XXVII
Pentas Seni.
"Kak, biarin Gilang tampil di atas panggung. Kloter terakhir juga gapapa kok."
"Hm, gimana ya...." Kevin menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. Kalau saja dia menolak siap-siap Gia patahkan jari tangannya itu.
"Lo udah dikasih maaf Gilang masih juga gak mau, gue hajar lo sampe mampus!"
"Iya, iya, gak usah ngamuk gitu. Gue masukin namanya dalem daftar list." Kevin dengan santai menulis nama Gilang di bagian paling bawah.
"Ih, yang bener dong nulisnya. Masa Gilang Adalson jadi Gilang Asoy. Jauh banget typonya!"
"Sengaja, biar asik."
"Gue tampol nih!" Gia sontak mengangkat tangannya tinggi-tinggi.
"Iya, iya, udah gue benerin. Tapi beneran tampil ya. Jangan php-in orang di sini."
"Ya iyalah!" Gia menghentakkan kaki kesal, tak mungkin juga Gilang PHP.
"Setelah guest star kita selesai nyanyi, Gilang boleh tampil."
"Ok, makasih!"
Padahal Gia berharap Kevin tetap dikucilkan satu sekolah, tapi syukur ada gunanya Kevin jadi anggota OSIS. Benar kata Gilang, jangan balas keburukan dengan keburukan sebab masalah tak akan pernah selesai.
Melihat Gilang sibuk membersihkan bodi gitar dengan kain, Gia lantas berjalan mendekat dan duduk di samping Gilang. "Sayang banget sama tuh gitar. Sampe ditiup-tiup gitu."
"Ada debu nempel. Kenapa? Lo cemburu sama gitar?"
"Iya, cemburu banget."
"Jangan cemburu sayang."
Anjir, gue dipanggil sayang!
"Aw!" Sekarang ia jadi kelilipan karena debu dari gitar tersebut menusuk matanya.
"Jangan digores, tambah perih!" Gilang langsung memegang kedua pipinya, membuat jantungnya berdisko karena jarak wajah mereka yang cukup dekat. Dengan lembut Gilang meniup sebelah matanya. "Masih perih gak?"
Gia memperhatikan kedua bola mata Gilang yang berbinar seperti ada cahaya surga yang terpancar di sana. Mungkin Tuhan memang menurunkan seorang pangeran untuknya. "Masih."
Gilang lanjut meniup matanya hingga beberapa kali. "Masih?"
"Iya nih. Kayaknya kemasukan sesuatu deh."
"Mana? Gak ada apa-apa."
Modus ah.
"Bukan di mata, tapi di bibir."
Gilang terdiam sejenak. "Oh, ada cabe tuh dibibir lo."
"Hah! Mana?"
Sial! Kok jadi malu, padahal Gia berharap dicium tadi. Ia lantas meraba saku celana dan meraih ponsel. Tapi tak ada cabe apapun setelah ia berkaca.
"Mana, ih Gilang bohong!"
Gilang tertawa terbahak-bahak. Kalau urusan mengejek orang bisa senang juga dia. "Canda."
"Is, ngeselin."
"Ngambek?"
"Gapapa deh, gue diketawain asal lo seneng."
Gilang terdiam lagi, dia lanjut memegang dagunya lagi dan mencium pipinya dengan lembut. "Sori."
Pipi Gia langsung hangat bersemu merah. Baru kali ini Gilang berani menciumnya padahal yang biasa bertindak duluan adalah dirinya. "Gak usah minta maaf, Lang. Beneran."
"Lo bakal ngerti kenapa gue minta maaf."
"Maksudnya?"
"Marilah kita sambut penampilan terakhir yaitu perwakilan dari sepuluh IPS dua. Kepada Gilang Adalson dipersilakan untuk naik ke atas panggung!"
"Kalau bukan karena lo gue gak akan ngelakuin ini." Gilang mencium punggung tangannya sebentar, seakan sengatan listrik kecil baru saja menyetrum tubuhnya. Romantis sekali, apalagi saat dia tersenyum manis. Sampai akhirnya dia berjalan ke arah lapangan.
"Semangat, Lang!"
"Gi, lo berdua beneran pacaran, ya?"
Gia sontak menoleh ke sumber suara. Ada Vanila dan sebagian teman kelas lain yang mendekatinya sambil menatap heran. "Eh, kok kalian pada di sini?"
"Kita ngeliat semuanya, Gi," ucap Vanila, kedua alisnya berkerut dalam seolah kecewa.
"Em...."
"Lo beneran pacaran?"
Tuhan, haruskah gue ngomong jujur.
"Lo udah kepergok dan gak bisa ngelak lagi," celetuk yang lain.
Gia menelan salivanya susah payah, ia harus bagaimana? Ah, bodo amat soal tanggapan mereka. Toh, ia masih bisa membela diri. "Kalau iya kenapa? Salah kalau gue pacaran sama temen sekelas?"
"Kita ini keluarga, Gi, lo gak boleh baperan," ucap Vanila.
"Kalian juga gak nganggep kehadiran Gilang tiap di kelas. Itu yang disebut keluarga?"
"Gimana mau nganggep, Gi, kalau dari Gilang sendirinya gak mau. Dia juga ke mana-mana bareng lo. Kami jadi canggung sendiri," kata Vanila.
"Pantes Gilang gak mau main sama kita. Sibuk pacaran," ucap cowok lain.
"Bener. Eh, jangan-jangan lo baperan nih sama gue."
"Yeee, hati gue gak selemah itu baper sama cewek gila kayak lo."
"Lo juga gila kali. Bahaya sih kalau mereka putus langsung modyar tuh!"
"Skakmat! Hilang pacar, hilang temen! Mesti pacaran sampe lulus tuh!"
"Slow guys, kali aja guru-guru udah pada tau duluan."
"Pak Badrul?"
"Beh, mulut pak olahraga kita itu ngalahin mulut netizen kalau tau berita ini."
"Nah, kalau mereka beda kelompok pasti saling cemburuan. Ih, gak mau deh dicurigain.
"Ciee, bucin."
"Pajak jadiannya dong."
"Baperan!"
"Baperan!"
"Baperan!"
Gia langsung menutup telinganya dengan tangan, tak pernah ia rasakan sesak seumur hidup karena diolok-olok seperti ini. "Bodo amat! Terserah kalian mau ngomong apa. Gue mau liat Gilang tampil!"
"Gi, jangan marah!" teriak Vanila.
Tanpa diperintah biluran bening jatuh dari kelopak matanya. Tak mau bertambah malu, ia lantas pergi menjauh dari mereka. Dengan secuil keberanian, ia mencoba menoleh ke belakang, mereka tampak berbisik-bisik pasti sedang membicarakannya. Bahkan Vanila juga ikutan.
Beginikah rasanya pacaran dengan teman sekelas? Diolok-olok seperti anak kecil. Kehilangan teman juga rasa canggung. Selanjutnya pasti ia harus bertemu dengan Gilang diam-diam. Bagaimana bisa diam-diam, kalau ia dan Gilang saja duduk sebangku.
Kenapa setiap pacaran, ia selalu mendapat pengalaman buruk, tidak dengan Kevin, Gilang pun begitu. Tidak, tidak, semua ini tidak buruk. Keputusannya sudah benar. Gilang memang yang terbaik. Ia pasti bisa hidup tentram bersama cowok itu.
Lo gak perlu nyesel, Gi.
Gilang sudah duduk di atas panggung sambil memangku gitar dengan senyuman. Demi cowok itu Gia rela bergabung dalam lautan manusia. Di belakang sekali tempat ia berdiri, Gilang memang tidak kelihatan, tapi setidaknya ia bisa menikmati setiap bait lagu yang diutarakan cowok itu.
Di saat orang-orang semakin sibuk berteriak dan bernyanyi. Air matanya justru jatuh semakin deras. Entah kenapa ia tak tahan, hatinya sesak mengingat kelakuan teman sekelasnya yang seakan membullynya secara perlahan. Jujur, awalnya ia mendekati Gilang agar punya banyak teman, tapi dari lubuk hatinya yang paling dalam ia sudah jatuh ke pelukan cowok itu dan rela dijauhkan oleh teman-teman sekelas.
Gue setia sama lo, Lang. Kita bisa lewati ini sama-sama.
"Butuh tisu?"
Gia menoleh ke samping, seseorang datang dengan mengenakan seragam yang sama saat dipakai Iris waktu itu, pasti dari SMA Unggulan. Tanpa keberatan ia mengambil tisu yang disodorkan cowok itu dan menghapus air matanya.
"Makasih. Ternyata lo ke sini juga."
"Iya, bareng temen-temen," jawab Rangga. "Kenapa lo nangis? Terlalu baper sama lagunya?"
"Iya, pacar gue soalnya yang lagi manggung."
"Oh." Rangga hanya mengangguk-anggukan kepala, lalu tiba-tiba dia merangkul lehernya. "Enak juga suaranya. Sayang dia gak bisa liat lo dari sini."
"Hm."
"Ganteng sih, kayaknya abis ini banyak yang minta tanda tangannya. Termasuk gue."
"Lo homo?"
Rangga tertawa terbahak-bahak seperti orang gila, sampai-sampai orang disekitar juga menatapnya heran. "Serius gue mau aja tanda tangan dia. Apalagi tanda dari hati lo."
"Gak nyambung."
"Lo masih nganggep gue sahabat gak?"
"Ya masih lah."
"Gak lebih?"
"Apanya yang lebih?"
"Gi, kayaknya Tuhan emang mau jodohin kita. Emang ya dunia itu tak selebar daun kelor."
"Apaan sih, bosan gue liat lo. Sumpah!"
"Jadian sama gue yuk."
Mata Gia melotot. "Lo gila? Gue udah punya pacar kali."
"Kita pacaran backstreet aja."
"Gak ada otaknya, ya lo. Gak ada hati! Ogah gue punya selingkuhan." Gia tanpa malu meludah ke arah sepatu Rangga, membuat Rangga melompat kaget dan menginjak kaki siswa lain, jelas tampang siswa tersebut sangar seperti badboy.
Mampus lo, Ngga.
"Oi, semangat lo lebay juga ya. Jilat sepatu gue!"
"Sori, sori. Gue gak sengaja bos. Eh, Gi, bantuin dong!"
"Maaf, Kak. Gue ada telepon beneran nih. Bye!"
Kalau dipikir-pikir dari Gilang juga rasa sedihnya pada Rangga hilang, lebur bak ditelan bumi. Ternyata laki-laki yang terlihat baik belum tentu baik. Gilang sudah mengajarkan bahwa ada yang lebih layak untuk bersamanya, yaitu Gilang sendiri.
Setelah jauh dari para kerumunan Gia lanjut masuk dalam WC, agar suara dentum musiknya tidak sampai masuk ke ponsel. "Kenapa, Kak?"
"Dek, gak lupa kan kalau sore ini kakak wisuda."
Gie menepok jidatnya kuat, bagaiamana bisa dia lupa kalau kakaknya akan wisuda?
"Hem, gimana?"
"Gak ada gimana-gimana. Pokoknya lo nyusul ke sini. Naik pesawat biar cepet. Jangan lupa bawa KK sama kartu pelajar lo, bawa badan lebih penting."
"Ih, gue takut nih kalau berangkat sendiri."
"Ya elah, kan lo udah pernah naik pesawat nanti ada yang nuntun lo naik kok. Ok."
"Gak mau, ah. Lagian wisuda pake ditemenin segala kek anak SD bagi rapot."
"Eh, lo kan bisa izin dulu dari sekolah. Lagian gue dapet cumlaude nih. Gak bangga apa lo sama Kakak sendiri."
"Mama papa mana?"
"Kan sibuk adikku cantik, masa yang lain ditemenin keluarganya Kakak gak ada satu pun. Oh, sekalian nih beli bunga warna biru ya."
"Ih, dasar Kakak lucknut. Ya udah, gue ke sana." Gia memutuskan sambungan telepon.
Request pula dia warna bunga.
Tak mungkin bisa Gia kembali ke lapangan apalagi untuk memberitahu Gilang. Banyaknya kerumunan orang yang berjubel di sekitaran panggung tentu menghalanginya, imposible menunggu Gilang selesai.
Maafin gue, Lang, gue gak bisa nepatin janji! batin Gia, lalu melangkah pergi meninggalkan sekolah.
--------
Hem sudah tercium gak? Akhirnya bakal gimana?
Vote komennya guys kuhh 💙
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top