperti itu."
Iya emang! –Rifki berucap dalam hati, ia hanya diam dan memandang Wika dari samping yang Wika nya sendiri memandang lurus ke depan.
"Kak Rifki maafin Wika ya? Gue gak lagi marah kok sama kak Wika."
Rifki tersenyum, lalu mengangguk. "Kenapa lo ngehindari gue?"
"Itu..."jeda sesaat, Wika sebenarnya menghindari Rifki karena waktu itu ia merasa kesal karena Rifki jalan berdua dengan Ana. Ia cemburu. Sangat! Tapi Rifki tak menyadarinya. Wika sebenarnya ingin mengakui perasaannya yang sebenarnya pada Rifki, tapi ia takut jika nanti malah semua jadi kacau. Jadi ia menghindar dari Rifki dan menenangkan pikirannya, "...itu, gue lagi banyak pikiran kak."
"Oh..." Rifki mengangguk, tak ingin mengusik lebih jauh lagi, "Sekarang udah tenang?"
Wikamengangguk. Lalu tersenyum.
"Senin depan, lo harus berangkat eskul ya. Ada pelantikan dan perpisahan anggota klub."
"Eh? Perpisahan?"
"Iya. Kan gue, Tyo, Reza dan kelas dua belas lainnya pensiun karena nanti sibuk UN."
Wika baru sadar, Rifki pasti akan pensiun dari klub saat sudah kelas dua belas. Dan ia berpikir lagi, berarti ia tak ada gunanya lagi di klub itu. Toh, dulu tujuannya ia masuk sebagai manajer hanya karena Rifki.
"Jaga mereka baik-baik ya, soalnya sejak lo jadi manajer, kebutuhan konsumsi klub terpenuhi dengan adanya kas." Rifki tersenyum lalu mengacak-acak rambut Wika dengan lembut.
Tapi Wika tak terlihat senang dengan itu, "Gue... gue juga mau keluar dari klub kak."
"Loh? Kenapa?"
"Soalnya....soalnya gue masuk ke klub sepak bola itu juga karena kak Rifki"
Rifki menaikkan sebelah alisnya bingung, "Maksud lo?"
Wika meneguk ludahnya, mungkin inikah kesempatan ia untuk mengutarakan isi hatinya pada Rifki?
"Kak sebenarnya gue su –"
---dan suara nada panggilan di ponsel Rifki berbunyi. Terpotonglah ucapan Wika.
"Sebentar Wik." Rifki mengangkat teleponnya. Dan kata pertama yang keluar dari mulut Rifki membuat Wika kembali bersedih, ia mengepalkan kedua tangannya saat Rifki mengucapkan nama seseorang yang membuat Wika cemburu padanya.
"Ya, Ana. Ada apa?"
Kenapa harus kak Ana lagi?
Ada hubungan apa mereka sebenarnya?
Dan dengan kesal, saat Rifki sibuk berbicara dengan Ana lewat telepon. Wika membuka menu pesan di ponselnya. Ia mengirimi pesan pada seseorang yang setiap harinya mengganggu dan menggodanya sejak mereka bertemu.
Oke. Wika mau di jemput besok sepulang sekolah. Dan Wika mengirimkan pesan itu kepadanya, yang tertera di ponselnya dengan nama 'Bang Alan'
A/N : selamat menunaikan ibadah puasa bagi yang menjalankannya. Karena sedang berpuasa, jadi gak bikin yang mengundang napsu. Bikinnya yang ringan-ringan aja ^^ wattpad lagi ngeselin banget. ngetik ini itu padahal bener tapi malah space nya dibikin gede sama wattpad -_-
Vote dan komen setelah baca ya guys~
Arigatchu~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top