XIV

"Duh, tumben nih angkot gak dateng-dateng," gerutu Gia.

Sudah setengah jam ia berdiri di depan gerbang sekolah sambil mengecek arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, tapi angkot yang ditunggu masih belum muncul. Padahal senja hampir berganti malam dan para murid sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Jangan sampai ia diculik para komplotan yang menginginkan uang, seperti berita di TV-TV.

Loh, itu bukannya Gilang, ya?

Tanpa sengaja Gia menangkap keberadaan Gilang di seberang jalan yang tengah berdiri sendirian di depan pintu gedung les privat. Lama Gilang berdiri di situ sampai seorang gadis berseragam sekolah elite keluar dari gedung tersebut dan mengobrol sebentar dengannya. Mereka tampak akrab sampai akhirnya saling memeluk erat.

Pacar Gilang?

Tin!

Sial! Sebuah mobil Alphard tiba-tiba berhenti di depannya dan menutupi arah pandangnya.

"Cewek, butuh tumpangan?" Sebuah boneka panda berukuran cukup besar muncul dari balik kaca mobil tersebut sampai ia tak bisa melihat si pengemudi yang ada di dalam.

"Maaf, kayaknya salah orang."

Setelah boneka tersebut diturunkan, barulah ia tahu. "Hey, ini gue Kevin, manusia terganteng di SMA Capella."

"Oh, ternyata lo, Kak."

"Kayaknya jemputan lo gak dateng-dateng. Mau pulang bareng gue?"

"Boleh, Kak?"

"Ya, bolehlah. Sampai ke negeri dongeng pun gue tetep nganter lo."

"Beneran?"

"Iya, emang muka gue keliatan bohong?"

"Ok deh, makasih, Kak." Tanpa pikir panjang lagi, Gia langsung masuk dalam mobil dan duduk di samping Kevin. Kemudian, melaju menuju rumahnya.

Selama di perjalanan, Gia masih belum bisa menepis pikirannya tentang kejadian di gedung les tadi. Siapa cewek itu? Ada hubungan apa dengan Gilang? Ia hendak bertanya pada Gilang besok, tapi mengingat hubungan pertemannya sedang renggang, pertanyaan itu tidak mungkin diajukan.

Sama seperti mantan sahabatnya dulu. Tanpa salam, tanpa rasa bersalah, seenaknya memutuskan kontak dengannya dan berkata ingin fokus berhubungan dengan cewek lain, bahkan mereka terang-terangan menunjukkan pelukan mesra di hadapannya. Padahal ia hanya ingin terus berteman dengan cowok itu, setia sampai mati, tapi kenapa cowok itu memilih meninggalkannya.

Gia benci! Gara gara cowok itu, ia tak memiliki teman kerena hanya cowok itu teman satu-satunya.

"Kenapa Gi?" tanya Kevin, bingung melihat Gia sedari tadi menatap kosong ke depan. "Mau jalan-jalan?"

"Enggak, Kak. Gue capek pengen pulang."

"Oh, sori, gue cuma nawarin."

"Iya."

"Setel lagu seru kali, ya."

"Hem."

Demi menyingkirkan kesunyian, Kevin menyetel lagu berjudul Demons yang dibawakan oleh Imagine Dragons.

"When the days are cold

And the cards all fold

And the saints we see

Are all made of gold...."

Lagu yang sama persis dinyanyikan Gilang sewaktu di rooftop. Entah kenapa hatinya makin sesak seolah kehilangan pasokan udara.

"Lo tau, Gi, gue itu orang yang jujur. Kalau ditanya sering pergi ke club, gue bakal bilang iya. Kalau gue gak suka sama orang, gue bakal bilang ke dia bila perlu serang langsung, gak muluk-muluk di belakang. Apalagi kalau suka sama cewek, gue bilang langsung ke orangnya."

Ekspresi Gia masih saja datar, Kevin jadi seperti orang gila yang sedang berbicara dengan batu. "Gi, lo gapapa?"

"Matiin aja lagunya, Kak."

"Oh, sori, kalau selera kita beda."

"Gapapa."

"Lo kenapa ninggalin gue di club kemarin?" tanya Kevin lagi, tak henti-hentinya mengoceh bak ayam berkokok. "Gue nungguin selama sejam lo gak keluar-keluar. Bikin gue khawatir sampe gue keliling dalem club itu. Gak bisa dikabari dulu kalau mau pulang?"

"Maaf, Kak."

"Jangan gitu lagi, Gi. Gue takut lo kenapa-napa."

"Iya."

Kevin menghela napas panjang, ia menyerah mengobrol dengan Gia. Dia bicara sepanjang jalan kenangan, Gia malah menjawab seujung kuku.

"Gue punya sesuatu buat lo." Kevin mengarahkan tangannya ke jok belakang dan mengambil boneka panda tadi dengan cokelat dan bunga untuk Gia.

"Apa ini, Kak."

"Hadiah."

"Dalam rangka?"

"Hari jadi kita. Lo mau kan, Gi jadi pacar gue?"

"Maaf, Kak?"

"Ayolah, Gi. Ini cuma pacaran, lo belum pernah kan ngerasinnya. Gue tau lo belum bahagia, tapi kalau dijalani bersama lama-lama lo pasti bahagia."

Gia terdiam sejenak. Jujur, ia sama sekali belum pernah melakukan namanya pacaran dan ingin tau bagaimana rasanya. Apa ia terima saja tawaran Kevin? Toh, kalau jodoh sudah ada yang mengatur.

"Lo udah ngerencanain ini, Kak?"

"Yah, sebenernya gue mau nembak besok. Tapi berhubung liat lo belum pulang sekalian aja. Sebelum diambil yang lain."

"Yang lain? Siapa?"

"Yah, seseorang yang mungkin berbahaya buat lo."

"Oh...."

"Lebih baik pilih orang jujur, Gi daripada diem-diem busuk di belakang. Emang lo mau terus-terusan dibohongi?"

"Enggaklah."

"Makanya gue mau bangun komitmen, kita pacarannya sehat-sehat aja. Biar kita nyaman dan lo udah tau kan kalau gue jujur."

"Em...."

"Gue sayang banget sama lo, Gi." Kevin menggenggam lembut tangannya, sama seperti yang Gilang lakukan supaya dirinya tenang.

Kalau dingat-ingat, sejak awal masuk sekolah memang Kevin-lah orang pertama yang ia kenal. Sudah baik mengembalikan sepatunya walau bau dan usang, memberinya cokelat hangat, permen walau cuma satu, dan yang paling penting memberitahu soal Gilang yang pergi ke club. Kalau saja ia tidak mengenal Kevin, mungkin dirinya tak akan pernah tahu sosok Gilang yang sebenarnya.

Apa mungkin Tuhan mau menunjukkan jika Kevin-lah yang patut bersamanya dan ini saatnya ia menerima kesempatan.

"Iya, Kak. Gue mau."

------
Setuju gak mereka jadian?



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top