XXIX

Sesak, itulah yang Gia rasakan. Di saat semua orang bahagia menyambut hari perpisahan, ia justru mengingat senyum Gilang yang tak lagi hadir di sisinya. Semua nampak tertawa satu sama lain sambil menonton sexy dancer yang tampil dengan serunya di atas panggung aula hotel.

Pikirannya justru diselimuti suara merdu Gilang yang seharusnya berada di sana. Membayangkan Gilang turun dari panggung dan memeluknya, lalu mengucapkan kata perpisahan setelah lulus dari sekolah.

Perasaan kecewa, marah, dan benci bercampur menjadi satu. Ia marah pada dirinya sendiri karena tidak peka mengenai perubahan Gilang dua tahun lalu. Pacarnya tertawa dan mencium pipinya saat acara pentas seni. Dengan bodohnya ia tak memanfaatkan waktu lebih banyak bersama cowok itu.

"Kenapa sih!" teriaknya sambil menjambak kasar rambut yang sudah tertata rapi.

"Astaga, Gi! Lo kenapa?" Vanila yang melihat keanehannya mendadak mendekat. "Lo keliatan kacau, kepikiran Gilang lagi?"

Gia mengangguk, mulutnya tertahan, tak bisa menjelaskan betapa galaunya ia saat mengingat Gilang. "Gak tau Van, kayaknya gue kena depresi."

"Astaga, lo gak boleh self diagnosis sendiri, Gi, itu justru memperburuk kondisi kejiwaan lo. Mana Gia yang jahil dan selalu happy?"

"Gue udah gak seru lagi, Van."

"Lo seru kalau bisa mengikhlaskan kepergian Gilang. Bukan berarti harus lupain semuanya, tapi cobalah buat move on sebentar."

Ia menggigit bibir bawahnya, ragu. Sulit rasanya bangkit seakan tercekik oleh bayang-bayang Gilang. Namun, Vanila benar sampai kapan ia berdiam diri seperti ini, padahal hari ini adalah hari perpisahan, tempat kenangan terakhirnya bersama teman-teman kelas.

"Gue mau foto sama anak-anak kelas."

"Nah, gitu dong! Inilah Gia yang gue kenal."

"Tapi gue malu."

"Ih ngapain malu. Kayak sama orang lain aja. Yuk, kita naik ke atas panggung. Udah masuk sesi foto juga."

Vanila berusaha mengajak anak-anak kelas, tapi tak ada satupun yang mau mendengarnya. Kasihan sekali. Giliran ia yang mengajak baru pada mau. Aneh, padahal dulu mereka sering bergosip tentangnya dan Gilang.

"Gi, lo cantik makin cantik hari ini."

"Jadi pacar gue yuk, Gi. Gak ada aturan sekelas lagi kan."

"Jangan percaya, Gi, dia buas. Mending sama gue."

"Hei, banyak bacot kalian. Gia itu masih punya Gilang!"

"Ah, gak seru lo, Van."

Gia hanya tertawa renyah, semua sudah kehendak Tuhan yang mengatur cerita cintanya sesuai dengan porsi yang dikehendaki-Nya. Tidak ada rasa canggung pacaran dengan teman sekelas, apalagi baper, ya iyalah resikonya ditinggal begini.

"Van, gue kangen Gilang."

"Ya ampun, kenapa lagi?"

"Waktu itu kan dia ikut foto kelas juga, tapi di belakang gue."

"Nanti lo bakal foto lagi kok sama dia kalau udah nikah."

"Ah, elo mah!"

"Aamiinin aja atuh."

"Aamiin."

•••

"Assalamu'alikum," ucap Gia saat melangkah masuk dalam rumah. Ia mengusap keringat yang bercucuran di dahi, akibat berjalan jauh dari gang sampai ke rumah menggunakan sepatu heels. Mana sore hari lagi, matahari terasa makin menusuk.

"Wa'alaikumussallam," jawab Kakaknya yang sedang menonton berita di TV. "Udah selesai acara perpisahaannya?"

"Udah nih, bunga buat lo." Gia menghempaskan sebuket bunga dari teman-teman kelas untuk Kakaknya, ia tak berminat menyimpan satu tangkai pun kecuali dari Vanila.

"Bagus. Buat di pajang sudut kamar." Navya terkekeh, sebelum senyumnya pudar saat menatap wajah adiknya. "Kusut banget tuh muka, jangan sedih lah perpisahan doang. Kan nanti ada reuni."

"Gak minat gue."

"Ah, lemes banget lo. By the way ada titipan tuh. Kayaknya barang branded semua."

"Titipan?"

"Iya, tulisannya dari Gilang Adalson."

Mulut Gia sontak menganga, hatinya yang sempat mati kini menggebu-gebu seakan lahir kembali ke dunia. "Mana titipannya? Mana?"

Navya menepis wajah Gia, untung tidak sampai ditabok. "Apaan sih deket banget muka lo. Ada di kamar sono!"

"Makasih Kakak sayang!" Gia mencium sebelah pipi Kakaknya dan berlari cepat ke kamar.

"Dih, langsung semangat dia."

Gia membuka pintu kamar, wajahnya semringah menatap kotak berwarna biru berukuran cukup besar terpajang di atas tempat tidur. Ia berjalan mendekat ke arah kotak itu, tertulis 'dari Gilang untuk Gia'. Tanpa sabar Gia membuka kotak itu untuk melihat isinya.

Ada selimut, lilin, dan sudah pasti buah mangga. Namun, itu tidak penting bagi Gia, melainkan amplop putih yang terselip di antaranya.

Hi, Gia Archila.

Gue denger hari ini perpisahan sekolah ya? Berarti sudah dua tahun lebih kita gak ketemu. Gue gak tau lo udah sama yang lain atau enggak, tapi....

Gue kangen lo :)

Anggap aja hadiah dari teman. Kalau kedinginan lo bisa pake selimut itu, kalau merasa sepi dan gelap lo bisa nyalain lilin. Gue beli banyak jadi gak bakal abis. Asal gak dipake buat pesugihan ya, sayang. Terakhir buku diary, lo bisa tuang apapun yang lo rasain dalem sana. Itu membuat lo lebih baik dari sekedar obat-obatan.

Maaf, kalau hadiahnya kurang berkesan, tapi itu hasil jerih payah gue. Gak perlu tau prosesnya gimana yang jelas gue dapet itu setiap inget muka lo.

Gue bakal kuliah di luar negeri. Lo juga belajar yang rajin, kejar masa depan lo. Gue berdoa semoga lo tetep bahagia.

Gilang Adalson.

"Harusnya lo bilang 'jangan lupa bahagia, Lang'. Karena gue gak bahagia lagi semenjak lo pergi."

"Bucin!" Gia tersentak kaget mendengar celetukkan kakaknya yang sekarang berjalan mendekatinya. "Ngapain lo ke sini?"

"Sudah dibuka? Apa isinya?"

"Kepo."

Navya menyeringai, seolah tak suka melihat hadiah dari Gilang. "Gitu aja mewek. Coba lo pikir apa manfaatnya pacaran sama tuh cowok? Kalau cuma bisa ninggalin di saat sayang-sayangnya."

Gia menghela napas berat, lama-lama ia terlatih menjawab pertanyaan serupa. "Setiap kita pasti memiliki seseorang yang tersembunyi di dasar hati dan ketika berpikir tentang dia, kita akan merasa sedikit sakit di dalam, tapi kita masih ingin mempertahankan orang tersebut. Walau tidak tau dimana dia sekarang, apa yang sedang dia lakukan. Dia adalah inspirasi bagi gue, dia membuat gue memakai cinta di jalan yang benar."

"Benar dalam artian?"

"Bisa dibilang bukan pacaran yang mementingkan modus, status, apalagi ngardus. Gue bakal buktiin kalau cinta gue bisa bikin maju, masuk psikologi ke universitas bergengsi di Indonesia."

"Waw!" Navya menepuk-nepuk bahunya seolah kagum. "Yah, ini baru namanya adek gue. Tapi jangan terlalu berharap nanti jatuhnya makin sakit."

"Gue tau, tapi masih banyak jalan menuju roma."

"Ok, gue harap lo gak cepet nyerah. Selamat ngebucin." Navya tersenyum, sebelum pergi dari kamarnya.

Gia tersenyum penuh kemenangan. Kalau dipikir, hebat juga ia bisa mencintai Gilang selama dua tahun ini. Gilang harus percaya bahwa dirinya masih tetep cinta meski Gilang tidak ada di sampingnya.

Gue gak akan berpaling dari lo, Lang.

-----
Guys! Besok ending nih! Yey, sebentar lagi ODOC-nya selesai!

Rambut Gia udah panjang.

Kira-kira Gia tetep setia gak?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top