XX
"Kalau diri lo sendiri gak guna. Apa perasaan sayang ini juga gak guna?"
"Sayang siapa?"
"Ah, Gilang lemot!" Masa Gia harus mengutarakannya lagi, di mana letak harga dirinya? Ia bukanlah Kevin yang kalau ngomong asal nyablak.
Iris : Di mana Gia? Gue udah di ruang rumah sakit nih. Buru, ya.
Gia : Iya, Ris. Gue langsung OTW.
Hampir saja Gia lupa kalau seharusnya, sore ini ia mengantar Gilang ke rumah sakit, lalu menceritakan kejadian ini pada Iris. Kondisi Gilang yang ingin bunuh diri pasti sedang tidak stabil, ia butuh perjuangan ekstra untuk mengajaknya pergi, mungkin diawali dengan obrolan sederhana.
"Lang, lo kenapa tadi mau terjun? Gue sampe mau ikutan loh."
Gilang hanya menatap lurus ke depan.
"Maafin kak Kevin, Lang. Mulutnya emang jelek, tapi dia orangnya jujur kok. Gue aja putus sama dia."
"Kenapa?"
"Yah gitu, suka nyablak mulutnya. Bikin males," singkat Gia, tak ingin bercerita panjang lebar. "Padahal kita udah nyanyi bareng loh, Lang. Gue jadi bingung kenapa lo tiba-tiba gini."
"Karena...."
"Hem?"
"Setelah ramai kita nyanyi, gue tetep balik ke asal. Masih sepi."
Gia memperhatikan raut wajah Gilang dengan seksama, kedua alisnya berkerut dalam seolah ada beban yang menimpa di sana. Gia tahu, orang depresi hanya perlu didengarkan tak perlu di-judge.
"Gue benci keramaian, tapi gue juga gak mau sendirian."
"Tapi, ada gue di sini, Lang."
Gilang hanya tertawa renyah menanggapinya. "Kalau gedung ini milik gue, gue bakal tidur nyaman di sini semaleman."
"Biar lo bisa menikmati kesendirian lo?"
Gilang mengangguk.
"Memang di rumah gak enak, ya?"
"Enak, kalau gak ada Iris yang buat gue singkuh. Saudari tiri belagu."
Bukan Iris yang belagu, Lang, tapi lo sendiri yang menganggapnya belagu.
"Dia bikin kesel lo, ya?"
"Enggak, cuma aneh tinggal satu rumah sama orang asing. Gue gak bisa akrab sama siapapun."
"Iya, emang nyesuain diri sama orang lain itu sulit, ya. Gue tau rasanya."
"Makasih, Gi."
"Hah?"
"Makasih udah mau dengerin ocehan gak penting gue."
Gia merangkul leher Gilang layaknya sahabat akrab. "Gue seneng kok denger cerita lo. Just try to fix you."
Gia ingin mengetahui hidup Gilang lebih dalam karena pasti masih banyak hal yang belum dia ceritakan. Mengingat langit sebentar lagi memasuki malam dan Iris juga sudah menunggu di rumah sakit, ia harus mengurungkan niatnya untuk bertanya dan ini saat yang tepat untuk mengajak Gilang pergi.
"Lang, mau ikut ke psikiater gak? Gue juga mau cek siapa tau ada sesuatu yang nyangkut di diri gue. Biar kita obati sama-sama."
Gia akhirnya bernapas lega, setelah Gilang mengangguk mau.
"Ya udah, yuk kita turun dari rooftop." Gia menggandeng tangan Gilang dan berjalan ke arah pintu roofotop, saat pintu dibuka ternyata ada Kevin yang menunggu sedari tadi.
"Mau ke mana kalian?"
"Gak perlu tau."
"Gue mau ngomong berdua dengan lo, Gi penting." Kevin menarik paksa tangannya sampai ia tak bisa melihat wajah Gilang karena jarak yang cukup jauh.
"Apa sih, Kak!"
"Jangan pergi berdua aja sama dia, bahaya."
"Bahaya kenapa sih? Lo kali yang lebih bahaya."
"Gue gak mau lo kenapa-napa, Gi. Pokoknya gue harus ikut."
"Emang Gilang mau ngapain gue? Kenapa juga lo harus ikut?"
"Kita gak tau pikiran orang lain. Walaupun dia sakit atau enggak tapi mencelakakan diri sendiri itu perilaku setan!"
"Terus?"
"Nah, kalau diri sendiri aja disakiti gimana orang lain. Gue gak mau itu terjadi sama lo."
"Udahlah, Kak. Gue gak mau terhasut sama kata-kata lo."
"Ya udah gini deh, lo boleh tampar gue, tendang gue, cium gue--"
"Eh!"
"Tapi lo tetep di sisi gue."
"Emang Gilang mau bareng sama lo?"
"Gue yakin dia mau, gue anter pake mobil."
"Terserah, awas ya kalau lo apa-apain Gilang nyawa lo taruhannya."
Ia dan Kevin mendekat ke arah Gilang yang sedari tadi setia menunggu, keringat dingin tampak menyembul di kening Kevin, sepertinya dia takut menghadapi Gilang. Begitu ditawari untuk pergi bareng, Gilang malah menatapnya. Tentu Gia mengangguk dan Gilang setuju tanpa banyak basa-basi. Mungkin jika tadi Gia menggeleng, Gilang juga pasti tidak mau. Ternyata orang depresi memiliki ketergantungan pada orang lain.
Mereka kini sudah masuk dalam mobil Toyota Alphard milik Kevin, perjalanan berlangsung cukup panjang karena rumah sakit yang dituju lokasinya cukup jauh dari permukiman warga, banyak pohon-pohon menjulang tinggi di sepanjang jalan, kendaraan yang lewat pun dapat dihitung jari.
"Maaf, gue ngatain lo gila tadi, Lang," ucap Kevin. Minta maaf macam apa jika masih menyebut Gilang 'gila'.
"Slow," singkat Gilang, wajahnya terus menatap kaca mobil; memandang jalanan. Lagi-lagi Gilang enggan melihat wajahnya, apalagi melihat Kevin.
"Lo tuh harus bersyukur, Lang sama hidup."
Gia memperhatikan tangan Gilang yang mendadak terkepal, sepertinya dia tak suka dengan nasehat Kevin.
"Yang lebih berat hidupnya dari lo banyak kali," lanjut Kevin lagi sampai Gilang menghela napas kasar.
"Kayaknya udah cukup deh, Kak," pinta Gia.
"Loh, kenapa Gi? Yang gue bilang bener, mungkin Gilang kurang deket sama Tuhan."
Gilang mulai grasak-grusuk, wajahnya memerah seperti menahan amarah sampai Gia dibuat kebingungan sendiri. Kini Gilang meraih gagang pintu mobil; hendak membuka. "Maafin gue. Gue emang gak guna."
"Lang, lo mau apa!"
"Oi Lang, gue juga pernah kali depresi, semua orang juga. Jangan ngerasa paling sedih lo di dunia," sentak Kevin sampai-sampai pikirannya ikut kalut.
"Maaf sekali lagi."
"Kak tolong kunci mobilnya!"
Terlambat, Gilang sudah membuka pintu mobil lebar-lebar hingga Gia dibuat seribu kali panik. "Astaga, Lang, jangan!"
Tanpa sadar Kevin yang panik menancapkan gas lebih kencang hingga membanting stirnya ke arah kiri untuk menyelamatkan Gilang, agar tidak terjun. Namun, naas mobil tersebutlah yang jatuh ke jurang hingga tergelinding beberapa kali.
Semua hanya berlangsung dalam hitungan detik. Gia meringis ketika tulang kepala belakangnya terasa berat dan nyeri luar biasa, pandangannya mengabur tertutup oleh dada bidang Gilang yang kini ia tindih. Gilang tak sadarkan diri.
"Gilang!"
Gia langsung meletakkan kedua tangannya di kedua sisi kepala Gilang, menstabilkan kepala dan leher Gilang, agar lurus sejajar dengan tulang belakang.
"Gilang, ngomong. Jangan diem, Lang." Mata Gilang tak mau terbuka, seperti orang tertidur lelap. Hatinya terluka, kenapa Tuhan harus mengatur hidup Gilang dengan tak adil, sudah melukai batin dan pikiran juga melukai fisiknya.
"Gi, maafin gue."
"Jangan sentuh Gilang!" Gia menepis tangan Kevin yang hendak memegang kepala Gilang. Dengan cepat, Gia mengeluarkan selembar kain yang selalu dibawanya dalam saku, lalu menekan titik pendarahan Gilang dengan kain tersebut.
"Lang, jangan sok kuat! Gue tau rasanya luka gini, ayo bangun."
"Maaf, Gi. Gue beneran gak sengaja."
Gia seolah menganggap Kevin angin lalu, ia memilih mengecek jalan napas Gilang yang terhitung lambat dan sirkulasi nadinya yang beruntung masih berdenyut.
Tolong, Lang. Cepatlah sadar.
Semua orang di sekitar kini berkumpul di satu titik, tapi Gia hanya bisa menangis menatap Gilang yang tergeletak lemas dan terkulai. Gia berdoa, Tuhan, jangan ambil nyawa Gilang, sebelum cowok itu tertawa bahagia, melepas deritanya yang selama ini menghantui pikiran.
"Nak, itu mobil ambulannya sudah datang!"
Tiga petugas segera turun dari mobil ambulan, mereka mengangkat Gilang dengan alat bantu mobilisasi long spine board secara baik, lalu meletakkan Gilang ke atas mobile stretcher, setelah itu dimasukkan ke dalam kabin ambulan.
Gia hendak menyusul, tapi tangannya di tahan oleh Kevin. "Apa lo sengaja ngajak kami ke mobil lo, Kak? Biar kami ini celaka!"
"Astaga, enggak gitu, Gi."
"Gimana bisa cuma tangan lo yang luka?"
"Sumpah gue beneran gak sengaja, Gi. Airbag bagian belakang rusak, belum sempat gue perbaiki yang berfungsi cuma di tempat gue, bagian pengemudi. Gue bener-bener gak tau bakal kejadian gini."
Gia memperhatikan bagian depan Alphard Kevin yang sudah rusak parah. Pintu penumpangnya terlepas, kaca-kacanya juga sudah pecah. Gilang adalah pahlawan yang berhasil menyelamatkannya dari maut, jangan sebut Gilang tak berguna.
"Keluarga pasien cepat masuk dalam ambulan!"
Gia menepis tangan Kevin dan memberinya tatapan tajam. "Gue benci lo, Kak. Tolong jangan deket gue lagi!"
---
Sedih gak sih guys? :(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top