Bab 2
Bab 2
Suara petir saling menyambar di wilayah Vorron. Samar-samar terlihat kastel berwarna hitam kelabu tinggi menjulang tertutup oleh kabut tebal. Dipayungi awan gelap di mana cahaya matahari tidak bisa menembus menyinari area itu.
Suara pekikan para hewan seakan menjadi pemecah keheningan. Hawa dingin menyambut bagi pendatang yang bernyali besar untuk menantang maut. Bau busuk dan amis menusuk hidung seakan-akan tempat itu adalah neraka. Barang siapa yang memasuki wilayah angker ini tidak akan pernah kembali. Bahkan pulang dalam keadaan tidak utuh bagai zombi.
Kastel sang Penyihir, Morjiana.
Hanya orang-orang yang bosan hidup akan melangkah menuju Vorron. Bangunan itu terdiri dari susunan bebatuan hitam pekat, ketika memasuki dalam kastil tercium bau busuk menyengat dan pencahayaan minim. Konstruksi yang menjulang tinggi hanya ditemani obor yang tertancap di sisi dinding.
Sang penyihir berbaju ungu terlihat sedang duduk di atas tubuh lelaki berteriak kesakitan minta tolong. Dari mata, telinga, dan perut mengeluarkan suatu aura dari tubuh pria yang malang . Sang wanita bergigi runcing menyerap energinya.
Dengan tersenyum puas dia menghirup spirit itu dalam-dalam.
Sudut bibirnya tersungging miring, pertanda sudah selesai dengan ritual menyerap mangsa, lalu dia berdiri dan berjalan dengan anggun menuju kolam pemandian. Di sana sudah menanti tiga wanita berpakaian serba panjang dan hitam siap menyambutnya. Perlahan wanita berpakain ungu itu membuka pakaian ke lantai dan terus berjalan menuju telaga.
“Air dan bunga mawar merah yang Anda minta sudah siap, Nona,” kata si gadis memakai tato burung gagak di lengan kirinya. Rambut digelung tinggi, sepasang anak rambut di bagian sisi jatuh membingkai wajahnya yang jelita.
“Terima kasih, Milian," sahutnya pendek.
Dia memejamkan mata ketika tubuhnya sudah terendam, menghela napas bahwa ritual kali ini berhasil. Wanita itu membasuh wajah perlahan.
“Bawakan aku cermin, Zilian,” pinta si penyihir.
“Baik.” Gadis bernama Zilian mengangguk patuh. Di sekujur tubuh dipenuhi tato berwujud naga. Perempuan itu menyerahkan cermin.
Senyum di wajah Morjiana mengembang. Wajahnya menjadi cantik jelita, tidak menua. Tubuh molek sangat menggiurkan bagi siapa saja yang melihat.
“Vilian.”
Gadis bernetra kanan hijau dan kiri biru mendongak. “Hamba siap melayani Anda.”
“Carikan aku seorang pria yang tampan dan culik dia kemari,” titah sang penyihir.
Baik.” Vilian langsung merapal mantra. Di sekeliling tubuhnya mengeluarkan asap dan menghilang.
“Anak manis.” Senyum cantiknya tersungging di wajahnya nan ayu.
“Kalian berdua, usapkan bunga mawar merah ke seluruh tubuhku. Kalian boleh memasuki kolam ini.”
“Baik!” Kedua gadis jelita itu membuka tali kimono berwarna hitam bercorak bunga mawar merah darah. Pakaian telah tertanggal dari tubuh mereka, lalu mereka memasuki kolam dan mulai membasuh dan mengusap tubuh sang penyihir. Morjiana mendesah puas dan memejamkan kedua mata birunya yang indah. Bulu matanya hitam dan lentik, alis seperti semut berjajar, bibir merekah itu selalu merah.
“Setelah ini siapkan pasukan. Kita akan perang menuju desa itu.” Morjiana menyunggingkan senyum.
Zilian dan Milian langsung beranjak dari telaga dan memakai bajunya. Kemudian mereka berdua bergegas untuk menyiapkan prajurit tempur.
*****
Seorang gadis berumur 17 tahun terengah-engah karena berlari. Di dalam pikiran saat ini adalah ingin menceritakan kejadian tadi kepada ibunya. Perempuan itu masih teringat kata-kata hewan bertubuh besar.
“Perasaan aku tadi bersiul biasa saja, kok,” gumamnya.
Gin masih terheran-heran dengan makhluk tadi. Apa dia kenal aku? mana mungkin.
Ketika rumah mungil hampir kelihatan, Gin semakin mempercepat larinya. Baru saja dia di depan pintu, terdengar suara riuh dari belakang rumah.
“Ah, domba-dombaku,” jerit Gin.
Secepat kilat Gin berlari belakang. Alangkah terkejutnya, makhluk besar yang barusan perempuan itu temui di hutan ada di depan kandang. Si gadis panik bukan main. Gin berlari tergesa-gesa ke halaman belakang mengambil senjata andalannya.
Dikenakannya tabung berisi penuh anak panah dan ia menggenggam busur di tangan kanannya kuat-kuat.
“Hei kau, apa yang kau lakukan di situ? Cepat menyingkir!” teriak Gin.
Si hewan buas menoleh ke belakang. Manik merah itu membulat.
Gadis itu lagi ….
Makhluk bernama B itu membalikkan tubuhnya, lalu dia berjalan perlahan-lahan mendekati anak perempuan yang sedang mengarahkan anak panah. Manik merah itu meneliti sosok gadis. Rambut merah kecokelatan, netra hijau, wajah yang manis dan membawa busur dan panah. Ingatan sang hewan bertubuh singa tertuju pada mendiang Elicia.
Ah, dia mirip sekali dengannya ....
Lamunan B buyar, si gadis berteriak memanggil ibunya. Makhluk itu maju satu langkah, Gin malah mundur ke belakang.
“Hey, burung jelek, apa yang kau lakukan di sini? Ingin memakan dombaku? Huh tidak akan!” Dagu Gin terangkat.
B tadinya ingin meminta maaf, tetapi tidak jadi dia utarakan. Yang ada malah emosi.
“Hei, kau, bocah ingusan, berani-beraninya menantangku?”
Mata si gadis mendelik. “Memangnya kenapa? Apa kau takut?” ejek Gin.
B semakin mendekat.
“Kau ….” geram si Griffin.
“Gin!”
“B!”
Yang dipanggil serentak menoleh. Gin terlebih dahulu menghampiri sang ibu. Namun, dia memperlambat langkahnya ketika pemilik netra hijau bertemu seorang pria berjanggut dan kelihatan gagah. Lelaki berwajah tampan menatap lembut kepada anak perempuan itu. Senyum sang Raja semakin mengembang.
"Hallo Gin. Senang bertemu denganmu," sapa sang Raja ramah.
“Ibu, siapa dia?” tanya Gin. Dia sedikit bingung pria itu mengetahui namanya.
Sang ibu berkata, “Dia adalah raja kita, Gin.”
“Namaku Apollo, senang bertemu denganmu, Gin.” Sang Raja mengulurkan tangan kanannya dan langsung disambut oleh Gin.
“Se-senang berkenalan dengan Anda, Tuan.”
“B, kau tadi sempat bertemu dengan gadis ini, bukan?” tanya Raja Apollo. Melihat B diam saja, pria berjanggut itu melanjutkan perkataannya.
“Bagaimana kesanmu?”
Si pemilik manik merah berputar dan mendengkus. Yang benar saja.
“Biasa saja,” sahut B pendek.
“Apa? Dasar burung kurang ajar!” Gin maju dan ingin menggunduli bulu si makhluk buas sampai botak. Namun ditahan oleh ibunya.
“Gin, kau tidak boleh begitu di depan Raja dan Tuan B.” Mata sang ibu melotot memarahi anak gadisnya.
"Kok ibu tahu sama makhluk besar ini?" Gin semakin tidak mengerti.
Jangan-jangan ....
Raja Apollo tertawa terbahak-bahak, tetapi tidak berlangsung lama karena sang Raja mendapat hadiah pelototan dari B.
“Yang Mulia Apollo, ada yang ingin saya tanyakan. Bagaimana Anda bisa kenal dengan ibu saya,” tanya Gin penasaran. Netra hijau itu menanti jawaban dari sang Raja.
“Akan aku jelaskan. Orangtuamu adalah prajuritku dan bawahan Elicia. Ibumu sedang mengandung ketika kami melawan penyihir.” Tanpa basa basi Raja Apollo memberi jawaban.
Gadis itu terbelalak. Bibirnya yang mungil terkatup rapat, tetapi dalam hati dia sangat bangga mempunyai orang tua sebagai prajurit Raja.
Pria bertubuh tegap itu menghela napas. "Sayangnya, ayahmu gugur dalam perang ketika kau masih di dalam kandungan."
"Aku tahu itu, Yang Mulia walau Ibu tidak menceritakan semuanya," jawab si perempuan berbaju merah tersenyum.
Raja Apollo menyunggingkan senyum tampannya, lalu telapak tangan kanan pria itu menepuk kepala si gadis bertubuh mungil.
"Kau sangat cerdas. Nanti kau akan mengikuti jejak ayah dan ibumu, Gin."
Gadis itu mengangguk mantap. Hatinya berdebar kencang. Dia tidak sabar menunggang makhluk buas yang sedang berdiri dekat kandang domba.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top