XVII

Gia menghempaskan diri di kasur, melirik jam yang sudah menunjukkan pukul delapan malam. Kalau saja tante Kevin meninggal siang tadi, sudah pasti ia disuruh untuk ikut pergi ke pemakaman dan bertemu orangtua cowok itu. Ia tidak mau hubungannya semakin jauh hanya untuk merasakan namanya pacaran, malah ada beban yang terus bertambah. Tunggu dulu, baru saja ia bersyukur atas meninggalnya seseorang?

Segumpal kertas yang terselip dalam tas mencuri perhatiannya, ia ambil dan membaca isinya yang tertera nama Iris dan nomor ponsel gadis itu. Syukurlah, jika Gilang sampai minum-minum di club lagi, Gia tinggal memberitahukannya pada Iris.

•••

Jam olahraga siang ini terasa melelahkan, selain diserang terik matahari mereka juga harus berlari tiga kali keliling lapangan. Kalau menolak maka Pak Badrul selaku guru olahraga akan memberi tugas mengerjakan soal esai sebanyak sepuluh halaman. Lebih melelahkan lagi karena kerjanya belajar melulu.

Sangat mudah bagi Gia menemukan keberadaan Gilang karena cowok itu sedang berlari di barisan paling depan. Rambut acak-acakan dan keringat yang menetes di pelipisnya sungguh menambah kadar kegantengannya.

"Aw!" Karena sibuk memperhatikan Gilang, ia jadi terdorong oleh orang dibelakang sampai tubuhnya tersungkur dan mencium semen lapangan.

"Astaga, sori Gia gue gak sengaja," kata Vanila khawatir, ia pun duduk jongkok di hadapan Gia untuk memastikan keadaannya.

Pura-pura pingsan ah.

"Gi, Gi loh kok lo diem aja sih?"

"Eh, ada apa ini?" sambut teman lain yang ikut panik.

"Gak tau, gue gak sengaja kedorong dia sampe jatuh gini," kata Vanila, suaranya berubah parau seperti hendak menangis.

Jangan nangis Van, please maafin gue.

"Gia pingsan! Woi! Tolongin Gia woi! Dia pingsan!"

"Astaga, kenapa anak itu!" kata Pak Badrul, guru pun percaya jika dirinya pingsan.

Duh, malu-maluin gak ya?

"Ayo, bantu Bapak gendong Gia! Nih anak badannya berisi bakal susah diangkat!" titah Pak Badrul.

Seketika semua langkah kaki terdengar mendekat ke arahnya. Sebelum semakin malu, ia pun membuka sedikit kelopak matanya. Ah, elah kok Gilang gak ada!

Saat mereka hendak mengangkat tubuhnya, Gia langsung bangkit berdiri tegap. "Tunggu! Gapapa, gue cuma mau ditolong sama Gilang!"

"Anjir, jadi lo pura-pura mati!" sentak Vanila, wajahnya kini memerah seperti udang rebus.

"Jahat amat lo ngomong mati, pingsan kali."

"Ah, dasar lo sakit jiwa! Bikin kita cemas tau gak."

"Cie, perhatian nih ye."

"Hu! Dasar si jubaedah. Udah, yang waras bubar aja!" ucap teman lain.

Gie cekikikan sendiri, baru kali ini ia diperhatikan teman sekelas, tidak seperti waktu SMP, di mana keberadaannya hanya dianggap angin lewat.

"Maaf guys."

"Bodo amat, Gi, bodo amat!" kata Vanila, satu-persatu semua temannya bubar dan lanjut lari.

"Maaf juga, Pak."

Pak Badrul masih diam ternganga, mungkin heran karena bisa-bisanya dikerjai oleh Gia. "Kamu kerjakan soal esai tiga puluh lembar."

"Eh, buset, Pak tangan saya bisa gede sebelah nanti!"

"Bapak tidak mau tau, kamu yang bohong pokoknya balik lagi ke barisan! Ikut lari sama yang lain."

Kamfret! Tau gini gue lanjutin aja pingsannya.

Dengan santai Pak Badrul berjalan ke arah utara, tanpa berniat meringankan beban Gia. Sial! Guru bukannya ngawas malah cabut ke kantin. Sedangkan dari arah barat, ada Gilang yang baru saja duduk sambil merentangkan kaki. Lama ia menatap Gilang tanpa berkedip, berharap cowok itu akan menoleh padanya. Sayang, cowok itu hanya memperhatikan rumput yang bergoyang.

Gia akhirnya masuk lagi dalam barisan dan lanjut lari karena sempat tertunda. Sebesar apa salahnya pada sampai Gilang begitu membenci dan tak ingin melihat wajahnya? Apa karena penyakit depresi itu sendiri?

"Aduh!"

"Kenapa lagi lo, Gi!" sentak Vanila.

"Kaki gue terkilir nih."

"Alah, paling boong lagi cuma terkilir doang."

"Drama queen lo," ucap yang lain. Sial, Gia baru sadar ada temen yang seperti itu.

"Tapi ini beneran sakit."

"Udah, semua lanjutin aja larinya. Entar gak selesai-selesai kita."

"Maaf, ya, Gi. Gue duluan." Vanila pun lanjut berlari begitu pula yang lain, meninggalkan Gia yang terduduk kesakitan.

Bukan kaki Gia yang sakit, melainkan hatinya karena ucapan gadis yang mengatainya drama queen. Mungkin nanti Gia akan hidup sendirian karena semua orang jadi membencinya. Oh, Tuhan....

"Naik." Gia mendongak, hatinya berdesir menatap Gilang sudah berjongkok saja di hadapannya.

"Gak usah. Gue gapapa."

"Gak ada penolakan."

"Gue bisa sendiri!" Gia hendak berdiri, tapi badannya tiba-tiba tidak seimbang. Beruntung Gilang sigap menangkap tubuhnya sebelum kakinya terkilir lagi.

"Jangan batu!" Capek pura-pura tak mau akhirnya Gia naik ke punggung Gilang, tanpa keberatan Gilang pun mengangkat tubuhnya menuju ruang UKS.

Seorang murid penjaga UKS tak henti-henti bertanya pada Gia yang berjalan masuk dengan langkah tergopoh-gopoh. Setelah diberi penjelasan oleh Gilang, murid tersebut langsung sigap menuntun Gia ke ranjang dan membuat segelas teh. Ternyata Gilang diam-diam memperhatikannya sampai-sampai tau kronologinya.

Setelah Gia tak lagi meringis, barulah Gilang mengambil beberapa es batu dan handuk, lalu dengan telaten mengompres kaki Gia. "Kaki lo sampe biru, bengkak tuh."

"Gak sakit kok."

"Percaya?"

"Beneran."

"Em, saya tinggal sebentar gapapa kan? Ada yang mau diambil," celetuk murid tersebut.

"Pake nanya," sentak Gilang membuat gadis tersebut kicep dan langsung keluar UKS. Sepertinya dia tidak nyaman karena merasa jadi obat nyamuk diantara mereka

"Galak banget, Lang kek harimau."

"Baru tau?"

"Gak, dari awal kita ketemu lo udah galak."

"Makasih."

"Makasih juga udah nolong gue."

"Manusiawi."

"Gue tau, lo gak serius kan benci sama gue." Gilang menatap matanya lekat, seolah memberi jawaban 'iya'. "Gue seneng ada lo Lang, kalau gak ada lo mungkin gue bakal tetep lari keliling lapangan sambil diketawain orang-orang karena lari gue kayak bebek."

"Bebek?"

"Bebeb. Lo bebeb gue maksudnya."

Gilang menyengir.

"Eh, kok lo ketawa! Ih, Gilang ketawa gemes deh!"

"Otak lo perlu dikompres."

"Coba, Lang! Senyum lagi lo cantik tau kalau senyum."

Gilang geleng-geleng kepala, syukurlah mood-nya jadi baik hari ini. Mungkin ini saatnya untuk Gia menunjukkan rasa pedulinya pada Gilang. "Lang...."

Gia memberanikan diri menyentuh helaian rambut hitam Gilang yang berminyak itu. "Gue mungkin gak bisa bantu lo, tapi kalau lo butuh temen cerita, gue siap jadi sandaran lo."

Gilang terdiam sejenak.

"Please, Lang. Jangan sungkan buat ngobrol apapun ke gue. Gue selalu siap dengerin."

Kini tangan Gilang yang dingin akibat es batu itu menggenggam kedua tangannya. "Maaf, gue udah buat lo gak nyaman."

Mata Gia berbinar, sebuah keajaiban karena untuk pertama kalinya Gilang berkata maaf dengan tulus. "Yah, gimana ya, Lang, lo udah terlanjur buat gue nyaman."

-----
Definisi nyaman dong :v?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top