►2
(Author POV)
Dave mengernyit sebal kala ia menerima sebuah kertas kecil yag berisi pesan singkat yang dirasanya kurang menyenangkan. Duduknya mulai gelisah kala ia merasa di perhatikan oleh seseorang. Meskipun cafe itu ramai pengunjung, tak membuat Dave merasa tenang karenanya.
"Dani lama banget sih ke toiletnya."
Kedua tangannya yang ada di atas meja saling remas dan wajahnya gelisah. Kepalanya ia tolehkan ke arah lain –dan tepat saat itu, ia melihat seorang pria yang sedang memandanginya dengan senyuman yang dibuat semanis mungkin dan pria itulah yang tadi mengiriminya sebuah pesan di kertas melalui seorang pelayan yang ada di cafe itu. Pria itu terlihat berumur duapuluh tahunan –mungkin saja dia seorang Mahasiswa. Wajahnya tidak terlalu tampan, tapi pria itu mempunyai tubuh yang tinggi dan cukup berotot. Juga kulit warnanya yang cowok banget.
"Sorry lama. Tadi kunci motor gue jatuh ke closet –sial banget. Harusnya tadi gue nitip ke lo –Dave? Lo baek?"
Dani memandang khawatir pada sang kekasih ketika dilihatnya raut muka sang kekasih seperti ketakutan dan cara duduknya yang gelisah. Dengan pelan, ia genggam tangan Dave yang ada di atas meja, "Lo gak papa?"
"Kita pulang."
"He? Makanan kita belom habis lho ini."
Dave menggigit bibir bawahnya dengan gelisah, sesekali ujung matanya melirik pria yang masih terus saja menatapnya.
Mengetahui tak ada respon dari sang pacar, Dani kembali bertanya padanya, "Hei, lo oke kan?"
Dave mengangguk ragu. Membuat Dani tampak tak puas dengan jawabannya.
"Ada apa sih?"
Sejenak, Dave nampak ragu untuk memberitahu pada Dani. Namun sedetik kemudian, ia mendekatkan diri pada Dani dan membisikkan sesuatu ke telinga Dani.
"Ada cowok yang dari tadi ngeliatin gue mulu." –bisik Dave lirih tepat di telinga Dani.
"Heh?! Mana? Mana?"
Dave segera memukul lengan Dani pelan, saat sang kekasih tak menjaga volume suaranya.
"Jangan keras-keras bego! Dia ada di belakang lo."ucapnya lagi dengan lirih.
Dan seketika, Dani memutar kepalanya ke belakang. Yang ia lihat kini ada seorang pria dengan seorang gadis. Dani menaikkan sebelah alisnya heran, nampak tak mencurigakan dari pria tersebut.
"Dia lagi sama pacarnya kok."
"Ih. Tadi ceweknya tuh belom dateng. Nih buktinya, dia ngirim pesan ke gue waktu lo lagi di toilet." Dave merajuk, sangat kesal mengetahui Dani tak mempercayainya. Dengan kesal, ia menunjukkan secarik kertas yang di kirim pria meja sebrang kepadanya.
Dani menerimanya dan segera membaca pesan itu.
Hai manis, boleh minta nomor HP-nya?
Setelah membaca pesan itu, Dani menggeram dan meremas kertas itu dengan kasar. Dan tanpa bisa menahannya lagi, Dani berdiri dari kursinya –hendak menonjok pria hidung belang yang menggoda kekasihnya.
Namun, sebuah tangan lembut memegang lengannya yang terkepal keras. Dani menunduk, melihat Dave yang menggelengkan kepalanya.
"Enggak, Dani. Jangan bikin keributan disini."
"Tapi –"
"Udah. Tinggal gak usah tanggepin. Gampang kan. Sekarang, mending kita habisin pesanan kita."
Dani menghela napas, jika sudah permintaan Dave, ia sulit sekali untuk menolak. Pada akhirnya ia menahan emosinya dan sempat ia memberikan deathglare pada pria yang menggoda Dave tadi saat mereka bertemu pandang. Dengan kasar, Dani mendudukkan dirinya kembali di kursi.
Menghela napas lagi, Dani memandang Dave yang sedang menunduk menikmati makanannya.
"Gue harus lebih protective menjaga Dave. Dia memang manis dari berbagai sudut." Ucap Dani lirih. Tanpa terasa, Dani tersenyum, nampak bersyukur ia mendapatkan hati Dave. Lihatlah, bahkan seorang laki-laki yang mempunyai pacar perempuan, bisa tertarik dengan Dave yang seorang laki-laki.
"Hm? Tadi lo ngomong apa, Dan?"
"E –eh? Enggak. Cepat kita habiskan pesanan kita, lalu pergi dari sini sebelum cowok itu semakin gencar ngoda lo."
Dave tersenyum lembut, lalu mengangguk untuk segera menghabiskan makanannya.
*****
Dani tak menyangka, ia kembali bertemu dengan pria yang tadi menggoda Dave. Bahkan kini Dave mulai berjalan mundur dan segera menutupi wajahnya dengan helm karena tadi, pria itu sempat mengerlingkan sebelah matanya saat pacarnya sedang sibuk merapikan rambutnya.
Dani menggeram. Bahkan jarak parkir motornya tidak terlalu jauh dengan motor miliknya. Kalau bukan karena Dave yang melarangnya untuk tidak menimbulkan keributan, Dani pastilah sudah memukul pria itu sedari tadi.
Dan tanpa ia duga, Dani memiliki sebuah ide untuk memberi pelajaran pada pria hidung belang itu tanpa memukulinya hingga babak belur.
"Maaf, mba?" Dani mengawalinya dengan memanggil pacar dari pria itu. Ia tidak mendekat pada mereka, tapi Dani tetap masih berdiri di samping motornya yang masih terpakir dekat motor pria itu yang hanya terbatasi 3 motor.
Wanita itu mendongak dan memandang Dani dengan alis terangkat, "Ya? Kamu manggil saya?"
Dani mengangguk. "Apa mas itu pacarnya mba?"
Dani melihat, raut pria itu sudah mulai kaku, Dani menyamarkan ketawanya dengan batuk-batuk kecil. Sementara Dave masih berdiri disamping Dani dengan masih menutupi wajahnya dengan kaca helm.
"Iya. Kenapa ya?"
"Wah... kasian sekali ya anda. Mba, asal mba tahu, mas itu tuh Gay lhoh..."
Sepintas, wanita itu terlihat marah "Eh mas, kalau ngomong di jaga yah! Pacar saya ini normal. Lah buktinya dia pacaran sama saya."
Dani terkekeh, sementara itu pria di sebelah wanita yang marah-marah pada Dani langsung salah tingkah dengan menggaruk-garuk kepalanya.
"Oh normal yah, tapi kok dia meminta nomor HP temen saya yah? Pake nggodain temen saya pake kata 'manis' lagi." Dani mencoba mengingatkan bahwa hubungannya dengan Dave itu rahasia, jadi dia menyebut Dave tadi dengan 'teman'. Tak puas, Dani kembali bersuara, "Kalau mba tidak percaya, tanya saja sama pacar mba itu." Dave memukul pelan punggung Dani supaya berhenti berbicara dan cepat pergi dari sana. Tapi Dani menolak, dan menyuruh Dave untuk tetap diam manis sampai Dani selesai membalaskan dendamnya.
Wanita itu, menoleh pada kekasihnya yang kini terlihat ketakutan, "Beb, bener kamu ngegodain temannya dia?"
"E-enggak kok. Mana mungkin. Dia bohong. Jangan percaya!"
"Dia bohong tuh mba. Tadi sebelum mba dateng kesini, dia nyuruh salah satu pelayan buat nganterin pesan dia ke temen saya."
Wanita itu mendelik pada pria itu. Dan Dani semakin ingin tertawa saat pria itu mulai ketakutan.
"Bener itu? Hah?!"
"I-itu..." pria itu semakin gelisah di pelototin pacarnya dengan garang.
"Heh?! Jawab ayok! Malah bengong!"
Mungkin pria itu memang takut dengan pacarnya, dan tidak bisa menyembunyikan kebohongan, akhirnya ia mengangguk kaku. Dengan cepat, pria itu sudah kena pukul dari sang pacar dengan tas slempangnya yang terlihat berat.
Ouh! Bisa gegar otak tuh cowok
"Emang ya, bener kata temen gue kalo cowok gak bajingan, ya Homo! Dan lo ternyata homo!" dengan masih memukul kekasihnya, wanita itu mengumpat-umpatinya dengan kasar hingga menimbulkan berbagai pasang mata melihatnya.
"Aduh! Udah donk! Sakit nih!"
"Itu pelajaran bagi lo. Udah punya cewek, tapi ngegoda cowok lain!"
"Ouch –shit! Tapi dia lebih manis dari lo!"
"APAA?!"
Dani tertawa melihat dua pasangan kekasih itu yang sedang bertengkar akibat ulahnya. Dengan segera, ia mengeluarkan motornya dari parkiran dan menyuruh Dave untuk cepat naik untuk meninggalkan tempat itu.
"Ih! Lo kebangeten ya? Lo habis ngehancurin hubungan orang lain, tahu gak?" Dave memukul bahu Dani saat motor yang mereka tumpangi tengah melaju.
"Tahu banget! Tapi itu cowok juga brengsek mau hancurin hubungan kita juga."
"Apaan sih? Gue kan gak akan ke goda sama dia."
"Tentu saja. Lo kan udah terperangkap sama gue sepenuhnya."
"PEDE banget~"
"Hahaha.... harus donk!"
*****
(Wika POV)
Gue gak nyangka, gue udah bisa sejauh ini ngenal sosok Rifki Alvin Pratama. Yang awalnya gue hanya bisa lihat dari kejauhan di lapangan sepak bola sekolah, kini bisa dekat dengannya saat di sekolah maupun di luar sekolah.
Seperti saat ini, gue sengaja ngeluangin waktu gue buat nonton pertandingan futsal kak Rifki dengan sekolah lain. Meskipun ini bukanlah pertandingan resmi –hanya permainan saja, tapi gue di suruh kak Rifki untuk datang, katanya kalau gue gak datang, seperti gak ada jam alarm baginya. Iya. Kak Rifki memang kalau sudah main futsal, bisa lupa waktu. Dan gue disini, tugasnya buat pengingat, karena seringnya setelah main futsal, gue di anter ke rumah. Dan jika kemalaman, ia tak enak sama mamah gue. Meskipun gue disini sebagai jam penentu baginya, tapi gue seneng bisa sedekat ini dengan kak Rifki. Dengan orang yang gue suka.
Gue menghela napas, sebenarnya, kondisi seksual gue udah gak normal sejak SMP. Sejak gue sadar, dulu gue merasa sakit hati saat temen gue lebih memilih cewek dari kelas sebelah sebagai pacarnya. Dan saat itu gue baru menyadari, bahwa gue memiliki ketertarikan lebih terhadap sesama jenis.
Saat gue ngaku pada mamah gue kalau ada yang gak bener dari jalur seksual gue, gue takut, mamah akan marah dan ngusir gue dari rumah dan takut pula abang gue sama kakak perempuan gue benci ke gue. Tapi mereka ternyata tidak marah. Memang awalnya mereka kaget, tapi mereka mencoba berpikir dengan kepala dingin kalau gue mungkin kurang perhatian karena keluarga gue semuanya sibuk setelah bokap gue ninggalin keluarga untuk wanita lain. Dan faktor itulah yang membuat kakak-kakak gue dan mamah gak marah dengan ketidak normalan gue –mungkin dulu karena perceraian mamah dan bokap gue membuat gue jadi seperti ini.
Dan saat SMA, saat MOS, gue lihat, seorang pemuda yang dengan semangat bermain sepak bola di lapangan dengan teman-temannya. Banyak cowok di sana, tapi mata gue hanya tertuju ke pemuda itu, kak Rifki. Dan sialnya. Rizal, temen SMP gue yang sudah tahu tentang rahasia gue –dan juga ia kebetulan satu sekolah bahkan sekelas sama gue, menyadari kalau gue mempunyai taksiran baru di sekolah. Bahkan gue belum seminggu lihat kak Rifki dan Rizal udah tahu apa yang gue rasain.
"Udah... sikat dia aja Wik."
Gue yang waktu itu duduk di tepi lapangan –sedikit jauh dari lapangan sebenarnya, memandang kak Rifki yang sedang memainkan bola kesukaannya.
"Apaan sih? Sikat apa? Sikat WC?!"
"Udah. Lo jangan pura-pura. Gue tahu kok. Lo naksir sama kakak kelas yang nomor punggung 12 itu kan?"
Gue menahan napas saat itu, Rizal seperti cenayang, tebakannya sangat tepat.
"Apa? Kenapa gue tahu? Gue lihat lo yang waktu MOS di lapangan, lo liatin itu cowok terus."
Gue menghela napas, oke. Ini anak emang ajaib. Tahu segalanya tentang gue.
"Lo mau gue nyari tahu info tentang nomor 12 itu gak?"
Gue naikkin sebelah alis gue heran. "Emang lo bisa?"
Rizal menepuk dadanya dengan penuh rasa bangga "Gue Rizal Aprilianto, stalker hebat. Kalo nyari gitu aja mah, kecil~"
Gue ketawa dengernya, lalu memukul bahunya main-main, "Gak usah lah, entar yang ada gue sakit hati lagi kayak dulu. Dia kan bukan sejenis kayak gue."
"Eits! Belom mulai udah mau nyerah? Ckckck.... gue prihatin banget. Bener nih gak mau? Gratis loh nyuruh gue buat lakuin itu."
Dalam hati, sebenarnya gue nolak. Takut nanti gue sakit hati lagi karena dia adalah jenis laki-laki straight, dan disisi lain, gue ada rasa percaya diri bahwa gue bisa deket sama dia. Jadi, akhirnya gue nyetujuin usulan Rizal.
Dan gue sejak saat itu tahu namanya. Rifki Alvin Pratama, bahkan kelasnya dan alamat rumahnya. Rizal emang hebat banget nyari ginian.
Gue ketawa waktu inget bagaimana gue bisa jadi menejer klub sepak bola sekolah yang sebenernya posisi ini gak terlalu penting. Ini juga berkat Rizal, dia nyuruh kak Tyo yang ternyata kakak sepupunya –untuk gue dimasukkin di klub sebagai menejer. Kata Rizal, itu adalah akses agar gue bisa deket sama kak Rifki. Dan dengan paksaan yang membuat kak Tyo risih, akhirnya kak Tyo menyetujui usulan gila dari adik sepupunya untuk mengangkat gue jadi menejer.
Kalau diingat-ingat, Rizal berperan banyak dalam hal ini hingga gue bisa deket sama kak Rifki seperti sekarang.
Priiitttt!
peluit di bunyikan, tanda waktu pertandingan –atau bisa dibilang waktu penyewaan lapangan sudah habis. Kak Rifki terlihat sangat berkeringat dan lari-lari ke arah gue.
Menunjukkan senyum semanis mungkin, gue mengangsurkan handuk dan juga air ke arahnya saat sudah ada di depan gue.
"thanks Wik."
Gue ngangguk "Duduk dulu kak."
Kak Rifki menurut, ia duduk di sebelah gue –tepatnya diatas rumput pinggir lapangan. Ia meminum air yang tadi gue berikan dengan rakus hingga habis setengah, dan setengahnya lagi, ia siramkan di atas kepalanya sambil menunduk.
Gue hampir kehabisan napas saat gue lihat, kak Rifki mengibas-ibaskan rambutnya yang basah. –oh my god! He's so sexy!
Gue emang dari dulu udah menduga bahwa kak Rifki itu cowok yang seksi. Apalagi dengan kulit kecoklatannya dan sedikit otot yang menghiasi lengannya. Tak heran, jika ia sedang main sepak bola, banyak cewek yang melihatnya. Mengingat itu, gue jadi sebel.
Kak Rifki meletakkan handuk kecilnya di atas kepala setelah mengelap kepalanya itu, lalu dia melihat ke arah gue, yang seperti biasa, wajah gue laangsung memerah saat ia melihat ke arah gue.
"Wik, sekarang jam berapa?"
Dengan gugup, gue melihat jam yang melingkar di tangan gue "J-jam sembilan kak."
Dia menepuk dahinya, "Aduh. Gue lupa! Kalau kemalaman nganter lo nanti mamah lo bisa marah."
"Gak papa lah kak, asal gak sampe tengah malem, mamah pasti gak bakal marahin kak Rifki."
Yups! Nyokap gue udah kenal sama kak Rifki, bahkan nyokap gue udah tahu bahwa gue naksir kak Rifki.
Tapi kenapa ya kak Rifki belum nyadar kalau gue suka sama dia?
Kak Rifki tidak menjawab ucapanku tadi, ia segera berdiri. Mengambil tas dan memakai jaket hitamnya.
"Yuk pulang."
Gue ikut berdiri dan berjalan mendekat padanya, "Loh? Kak Rifki gak mandi dulu?"
"Gak usah, nanti aja di rumah. Gue gak mau di cap cowok gak bener sama mamah lo karena ngajak anaknya main sampe larut malem."
Gue tahu, sekarang muka gue memerah, karena sekarang gue merasakan panas di wajah gue.
"Ayo. Keburu ntar kemaleman."
Dan gue hanya nganggukngikutin kak Rifki di belakangnya.
"Sori ya kalau gue bau dan lo ntar kebauan karena penuh keringet gini."
"Gak papa kok kak." –bagi gue, kak Rifki adalah yang terbaik meski dalam keadaan apapun.
*****
Sampe depan rumah gue, gue membuka helm dan turun dari atas motor kak Rifki, mungkin gue kecapean atau sol sepatu gue yang licin, saat gue turun dari motor, gue hampir jatuh. Untung dengan sigap, kak Rifki megangin tangan gue dengan kuat. Hingga akhirnya gue bisa turun dengan selamat.
"Lo gak papa?"
"Aku gak papa kok."
"Ck –harus berapa kali sih? Lo jangan ngomong ke gue dengan 'aku-kamu' rasa-rasanya aneh."
"Maaf. G-gue lupa."
"Nah, gitu donk! Kan berasa akrab gitu."
Gue menunduk malu. Apalagi tangan kak Rifki masih megangin tangan gue.
"Kok tangan lo dingin Wik? Kan sudah gue bilangin tadi, tangan lo masuk ke kantong jaket gue biar gak dingin."
Gue menggaruk kepala gue dengan canggung, iya, tadi memang ia menyuruh begitu, tapi gue terlalu gugup untuk melakukan apa yang kak Rifki suruh.
"Ini... gak papa kok kak. Nanti juga hangat lagi."
"Ck. Lo emang gitu orangnya. Sudah sana masuk. Nanti lo tambah kedinginan lagi."
Gue mengangguk, lalu menyerahkan helmnya ke kak Rifki. "Makasih ya kak udah nganterin."
"Sama-sama –oh iya! Adin minta lo main lagi ke rumah. Katanya dia kangen sama lo."
Gue tersenyum mengingat gadis cilik hyperactive itu, lalu gue ngangguk mantap. "Oke. Weekend aku main deh."
"Sip! Salam ya buat mamah lo. Gue pamit."
Dan dengan mengusap rambutku seperti biasa, ia lalu menyalakan mesinnya dan berlalu pergi dari rumah gue.
Ya Tuhan, dengan sikap kak Rifki yang begitu manis ke gue, boleh kah gue berharap agar kita bisa bersatu?
Tbc
A/N : sorry karena telat update nya (banget). Masih adakah yang nunggu cerita ini? (ENGGAK!!! Bakar aja ceritanya bakaaarrr!!!!)
Oke, saya merasa aneh, pasalnya saya pake nama Wika di cerita ini, dan entah kenapa, sahabat saya yg bernama Wika yang kuliahnya jauh di luar kota, kemaren tiba-tiba ada di depan rumah saya dan gak mau pulang sampe jam sepuluh malem. Saya capek dengerin ceritanya dari siang sampe malem yang ujung-ujungnya ngajak saya bisnis KERUDUNG! Unyu banget cobak tu cowok? hahaha Udahlah, tapi unyu-an Wika di cerita ini kok XD
Yosh! Bagi yang ingin cerita ini terus lanjut, minta vote dan komentarnya ya~
Maaf gak bisa update cepet, soalnya saya mau UAS dan tugas menumpuk. Jadi saya update sebisanya ya~
Akhir kata, Arigatchu~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top