XXIII
"Bagus, kalau sampe terjadi siap-siap lo bakal kehilangan keluarga kedua lo di kelas."
"Jangan dong, gue udah sendirian di rumah masa di kelas sendirian juga."
"Makanya lo dengerin kata gue."
"Iya, siap Bu Guru," ucap Gia sambil mengangkat tangan seperti hormat bendera pada Vanila. Kemudian Vanila tersenyum dan berjalan kembali ke kelas.
Kalau takdir berkata lain, gue bisa apa, Van?
•••
Masih belum menyerah, esok harinya Gia pergi lagi ke rumah sakit untuk menjenguk Gilang. Pulang sekolah sore ini ia ditemani oleh teman-teman sekelas dengan membawa buah tangan dan juga balon, benar-benar seperti pesta ulang tahun. Mereka melakukan itu karena ditraktir bakso oleh Gia, sedangkan Gia sendiri ingin membuat Gilang senang.
"Ris, mama lo beneran gak ke sini kan?"
"Iya, dia datengnya malem kok, lo tenang aja," kata Iris begitu Gia sudah tiba di depan ruangan. "Ya udah cepet tiup balonnya entar ada petugas lewat lagi."
"Tapi lo yakin di dalem kedap suara?"
"Iya, iya. Udah, cepetan!"
Tanpa lama lagi, mereka langsung meniup balon dan membakar lilin di atas kue. Begitu persiapan sudah matang mereka pun masuk ke ruangan. "Semoga cepet sembuh Gil--"
Seketika suasana menjadi hening, mereka semua terdiam saat Gilang menampilkan perut kotak-kotaknya, tengah duduk santai di ranjang.
"Oh, my god! Mata gue langsung jernih!"
"Anjir, abis nge-gym ya lo."
"Nikmat Tuhan mana yang kau dustakan?"
Mata Gilang tak kalah melotot terkejut, dia yang tadinya hendak mengenakan baju pun segera menutupi tubuhnya. "Eh, kenapa pada ke sini?"
"Ya, jenguk lo lah Lang. Masa mau ngamen," ucap Vanila.
"Keluar!"
"Eh, geger otak masih aja lo galak. Kita di sini karena bakso tau gak. Lebih tepatnya sih disuruh Gia." Vanila cekikikan, membuat Gia mengjotos kepalanya. "Sakit, Gi!"
"Diem makanya," sentak Gia.
"Eh, ruangan ini bagus banget deh, gila. Duit dari mana?"
"Maling kutang."
"Buset, Gi kalau ngomong--"
"Kenapa?"
"Suka bener."
Tiba-tiba Gilang menyengir membuat Gia ikut terkekeh karena ekspresinya yang menggemaskan. "Eh, Gi. Kok Gilang tambah ganteng ya kalau ketawa. Gue baru sadar selama ini gak keliatan di kelas."
"Ah, baru tau lo!"
"Udah sana, kasih kue sama bekal lo yang gak seberapa."
"Iya, awas lo deket-deket Gilang."
Mumpung mama Gilang masih lama datang dan yang lain sibuk sendiri, inilah kesempatan Gia untuk dekat lagi dengan Gilang. "Lang, gue bawain kue nih buat lo sama sup ikan salmon. Dimakan ya, biar lo cepet sembuh," ucapnya sambil duduk di samping Gilang.
Gilang hanya terdiam, membuat Gia berdecak kesal dan menaruh makanan tersebut di atas nakas. Tiba-tiba saja Gilang memegang tangannya yang diperban. "Gak sakit?"
"Maksudnya?"
"Tangan lo diperban, patah?"
"Enggak, cuma luka kecil. Gue gak tau cara perbannya gimana biar gak perih yah gue gulung-gulung aja."
"Sori, ya."
"Untuk?"
"Udah buat lo celaka. Gue emang berengsek."
"Enggak, Lang. Justru gue mau makasih sama lo udah nyelamatin hidup gue. Lo pahlawan."
"Bubar, bubar yang ngerasa jomblo harap kaluar!"
"Loh, Van mau ke mana kalian kok pada keluar sih?"
"Mau maling kutang."
"Dasar tukang copas."
"Ayo, guys. Ada cilok di depan gue traktir nih lagi baek." Seketika mereka semua bersorak dan mengikuti langkah Vanila pergi.
Eh, malah ninggalin tuh para bocah. Tapi bagus sih. Bisa berduaan.
"Kepala lo masih pusing?"
Sama seperti dulu, Gilang tetap menjawab dengan anggukan. Bedanya sekarang Gilang mau menatapnya dan tersenyum walau tipis. "Gak."
"Apa lo harus terluka gini baru mau senyum?"
"Maaf." Sengatan listrik seolah menyambar tubuhnya saat Gilang mengusap puncak kepalanya, tapi Gia berusaha bersikap biasa saja.
"Gue gak butuh maaf. Gue cuma butuh lo berubah jadi lebih baik. Jangan coba bunuh diri lagi."
"Gue tau."
"Gue paham kok lo nolong gue karena manusiawi. Lo pasti bakal ngerasa bersalah kalau sampe gue mati."
"Harta atau nyawa?"
"Di saat gini lo ngajak gue main?"
"Lo masih inget dulu pilihan gue?"
"Nyawa."
Gilang mengangguk. "Apa sekarang lo masih nganggep gue bohong?"
Jadi, Gilang bener-bener nyelamatin gue tanpa terpaksa? Apa itu artinya Gilang juga sayang sama gue? Tapi gue masih ragu.
"Lang, gue aja udah lupa sama permainan itu. Kenapa lo anggep serius, lo gak boleh ngerelain nyawa lo sendiri buat nolong gue--"
Jantung Gia berdetak sangat cepat melihat wajah Gilang mendadak mendekat. Ditatapnya bola mata hazel yang menarik perhatian itu seolah ada danau kecil yang melintas di sana, membuat bibirnya meraung-raung minta dibuka. Perlahan tangan Gilang berpindah ke lehernya, ia pun pasrah dan memejamkan mata saat hembusan napas itu terasa hangat menerpa.
"Gia! Ternyata mama udah di rumah sakit." Gia sontak mendorong dada bidang Gilang begitu Iris masuk. Baru sadar ia hampir mencium Gilang, bahkan Iris pun tampak keheranan. "Kalian abis ngapain?"
"O-oh, mama lo udah di sini?" Gia mendadak kikuk. "Ya udah, gue beresin barang-barangnya dulu."
Secepat kilat Gia dan Iris membersihkan sampah-sampah yang berserakan, merapikan kursi, bahkan memecahkan balon dan membuangnya dalam kotak sampah. "Aduh, Gi. Liat di kaca itu mama!"
"Terus gue gimana?"
"Sembunyi di WC cepet!"
Dengan tergesa Gia masuk dalam WC dan menutup mulutnya sendiri, agar tidak keceplos ngomong. Suara ketukan sepatu terdengar masuk dalam ruangan dan berhenti saat sampai di ranjang.
"Untung kamu selamat. Coba kalau sama kayak papa yang terlambat diobati. Gimana rasanya?" Napas Gia mendadak sesak sendiri, walau di WC, tapi ia bisa merasakan suasana mencekam di sana. "Apa kamu sudah lupa kejadian itu?"
"Enggak, Ma," jawab Gilang, suaranya terdengar lembut, mampu membuat siapapun merasa pilu.
"Kamu tau kan sekarang harus minum obat apa?"
"Parasetamol."
"Biar apa?"
Gilang terdiam.
"Biar mengurangi rasa sakit dengan menuruni produksi zat dalam tubuh, sehingga demam berkurang. Itu saja kamu tidak tau? Apalagi mau cari tau penyebab papa dulu kena stroke. Gak bisa jadi dokter."
"Maafin Gilang."
"Ma, udahlah kasihan Gilang lagi sakit," ucap Iris suaranya pun ikut melembut.
"Sudahlah, Mama ikutan pusing liatnua. Jadi, pengsn cuci muka."
"Eh, Ma jangan ke WC!"
"Kenapa?"
"Iris tadi berak, lupa dicebok. Entar mama jijik liatnya."
"Ya ampun, Iris. Mentang-mentang ini ruangan kita jangan seenaknya dong. Siram nanti."
"Iya, iya, Ma."
"Ya udah, Mama ada kerjaan lain. Awasi Gilang."
"Siap, Ma."
Suara sepatu wanita itu terdengar kian menjauh, akhirnya Gia bisa bernapas lega. Hampir saja ketahuan. Iris membuka pintu WC dan membawanya keluar. "Maaf lo pasti risih denger obrolan kami."
"Enggak kok." Gia melirik Gilang, lagi-lagi cowok itu menatap kosong ke bawah. Dia membaringkan diri di ranjang melawan arah dari hadapannya, kemudian menutup setengah badan dengan selimut.
"Kayaknya Gilang butuh istirahat."
"Ya udah, kalau gitu gue permisi temen yang lain pasti udah nunggu gue. Oh, ya besok gue ke sini lagi."
"Iya. Hati-hati di jalan."
Gia hanya tersenyum, sebelum keluar dari ruangan. Di saat Gilang sakit pun ibunya masih saja menekan. Entah karena tak punya hati atau terlanjur kecewa besar atas kepergian suaminya, yang jelas Gia tetap percaya pada Gilang dan ingin membuatnya tersenyum lagi. Sekarang, biarkan Gilang beristirahat, jika memang membuat dirinya lebih baik.
"Eh, Gia."
Kejadian yang tak pernah Gia duga. Bagaimana bisa Tuhan mempertemukannya lagi pada orang yang selama ini tak ingin ia temui; mantan sahabatnya dulu. "Rangga?"
----
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top