►10
Setelah baca, jangan lupa beri vote dan komentar ya ^^
.
.
"Makasih ya kak!"
"Iya sama-sama."
"Kalau begitu kita pulang. Kapan-kapan ajari lagi ya kak kalau saya ada kesulitan."
"Pasti. Dateng aja kesini."
Wika tersenyum memandang dua remaja perempuan yang masih duduk di kelas 9 itu. Tadi mereka adalah tetangganya yang meminta bantuan untuk mengajarinya PR matematika. Dengan senang hati tentu saja Wika mau mengajarinya. Ia bukanlah seorang pemuda dingin, dilingkungan perumahannya mengenal Wika pemuda yang ramah. Jadi jangan kaget jika sering ada anak baik SD maupun SMP datang ke rumahnya hanya untuk minta diajari beberapa pelajaran yang belum mereka kuasai.
"Mereka pasti modus. Tu dua cewek Cuma nyari kesempatan biar bisa deket-deket sama lo."
Sebuah suara lain mengintrupsinya. Wika menolehkan kepalanya ke belakang, dimana ada seorang pemuda tampan dengan tubuh proposional tengah menatapnya tajam. Tubuhnya yang tegap itu ia senderkan dengan nyaman ke tembok yang ada di belakangnya dengan kedua tangannya yang terlipat di depan dadanya
"Apaan sih bang Alan? Mereka kan Cuma minta ajarin PR mereka."
"Gue gak suka lo deket-deket lagi sama mereka!"
Sebelah alis Wika terangkat, sedikit kesal dengan ucapan sok perintah dari pemuda yang lebih tua tiga tahun darinya itu. "Dan aku gak suka bang Alan nyuruh seenaknya buat aku ngejauhin mereka."
Sejak Wika mulai membalas semua pesan Alan akhir-akhir ini, pemuda itu jadi sering main ke rumahnya tanpa mengabarinya terlebih dulu. Seperti hari ini, ia baru saja pulang dari minimarket dekat perumahannya, tiba-tiba saja ada Alan yang sudah berada di ruang makan bercanda dengan ibunya, ia sungguh heran –bagaimana Alan bisa secepat itu akrab dengan ibunya?
Alan mendecih kesal. Ia lalu berjalan mendekati Wika dan mendudukan dirinya di atas karpet bersebelahan dengan Wika.
"Kenapa sih? Gue kan calon pacar lo, Wik."
Wika tetap diam, ia malah sibuk membereskan bukunya untuk ia masukkan ke dalam tas.
"Ayolah Wik, lo jangan diemin calon pacar lo ini, hm?" Alan mencolek bahu Wika main-main –sebenarnya ia ingin menggodanya. Alan selalu suka menggoda Wika, karena jika godaannya berhasil, Alan bisa melihat wajah malu-malu Wika yang bersemu kemerahan itu. Manis sekali! Bahkan Alan ingin sekali menciumnya tiap kali melihat wajah Wika yang seperti itu.
"Udah deh bang, jangan ngomong ngelantur. Pulang sana. Udah malem juga."
Wika berdiri sambil membawa tumpukan buku dengan tidak memandang Alan yang masih terduduk di atas karpet.
"Lo masih suka sama taksiran lo itu?"
Seketika, Wika yang niat mau pergi ke kamarnya terhenti setelah mendengar ucapan Alan.
"Enggak. Dia kan lebih suka adikya bang Alan."
Sebelah alis Alan naik dan berjalan mendekati Wika, "ah, cowok macem dia tuh emang gitu Wik. Udah deh, mending..." lalu Alan merangkulkan lengan berototnya ke bahu kecil Wika, "...mending lo trima gue jadi pacar lo."
Wika mengernyit sebal, lalu ia singkirkan dengan pelan lengan pemuda tampan itu, "Bang Alan ngomong apaan sih? Udah malem. Mending bang Alan pulang."
Wajah yang semula tadi tersenyum senang, kini segera pudar mendengar ucapan Wika, "Tega banget sih lo. Mumpung rumah lo sepi, lamaan dikit lah gue disini."
Wika memutar bola matanya bosan, "Justru itu, karena rumahku sepi, bang Alan buru-buru deh pulang"
Seketika senyum jahil muncul di wajah tampan Alan, "Kenapa? Lo takut gue ngapa-ngapain lo?"
"Iya! Makanya gih buruan pulang!" Wika mendorong tubuh Alan yang lebih besar itu hingga Alan terpaksa melangkahkan kakinya menuju pintu keluar. Sampai di depan pintu, Wika berhenti mendorongnya. Dengan lemas, Alan berbalik dan memandang Wika.
"Wik, bentar lagi deh –"
"Ih! Bang Alan ngeyel ya? Udah jam sembilan malem, besok aku sekolah."
Alan terkekeh geli melihat Wika yang kini esal engn mengembungkan kedua pipi putihnya.
"Iyaa... iyaaa gue balik." Lalu pemuda tampan itu mengacak-acak lembut rambut Wika yang dengan cepat Wika singkirkan tangan Alan dengan wajah yang kesal.
"Buruan pulang!"
Alan memutarkan kedua bola matanya. Pasalnya ia cukup tersinggung karena bocah yang sedang ia taksir selalu tak menerima kedatangannya di rumah. Alan berpikir –apa hebatnya bocah SMA yang bernama Rifki itu di mata Wika? Toh menurutnya ia lebih ganteng, keren dan sudah mahasiswa lagi –lebih dewasa dan sudah jelas bahwa dirinya menyukai Wika.
Alan menghela napas, dengan lirikan terakhir sebelum ia pergi, Alan berkata, "Wik, pikirkan lagi. Lo harus memilih orang yang mencintai lo daripada orang yang lo cintai."
Setelah itu Alan bergegas pulang dengan membawa motor ninja hitamnya dengan sedikit kasar.
Sementara Wika, ia termenung memandangi pintu rumahnya yang masih terbuka. Kedua matanya terlihat kosong. Dan kata-kata Alan tadi membuat dirinya bimbang.
Memilih orang yang mencintamu, ya? –dan Wika mendengus kesal. Apalah kata-kata itu jika hatinya sendiri masih belum berpaling dari kakak kelasnya itu.
.
.
.
Pagi-pagi kelas yang di tempati Rifki sudah sangat bising dengan penuh teriakan dari beberapa siswa dan siswi di dalam, membuat Rifki sedikit mengernyitkan dahinya dan malas untuk masuk.
"Heh! Pindah lo gendut! Gue disiniiii!!" –itu suara Ana. Pantas, pikir Rifki, kelasnya itu memang selalu ribut dengan diawali oleh gadis serampangan bernama Ariana.
"Gue kagak mau! Lo balik aja duduk sama si Rifki." Pemuda bertubuh gempal itu tetap keukeuh duduk di tempat dimana ia pikir bangku itu perlu ia pertahanin.
"Ndut, ayolah~ lo kan minggu kemarin udah deal tukar tempat duduk!" Ana mulai kesal, ia menggembungkan kedua pipinya kesal dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Pemuda tambun itu tetap diam, hingga membuat Ana marah dan ia hendak melayangkan tinju pada tubuh besar teman sekelasnya itu. Tapi tangannya yang sudah terangkat dan akan melayangkan tinjunya itu terhenti saat ada sebuah tangan yang lebih besar dari Ana itu menahannya.
Ana kaget, segera ia menoleh ke belakang, "Rifki?!"
"Udah, Na! Biarin aja dia kembali ke tempat duduknya yang dulu."
"Gak bisa donk! Lah gue entar duduk dimana, coba?!"
Rifki berdecak sebal, lalu ia seret tubuh Ariana sampai ke bangkunya dan mendudukkan gadis itu dengan paksa disana.
"Lo duduk sama gue lagi!"
"Apa?! Gak bisa –" Rifki kembali mendorong tubuh kecil Ana saat gadis itu hendak beranjak dari kursinya.
"Rif! Gue gak mau duduk sama lo!!!"
Ana yang masih di tahan bahunya oleh Rifki agar tetap duduk di kursinya, menghentakkan kakinya dengan kesal. Bibirnya mengerucut dengan sebal dan matanya menatap tajam pada Rifki.
"Apaan sih?! Jangan sok manja gitu! Muka lo gak ada pantes-pantesnya sok manja!"
"Anjir! Lo sama cewek gak ada manis-manisnya ya? Bener kan omongan gue? Lo juga calon maho bentar lagi!"
Rifki mencoba tak mendengar ucapan Ana yang menurutnya hanya membuang-buang tenaganya saja jika ia menanggapinya.
Jadi ia menaruh tasnya dan duduk di kursi yang ada di sebelah Ana. Menelungkupkan kedua lengannya diatas meja kemudian menaruh kepalanya disana.
"Heh! Lo sakit?" melihat Rifki yang biasanya bugar dengan tubuhnya yang atletis itu kini menjadi lemas, membuat Ana penasaran.
Rifki masih tak menjawab, ia malah memejamkan matanya.
"Lo udah ketemu sama Wika lagi belum?"
"Belum." Jawab Rifki singkat dengan kedua matanya yang masih menutup.
"Ck! Kok belum sih! Gue kan jadi gak enak. Entar dikira gue cewek kegatelan yang deket-deketin lo."
"Emang bener kan?"
Kedua mata Ana melebar, lalu segera ia menarik telinga Rifki karena ucapannya yang asal, membuat Rifki terbangun dan mengaduh kesakitan.
"Terruuuuss aja ngomong ngawur! Lo yang punya masalah, gue yang juga kena imbasnya!"
"Ana, kasihan tahu Rifki di jewer-jewer gitu!"
Sebuah suara halus mengintrupsi kejadian dimana Rifki disiksa dengan sadis oleh gadis tak tahu kodrat yang namanya sama seperti penyanyi pop dunia itu.
"Dave –aduh! Bantuin gue –ANA! Sakit tahu!"
Dave ikut-ikutan meringis seperti ia juga merasakan sakitnya. Segera saja ia menarik tangan Ana agar berhenti nyiksa Rifki sebelum telinga sahabatnya itu memanjang.
"Lepas gak Dave!? Gue pengin kasih pelajaran sama ni cowok!"
"Gak gitu juga kali, Ariiii!!!"
Dengan kuat, Dave akhirnya bisa menghentikan aksi Ana yang kelewat over untuk ukuran seorang gadis. Ana langsung terdiam, tapi kedua matanya memicing dendam pada Rifki.
"Kalian kenapa sih?!"
"Tahu tuh Ana! Dia tiba-tiba nyerang gue!"
"Ari?" Dave berbalik memandang Ana yang masih diam dengan kedua matanya masih menatap seperti pembunuh pada Rifki.
"Dave, Rifki tuh bego! Dia udah nyakitin perasaan orang tapi lagaknya sok polos gitu! Kan minta gue bunuh banget!"
Dave menaikkan sebelah alisnya heran. Ia memang sudah lama tidak bermain dengan Rifki karena Dani yang selalu menginvasinya untuk berduaan sepanjang waktu. Pagi ini Dani sedang tidak berangkat karena ikut ayahnya yang ingin mengenalkan Dani untuk urusan bisnis, jadi Dave berangkat sendiri dan karena itu dia bisa sedikit bebas untuk bersama sahabatnya –bukannya Dave tidak senang jika sering menghabiskan waktu berdua dengan kekasihnya, hanya saja sesekali ia ingin berkumpul dengan teman-temannya yang lain tanpa adanya seruan protes dari Dani.
"Siapa yang sakit hati?" tanya Dave pada Ana.
"Wika."
"Eh?" tentu saja Dave ingat. Pertama ia bertemu dengan pemuda manis bernama Wika itu saat ia dengan semangat mengantarkan minum untuk Rifki seusai latihan sepak bola. Iya. Dave ingat betul saat itu, Wika yang ia ketahui adik kelasnya itu wajahnya merona merah saat melihat Rifki sedang meminum minumannya dan Dave juga ingat, saat bocah yang lebih muda setahun darinya itu merenung sedih saat Rifki menggendong Ariana di tengah lapangan.
"Gue gak maksud seperti itu, Na! Gue gak tahu dia suka ke gue!"
"Lo yang bego karena gak peka!"
Rifki mulai marah, ia memandang gadis yang ada di sampingnya dengan tajam.
"Denger ya! Kalo Wika suka ke gue! Mana mungkin dia nolak gue waktu gue ngunjungi rumahnya! Dan juga..." Rifki menjeda kalimatnya sejenak, lalu setelah menghela napas, Rifki kembali berbicara, "...dia sudah punya pacar."
Ana tersentak, ia langsung menegakkan tubuhnya dan menyipitkan kedua matanya, "Pacar?"
"Iya pacar! Kalo dia udah punya pacar, ngapain juga dia suka ke gue."
"Kayaknya elo ada salah paham disini deh, Rif..."
Dave terdiam, ia hanya melihat dari Rifki ke Ariana. Dia memang belum tahu masalahnya, jadi dia lebih baik diam dan menyimak.
"Salah bagian mana?! Sepulang sekolah gue ke rumahnya Wika, tapi ibunya bilang Wika sedang tidak enak badan dan gak mau di ganggu –gue akhirnya pulang. Malamnya gue ke sana lagi, tapi ternyata apa? Gue lihat ada cowok yang keluar dari rumahnya. Gue udah tahu cowok itu bukan keluarganya Wika karena gue udah kenal sama keluarganya. Siapa lagi coba? Pasti cowok itu pacarnya!"
Ariana hanya memandang diam pada Rifki yang berbicara dengan nada sebal seperti itu.
"Well, sepertinya ada yang lagi cemburu disini. Ya gak, Dave?"
Dave segera mengangguk dan menyeringai geli melihat tampang sahabatnya yang keruh seperti itu.
"Diam lo semua!"
"Gue dari tadi diam kok, Ki." Lalu Dave terkekeh geli.
"Jangan dekat-dekat gue, Dave. Entar Dani dateng, gue ribut lagi sama tu bule mesum."
"Dani lagi di kalimantan."
"Kalimantan? Ngapain? Ngasuh orang utan disana?" kini Ana yang menimpali lalu tertawa keras melihat wajah Dave yang tersinggung.
"Dia ikut bokapnya, katanya mau dikenalin dengan bisnis sebelum Dani mengambil jurusan entar kuliahnya."
Ana hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu beralih lagi menatap Rifki yang masih saja memasang wajah kusutnya.
"Emang cowoknya kayak apa? Eh, gue kayaknya punya firasat kalo Wika emang beneran gay."
"Gay?" lirih Rifki, lalu kedua matanya menyipit menatap Ana.
Ariana mengangguk, "Iya. Soalnya waktu SMP, gue pernah lihat dia nyimpen foto cowok di lipatan bukunya. Kan gue dulu tetanggaan sam dia, jadi sering main ke kamarnya."
Dan Rifki semakin gelisah mengetahui fakta ini. Dia memang sedikit ada rasa kepada Wika. Rifki belum mau menyebutnya rasa cinta. Tapi tiap kali ia jalan bersama dengan Wika, ada rasa nyaman yang menenangkan untuknya. Jika Wika gay, kemungkinan cowok yang Rifki lihat semlam itu bisa jadi pacarnya –tapi bukannya Wika suka pada dirinya?
"Berarti bener, cowok semalem gue lihat, pacarnya Wika..." terdengar ucapan Rifki lirih dan langsung tertunduk lemas. Ada sedikit rasa sesal dihatinya karena tidak mengetahui perasaan Wika lebih awal.
"Cowoknya seperti apa emang? Kalo lebih ganteng dari lo sih wajar Wika milih dia dari pada elo."
"Ariii!!!" Dave menepuk bahu Ariana yang berbicara sembarang, karena detik berikutnya Rifki kembali menghela napas pasrah.
"Gue akui, cowok yang semalem gue lihat itu tinggi –lebih tinggi dari gue. Badannya bagus, wajahnya kurang jelas karena semalem gelap."
Ana seperti mengingat-ingat sesuatu. Dahinya mengerut –tampak sedang berpikir keras, "Tunggu Rif, tu cowok motornya apa?"
"kayaknya sama kayak punya gue, motor ninja hitam."
"Bang Alan!" celetuk Ana tiba-tiba.
"Alan?" Tanya Rifki.
Ana mengangguk, "Dia kakak sepupu gue dari Lampung, dia waktu pertama kali lihat Wika pas di rumah gue, bang Alan langsung tertarik padanya. Tapi gue gak tahu juga. Gue gak serumah sama dia, jadi mana tahu gue kalo bang Alan main ke rumah Wika."
Rifki tidak tahu lagi haru bilang apa. Memang kata-kata tentang 'cinta datang terlambat' benar-benar terjadi padanya. Saat dia mulai sadar akan perasaannya, kenapa cinta itu malah sulit sekali untuk di gapai?
"Gue nyesel, kenapa cinta bisa dateng terlambat gini?"
.
.
TBC
A/N : maaf update lama, dan sekali update malah gini hasilnya. Ini saya ngetik pake notebook nya kakak. Karena weekend jadi notebook nya gak dibawa ke kantor dan saya bisa pinjem buat ngetik bentaran.
Selama laptop saya belum jadi, readers mohon maklumi ya kalo saya jarang update dan misal kalo update sedikit, soalnya kadang kakak saya suka asal paksa ambil kalo saya minjem notebooknya TAT kan saya takut nanti klo kakak saya tahu saya bikin cerita ginian, pake notebooknya lagi.
Yoshh~ untuk beri semangat untuk saya, beri vote dan komentar sebanyak-banyaknya ya~
Arigatchu~ :*
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top