XXIV
"Rangga?" Penampilannya masih saja sama, rambut acak-acakan, celana compang-camping, dan kawat setia yang melekat di deretan giginnya. Apa kelakuannya juga masih sama?
"Wah, kebetulan banget ketemu di sini."
"Ternyata dunia sempit, ya. Gue kira lo udah lupa sama gue."
"Enggak sih, lo tambah cantik aja."
Masih sama.
"Makasih, tapi lo makin urakan aja."
"Eh, ada dendam nih?"
"Beneran kok, nih yah gue tanya orang lain." Gia memperhatikan sekeliling sampai akhirnya menarik tangan seorang suster yang lewat di depannya. "Mbak, cowok ini ganteng gak?"
Mata Mbak suster itu langsung melotot seakan bertemu maling. "Astaghfirullah, mas kena cacar air ya? Mau saya bawa ke ruang isolasi?"
"Eh, mbak ini jerawat bukan cacar kali."
"Oh, pasti masnya jarang mandi. Malu mas, pacarnya aja cantik gitu masa."
"Astaga mbak, jangan bikin malu saya dong."
Gia tertawa keras. "Maaf, mbak saya bukan pacarnya, tapi nyonya di rumahnya."
"Oh, mas-nya pembantu."
"Iya, Mbak!" Perut Gia semakin tergelitik, tertawa keras bersama suster tersebut seperti tanpa dosa. Sampai suster tersebut memilih pergi untuk melanjutkan kerja.
"Lo masih gak berubah ya, jahil kayak dulu. Bedanya lebih sarkas."
"Oh ya, lo kali yang sensitif."
"Ya udahlah gue ngalah." Rangga pun memilih menikmati ponselnya. "Ngomong-ngomong lo abis dari mana?"
"Jenguk calon pacar. Lo?"
"Oh, nunggu temen keluar dari RS, sekalian beli obat. Emang dia sakit apa?"
"Kepo, tau juga enggak."
"Ya udah, gue doain semoga cepet sembuh buat calon pacar lo."
"Doain juga semoga kami jadian."
Tiba-tiba seorang gadis berjalan mendekat ke arah Rangga. Gadis yang terlihat sama saat memeluk Rangga waktu itu, sebelum dia memutuskan untuk meninggalkannya. "Yuk, Ngga. Maaf lama nunggu."
"Pacar lo?" tanya Gia dengan santai.
Rangga menggeleng pelan, lalu berbisik di telinganya. "Harusnya jangan kami, tapi kita yang jadian."
Bulu kuduk Gia langsung merinding begitu Rangga pergi dari hadapannya. Yang benar saja, ia tak pernah memiliki rasa apapun padanya; hanya sekedar teman. Entah bagaimana nasib gadis itu, setelah tahu Rangga memiliki perasaan padanya.
Jangan berharap lebih, Ngga.
•••
Esok harinya, Gia kembali lagi ke rumah sakit karena sore ini Iris sibuk les private, jadi kesempatan Gia untuk menjaga Gilang. Rasanya sudah seperti jadwal rutin saja ia menjenguk cowok itu.
"Entar malem lo udah boleh pulang ya?"
"Hm," jawab Gilang sambil tersenyum manis. Syukurlah, dia sudah lebih sering menatap lawan bicaranya.
"Berarti besok udah masuk sekolah?"
"Belum, harus istirahat dulu di rumah."
"Yah, gue sendirian lagi."
"Lo ngerasa sendiri?"
"Enggak sih, kan lo tetep di hati gue."
"Gak muat."
Ah, Gilang benar-benar lemot. Kenapa dia tidak merasa baper sedikitpun?
"Terserah elo deh. Oh ya, hampir lupa, gue beliin boneka spiderman nih buat lo." Gia lantas memberikan boneka berukuran sedang untuk Gilang sudah seperti anak kecil saja.
"Keren nih. Tau aja kalau gue suka."
"Lo tau kan pesan apa yang diambil dari film spiderman?"
"Menurut lo?"
"Salah satu nih yang gue tangkep. Lo gak perlu menjadi sama seperti kebanyakan orang untuk mendapatkan kebahagiaan. Lo bisa bahagia dengan apa adanya lo. Hanya orang yang menipu dirinya sendirilah, mudah untuk ditipu oleh orang lain."
"Lo bener."
"Ada banyak orang yang mau menerima lo apa adanya dengan tulus."
Salah satunya gue.
"Makasih, Gi."
Syukurlah, minat Gilang kembali lagi saat menerima boneka itu. Setelah lama menarik diri dari hal yang sebelumnya disukai. "Demen banget sama spiderman sampe dipeluk gitu. Yang ngasih gak dipeluk juga?"
Tanpa keberatan Gilang tersenyum dan langsung merentangkan tangan, Gia pun menubruk dada bidang Gilang dan memeluknya erat. Sudah lama ia tidak merasakan kehangatan seperti ini, setelah lama tidak bertemu kedua orangtuanya. Tolong berik waktu satu menit.
"Masih lama?"
"Ah, elo!" Gia lantas memukul Gilang sampai dia merintih kesakitan, orang masih mau berlama-lama juga.
"Sakit, Gi."
"Syukurin. Oh ya, kemarin abis pulang jenguk lo, gue ketemu mantan sahabat gue."
"Terus?"
"Yah, gue ngerasa beda aja. Dulu kalau inget dia bawaannya sedih, soalnya dia udah ninggalin gue demi yang lain. Padahal dia tau, dia temen gue satu-satunya, tapi sekarang gue malah biasa aja."
"Sekarang?"
"Gue justru lega karena udah tau sifat aslinya. Malah tambah urakan tingkahnya."
"Alasan lo temenan?"
"Sebenernya dia pinter selalu bantu gue ngerjain pr."
"Apa lo gak sadar kalau gue lebih urakan dari dia?"
"Lo kan ganteng, Lang."
"Maksud gue urakan dalam sikap."
"Gue gak pernah nganggep lo gitu, semua yang ada di lo itu baik bagi gue."
"Apa alasan lo mau temenan sama gue?"
Gue gak mau temenan sama lo. Gue mau kita lebih dari itu. Tapi gue takut lo gak akan terima.
"Lo baik."
"Cuma itu?"
"Gue gak terbiasa kalau lo gak duduk di samping gue."
"Gimana kalau harusnya kita ini gak pernah sebangku?"
Lang, lo memang tidak percaya diri atau mau nyuruh gue buat bilang yang sebenernya?
"Gue gak tau alasaanya apa. Tapi gue enggak pernah menyukai orang sekuat ini sampe buat gue berjuang. Pertama kalinya gue berharap seseorang itu akan suka sama atau balas perasaan gue. Gue gak bisa merangkai kata, tapi setidaknya lo udah tau kalau sekarang orang yang gue suka itu lo, Lang."
Gia tak pernah menyatakan perasaan begini, sebelumnya. Entah kenapa ada rasa sesak sekaligus lega dalam hatinya.
"Udah gak usah nangis, muka lo jelek."
"Ih, siapa juga yang nangis. Udah berani ngatain gue ya!"
Gilang hanya mengusap pipinya lembut, seperti pada anak kecil.
Udah gue bilang pun lo masih belum bisa nerima gue.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top