XXII
"Van, gue izin gak hadir hari ini. Sekalian tulisin surat gue ya bilang aja sakit."
"Wah, pasti gara-gara kecelakaan kemarin ya. Heboh banget gila sampe satu sekolah tau."
"Iya, makanya gue gak mau masuk sekolah."
"Pasti sakit banget ya? Lo sama Gilang beneran masih hidup kan?"
"Ya, sakitlah! Lo kepeleset aja nangis. Baru sekali izin udah kangen lo."
"Iya nih, gak seru kalau kalian gak ada di kelas."
"Karena gak ada yang traktir."
"Kok lo tau?"
"Van ... lo belum pernah disantet online ya?"
Vanila terdengar sedang tertawa keras. "Sadis lo anjir sama temen juga."
"Ya udah, ya. Bye!"
Gia langsung memutuskan panggilan ponsel dan memesan taksi online, agar cepat sampai rumah sakit untuk bertemu Gilang pagi ini. Sehari tak melihat cowok itu, rasanya seperti setahun.
Mungkin sebutan bucin (budak cinta) cocok untuknya, tapi Gia tak peduli dengan sebutan itu. Kapan lagi bisa merasakan kupu-kupu terbang dalam perutnya. Semoga Gilang benar-benar sudah sadar, seperti yang dikatakan Iris.
Satu jam kemudian, barulah Gia sampai di tempat, ia melambaikan tangan pada Iris yang sudah menunggu di depan rumah sakit. "Kayaknya mendingan, lebamnya udah berkurang."
"Iya, lo gak sekolah juga?"
"Kasihan lah Gilang sendiri, gak ada yang jagain. Itu tangan lo perban sendiri?"
"Hm, tinggal sendirian di rumah, asal gulung aja yang penting gak perih."
"Agak aneh sih, entar dikira abis patah tulang lo."
"Bodo amat ah. Mana Gilang? Gue mau liat."
"Ya udah, yuk gue anter ke ruangan." Gia berjalan beriringan dengan Iris menuju ruangan tempat Gilang terbaring lemah.
Namun, saat akan masuk ke ruangan, Iris tiba-tiba menarik tangannya menjauh dari sana. "Kenapa, Ris?"
"Ada mama, Gi. Kayaknya masih meriksa."
"Gue beneran gak boleh masuk ya?"
"Maaf."
"Sedih banget sih, padahal udah bawa roti banyak buat Gilang."
"Haduh, sabar ya. Kita ngobrol di taman aja gimana sambil nunggu mama keluar."
"Boleh deh."
Baru kali ini Gia menemui taman yang menyenangkan di rumah sakit, udara sejuk dari air mengalir langsung menyergap kulitnya. Kupu-kupu tampak menyombongkan sayap seolah baru keluar dari kepompong, bahkan bunga-bunga tak mau kalah menunjukkan warna kelopaknya. Gia yakin, Gilang pasti betah di sini apalagi kalau bersamanya.
"Kenapa, Gi. Senyum-senyum gitu?"
"Em, enggak. Enak suasananya."
"Harusnya lo jangan bawa roti-rotian."
"Eneg, ya?"
"Bukan, Gilang itu perlu makanan yang mengandung omega tiga, vitamin E. Kayak salmon rebus gitu atau telur, kacang boleh sih."
"Emang Gilang kenapa?"
"Cedera kepala ringan."
"Hah! Lo serius! Udah depresi, terus kepalanya cedera. Berarti sayang gue ... gila dong."
"Hem, sayang gue, sayang gue. Gak parah kok. Harusnya, Gilang udah bisa pulang hari ini cuma mama mintanya nanti aja biar Gilang bener-bener pulih."
"Pasti kepalanya pusing luar biasa."
"Yah, Gilang masih kayak kebingungan gitu, suka ngeluh sakit kepala, tapi nanti bakal ilang kok gejalanya."
"Kalau cara ngilangin depresi lo tau?"
"Ya, harus minum obat teratur gak boleh putus-putus, tidur rutin, olahraga. Cuma gitu Gilang susah buat diajak. Gue aja bingung milih kata yang tepat buat diucapkan ke Gilang takut salah. Makanya gue salut denger lo ngajak Gilang nyanyi."
"Gue juga mikir sih, apa gue terlalu maksa dia?"
"Enggak. Lo orang yang peka terhadap lingkungan, Gi. Bukan cuma tau soal gejala sosial Gilang, tapi lo juga bisa bawa dia keluar dari zona murungnya. Cocok deh lo masuk psikologi sosial gitu."
"Oh ya?" Gia tersipu malu, ternyata tak sia-sia masuk jurusan IPS. "Kalau di IPA namanya apa?"
"Em, kalau gak salah psikologi klinis."
"Oh, gue sempet baca sih dari internet kalau orang depresi cuma perlu didampingi, support, dan didengarkan. Jadi, menurut gue obat-obatan tuh gak terlalu berpengaruh. Biarin dia ngeluarin unek-uneknya, apalagi kalau liat Gilang udah ketawa tuh gak tau rasanya seneng aja."
"Iya, gue juga. Gue kasihan sama Gilang kayak ngerasa bersalah gitu kalau inget papanya ninggal."
"Serius? Kayaknya depresi Gilang bukan dari mamanya deh, kali aja papanya. Eh, tapi kan kecil taunya cuma mainan. Takdir dong kalau papa Gilang udah ninggal."
"Iya, lagian kejadian itu udah lewat dan Gilang gak perlu nyesel. Ah, Gilang gak mau terbuka sih orangnya, pas periksa ke psikiater juga bilangnya tertekan sama mama."
"Waktu ke psikiater didampingi mama juga?"
"Enggak, cuma gue sama Gilang. Itupun karena Gilang mau."
"Gue serius mau liat Gilang, Ris. Please...."
"Ya udah deh, kayaknya lo gak sabar liat muka ganteng Gilang. Kita balik lagi ke ruangan, siapa tau mama udah keluar." Gia lalu berjalan di belakang Iris, bersembunyi di balik tubuh gadis itu, padahal ia tetap saja kelihatan. Jujur, Gia takut bertemu mama mertua yang galaknya minta ampun.
Mereka berjalan mengendap-endap di bawah kaca ruangan. Iris membuka pintu, kepalanya menyembul sedikit ke dalam, membuat Gia berdecak kesal karena wajahnya menabrak bokong Iris, angin dingin dari ruangan pun menusuk kulit Gia.
Setelah dirasa aman barulah Gia dan Iris masuk dalam ruangan VVIP yang luas dan memiliki fasilitas lengkap seperti TV, kulkas, bahkan sofa tamu, dan tentu saja dingin AC yang tadi menusuk kulitnya. Benar-benar nyaman, lebih menyenangkan dari kamarnya sendiri.
Tapi bukan itu yang penting, melainkan wajah teduh Gilang yang kini terlihat pucat pasi tengah terbaring di ranjang bersama alat infus yang menusuk tangannya. Napas Gilang terdengar stabil, matanya masih tertutup karena tidur nyenyak. Rasanya Gia seperti orang kejam jika tega membangunkannya, ia pun mengusap rambut Gilang perlahan, sama lembutnya seperti mengusap kepala bayi.
"Lo baring gini masih aja ganteng, Lang."
Gilang tak bergeming.
"Jangan merasa bersalah, Lang. Jadilah diri lo sendiri, bukan Gilang yang dipenuhi penyesalan. Gue percaya sama lo."
Gia tersenyum, menyentuh tiap helai rambut Gilang yang tak lagi berminyak seperti saat di sekolah. Rasanya ia ingin memeluk Gilang, tapi ia sadar, siapa dirinya.
"Gi, ayo keluar."
"Loh, belum juga semenit, Ris."
"Masalahnya gue takut mama balik. Kalau udah ngamuk, pelampiasannya ke Gilang. Lo ngerti gak sih?"
"Eh, bentar, bentar. Pikiran gue kok tiba-tiba kosong ya, kayaknya gue mulai depresi deh."
"Ngeles terus. Ayo, cepetan!" Iris menarik tangan Gia dengan paksa.
"Ris, lo kok jahat sih."
•••
Tiga hari kemudian....
Pagi ini Gia menghempaskan tasnya di atas meja, semua teman sekelas langsung mendekat ke arahnya untuk menanyakan soal kecelakaan lalu. Senang rasanya diperhatikan, tapi akan lebih senang lagi jika orang di sampingnya hadir menemani.
"Ya ampun, icon kelas kita akhirnya masuk lagi."
"Gi, gimana awalnya lo kecelakaan?"
"Gi, tangan lo darahnya beku tuh, lebam."
"Gi, gue duduk samping lo selamanya ya."
"Gak ada yang boleh duduk samping gue kecuali Gilang!" Hanya ucapan murid terakhir yang berhasil mendapat tanggapan Gia. Seketika cowok itu terdiam begitu juga yang lain, mereka langsung menatap Gia sinis seolah Gia adalah monster.
"Ya ampun Gi, istighfar, kita cuma perhatian sama lo," ucap Vanila berusaha mencairkan suasana.
"Gue mau ke WC." Gia beranjak dari tempat duduk dan pergi keluar kelas disusul Vanila.
"Lo kenapa sih jadi drama gini? Maaf kalau pertanyaan kami bikin lo tersinggung."
"Abisnya dia mau gantiin tempat Gilang."
"Aih, dia cuma main-main doang kali. Gak biasanya lo gini, otak lo kebentur ya?" ucap Vanila sambil menempelkan punggung tangannya di kening Gia.
"Apaan sih, Van."
"Eh, Kak Kevin juga gak masuk sekolah loh sampe sekarang. Parah sih kecelakaannya, untung aja temen gue satu ini masih hidup. Minta ganti rugi lah."
"Udah diselesain kekeluargaan, tapi pasti Kak Kevin pasti belum minta maaf langsung sama Gilang."
"Iya sih, lagian bokap Kak Kevin brigjen polisi jadi mudah."
"Gue juga udah putus."
"Hah? Serius? Gara-gara kecelakaan ini?"
"Iya, banyaklah."
"Berarti gue bisa dong dapetin Kak Kevin."
"Dih, ambil sana bekasan gue."
"Eh, songong lo. Canda kali, gak usah jutek gitu mukanya."
"Serius ambil aja. Gue malah sebel karena gak boleh jenguk Gilang di rumah sakit. Padahal mau ajak anak-anak kelas."
"Emang kami mau?"
"Ih, dasar gak berperikekompakan dan kemanusiaan, kalian! Orang sakit tuh dijenguk sekelas biar rame. Gilang butuh semangat!"
"Yah, paling enggak ada ongkos pulangnya."
"Ah, elo!"
"Emang kenapa kok lo gak boleh jenguk?"
"Gak tau, kata saudaranya besok aja, nanti, kapan-kapan, sekalian sampe kiamat."
"Hus gak boleh ngomong gitu! Kali aja Gilang gak boleh diganggu."
"Tapi kan gue kangen."
"Lo suka ya sama Gilang?"
"Iyalah!"
"Hah!"
Anjir, lupa. Gue kan gak boleh baper sama temen sekelas.
"Maksud gue, suka aja ngeliat muka ganteng dia. Kalau gak ada di kelas kan gak bisa cuci mata."
"Oh, iya juga sih. Cowok yang lain pada buluk semua. Eh, tapi kalau lo sampe pacaran sama Gilang, gue gak mau temenan lagi sama lo, gue gak mau canggung."
"Ngapain juga."
"Bagus, kalau sampe terjadi siap-siap lo bakal kehilangan keluarga kedua lo di kelas."
----
Guys, kalau kalian jadi Gia, kalian masih mau nerima Gilang atau enggak? Komen ya. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top