►15

Ariana sangat ingat dulu saat dia sudah mengenal Rifki setelah ia mengenal Dave terlebih dulu saat masa orientasi siswa. Saat itu Ariana dikenalkan dengan Rifki oleh Dave yang katanya temannya sejak kecil. Memang, Rifki cukup tampan dengan badannya yang jangkung dan kulit tan nya yang menurut para siswa perempuan dia sangat eksotis -atau kata lain seksi. Maka saat Rifki ikut ekskul sepak bola di pertengahan kelas 10 ia langsung menjadi terkenal dan dikagumi siswa perempuan karena fisik, keahliannya memainkan bola di lapangan dan juga sifat sok dinginnya yang misterius menambah nilai plus untuk pemuda itu. Namun, setelah naik ke kelas 2 dimana 1 tahun sudah ia lewati bersekolah di SMA, pemuda itu tak pernah terlihat menggandeng satu gadis pun di sekolah maupun di luar. Dengan kepopulerannya di sekolah, tentu sangat mudah untuk Rifki memiliki pacar lebih dari satu. Tapi nyatanya tidak ada satupun gadis yang terdengar atau terlihat dengannya. Dan Ariana, memang gadis unik dari segala sisi. Seorang fujoshi, otaku, dan penggila Kpop juga seorang penulis cerita bertema gay sejak berumur 14 tahun di blog miliknya, langsung tahu bahwa Rifki memiliki rasa pada teman sejak kecilnya. Dave.

Cowok blasteran Indo-Korea itu memang sangat manis. Ariana beruntung bisa dekat dengan Dave karena kalian tahu kan? Seorang fujoshi mendekati cowok tipe-tipe seperti Dave pasti hanya ingin memenuhi fantasy nya saja.

Tapi dekat dengan Rifki adalah sebuah bencana. Gara-gara kedekatannya dengan Rifki yang mempunyai banyak penggemar perempuan, Ariana jarang memiliki teman perempuan dikarenakan mereka iri dengan kedekatan mereka. Maka dari itu Ariana sering berjalan-jalan sendirian di lingkungan sekolah seperti bocah yang tak memiliki teman.

Saat itu, seusai pertandingan, Ariana pernah menghampiri Rifki yang sedang duduk dengan teman setimnya dan mengangsurkan minuman padanya karena suruhan Dave waktu itu yang sedang sibuk dengan pacarnya si Ardani. Setelah itu, sebelum ia keluar dari sekolah, para fangirls Rifki menghadangnya. Ariana bukanlah gadis yang feminim, maka dari itu saat mereka menjambak rambutnya, Ariana menendang dan memukul mereka dengan kepalan tangannya.

"Hei kalian salah kalo mau ngajak berantem sama gue. Lo semua takut kehilangan Rifki yang kalian puja-puja?! Ambil sana. Tch!" lalu dengan mengibaskan rambutnya sombong, Ariana memandang remeh mereka, "Wah... Andaikata Rifki itu artis Kpop, gue beruntung banget ya bisa sedekat ini dengannya."

Dan para gadis itu berteriak frustasi saat Ariana pergi dengan tawa kemenangannya.

.

.

Tapi kali ini ia tidak bisa tertawa dengan mudah. Err... Sebenarnya ia ingin tertawa sih, tapi jika ia tidak lagi sayang nyawanya.

Lima orang gadis yang mengaku penggemar berat Rifki, kini sedang mengerubunginya dengan sorot mata benci di belakang gedung sekolah. Tiga diantara gadis itu dulunya juga pernah melabraknya saat pertandingan itu.

"Hei Ana! Kan gue udah bilang, jangan kecentilan deh di depan Rifki!"

Ariana hanya membalasnya dengan pandangan bosan.

"Ih Lita, tuh dia malah gitu ke kita! Sebel deh! Harusnya dulu kita gundulin aja deh rambutnya."

Gadis yang satunya lagi menggeram jengkel. Hanya saja Ariana masih diam meski makian terus saja ia terima.

"Ihhh! Sok cantik banget sih dia jadi cewek. Padahal kan cantikan juga gue!"

"Sepertinya dia pake pelet deh biar si Rifki suka sama dia."

Ucapan terakhir dari gadis yang berbandana itu membuat Ariana tak bisa lagi menahan ketawanya.

"Astaga... Kalian bawa gue kesini buat ngehibur gue ya? Lucu banget sih kalian?"

Kata Ariana dengan tawanya. Kedua tangannya terlipat di depan dada, hal itu menambah geram ke lima gadis yang melihatnya.

"Oh... Astaga!! Gue marah banget liat dia masih bisa ketawa!" salah satu dari mereka yang terlihat seperti ketua dari kelompok itu menggeram frustasi dengan meremas roknya gemas. Lalu ia mengambil ponselnya dari saku dan mengangsurkannya tepat di depan wajah Ariana.

"Lihat! Look! Lo jadi cewek jablay banget ya? Bisa-bisanya lo mau nyipok Rifki dengan bibir busuk lo!"

Ariana menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas gambar yang ada di ponsel gadis itu.

Bukannya reaksi terkejut seperti yang diharapkan ke lima gadis itu, Ariana malah dengan entengnya berkata,

"Sepertinya gue udah terkenal. Ada juga ternyata paparazi yang ngikutin gue. Ck! Gue harus lebih hati-hati nih."

"GAHHHHH! LO CEWEK TERBUAT DARI APA SIH OTAKNYA HAH?!"

"Gue?" Ariana menyeringai, "Dari berlian mungkin. Gak kayak kalian yang terbuat dari batu akik harga 25 ribuan yang nyarinya di comberan sana."

"BRENGS -astaga... Astagaaa.... Gue udah gak tahan lagi! Dasar pelacur lo!!"

"KYAAA... LITA JANGAAAN" empat gadis yang lain berteriak histeris saat gadis bernama Lita itu mendorong tubuh Ariana hingga terjatuh ke semak-semak yang ada di belakang sekolah.

Takut terjadi baku hantam, keempat gadis itu menahan tubuh sang ketua yang hendak menerjang Ariana yang masih duduk meringis kesakitan karena telapak tangannya yang tadi ia gunakan untuk menumpu tubuhnya sedikit terluka.

"Lepasin gue! Gue mau ngasih dia pelajaran! Lepaaas!"

"Lit, tenang! Kalo lo ngehajar dia, pasti lo bakal kena masalah."

Mendengar itu, gadis berbandana merah itu sedikit lebih tenang.

"Bener juga..."

"Tentu saja kita bener. Lebih baik kita tinggalin dia. Semoga aja dia sadar nantinya."

Lita menyeringai, dengan pandangan menghina pada Ariana yang masih meniup-niup lukanya, ia berkata, "Oh... Gue denger lo penyuka Kpop ya? Euh, bukankah artis Kpop homo semua? Tch! ngidolain kok homo gitu..."

Ariana mendongak, ia mendengus mendengar omongan gadis itu. Mereka sungguh bodoh, pikirnya. Dikata dia mengidolakan orang homo, nyatanya mereka juga. Bukankah Rifki bisa dikatakan Homo?

Dasar bodoh!

"Girls, kita pergi dari sini!"

Dengan tak memedulikan kondisi Ariana, mereka berlima berbalik pergi, namun karena rasa tak terima yang tiba-tiba muncul di hati Ariana, ia berdiri dan berlari mengejar mereka. Dengan cepat ia menarik rambut dari belakang gadis yang tadi mendorongnya.

"ARGHHH -Ana! Lep-lepas gak?!"

"Enggak! Lo boleh ngehina gue, tapi lo gak boleh ngehina idola gue! Ngerti?!"

"Heh kalian! Bantuin gue lepas dari jablay ini!"

"Apa?! Jablay?!" Ariana menatap tajam empat yang lain yang hendak menyelamatkan temannya yang sedang ia siksa, "Kalian nyelametin dia, kalian bakal -"

"ANA!" semuanya berhenti dari aksinya dan dengan berbarengan, kepala mereka menoleh pada sumber suara yang tiba-tiba datang.

"Lepasin tangan lo dari rambutnya."

"Rifki..." Lita mendesah senang saat pemuda yang sangat ia sukai datang. Bak layaknya super hero saja dia, pikirnya senang hingga pipinya merona.

Sedangkan Ariana mendesah kecewa saat melepaskan cengkraman tangannya dari rambut gadis itu karena tatapan Rifki yang begitu mengintimidasi.

"Kalian semua kembali ke kelas, biar gue yang ngurus cewek satu ini."

Tanpa berkata apa-apa lagi kelima gadis itu sedikit berlari meninggalkan Rifki dan Ariana yang masih diam memandang satu sama lain.

"Lo bego ya? Lo tau kan gue yang di labrak mereka?"

"Gue tau."

"Dan lo malah nyelametin mereka? Wah... Hebat!"

"Lo udah tau dengan ini kan?" Rifki mengangsurkan kertas yang bergambar dirinya dan juga Rifki yang kemarin saat mereka di gedung indoor sesudah olahraga. Posisi yang sangat salah paham hanya dengan melihat gambarnya. Ariana ingat, gambar itu sepertinya diambil saat Rifki tengah mendekatkan wajahnya pada wajah dirinya waktu itu. Sehingga terlihat mereka hendak berciuman.

"Hm. Udah. Gue harap para guru belum ada yang tahu."

"Gue ragu. Berita menyebar cepat. Pasti guru udah tahu. Lo tahu pelaku yang nyebarin ini?"

Ariana mendengus, lalu ia merapikan seragamnya yang sedikit berantakan. "Kalau gue tahu, orang yang nyebarin itu sudah terkapar di rumah sakit sekarang. Bodo ah! Gue mau ke toilet dulu."

Ariana melangkahkan kakinya meninggalkan Rifki yang masih diam mematung bahkan saat Ariana menabrakkan bahunya ke bahu Rifki, pemuda itu masih diam bergeming.

Bukannya dia sedang terpikir akan hal apa yang terjadi nanti jika guru mengetahui fotonya yang salah paham itu. Melainkan ia melihat seseorang yang tadi sepintas ia lihat orang itu sedang mengintip dari balik tembok sana.

Dan Rifki menduga, orang itulah yang menyebarkannya.

.

.

.

Tangan kanan Wika bergetar hebat saat ia melihat sebuah pesan dari seseorang yang sudah lama ia hindari. Ia sungguh menyesal telah melakukan ini. Ia ingin menyesal kemarin melihat pemuda yang ia cintai tengah bermesraan dengan gadis yang ia kenali di indoor sekolah bahkan memotretnya. Ia ingin menyalahkan Rizal yang mengangsurkan ide itu. Dan ia sungguh menyesal, ia menyetujui dan menyebarkan foto itu ke lingkungan sekolah.

"Ya Tuhan... Apa yang harus gue lakuin sekarang?" bisiknya lemah. Ia meremas rambutnya frustasi. Wajah putihnya memerah karena menahan emosi.

Lalu ia mengerling gelisah ke arah layar ponselnya lagi untuk membaca deretan kata yang di kirim oleh seseorang.

Nanti sepulang sekolah, lo temuin gue di tempat lo ngambil foto gue dan Ana.

Pesan dari Rifki. Dan tempat yang ia maksud adalah lapangan indoor sekolah.

"Arghh! Gue bisa gila!"

.

.

.

"Gue udah selesai!"

"Selesai pantatmu! Lo baru ngumpulin daunnya. Belum juga lo masukkin ini ke tempat sampah."

Rifki tak mendengarkan ocehan Ariana. Dia tetap berjalan ke arah tempat untuk sapu lidi yang tadi ia gunakan.

Ya. Guru sudah mengetahui foto itu dan mereka berdua langsung digiring ke ruang BK untuk menjelaskan semuanya. Syukurlah guru konseling itu percaya bahwa itu sebuah kesalah pahaman. Tapi karena gara-gara foto itu, sekolah menjadi ribut. Keributan itulah yang membuat mereka berdua di hukum untuk menyapu hutan buatan yang di buat sekolah. Tidak luas sih, tapi daunnya yang gampang rontok membuat mereka lelah karena baru di sapu bersih, daun kembali berjatuhan.

"Lo aja ya, Na yang masukin. Oke? Gue beneran ada urusan penting."

"Gak! Enak aja! Enak di elo, gak enak di gue!"

Rifki meletakkan kedua tangannya di pinggang, lalu menghela napas berat. Keringatnya dari dahinya mulai berjatuhan.

"Sumpah deh. Gue ada urusan yang gak bisa di tinggal. Sebagai gantinya, gue beliin lo album Jepang FTI. Gimana?"

Kedua mata Ariana berkali-kali berkedip setelah mencerna ucapan Rifki.

"Serius?"

"Duarius!"

"Oke. Deal! Udah sana lo pergi. Awas aja kalo lo nipu! Bakal gue bom rumah lo."

Rifki mendengus geli mendengarnya. Tidak membuang waktu lagi, Rifki mengacungkan jempolnya pada Ariana sebagai balasan dan membalikkan badannya untuk berlari pergi dari sana.

Tujuannya kini adalah menemui Wika. Orang yang ia duga adalah dalang yang menyebabkan dirinya dan Ariana di hukum.

Dan Rifki, sama sekali belum membicarakan ini dengan Ariana. Biarlah dirinya yang menyelesaikan sendiri. Toh, ini terjadi karena ulah dirinya.

.

.

.

Sesampainya Rifki di lapangan indoor, dia langsung melihat Wika yang sedang duduk di tribun paling tinggi. Koridor sekolah sudah sepi dari siswa. Jadi sebelum ia sampai di lapangan indoor, ia meminta kunci dari petugas keamana. Takut-takut nanti urusannya akan memakan waktu sampai sore.

Wika terlonjak kaget saat Rifki menutup pintu lapangan indoor. Ia semakin menundukkan kepalanya ketika Rifki berjalan ke arahnya dengan tatapan matanya yang tak lepas padanya.

"Lo dateng sendiri?"

Wika merasakan Rifki telah mendudukkan dirinya di sampingnya. Tanpa melihat ke arah Rifki dan terus menunduk, Wika mengangguk kaku.

"Ternyata benar..." Kepala Rifki ia tolehkan ke arah Wika, "...lo yang ngambil gambar kita berdua?"

Rifki tak melihat Wika menganggukkan kepalanya. Pemuda yang lebih muda satu tahun darinya itu terus saja menunduk.

Mengetahui Wika tak akan menjawab pertanyaannya, Rifki menghela napas.

"Lo mau bales dendam sama gue dan Ana?"

Dengan cepat, Wika menegakkan dirinya, "E-enggak kak!"

"Terus?"

Kedua bola matanya bergerak-gerak gelisah, kedua tangannya saling remas dengan erat.

"Gue belum ngomong ke Ana kalo lo pelakunya."

"K-kak aku..."

"Gue tahu, lo kesal ke gue kan? Oke gue gak papa lo bales dendam ke gue. Tapi jangan bawa-bawa Ana dalam masalah ini."

Entah keberanian dari mana, tiba-tiba Wika berani memandang mata Rifki.

"Iya. Aku memang marah, kesal sama kak Rifki. Kenapa aku libatin kak Ana juga?" Wika menjeda ucapannya untuk menarik napasnya, "Karena dia juga orang yang membuatku kesal. Dia berlagak mau bantu aku deketin aku sama kak Rifki, tapi nyatanya dia sendiri yang malah deket sama kak Rifki."

Rifki diam sejenak setelah mendengar ucapan juniornya itu. Ia menghela napas, meraup wajahnya dengan frustasi.

"Itu hanya pikiran lo saja, Wik."

Kembali Rifki menghela napas dan memandang Wika.

"Salah lo juga. Lo terlalu sensitif. Gue deket sama Ana udah lama sebelum gue kenal lo. Lo marah-marah, diemin gue saat gue deketan sama Ana dengan pikiran-pikiran negatif lo. Lalu lo mencoba lampiasin amarah lo dengan deketin sepupu Ana itu -"

"Bukan aku yang deketin bang Alan, tapi dia duluan!"

"Tapi lo mau kan? Buktinya selama lo ngejauhin gue, lo sering jalan dengan dia."

Tepat!

Saat ini Wika merasa seperti seorang yang idiot karena marah-marah tak jelas karena berawal dari pikiran negatifnya. Ia tidak tahu lagi, ia seperti ingin mengubur dirinya saat ini juga.

Wika meremas celana seragamnya. Kepalanya menunduk. Ia bahkan tak sadar saat di atas celananya telah jatuh tetesan air yang keluar dari matanya.

"Gue lagi gak ngehakimin lo Wik. Tapi tindakan lo ini salah. Lo bisa kok bicara baik-baik dengan gue...dengan Ana."

Wika terus saja menunduk untuk menyembunyikan air matanya. Tapi Rifki sudah terlanjur melihat air matanya.

Dengan gerakan pelan, Rifki mengeluarkan tissue yang ada di sakunya untuk ia angsurkan pada Wika tanpa melihat orangnya.

"Ini. Lo akan malu jika orang lain melihat lo nangis."

Namun Wika tak segera menerimanya. Ia mendongak menatap Rifki yang masih menatap ke depan tanpa melihatnya.

"Apa aku tidak ada kesempatan buat kak Rifki?"

Rifki diam. Ia menurunkan tangannya yang masih memegang bungkusan tissue itu dan beralih melihat Wika.

"Tch! Aku memang bego! Harusnya aku gak boleh jatuh cinta lagi sama cowok normal macam kak Rifki." lirih Wika disela-sela tangisnya.

Dengan tangannya, Wika menghapus air matanya yang terus-terusan keluar dari matanya. Bahkan ia sekali dua kali terdengar sesenggukan dari tangisannya.

Namun tiba-tiba gerakan tangannya yang sedang mengusap air mata di wajahnya terhenti saat sebuah pelukan membenamkan wajahnya ke dada orang itu.

Rifki memeluk Wika. Erat. Menenggelamkan wajah menderita milik Wika ke dadanya. Dan detik berikutnya, tangisan Wika yang tadinya sedikit reda, meledak seketika beriringan dengan belaian lembut di rambutnya oleh tangan Rifki.

Tak ada kata yang terucap diantara mereka. Hanya sebuah pelukan saja, ini membuat hati Wika mulai menghangat.

.

.

.

tbc

A/N : apasih? Ini drama banget. Gara-gara akhir-akhir ini saya lagi suka nonton K-drama jadi gini nulisnya. Maaf ya kalo menye-menye dan bikin mutah. Silahkan komentar sesuka kalian deh! Yang banyak dan panjang yaa... Kalo sedikit saya mah ogah-ogahan nerusinnya. tinggal voment aja kok susah! Ayo deh komennya banyak. Jangan cuma vote doank!

Udah deh gitu aja.

Oh iya, sekilas aja ya, cerita saya yang judulnya 'He's not my mom' enaknya terusin gak? Baca gih tu cerita. Komen juga yang banyak dan panjang biar saya minat terusin XD

Akhir kata,

Arigatchu~ :*


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top