►14

Ariana adalah seorang gadis yang tidak terlalu feminim. Bahkan dia pernah memangkas rambutnya yang panjangnya sudah mencapai punggung hingga pendek layaknya potongan rambut untuk anak laki-laki, hanya karena dia risih shampoo. Dia bahkan tak mempunyai banyak kosmetik kecantikan di rumahnya. Bedak pun hanya bedak bayi. Lipgloss juga sangat jarang ia pakai karena membuat bibirnya terasa aneh. Hobinya juga sedikit beda dengan anak-anak gadis lainnya. Jika remaja gadis seumurannya gemar mengoleksi aksesoris lucu-lucu khas remaja, Ariana malah mengoleksi action figure dari berbagai tokoh anime dan komik-komik Jepang. Sehari-harinya tak pernah memakai rok. Jika kau buka isi lemarinya, hanya ada celana jins dari berbagai jenis dan juga boxer yang sering ia gunakan untuk tidur.

Aneh bukan dia?

Tidak sih. Itu menurut Ariana. Dia hanya mencoba hidup anti mainstream dari kebanyakan gadis di negaranya. Kecuali satu. Dia tidak bisa menolak pesona dari tokoh idolanya seperti kebanyakan gadis di Indonesia. Bahkan sekarang dia sudah mulai menabung agar bisa bertemu artis idolanya yang tak kunjung datang ke Indonesia.

Jika kau tanyakan masalah asmara pada Ariana, dia akan berpikir keras. Pasalnya sejauh ia berumur tujuh belas tahun, ia belum merasakan cinta dengan lawan jenisnya. Bukan... bukannya Ariana penyuka sesama jenis seperti sahabatnya Dani dan Dave –bukan ya! Menurut Ariana, dirinya itu tipe gadis yang sulit untuk jatuh cinta. Pernah sih suka sama anaknya pak Ustadz yang ada di kompleks perumahannya setahun yang lalu. Seorang pemuda yang tentu saja alim yang jarak umurnya hanya dua tahun dengannya. Tentu saja parasnya amat tampan. Mungkin ada keturunan Timur Tengah nya mengingat hidungnya yang sangat mancung.

Tapi niat untuk mendekatinya gagal saat ia dengar dari ibunya kala itu,

"Anaknya ustadz Anshori semakin besar, semakin tampan ya? Tambah alim lagi. Mama denger dia kuliahnya melalui beasiswa untuk anak berprestasi."

Ariana yang kala itu sedang membantu ibunya memotong-motong tempe untuk dimasak, mendengarnya dengan seksama dengan mata yang berbinar, "Bener mah? Wahh... berarti mas Maulana pinter donk, Mah?"

"Yaiyalah! Gak kayak kamu!" ucap ibunya di selingi lirikan tajam pada Ariana. "Dan katanya dia mau di jodohin loh sama anaknya syekh yang ada di jawa sana."

"Apa?! Dijodohin?!"

Ibunya mengangguk, "Tentu lah. Kalo enggak, nanti dia salah milih jodoh. Jodoh orang alim macem Maulana kan harus dari keturunan alim juga."

Seketika hati Ariana hancur dan rasa kepercayaan dirinya lebur. Ia menatap dirinya sendiri. Yah... dia baru menyadari bahwa dirinya tidak pantas bersanding dengan anak ustadz itu. Dengan rambut panjang melewati bahu dan di warnai coklat, penampilan sehari-hari yang layaknya preman dan membaca kitab suci pun amat jarang. Mana mungkin pemuda seperti Maulana mau melirik padanya?

Ariana menghela napas mengingat itu, maka dari itulah dia belum mau jatuh cinta lagi. Selama jomblo tidak menyakiti hatinya, pilihan itu tidak terlalu buruk baginya.

"Seharusnya dari dulu aku memakai jilbab..." lirih Ariana pada diri sendiri. Pandangannya kosong entah kemana sampai sebuah suara tertawa dari seorang laki-laki menyadarkannya.

"Apa –apa? Pftttt~ bentar Na. elo? Lo tadi ngomong apa? Coba ulangi?"

Ariana memanyunkan bibirnya. Kentara sekali kalau dia sedang marah karena melihat pemuda yang sangat ia kenali tengah tertawa atas ucapannya tadi. Yang bahkan Ariana baru sadar kalau ada pemuda itu di sampingnya.

"Gak ada siaran ulang! Tolong ya ketawanya di kondisikan!"

Bukannya berhenti, pemuda jangkung berwajah tampan itu semakin keras tertawanya. Untung Ariana sedang dalam kondisi yang malas untuk menghancurkan wajah seseorang. Coba saja jika dia sekarang sedang bersemangat, tentulah pemuda yang kini sedang tertawa bakal mendapatkan lebam biru di beberapa titik di wajahnya.

Melihat teman gadisnya yang tak ada respon seperti biasanya saat dia menjahilinya, Rifki –pemuda itu mendudukkan diri di samping Ariana.

"Na, lo marah?"

"Gue bilang marah pun lo gak bakalan minta maaf."

Rifki berdecak sebal, "Pikiran lo negatif terus tentang gue. Gue gak sejahat itu kali."

Ariana menghela napas, lalu ia edarkan pandangannya ke sekeliling tempat olahraga indoor yang baru ia sadari ternyata teman-teman kelasnya sudah pergi dari sana. Hanya tersisa kini dirinya dan juga Rifki.

"Eh, beneran deh Na. lo marah ke gue?"

Ariana melirik malas ke sebelah kirinya dimana Rifki sedang menatapnya dengan sedikit .... Khawatir? –entahlah.

"Kok lo gak ikutan yang lain ke kelas sih, Rif?" bukannya menjawab pertanyaan yang diajukan Rifki padanya, gadis bertubuh mungil itu malah mengalihkan pembicaraan.

Karena Rifki malas berdebat dengan gadis di sampingnya, akhirnya dia melupakan pertanyaannya tadi dan menjawab pertanyaan Ariana, "Nah, lo juga ngapain gak ikut yang lain ke kelas?" –ah, sepertinya itu bukan jawaban. Tetapi pertanyaan balik.

"Gue gak nyadar yang lain udah pada pergi." Jawab Ariana polos. Yang sukses membuat Rifki membuka mulutnya atas jawaban yang tak terduga dari gadis gila yang ada di sampingnya itu.

"Jawaban macam apa itu?!" dengus Rifki sedikit geli, "Na, tadi gue pikir lo akan jawab, lo disini lagi ngegalau atau apa."

Tanpa ekspresi dan tatapan masih mengarah ke depan, Ariana menjawab. "Gak ada jadwal FTISLAND atau SNSD konser di Jakarta atau Lee Hongki ngehamilin model gravure Jepang, jadi gue gak galau. Galau hanya ada jika hal itu terjadi."

Rifki kembali mendengus. Makhluk macam apa si Ariana ini? Bahkan pikirannya susah sekali ia tebak. Dan entah kenapa keunikan dari gadis itu menurutnya.... Spesial?

Eiy... eiyy... Rifki! Kau tadi bilang spesial? Ck! Apa kau tidak ingat jika kau pernah berpikir untuk lebih baik jadi homo daripada berpacaran dan menjadi suami seorang gadis bernama Ariana? Apa kau sudah berubah pikiran?

"Rif?"

Rifki tersentak dari lamunannya saat suara lemas dari Ariana memanggilnya. "Apa?"

"Menurut lo, gue bakal cantik gak kalo pakai jilbab?"

Rifki tidak langsung menjawab, ia memandang kedua mata bulat milik Ariana dengan beberapa kali mengedip tak percaya. Dan dengan tidak sopannya, Rifki mendorong dahi gadis itu ke belakang dengan cukup keras.

"HEI!"

"Apa?!" tantang Rifki, "Lo lagi kumat ya gilanya? Kenapa mendadak nanyain macam gitu?!"

Ariana mengelus dahinya dengan wajah cemberut, "Emang salah ya kalo gue nanyain gitu?"

Rifki menghela napas. Memang gadis yang ada di dekatnya cara berpikirnya sependek tubuhnya.

"Nih ya Ana, jilbab itu tujuannya di pakai buat menutupi aurat, bukan untuk menjadi cantik." Lalu sekali lagi Rifki mendorong kepala gadis itu, "Kalau punya otak digunain yang bener!"

Diluar dugaan Rifki yang membayangkan gadis itu akan membalas perlakuannya itu pada Ariana, gadis itu malah diam menunduk seperti berpikir.

"Gitu ya..."

"Lo kenapa sih? Heh! Bener kan lo lagi galau?"

"Enggak!" ucap Ariana lantang, "kan gue udah bilang galaunya gue itu –"

"Iya... iya gue tahu gak usah diulang!"

"Yaudah. Balik yuk ke kelas."

"Tunggu!" Rifki segera memegang lengan Ariana saat gadis itu hendak beranjak dari duduknya.

"Apa?"

"Lo lagi mikirin cowok?"

Memang Ariana adalah gadis yang anti mainstream –dimana banyak gadis yang sering bohong jika mengenai isi hatinya, dia malah dengan tanpa pikir panjang, berkata jujur. "Iya. Cowoknya itu anaknya ustadz. Jadi gue tadi Tanya gituan."

Entah kenapa senyum yang tadi ada sedikit di wajah Rifki kini hilang entah kemana setelah mendengar ucapan super jujur dari Ariana.

"Huh?"

Ariana menghela napas dan berdecak melihat wajah bego Rifki yang masih menatapnya. "Udah. Lo lagi mikirin ejekan buat gue kan? Gue udah nyerah dapetin tu cowok. Lagian dia udah di jodohin."

"Eh?" lagi-lagi Rifki belum menemukan lagi suaranya untuk berkata.

"Udah deh. Mending kita ke kelas. Habis ini sejarah. Sepertinya gue mau tidur aja sepanjang pelajaran itu."

Ariana mencoba berdiri, namun baru saja bokongnya terangkat dari lantai, Rifki kembali menariknya dengan kasar hingga bokong gadis itu terhempas ke lantai dengan cukup keras dan Ariana menjerit kesal karena polah pemuda itu.

"Brengsek! Lo mau mati ya Rif –"

Tenggorokan Ariana seperti tercekat saat Rifki yang tidak terduga menarik tubuhnya mendekat pada pemuda itu hingga kedua wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja –bahkan hidung mereka hampir bersentuhan jika ada yang mendorong salah satu dari mereka untuk lebih dekat.

Seakan-akan oksigen di lapangan indoor habis, Ariana bahkan sesak napas saat Rifki masih terus memandanginya langsung kedua matanya tanpa berkedip dengan jarak dekat seperti ini.

"Gue sama cowok anak pak ustadz itu... tampan mana?"

Ariana hampir saja ingin menonjok wajah Rifki dengan keras jika ia bisa menahan rasa geli yang ia dapat dari ucapan Rifki tersebut.

"Hei, kenapa lo ketawa? Gue serius, Na!"

Gadis itu berdeham kecil untuk menghentikan tawanya, dengan sedikit kasar, ia membalas perlakuan Rifki yang tadi dilakukan padanya –yaitu mendorong kepala Rifki ke belakang hingga kini kedua wajah mereka menjauh.

"Sakit bego!"

"Salah sendiri kelakuan lo aneh! Nih ya, gue akui lo emang keren. Tapi kan lo homo. Percuma donk kerennya." –lalu Ariana tertawa dengan keras dengan kakinya yang cepat berlari keluar dari ruangan itu.

"APA?! WOII –arghhh dasar cewek rimba! Awas lo ya nanti di kelas!"

Tapi Rifki tak bisa menyembunyikan senyumnya saat ia mengingat kejadian tadi. Saat wajahnya berada dekat dengan wajah gadis itu. Ternyata... tidak buruk juga.

Hei, Rifki.... Apakah hatimu telah berpaling pada gadis yang kau katakan liar itu?

.

.

.

"Apa sih?!"

"Ayok ke kantin!"

"Yaudah sana ke kantin sendiri. Gue lagi males desak-desakkan di kantin!"

Rifki menghela napas saat Ariana menolak ajakannya ke kantin. Padahal ia tadi sudah minta maaf atas kejadian tadi pagi di lapangan indoor.

"Na, lo gak laper apa?"

"Gue udah nitip roti sama susu kotak ke Mely."

Gagal.

Rifki kembali menghela napas. Kalau sudah begini memang perlu sedikit paksaan kayaknya.

Sementara Ariana sedang sibuk dengan smartphone nya, Rifki dengan cepat mengalungkan lengannya ke leher gadis itu hingga Ariana menjerit dan berdiri dari duduknya karena kepalanya yang kini terapit dalam ketiak Rifki.

"ASTAGA –RIF... ohok! Lo mau bunuh gue ya?"

"Salah sendiri lo nolak ajakan gue!"

"WOII kampret! Astaga ketek lo bau kali!"

Rifki tertawa saat Ariana meronta dibawah ketiaknya dengan memukuli lengannya berkali-kali dan sesekali terbatuk serta mengutukinya dengan sumpah serapah. Hingga beberapa siswa yang ada di koridor itu melihat tingkah kedua manusia berbeda jenis kelamin itu dengan pandangan iri sekaligus dengki.

"Busyet! Lo kira ketek lo bau surga apa?! Pala gue puyeng nih jadinya!" setelah lepas dari cengkraman Rifki, Ariana merapikan rambutnya yang kini acak-acakan serta menghirup udara dalam-dalam setelah dia mencium aroma tidak sedap yang keluar dari ketiak temannya itu.

"Lo lucu juga kalo gue siksa gitu."

"Maaf saja ya, gue bukan seorang masochist yang suka di siksa-siksa ya."

"Eh, mau kemana lo? Ayo lanjut jalan ke kantin!"

Ariana memutar kedua bola matanya bosan saat tangannya di tahan oleh Rifki. Terpaksa ia memutar balik tubuhnya dan berjalan mengikuti Rifki dari belakang.

"Jalan samping gue napa, Na!"

"Males. Gue lagi sibuk update info idola gue. Jadi lo diem aja deh jalannya. Masih untung gue mau ngikutin elo! "

Kampret!

Rifki langsung merutuki dalam hati. Kini ia berasa seorang bodyguard nya gadis yang ada di belakangnya yang sedang menunduk memainkan ponselnya dengan khidmat.

Rifki berjalan dengan sedikit terhentak langkahnya karena selama berjalan gadis yang ada di belakangnya diam tanpa berkata apapun dan menyibukkan diri dengan ponselnya.

Saat sudah mencapai kantin, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat pemuda yang sangat ia kenali. Seorang pemuda yang sedang tidak ingin ia temui karena sesuatu hal. Pemuda yang adalah junior satu tingkat di sekolahnya. Wika.

Wika juga berhenti berjalan saat ia melihat Rifki yang berdiri mematung tak jauh jarak darinya. Sudah dua hari sejak kejadian dimana Rifki salah paham dengan ucapannya. Dan Wika sadar, kini pemuda yang ia sukai menatap marah padanya. Jujur. Ia merasa sangat sakit hati di tatap seperti itu.

"Aduh! Rif, kenapa lo jalannya berhenti sih?!"

Wika mencari sumber suara yang tiba-tiba terdengar. Ternyata, di balik tubuh tegap Rifki, ada seorang gadis yang Wika anggap sebagai penghalang dirinya dalam mendapatkan seniornya itu.

Kedua tangan Wika terkepal saat melihat mereka ternyata ke kantin hanya berdua. Ia bertambah marah saat Rifki membuang pandangannya dari dirinya dan berbalik untuk merangkul gadis itu.

"Na, mending kita gak usah ke kantin deh. Gue tiba-tiba males aja ke sana."

Wika dengar itu. Entah kenapa rasa sakit di hatinya semakin menjadi-jadi saat ini.

"Eh? Kenapa? Nanggung nih, kita udah di depan kantin juga –"

"Udah diem lo! Gue bilang kagak mau ya kagak! Ayo balik ke kelas."

Ariana hendak menolak. Tapi Rifki dengan cepat mengalungkan lengannya ke leher Ariana dan menempatkan kepala gadis itu di bawah ketiaknya seperti sebelumnya.

"WOII! Gila lo! Ketek lo bau Rifki –ih! Lepas gak?!"

"Gak! –ish! Diem kek! Entar lo malah kecekek!"

Ariana langsung diam dan mengikuti langkah Rifki. Gadis itu tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Bahkan Ariana tidak tahu, saat Rifki kembali melihat ke belakang, dimana Wika sedang melihat sedih kea rah Rifki dan Ariana.

.

.

.

Padahal semalam Rifki tidak makan sambal atau mie ayam yang terlalu pedas, tapi pagi-pagi ia sudah empat kali bolak balik ke toilet. Di sekolah ia sudah ke toilet dua kali bahkan sebelum bel masuk berbunyi hanya untuk buang air besar.

"Sepertinya gue stress gara-gara masalah gue."

Rifki menghela napas saat mengingat kejadian kemarin di depan kantin. Semalaman ia memikirkan wajah Wika yang menatapnya sedih saat sedang bersama Ariana.

"Heh! Gue mikirin apa sih?! Kan dia yang udah gak mau sama gue! Ngapain juga gue pikirin?!" ucap Rifki sebal saat mengingat ucapan Wika tempo lalu yang mengatakan tak butuh dirinya lagi.

Rifki melihat jam di tangan kirinya. Lima menit lagi bel masuk berbunyi. Dan dia berharap, saat pelajaran ia tidak merasa mulas lagi. Dengan lemas, Rifki berjalan keluar. Tapi ia begitu kaget saat tiba-tiba sebuah lengan besar mengalung di lehernya tepat saat ia keluar dari toilet.

"Akhirnya, ketemu juga lo kampret!"

"Dani? –eh! Lepas gak?!"

"Gak untuk saat ini. Lo harus ikut gue."

Rifki menahan saat Dani menariknya.

"Tunggu, Dan. Lo mau selingkuh di belakang Dave dengan gue sebagai selingkuhan lo? ENGGAK Dani! Lo gak bener –aduh!"

"Jijik amat gue selingkuh sama lo, hah?!"

Rifki masih mengelus kepalanya yang terkenapukul oleh pacar sahabatnya itu.

"Terus? Lo mau apa nyariin gue? Kan hal langka banget tuh lo nyariin gue."

Dani menggeleng-gelenggan kepalanya dengan membuat suara decakan keras, "Ki, gue gak kira ya. Lo ternyata mesum juga."

"Hah? Maksud lo? Bukannya lo ya yang mesum?"

Dani tidak menjawab. Ia dengan paksa menarik tangan Rifki untuk mengikutinya. Sampai mereka berhenti di sebuah ke rumunan yang terletak di depan papan pengumuman. Dan saat Rifki dan Dani dating, semua orang yang ada di kerumunan itu memandang Rifki dengan pandangan aneh dan bahkan ada yang memandangnya jijik.

Melihat itu, Rifki merasa terpojok. Ia mendekat pada Dani dan berbisik, "Mereka kenapa? Kok liatin ke gue gitu banget?"

Dani memandang Rifki dengan pandangan sedih. Ia kembali menarik Rifki untuk masuk ke kerumunan itu dan menunjuk sebuah gambar yang ada di papan pengumuman.

"Mereka kayak gitu ke lo, karena ini, Ki."

Dan Rifki tidak bisa berkata apa-apa saat melihat gambar yang ada di papan pengumuman itu. Dengan cepat ia cabut gambar itu dan meremasnya.

Hanya satu orang yang kini ada di pikirannya sekarang, "Gue harus cari Ana!"

.

.

Tbc

A/N : halo? Ada yang kangen sama saya? Enggak? Oh gak papa kok. Tapi pasti kalo kalian gak beri vote dan gak komen yang banyak, saya bakal lebih lama update nya dari ini. Hihihi~ kejem ya saya? Udah dari dulu kok XD

So, vote vote vote.... Komen komen komen

Arigatchu~ :*


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top