3. Tamu Di Pagi Hari
Suara notifikasi beruntun terdengar dari ponsel yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Rendy yang hendak memejamkan mata menjadi gusar. Ia lupa mengaktifkan mode senyap.
“Mengganggu sekali. Apa enggak tau kalau sudah tengah malam? Apa enggak bisa besok?” omel Rendy.
Kesal, ngantuk, ditambah berisik. Rendy dengan kasar mengambil ponselnya. Ia duduk bersandar ke dinding. kemudian membuka pesan yang masuk.
Ia menguap beberapa kali. Matanya pun berair. Sepertinya ia butuh secangkir kopi untuk tetap bisa terjaga, tapi ini sudah larut.
Tersedak tanpa minum. Rendy terbatuk-batuk. Kedua matanya terbuka lebar. Ia membaca berulang kali deretan pesan yang tertera di layar ponselnya.
Rendy tidak ingin lanjut membaca. Deretan kalimat lainnya diabaikan. Tanpa membalas, Rendy langsung mematikan layar ponsel. Sebelumnya, ia mengaktifkan mode senyap.
Ia terlalu malas untuk membalas pesan yang Bintang kirimkan. Ini sudah hari ketiga sejak pertemuan mereka. Si cewek ajaib itu terus mengirimkan pesan. Mengingatkannya untuk segera mengganti lipstik merah muda yang tidak sengaja terinjak. Rendy merasa seperti diteror.
Bukannya Rendy tidak mau mengganti, tapi lipstik itu keluaran merek ternama. Edisi terbatas pula. Ia bingung harus mencari di mana lagi. Sudah mencari di setiap mal di Bandung, tapi nihil.
Rendy juga berselancar di dunia maya. Hasilnya tetap sama. Ditambah harganya yang sempat membuat mata Rendy membulat sempurna. Bagaimana bisa benda sekecil itu harganya lebih mahal dari sandal yang bintang belikan waktu itu.
Pernah terbersit untuk bertanya pada Mamanya, tapi langsung batal. Mengingat seribu pertanyaan yang mungkin akan timbul. Rendy bingung harus menjawab apa. Dijawab jujur pasti tidak akan percaya. Ia juga ingin sekali bertanya pada teman, sauadara atau kenalan perempuannya. Sekali lagi takut ditanya macam-macam.
Akhirnya, Rendy hanya bisa mengerahkan kemampuannya sendiri. Ia pikir jika masalah seperti ini jangan melibatkan orang lain. Makin sedikit orang yang tahu, makin baik. Demi menghindari prasangka.
Sejenak lupakan masalah lipstik, rasa kantuk sudah tak tertahan. Rendy menguap lebar. Menarik selimut sampai menutupi seluruh tubuhnya. Malam ini begitu dingin. Padahal pendingin ruangan mati.
Rasanya baru memejamkan mata sebentar. Ketika suara ketukan di pintu berulang kali membuat Rendy terjaga. Ia susah membuka matanya yang terasa lengket. Berusaha juga untuk bisa melawan rasa kantuk yang membujuknya menarik selimut lagi.
“Sudah jam lima. Ayo, bangun. Jangan sampai telat salat subuh.” Suara Mama terdengar jelas.
Rasa kantuk belum sepenuhnya hilang, tapi kewajiban harus ditunaikan. Rendy bergegas ke kamar mandi. Lima belas menit kemudian, ia sudah siap salat subuh. Selepas itu, ia bersiap untuk jogging sebentar. Sebenarnya, hanya berjalan menghirup udara pagi di sekitaran komplek saja.
“Jangan sarapan di luar. Hari ini Mama masak banyak,” ujar Mamanya dari dalam rumah ketika Rendy sedang memakai sepatu. Jempol kakinya sudah membaik, jadi tidak perlu memakai sandal terus.
“Mau ada tamu?” tanya Rendy.
“Tante Tari. Sudah di jalan.”
Rendy yang sedang mengikat tali sepatu, berhenti sejenak. “Sepagi ini?”
Dari arah dapur Mama menyembulkan kepalanya. “Katanya ada perlu di Bandung. Jadi sekalian mampir dulu ke sini. Sama Devia juga.”
Mendengar nama Devia, membuat Rendy sejenak termenung. “Pernikahannya tinggal dua bulan lagi,” ucapnya pelan.
“Waktu itu Tante Tari sempat minta kamu buat jadi pager bagus seperti di pernikahan Devan dulu. Tapi, Mama tolak. Kamu kan selalu enggak betah di acara ramai kayak gitu,” ucap Mamanya yang entah sejak kapan sudah berdiri di samping Rendy.
“Makasih, Ma. Mama itu memang ibu terbaik di dunia.” Rendy memeluk Mamanya.
“Jadi, kapan kamu mau kasih cucu?”
Pertanyaan ini telah berhasil membuat Rendy seperti menelan jeruk lemon. Asam. Ia melepaskam pelukannya. “Cucu itu bukan permen yang bisa dibeli di warung. Jadi, sabar sedikit ya, Ibunda Ratu.”
“Stok sabar Mama sudah mau habis.”
“Beli lagi. Aduh.” Rendy mengaduh. Mengusap keningnya yang disentil.
“Mama tau luka kamu masih ada. Tapi orang bilang, masalah hati diobatinya dengan hati juga. Masa iya enggak ada yang kecantol dengan bujang kasep Mama?”
Rendy terkekeh. “Kayaknya sih banyak. Anak Mama kan seganteng idol Korea. Ya sudah. Aku jogging dulu. Mama mau nitip atau dibawain apa?”
“Bawain mantu!”
Rendy geleng-geleng kepala. Memangnya mantu itu batu yang banyak di pinggir jalan? Tinggal pungut. Ia tahu kalau Mama bertindak seperti itu karena sangat menyayanginya. Tidak ingin anak semata wayangnya terus terjebak dalam luka masa lalu. Sudah hampir setahun berlalu, tapi lukanya masih membekas.
Susana pagi yang masih sepi sangat cocok untuk berolahraga sambil mendengarkan musik yang mengalun melalui airpod yang terpasang di telinga. Rendy bersenandung mengikuti lirik lagu yang didengarnya. Namun, kesenangannya terganggu ketika satu panggilan masuk.
“Hallo .…”
“Hei, kamu sengaja enggak mau balas pesan atau anggkat telepon aku? Mau lari dari tanggung jawab!”
Dari suaranya, Rendy sudah tahu jika ini Bintang.
Rendy berhenti. Menepi. “Bukan begitu.”
“Terus apa? Ini sudah tiga hari. Kamu enggak ngasih kabar.”
“Aku sibuk.”
“Alasan. Sibuk apa? Ngerjain makalah atau skripsi? Awas saja. Aku akan viralkan. Aku punya KTP kamu, loh.”
Rendy tertawa tanpa suara. Makalah? Skripsi? Sudah berapa tahun itu terjadi. Apa wajahnya masih tampak seperti anak kuliahan? Padahal sudah jelas tertera di KTP, berapa umur dan pekerjaannya. Tanda pengenal yang kini berada di tangan Bintang. Dijadikan sebagai jaminan.
Memang agak lain gadis ini. Tidak meminta jam tangan, ponsel atau benda berharga lainnya. Hanya KTP. Jangan-jangan mau dijadikan sebagai jaminan pinjaman online?
“Kamu enggak lupa bisa baca, kan? Cek lagi KTP aku,” ujar Rendy sembari tersenyum.
“Nama Randika Adya Gumilar. Tempat tanggal lahir, Bandung 23 Maret 1997. Ah, ini pasti salah cetak. Wajah imut gini, enggak mungkin sudah 27 tahun.”
“Imut?” Rendy mengernyit. Ia tidak salah dengar, kan? “Coba ulang sekali lagi?” ujarnya memastikan.
“Eh, bukan gitu …. Ih, maksud aku itu .... Wajah kamu pantesnya jadi mahasiswa baru.” Terdengar jelas nada gugup dari seberang sana.”Jangan salah sangka dulu. Pokoknya aku enggak terima alasan apa pun. Lipstik itu berharga buatku.”
“Iya. Aku mengerti, Ananda Bintang Cantika.”
“Dari mana tau nama lengkap aku? Perasaan aku enggak pernah ngasih tau,” suara Bintang terdengar heran.
“Waktu bantuin mungutin dompet kamu tempo hari. Aku enggak sengaja ngeliat kartu mahasiswa kamu,” jelas Rendy.
“Oh, gitu. Kirain kamu keturunan cenayang atau stalker,” Bintang tertawa kecil. “Jadi, kapan mau ganti lipstik aku?”
“Aku sedang berusaha mencari lipstik yang sama. Tapi, belum ketemu. Sabar sebentar. Atau aku ganti uang saja. Aku lebihin.” Bibir Rendy belum mengatup sempurna. Bintang langsung berseru. Terdengar hampir berteriak. Sampai Rendy memegang telinganya.
“ENGGAK! Pokoknya ganti sama persis. Itu hadiah giveaway pertama aku. Setelah setelah sekian lama ikutan, baru menang,” tegas Bintang. “Aku tunggu besok jam 2 siang di mal kemarin. Awas kalau tidak datang. Aku pajang KTP kamu di internet!”
“Besok aku …. Malah ditutup duluan. Padahal seminggu ini enggak bisa ke Jakarta.” Rendy menantap ponselnya. Ia kesal karena Bintang memutus sambungan telepon duluan, tanpa menunggu kalimatnya selesai diucapkan.
Gara-gara ini, Rendy jadi malas melanjutkan jogging. Ia memutuskan untuk duduk di trotoar. Hanya duduk sambil memperhatikan keadaan sekitar yang sudah mulai ramai. Beberapa orang yang lewat
menyapanya. Rendy balas dengan senyum.
Tiba-tiba suara klakson mengagetkannya. Ternyata tanpa sadar Rendy malah melamun di pinggir jalan. Matanya menatap keadaan sekitar, tapi pikirannya melayang entah ke mana.
“Randika. Kamu sedang apa di pinggir jalan sendirian?”
Rendy tersentak. Buru-buru menengok ke sumber suara. Ada sebuah mobil sedan hitam berhenti beberapa meter darinya. Seorang perempuan seumuran Mamanya turun dari dalam mobil.
“Tante Tari.” Rendy bangkit. Kemudian segera menghampiri orang yang dipanggilnya Tante. “Apa kabar, Tan?” Ia langsung menyalaminya.
“Baik. Kamu sedang lari pagi?” tanya Tante Tari. Hanya basa-basi karena harusnya sudah tahu dari pakaian yang Rendy kenakan saat ini. “Tante mau ke rumah kamu. Ayo, bareng.”
Rendy tidak dapat menolak. Ia menggangguk. Mengikuti tantenya masuk ke dalam mobil. Ada rasa ragu untuk membuka pintu belakang mobil. Satu siluet bayangan menyapa indra penglihatan.
“Apa kabar, Kak Dika?”
Sapaan ini terdengar saat Rendy membuka pintu mobil. Kata panggilan yang sempat membuatnya berharap lebih pada pemilik suara ini. Kata panggilan khas yang hanya diucapkan oleh Devia.
TBC
Gincu Merah Jambu, pureagiest ©2024
All right reserved | 20 September 2024 | 07.03 WIB
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top