2. Bintang Bukan Bintang
Syok. Rendy hanya terdiam. Ia tidak menduga jika gadis ini menangis keras. Sehingga menarik perhatian orang-orang yang berada di tempat ini. Sekarang makin banyak orang yang mulai memperhatikan mereka berdua. Rendy bingung. Apalagi ketika mendengar bisik-bisik yang cukup jelas masuk ke telinganya.
“Enggak. Kami bukan pasangan. Bukan pacar saya.” Rendy gugup. Sejenak lupa akan rasa sakit di tubuhnya. Ia berdiri tegak mengucapkan kalimat penyangkalan ini. Kedua tangannya mengisyaratkan kalau apa yang orang-orang katakan itu tidak benar.
Makin disangkal, makin dianggap benar.
Mungkin seperti itulah yang sekarang terjadi. Rendy bingung. Gadis ini belum berhenti menangis. Apa urat malunya putus? Orang-orang pun makin salah paham. Menyangka jika Rendy sudah menyakiti gadis ini. Atau mungkin mereka menyangka jika ia sedang bertengkar hebat dengan pacarnya sehingga si gadis menangis histeris.
Bukan seperti itu.
Tidak ingin menjadi pusat perhatian lebih lama, Rendy pun segera memapah gadis ini menepi. Membawanya masuk ke dalam sebuah toko tas yang berada tidak jauh dari sana. Awalnya mendapat penolakan, tapi setelah Rendy berbisik, gadis ini pun menurut.
Di dalam toko, Rendy segera meminta seorang pelayan untuk mencarikan tas yang sama model dan mereknya dengan milik gadis ini. Jika pun tidak ada, yang mirip pun jadi.
Gadis ini duduk di kursi dekat meja kasir. Masih terisak. Rendy sedang berusaha sabar. Berurusan dengan makhluk yang bernama perempuan itu memang harus menggunakan segenap stok kesabarannya.
“Nama kamu siapa?’ tanya Rendy. Ia mencoba mengatur nada bicaranya agar terdengar lembut. Berbanding terbalik dengan isi kepalanya.
“Bintang.”
Jawaban yang sangat singkat. Namun, cukup bagi Rendy. Sebelum melanjutkan bertanya, ia menarik napas. Mengatur emosi. Sudah seperti berhadapan dengan anak TK yang kehilangan mainannya. “Rumah di mana?”
“Jakarta Utara.”
Rendy mengembuskan napas. “Lumayan jauh. Kamu ke sini cuma mau ketemu artis?” tebaknya.
Bukan jawaban yang Rendy dapatkan, Bintang kembali menangis. Rendy pun menepuk jidat. “Stop. Jangan nangis lagi, malu. Aku dikira apa-apain kamu. Aku janji akan ganti tas dan lipstik kamu itu.” Rendy menyatukan kedua telapak tangannya.
“Janji?!” ucap Bintang. Tangisnya mulai reda.
Rendy mengangguk. Walaupun sejujurnya masih jengkel. Baru kali ini bertemu dengan gadis macam ini. Sangat menguras energi dan kesabarannya.
Sejenak ia memperhatikan Bintang. Bisa-bisanya menangis seperti ini di depan banyak orang? Ia kembali teringat kejadian tadi. Rasa kesal datang lagi.
Sungguh, Rendy merasa semesta mempermainkannya. Ia berharap tidak bertemu dengan Bintang, tapi malah terlibat masalah dengannya.
Rendy kembali memperhatikan Bintang yang sibuk menyeka sisa air matanya menggunankan telapak tangan. Rambut cokelatnya sudah diikat, lebih rapi dibandingkan tadi. Pipi tirus. Badannya juga kurus. Rendy sempat mengira kalau Bintang ini kurang gizi atau mungkin kurang makan?
Wajah putih mulus membingkai sepasang mata yang jernih, berhias bulu mata panjang lentik. Hidung tidak terlalu tinggi. Serta bibir tipis, kecil. Berwarna senada dengan lipstik yang rusak.
Ciptaan Tuhan yang Indah.
Tidak dipungkiri kalau Rendy mengakui kalau Bintang punya paras rupawan. Sejenak ia terpesona karena. Rendy menggelengkan kepala. Sudah cukup mengaguminya. Saat ini, ia harus bertanggung jawab atas rusaknya kedua barang Bintang. Tas dan lipstik.
Pelayan datang membawakan beberapa tas. Rendy hanya diam memperhatikan. Dan ia kembali kesal. Tak ada satu pun yang cocok. Semuanya ditolak Bintang. Padahal menurut pelayan toko, semua tas itu sudah yang paling mirip dengan punya Bintang. Lebih mahal pula.
“Jadi, enggak ada yang cocok?” Rendy menekankan kata terakhir.
“Beda dengan ini.”
Iya, tahu. Rendy juga tahu kalau memang beda. Namun, bukankah itu lebih mahal? Lebih bagus. Seharusnya, bisa mengganti tas Bintang yang rusak. Bahkan lebih.
“Jadi mau gimana? Cari lagi?”
Sedetik kemudian Rendy menyesal. Karena Bintang mengangguk. Ada gurat gembira tergambar di wajahnya. Itu berarti ia harus menemani gadis ini sampai menemukan apa yang diinginkannya. Makin lama untuk bisa pulang.
“Baiklah. Sekalian mengganti lipstikmu itu,” ujar Rendy.
“Memang ada di mal ini?” sahut Bintang.
“Mungkin saja. Bukankah ini mal terbesar di sini? Masa enggak ada yang seperti itu?” Rendy merasa yakin dengan ucapannya.
Lagipula menurut Rendy hanya barang seperti itu, apa susahnya dicari. Harganya juga paling tidak sekitar dua ratus ribu. Itu juga sudah kemahalan untuknya.
Bintang mengernyit. “Pokoknya, janji harus ganti. Kalau enggak, aku lapor polisi dengan tuduhan membuat orang hampir celaka. Eh, sudah celaka. Kakiku sakit, tau!”
Sekarang, giliran Rendy yang mengernyit. “Celaka? Kamu duluan yang nabrak. Pinggang sama siku aku juga sakit.”
Perdebatan dimulai. Sampai akhirnya Rendy sadar kalau mereka berdua kembali menjadi pusat perhatian. Pelayan toko serta beberapa orang pengunjung menontonnya. Sudah seperti siaran langsung orang bertengkar.
“Oke. Aku akan mengikuti kemauan kamu. Mengganti tas dan lipstik kamu itu. Tapi, dengan syarat sesudah ini anggap kalau enggak pernah ketemu. Ribet banget berurusan denganmu.” Rendy memberi ultimatum.
“Deal.” Bintang mengangguk mantap.
Kemudian, mereka berdua pun berjalan menuju pintu keluar. Rendy terus melafalkan doa agar urusannya dengan Bintang cepat selesai. Ia mendadak lupa dengan tujuannya mencari sandal sampai kakinya benar-benar sakit.
“Tunggu. Berhenti sebentar. Kaki aku sakit,” keluh Rendy. Ia tidak bisa lagi mengikuti langkah Bintang. Sebenarnya, ia heran. Apa kaki Bintang sudah sembuh? Tadi merengek mengatakan kalau kakinya sakit. Saat ini, langkah Bintang sudah seperti sedang dikejar-kejar orang gila.
“Sakit? Mana?” tanya Bintang.
Rendy berjongkok. Meraba ujung sepatu sebelah kanannya. Benar saja, makin berdenyut. Tidak bisa dibiarkan. Ia duduk, lantas membuka sepatunya. Melepaskan kaos kaki dengan perlahan.
“Jempolnya bengkak,” ucap Bintang tiba-tiba. “Kenapa dibiarkan saja? Enggak diobati, ya?”
Ucapan Bintang tidak Rendy hiraukan. Ia bingung. Bagaimana harus terus berjalan tanpa alas kaki? Masa nyeker di dalam mal? Sementara itu, sejak tadi ia lupa mampir ke toko sepatu.
“Bisa jalan?” tanya Bintang lagi.
Rendy tak acuh. Ia lanjut membuka sepatu sebelah kiri. Mungkin memang lebih baik jika berjalan tanpa alas kaki saja. Setidaknya hanya sampai menemukan toko sepatu dan membeli sandal di sana.
Andai saja, tiba-tiba ada yang memberikan sandal. Pasti akan Rendy anggap sebagai malaikat penolong. Sandal jepit sepuluh ribuan pun tak apa. Bukan masalah harga, tapi fungsinya.
“Nomor sepatumu berapa?”
“Hah?”
“Aduhhhh ….”
Rendy mengelus dahinya seperti yang Bintang lakukan. Kaget bercampur sakit. Sekarang bertambah satu dari deretan bagian tubuh yang tidak baik-baik saja. Barusan dahi mereka berdua berbenturan secara tidak sengaja.
“Ih, kenapa tiba-tiba mendongak. Lihat nih jidat aku benjol. Bisa enggak estetik kalau nanti swafoto.” Bintang buru-buru memeriksa dahinya menggunakan kaca kecil yang diambil dari dalam tasnya.
Ya Allah, kapan ini berakhir?
“Berapa nomor sepatumu? Cepetan.” Bintang mengulang pertanyaannya
“42.”
Tanpa diduga, Bintang berlari. “Tunggu sebentar,” ucapnya sedikit berteriak.
Rendy bengong. “Cewek ajaib. Mau ke mana dia?”
Sambil menunggu Bintang yang entah pergi ke sebelah mana dari mal ini, Rendy menyempatkan untuk mengecek ponselnya. Ada begitu banyak pesan yang masuk serta panggilan tak terjawab. Salah satunya dari Mama.
Rendy pun mengetik pesan balasan. Mengabarkan kalau mungkin ia akan pulang terlambat. Ada urusan mendadak. Ia tidak mengatakan yang sebenarnya. Jangan sampai Mama tahu. Bisa ditanya macam-macam.
“Dua ratus empat puluh ribu sembilan ratus.” Tiba-tiba Bintang datang dengan membawa bungkusan plastik dan menyebutkan sederetan angka.
“Mengangetkan saja.” Rendy memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Kemudian menerima plastik putih yang diulurkan Bintang. “Apa lagi?” tanya Rendy heran karena Bintang menengadahkan telapak tangan kanannya.
“Duit?”
“Buat apa?”
“Ya ganti duit aku-lah. Itu sandal dibeli pakai duit, bukan daun. Ganti. Enggak ada yang gratis.”
Tercengang. Sungguh memang ajaib gadis ini. Rendy mengeluarkan tiga lembar uang pecahan seratus ribu dari dalam dompetnya. “Enggak usah dibalikin kembaliannya”
Bintang mencebik. “Cuma lima puluh ribu, doang. Oke, makasih.”
Rendy membuka dus sandal. Ukurannya memang pas, terlepas dari modelnya yang ia kurang suka. Namun, untuk saat ini, fungsi lebih diutamakan. Rendy pun memakainya.
Sepatu dimasukan ke dalam dus bekas sandal. Satu hal yang Rendy lupa. Belanjaannya tertinggal di toko tas tadi. Ia terlanjur malas untuk mengambilnya. Kemasan luarnya memang penyok di sana-sini, tapi Rendy yakin kalau isinya baik-baik saja. Ia pun mengikhlaskannya. Toh, sudah berniat untuk membeli yang baru.
“Tadi aku lihat di sana ada tas seperti ini. Ayo, ke sana.”
Rendy menatap arah yang ditujukkan Bintang. Terus bertanya, “Kenapa enggak langsung dibeli?”
“Enak saja. Kamu kan janji mau ganti. Kalau langsung beli, itu namanya pakai uang sendiri. Rugi dong,” sambar Bintang.
“Ya, kan nanti bisa bawa struk belanjaannya ke sini. Aku langsung ganti,” ujar Rendy masih dalam posisi duduk.
“Oh, gitu. Enggak kepikiran.” Bintang mengangguk-angguk. “Eh, tapi kalau kamu kabur?” lanjutnya menatap Rendy penuh curiga.
“Kaki aku sakit.”
“Ya sudah, enggak usah debat juga. Buruan bangun. Nanti keburu dibeli orang lain.”
Rendy menarik napas dalam-dalam. Perjalanannya untuk pulang akan sangat panjang. Kapan ini berakhir?
TBC
Gincu Merah Jambu, pureagiest ©2024
All right reserve | 10 Agustus 2024 | 18.23 WIB
Tolong doain Rendy biar kuat hadapin cewek kayak Bintang 😂
Jangan lupa follow Instagram dan tik tok @pureagiest
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top