XXVIII

Hentakan koper yang beradu dengan lantai, membuat Navya tersentak kaget. "Pelan-pelan sih, Dek. Entar keramiknya ancur mau lo ganti?" gerutu Kakaknya. "Gak ikhlas banget bantu gue."

"Abis banyak banget barangnya. Mana besar-besar, berat lagi. Enak kalau isinya berlian."

"Yah, daripada isinya rindu. Lebih berat lagi."

"Yeee, tapi bener juga sih. Eh, gue belum telepon pacar gue nih."

"Tunggu!" Navya keburu menggenggam tangannya saat ia hendak pergi ke kamar. "Pacar?"

"Iya, pacar."

"Perasaan waktu itu lo gak tau arti pacaran deh. Abis ngapain aja kalian di rumah?" Navya menatap tajam dirinya seolah baru saja menangkap maling.

"Dih, apaan sih, orang pacaran baru tiga hari. Tambah pagi ini jadi empat hari."

"Gue gak mau ya kalau sampe lo berbuat mesum di sini."

"Idih, otak lo kali yang mesum, pacar gue orang baik tuh!"

"Emang siapa pacar lo?"

"Kepo, temen sebangku pokoknya."

"Lah, bukannya lo pernah cerita kalau sempet ditolak waktu kenalan, sekarang udah pacaran aja."

"Yah, gimana kalau udah jatuh cinta."

"Jatuh cinta, jatuh cintrong. Siap-siap aja lo sama kata jatuhnya."

"Bodo amat, ah gue mau ngecas hp dulu. Lowbat."

"Nanti aja! Bantuin gue pisahin baju nih. Lo sama kakak sendiri gitu, udah dateng telat juga pas gue wisuda."

Gia berdecak kesal. "Iya, iya, gak usah bawel! By the way, gue juga gak masuk sekolah hari ini."

"Ya udah, izin dulu sana."

"Males ah, biarin aja alpa."

"Kenapa juga gue punya adek macam lo...."

Mengingat olok-olokan teman sekelasnya kemarin, membuat Gia enggan membuka ponsel seharian. Padahal ia hendak menanyakan kabar Gilang karena kangen. Namun, rasa kesalnya jauh lebih besar.

•••

"Eh, kebo bangun!" Gia meraung-raung di kasur masih enggan beranjak. Tubuhnya berat sekali seakan habis tertimpa kontainer. Mungkin karena cepak membereskan barang-barang semalam atau mungkin tak mau bertemu teman-teman di kelas? Entahlah, belum pernah ia semalas ini. "Cepet! Gue gak mau ya kalau lo sampe alpa lagi."

"Hm, mandiin dong...."

"Kebiasaan ditinggal sendiri, jadi seenaknya gini." Navya lantas berjalan ke kamar mandi dan menyiram Gia dengan segayung air.

Byur!

"Anjir! Kok gue beneran disiram!"

"Terima kasih lah gue udah mandiin lo. Mana upahnya?"

"Aaaa! Dasar Kakak lucknut!" Gia memukul-mukul bahu Navya sampai gadis itu meringis kesakitan.

"Iya, iya ampun dedek gemes. Lagian lama bangunnya, entar telat loh."

"Ya udah minggir sana!"

Dengan kesal Gia menendang Navya dan menyibak selimut lalu beranjak dari tempat tidur. Padahal sudah enak tinggal sendirian di rumah, kenapa juga harus kedatangan kecoa satu macam Navya!

Setelah persiapan lengkap, ia pun naik ke atas motor scoopy bersama kakaknya menuju sekolah. Sepanjang perjalanan decakan kesal tak pernah berhenti keluar dari mulutnya, gara-gara sibuk mengurus barang, ia jadi ketiduran dan lupa mengisi ulang daya ponsel. Lihat saja baterainya masih 0%. Siapa tahu ada pesan dari Gilang tersayang.

Ia menghela napas panjang begitu tiba di depan pintu kelas. Jika biasanya tak sabar bertemu teman-teman, kali ini untuk masuk saja seolah berada dalam neraka. Mau tak mau ia melangkah ke kelas dan berjalan santai ke bangku. Aneh, semua orang masih menatapnya heran.

"Hi, Gi." Samar-samar Gia melirik Vanila yang kini duduk di sampingnya. Ia memberanikan diri menoleh, lagi-lagi alis Vanila berkerut dalam, hal apa lagi yang membuatnya sedih?

"Kenapa?"

"Maafin gue, ya. Gue udah mergoki lo sama Gilang waktu itu. Gue dari perwakilan semuanya juga minta maaf karena udah nyinyir yang enggak-enggak." Vanila mengulurkan tangan tanda ingin berjabat tangan dengannya.

"Gapapa." Gia diam, jujur ia malas menyentuh tangan orang yang merasa sok suci seolah tak pernah jatuh cinta saja.

"Setelah gue pikir-pikir, gak ada salahnya buat pacaran sama temen kelas."

Gia mengernyit heran.

"Karena kita gak tau, kalau dia bisa pergi kapan saja. Apalagi sampai pindah sekolah."

"Maksud lo?"

"Gilang pindah sekolah, Gi."

Gia menyeringai, tak mungkin Gilang pergi meninggalkannya tanpa kabar.

"Bohong, dia cuma telat dateng kali."

"Lo ngilang sehari tanpa kabar, Gi. Lo pasti marah karena ucapan kami kemarin. Kami juga udah berusaha buat ngehubungi lo, termasuk Gilang, tapi hp lo gak aktif-aktif."

"Gue sibuk bantuin kakak gue beres-beres. Dia baru lulus kuliah."

"Gue serius, Gi."

"Gue juga serius, Van. Kapan gue pernah main-main?"

"Gilang titip pesen, supaya kami semua jagain lo." Gia menggebrak meja kesal, semua orang pun berteriak kaget.

Tuhan, apa maksudnya ini.

Ia tidak siap menerima kenyataan, bahwa Gilang sudah pergi jauh. Padahal Gilang sudah mulai bersikap terbuka dan memberi afeksi alias kasih sayang kepadanya. Apa Gilang marah karena ia telah mengingkari janji untuk menonton penampilannya sampai habis?

Air mata Gia sudah menumpuk di kelopak mata, ia beranjak bersiap untuk meninggalkan kelas. "Gi, lo mau ke mana?"

"Ke rumah Gilang. Dia pasti belum pergi."

"Tapi lima menit lagi bel masuk."

"Gue gak peduli." Gia lantas berlari meninggalkan kelas, tanpa peduli menabrak tubuh orang lain yang menghalangi jalannya.

"Gi, tunggu gue ikut! Guys, tolong izini gue sama Gia. Kami ada urusan."

•••

Baru kemarin rasanya Gia menatap Gilang bernyanyi merdu di atas balkon. Suara yang mampu membuatnya terkesiap sampai hatinya berdesir bahagia. Kini rumah yang berdiri kokoh di depan berubah sepi, tak berpenghuni, dan kosong.

"Gilang!" Beberapa kali ia berteriak memanggil nama itu, tapi sang empu nama tak juga menampakkan batang hidung. Gia menyerah, ia memilih pasrah, ditinggalkan orang yang teramat disayanginya.

"Gi, udahlah, mau berapa kali lo manggil Gilang tetep gak ada di sini."

"Kenapa waktu selalu salah, Van?"

Belum sempat Vanila menjawab, seorang ibu-ibu dengan wajah yang sudah berkerut datang menghampiri mereka. "Maaf, nama kamu Gia Archila bukan?"

Gia menatap heran bagaimana Ibu ini bisa tahu namanya? "Iya, ada apa ya, Bu?"

"Saya tetangganya nak Gilang, dia pergi keluar provinsi katanya gak sempat pamit sama cewek manis berambut pendek namanya Gia Archila. Jadi kalau ketemu cewek itu, dia minta tolong kasihkan surat sama mangga ini ke orangnya."

Setelah menerima sebuah mangga berukuran besar dan amplop putih yang disodorkan ibu tersebut. Bunga-bunga di hati Gia yang gugur kini tumbuh lagi. "Makasih, Bu."

"Ibu juga sedih pas tau Gilang pergi, saya gak jadi dapet banyak mangga lagi dari dia."

Gia tertawa renyah. "Iya, Gilang itu murah hati dan berhati besar."

"Kamu beruntung bisa ketemu cowok baik macam Gilang. Kalau gitu Ibu permisi."Gia dan Vanila melambaikan tangan pada Ibu yang kini berjalan menjauh. Untung saja tetangganya baik.

"Tolong pegang mangganya, Van." Buru-buru Gia memberi mangga tersebut kepada Vanila dan merobek ujung amplop tersebut.

Hi, Gia Archila.

Maaf, gue gak bisa ngerangkai kata. Kalau lo terima surat ini, itu artinya gue udah gak lagi di samping lo. Maaf, gue harus pindah sekolah, bukan karena marah sama lo atau ada hal yang mungkin belum diselesaikan, tapi mama harus pindah tugas ke provinsi lain dan memberi sedikit pengobatan untuk penyakit gue.

Maaf gue pengecut, cuma bisa menceritakan segalanya lewat coretan pena di atas kertas. Kesannya emang jadul, tapi cara ini cukup berarti dan manis bagi gue.

Gue suka sama lo, tapi bukan pada pandangan pertama seperti sinetron-sinetron picisan, malainkan suka yang terbentuk saat lo tersenyum begitu gue nyanyi, setia dengerin segala keluh kesah gue, dan melihat diri gue dengan sudut pandang yang berbeda dari orang lain.

Terima kasih lo udah susah payah berjuang buat bantuin gue sembuh. Ngeliat lo happy aja udah cukup buat gue sembuh, walaupun sejujurnya gue gengsi buat nunjukinnya.

Terima kasih karena beberapa hari ini lo udah bersedia jadi pacar gue. Lo pasti ingat kalau sekelas itu gak boleh pacaran. Gue tau betul dan gue gak mau lo kenapa-napa nanti. Gue gak mau hubungan lo dengan temen sekelas rusak dan canggung gara-gara gue.

Gue tau, lo pasti sayang sama gue karena kita terbiasa duduk sampingan. Percayalah, setelah gue pergi lo gak akan terbiasa lagi dengan kehadiran gue dan perlahan cinta itu akan segera hilang.

Lo pantes dapet cowok yang lebih baik, Gi. Cowok sehat dan gagah, bukan lemah apalagi penyakitan kayak gue.

Jangan susul gue, lo gak perlu khawatir, kalau kita berjodoh pasti ada aja cara Tuhan buat menyatukan kita. Sekarang lo bebas menjalani hidup lo sendiri, menjalani takdir lo sendiri sampai waktu yang menjawab bagaimana kita menjalani hidup.

Lo bener-bener orang berarti dalam hidup gue, Gi. Gue sayang lo. Maaf, kalau gue sayang sama lo :)

Gilang Adalson.

Air mata Gia jatuh, lagi dan lagi. "Jangan minta maaf, Lang. Gue juga sayang banget sama lo." Sesak, hanya itu yang Gia rasakan. Bukan masalah jarak provinsi yang jauh, melainkan keberadaan Gilang yang tidak ingin dicari. Setelah ini, malamnya akan terasa sepi, terselimuti oleh rindu yang tak didengar.

"Lo bener, Gi. Kami gak peka dengan sesama. Kami belum bisa jadi keluarga yang baik di kelas."

"Udahlah, Van. Semua udah terjadi, gak ada guna kalian nyesel sekarang."

Gia memeluk erat surat dari Gilang, kata-katanya akan menjadi kenangan terkahirnya bersama cowok itu.

Semoga lo bahagia di sana.

----
:")

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top