XXV

Udah gue bilang pun lo masih belum bisa nerima gue.

"Kenapa nunduk gitu?" Gilang lantas mendongakkan dagunya. "Liat gue."

Gia sudah kehabisan kata-kata, setelah menyatakan perasaannya pada Gilang semua terasa memalukan. Ia ingin menyembunyikan wajah, bila perlu menggantinya sekarang. Ia terlalu gegabah, terlalu cepat bicara.

"Iya, gue liat."

"Besok lo mau gak pergi ke pantai bareng gue?"

"Sama Iris?"

"Gak, cuma kita berdua."

Jantung Gia berdetak cepat dari biasanya. Kenapa Gilang mendadak mengajaknya pergi berdua? Jangan-jangan ini kencan seperti di drama korea romantis. Ah, tak mungkin, Gilang pasti hanya ingin mencari angin segar, setelah lama menginap di rumah sakit.

"Ngapain?"

"Gapapa, buat refreshing."

Tuh kan bener, dia gaada rasa apapun sama gue. Jangan-jangan homo.

"Atau lo mau gue ajak ke club?"

Gia sontak mengepalkan tangan dan meninju lengan Gilang dengan kuat. "Ngomong club lagi gue buat kepala lo cedera berat."

"Maaf, canda doang."

"Jadi bener, ya besok kita pergi ke pantai."

"Hm, jangan pake baju aneh-aneh."

"Kenapa?" Mata Gia mengerling, syukurlah ternyata Gilang masih normal. "Suka ya liat seksi?"

"Gue tidur dulu, ngantuk."

Gia berdecak kesal, tiap kali ngobrol dengan Gilang pasti ujung-ujungnya ditinggal tidur. Tega sekali dia menyia-nyiakan bidadari secantik Gia.

"Ya udah deh, have a nice dream."

•••

Gia yang sedang men-setting kamera DSLR di kamar langsung melompat girang begitu mendengar suara bel rumah berdering tanda seseorang telah menekannya. Ia sangat antusias sampai lari tergesa ke arah pintu utama dengan wajah semringah yang tak bisa disembunyikan lagi. Namun, saat membuka pintu tersebut, yang hadir bukanlah orang yang ditunggunya sejak setengah jam lalu. Melainkan orang yang tak pernah ia duga sebelumnya.

"Lah, elo."

"Hai, keluar aja kok cantik gini," puji Rangga sambil menampilkan senyum seringainya.

"Ngapain lo ke sini?"

"Galak amat, Mbak. Yah, mau mainlah kayak gak tau kebiasaan gue aja."

"Gak bisa, gue mau pergi sama calon pacar gue."

"Loh, emang mau ke mana sampe bawa kamera gitu?"

"Kepo lo."

"Gue udah jauh-jauh loh ke sini. Gak diajak bertamu nih?"

"Enggak."

Rangga menghela napas kasar, mungkin kesal karena ditolak mentah-mentah. "Aaa, Gia." Sekarang Rangga merengek dan merangkul lehernya seperti dulu. "Ayo dong. Masa sama best friend sendiri gitu lo."

"Is, jijik tau, Ngga. Kita bukan anak SMP lagi gak cocok rangkul-rangkulan."

Gia mencoba menepis tangan Rangga, tapi rasanya berat sekali. Wajar, tangan cowok ini cukup berotot jadi susah untuk diangkat. "Lepas sih, Ngga!"

"Gak mau sampe kita main bareng lagi!"

Gia tambah jengkel karena Rangga makin mendekatkan wajahnya sambil memayunkan bibir. Ia hendak menabok, tapi mendengar derum motor honda beat mendekat, Rangga sudah lebih dulu melepas rangkulannya.

Mendadak tubuh Rangga kaku, tak bergeming saat ditatap tajam oleh Gilang seolah takut tubuhnya akan dicabik-cabik. Tatapan sengit mereka kemudian terputus begitu Gilang sadar akan keberadaan Gia dan memberi helm untuknya. "Ayo."

"Maaf, Ngga, gue pergi dulu," ucap Gia yang segera naik di atas motor.

"Gi, gue join dong!"

"Boleh, tapi lo duduk di knalpot!"

Tanpa basa-basi, Gilang langsung tancap gas meninggalkan Rangga seperti butiran debu. Gia bernapas lega, akhirnya ia terbebas dari laki-laki aneh itu. Sudah pergi meninggalkannya sekarang dengan berani datang lagi.

"Itu tadi siapa?"

"Mantan sahabat gue, yang kemarin gue ceritain. Gak jelas emang tuh orang tiba-tiba nongol aja."

"Udah lama datengnya?"

"Gak sampe lima menit dari lo dateng kok."

Kenapa Gilang mengajukan pertanyaan itu? Apa mungkin dia cemburu? Ah, pasti karena takut Rangga berbuat hal buruk padanya, melihat penampilan dia yang urakan seperti maling. Ya, manusiawi.

Sialnya, Gilang membawa motor dengan kecepatan cukup tinggi, membuat angin sore ini begitu dingin menusuk kulitnya. Tanpa pikir panjang, ia langsung melingkari kedua tangannya di perut Gilang dan menyenderkan kepala di bahu cowok itu. Nah, begini lebih hangat. Untunglah Gilang tak keberatan.

Setelah memakan waktu satu jam, akhirnya mereka sampai di pantai yang menghamparkan pasir putih. Angin sepoi-sepoi dari ombak laut langsung mengibas rambutnya begitu turun dari motor, sebab tak banyak pengunjung yang datang ke sini, mungkin karena senja sebentar lagi berakhir.

Gilang memberi senyum, sebelum berjalan ke tepi pantai. Tak ingin menyia-nyiakan momen ini, Gia lantas mengambil kamera dari dalam tas dan memotret Gilang dari arah samping bersama cahaya senja yang terpancar.

Cukup puas dengan gambar yang diambil, ia lanjut mendekat ke arah Gilang. Pikirannya mendadak ling-lung mencari topik pembicaraan sebab Gilang hanya diam sedari tadi.

"Anginnya sejuk ya, Lang."

Anjir, kok gue malah nanya pertanyaan klasik?

"Makanya gue pilih tempat ini, gak nyaman tapi juga sepi."

"Lo sering ke sini?"

"Gak lagi, semenjak papa gue ninggal gue lebih banyak mendem di rumah."

"Emang kenapa?"

Gilang menghela napas panjang, seolah berat untuk bercerita. "Mama malu liat anak sampah kek gue keliling komplek. Tetangga bakal nyinyir dengan anggapan kalau gue ini anak manja yang udah buat papa meninggal."

"Lo bukan sampah, Lang. Mereka lah yang sampah dengan mulut mereka yang gak berguna." Gilang hanya menatap kosong ke depan, lagi. "Iya, rasanya pasti terpukul banget pas tau papa lo kena stroke."

"Yang jelas gue lebih merasa bersalah. Gue gak tau kalau papa bakal kena stroke, gue nyesel minta mainan ke dia. Gue bodoh."

"Enggak, Lang. Kita juga pernah kecil yang pengen bahagia dan belum ngerti soal begituan. Lo gak perlu merasa bersalah."

"Makanya mama nuntut gue buat jadi dokter supaya tau penyebab stroke papa."

"Gue ... masih belum paham soal itu."

"Biar gue tau gimana rasanya kehilangan. Padahal tanpa dituntut gue udah ngerasa kehilangan. Gue juga manusia. Gue bisa sedih tanpa harus ditunjukkan dengan tangisan."

"Terkadang orang yang terlihat kuat pun memiliki luka yang begitu dalam. Gue gak nyangka ada manusia sekejam mama lo."

"Dia enggak kejam, cuma sadis aja." Gilang tertawa kecil sambil mengusap wajahnya, Gia tahu Gilang hanya menutupi sedihnya lewat tertawaan itu.

Sekarang kedua sklera putih Gilang berwarna kemerahan, sinar dari bola mata hazelnya seolah tenggelam. Perlahan air mata jatuh dari kelopak matanya. Walau hanya satu bulir, tapi pasti rasanya sesak karena dengan cepat dihapusnya.

"Gue gak bisa buat mereka bahagia, papa meninggal dan mama yang malu punya anak macem gue. Gue gak sekece Iris yang selalu dapet juara umum. Gue beban bagi semua orang."

Lagi-lagi Gia kehabisan kata, tak ada yang bisa ia lakukan selain mengusap bahu Gilang dan membiarkan cowok itu mengeluarkan segela unek-uneknya.

"Gue pasarah harus gimana. Gue pengen mati aja," lanjut Gilang.

"Lang, gue gak tau gimana rasanya jadi lo. Tapi emang sakit banget ngeliat orang yang kita sayang gak mengharapakan kita. Padahal kita udah ngelakuin segalanya dengan perjuangan, tapi mereka gak ada yang menyadari. Bunuh diri itu hal yang salah, Lang. Lo harus pikirin nasib orang-orang lain yang menyayangi lo, contohnya gue. Gue gak mau sampe kehilangan lo. Mungkin gue bakal depresi juga kalau sampe lo pergi."

Gilang tertawa lagi seolah bahagia di atas penderitaannya sendiri. "Gue ini pengidap depresi distimia, Gia. Ada banyak cowok lain yang lebih baik bersama lo. Kevin yang jujur dan cowok pinter yang dateng ke rumah lo tadi."

"Tapi gue maunya lo, Lang. Gue maunya elo yang jadi pacar gue. Bukan mereka."

"Stop it."

"Gue gak bohong, Lang."

"Gi, otak lo masih berfungsi dengan baik. Jangan lo rusak dengan hal konyol begini."

Tangan Gia terkepal, ia geram dan gemas melihat Gilang yang sulit untuk mempercayainya. Ia lantas menatap lekat Gilang, dengan tangan yanb meraih tengkuk cowok itu dan kaki berjinjit, lalu mencium pipi cowok itu dengan penuh perasaan.

"Gue cinta lo apa adanya, Lang."

Sekarang Gilang terdiam, sepertinya kaget dengan sikap dadakannya tadi. "Lo terbiasa duduk dengan gue, ya. Coba lo ganti tempat."

"Yah, gimana, Lang namanya juga cinta. Dia datang secara tiba-tiba. Entah kita ingin, atau enggak, terjadinya enggak bisa direncanain. Gak ada aturan kapan dan gimana caranya biar kita bisa saling jatuh cinta."

"Lo kebanyakan nonton drama."

"Jadi pacar gue. Please."

Dari gerakan mulutnya Gilang hendak berkata 'tidak', tapi diurungkannya dengan helaan napas. Kali ini Gia bicara tanpa malu, tanpa rencana, dan tiba-tiba. Entah Gilang terima atau tidak semua itu resiko. Tapi Gia berharap Gilang terima.

"Lo itu cewek. Harusnya gue yang nembak."

Mata Gia sontak berbinar seakan baru menang lotere. Harapannya terkabul karena sekarang Gilang resmi jadi miliknya. "Yang penting hari ini kita resmi jadian!"

"Terserah."

Sayangnya, ekspresi Gilang seolah tak menggambarkan kesenangan, datar seperti tembok. Entah kenapa ada rasa sesak lain yang hinggap di hati Gia.

Tak mau merasa canggung, Gia lantas mengambil dua batu yang tidak jauh dari kakinya. Batu tersebut tidak sempurna, tapi dilihat dari sisi lain berbentuk love. Ia memberi satu untuk Gilang sebagai kenang-kenangan.

"Simpen, ya. Tanda kalau kita udah resmi."

"Makasih."

"Sebenarnya, batu itu buat nahan berak."

"Wah, boleh juga." Gilang tertawa keras sampai memegangi perutnya. Hati Gia menggebu senang melihat Gilang akhirnya tertawa lepas. Jika saja matanya adalah kamera maka ia akan menangkap setiap senyum yang ditunjukkan oleh cowok itu.

Gue gak tau lo terpaksa nerima gue atau enggak, Lang, yang jelas gue seneng.

----
Terima kasih buat temen yang udah komen di ceritaku. naviegirl Zeanisa_ KuroiDaimond  mampir ke cerita mereka juga ya guys, pada keren kok ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top