XIII
"Lo putus sama Gilang?"
"Hah! Putus?"
"Iya."
"Maksud lo putus setelah pacaran?"
Vanila mengangguk.
"Pacaran aja enggak, kan sekelas gak boleh pacaran."
"Ya Elah!" Sekarang dia tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya, apa yang lucu sampai gadis ini tertawa segeli itu? "Bercanda kok. Lagian pas Gilang lewat lo-nya gak nyapa."
"Yang lain aja enggak. Lo juga."
"Kan dia temen sebangku lo, Gi. Setidaknya sapalah duluan."
"Males ah. Dia kan cowok, main aja sana sama cowok."
"Jadi kalian beneran berantem?"
"Enggak, siapa yang berantem. Orang biasa aja."
"Ketauan banget muka lo bo'ong. Biasanya juga kalian yang paling rusuh kalau di kelas. Ada apa?"
"Kepo deh, dibilangin gak ada."
"Emang sih, kalau sebangku tuh pasti pernah berantem, tapi jangan lama-lama. Gak enak dieman terus. Entar kelas kita dicap gak kompak lagi sama kelas lain."
Gia berdecak kesal. "Kan Gilang emang gitu orangnya."
"Ya udah deh kalau lo gak mau cerita. Gue masuk duluan ya." Vanila masuk dalam kelas, meninggalkan Gia yang sedari tadi bosan bersender pada balkon.
Memang dari semalam Gia merasa ada jarak yang mengusiknya dengan Gilang. Bagaimana tidak? Gilang berkata kalau dia membencinya, tanpa alasan yang jelas.
Gia juga tidak ingin hubungannya canggung apalagi dengan sebangku sendiri. Bagaimana jika ada tugas kelompok atau buku cetak yang harus dibagi dan dikerjakan bersama? Gia tak bisa melakukannya sendiri, jujur ia bodoh di berbagai mata pelajaran.
Apa gue yang salah?
Teng! Bel tanda dimulainya pelajaran pertama pun berbunyi, gara-gara kebanyakan mikir Gia jadi lupa waktu.
Suasana bising dalam kelas sepertinya membuat Gilang tidak nyaman. Lagi-lagi dia menelungkupkan wajahnya dilipatan tangan. Pasti tidur karena pengaruh alkohol kemarin. Seharusnya dia tidak perlu datang sekolah hari ini.
"Selamat pagi."
"Lang, bangun! Pak Eko udah dateng." Sebenarnya, Gia tak berniat membangunkan Gilang, tapi mengingat Pak Eko adalah guru killer, Gia jadi kasihan jika Gilang sampai kena hukum.
Gilang hanya mendongak, tanpa berniat menatap matanya. Sekedar melihat saja dia tak mau, apalagi untuk berterima kasih.
"Lo lagi marah sama gue, Lang?"
Gilang tak menggubris.
"Lo boleh benci sama gue, tapi jangan anggep gue angin di sini. Kita ini temen sebangku."
Gilang masih diam seribu bahasa.
"Apa karena semalem gue pukul lo, jadi lo cuek begini?"
Gilang memilih fokus menatap Pak Eko di depan yang sedang menulis di papan tulis.
"Atau karena gue ngomong kasar?"
Kedua bola mata hazel itu kini menatapnya lekat, tapi hanya menggeleng.
"Maaf kalau gue kasar. Gue salah."
"Gapapa."
"Gue kayak cowok yang lagi minta maaf ke cewek ngambek tau gak, Lang. Jawabnya cuma terserah kalau gak, ya gapapa."
Gilang hanya menyeringai, padahal Gia tidak sedang melucu sekarang, seratus persen serius malah. "Dari mana lo tau gue pergi ke club?"
Haruskah Gia jujur supaya Gilang tidak marah lagi? "Dari Kak Kevin."
"Selain dia?"
"Cuma kami berdua yang tau, tapi Kak Kevin gak bakal ember kok."
Gilang akhirnya mengangguk, dari raut wajahnya sih, terlihat lebih tenang. "Ngapain aja lo sama dia?"
"Asal lo tau, gue sangat-sangat berjuang buat nyari informasi tentang lo. Harus nunggu dia main basket lah, nonton dulu lah, mana film horror lagi. Lo kan tau kalau gue paling takut sama hantu."
Gilang mengangguk lagi, raut wajahnya mendadak cuek lagi dan sok sibuk mencatat.
"Terus dipertengahan film nih ya, pipi gue hampir dici--"
"Gia Archila!"
Mampus, Pak Eko manggil. Batin Gia jedag-jedug.
"Daritadi saya perhatikan kamu ngobrol terus sama Gilang. Cerita apa, hah?" Sangking killer-nya Pak Eko sampai tahu namanya dengan Gilang.
"Cerita kalau bapak ganteng banget."
"Oh, begitu ya, coba kamu jadi guru sini gantian saya yang jadi murid."
"Eh, maksud, Bapak?"
"Ayo, sini maju ke depan."
Masa lalu Gia yang kelam sepertinya akan terulang lagi, jangan sampai dirinya dihukum berdiri selama dua jam atau parah lagi dijemur di tengah lapangan. Bisa gosong nanti kulitnya.
"Tunggu apa lagi!"
"Iya, Pak, ini saya ke sana kok."
Meskipun harus menahan malu, Gia tetap maju ke depan demi menghormati pahlawan tanpa tanda jasa itu, sedangkan Pak Eko sendiri berjalan menuju bangkunya. "Pak, mundur dikit dong."
"Kenapa lagi?"
"Gantengnya kelewatan."
"Ihir!!!" teriak teman sekelas, heboh sampai ada yang memukul-mukul meja bahkan tertawa guling-guling.
"Gia, jangan main-main ya kamu."
"Iya, Pak ampun, Pak."
Terlanjur basah sekalian saja mandi karena sudah dihukum apapun yang akan terjadi, itu resiko yang harus diambil. "Baiklah karena saya jadi guru. Semuanya boleh pulang."
"Asek!!!" Sekelas semakin heboh dan kompak merangkul tasnya masing-masing, bersiap untuk pulang.
"Eh, apa-apaan kalian. Balik lagi ke tempat masing-masing!"
"Yah...."
"Loh, Pak katanya saya jadi guru?"
"Nilai sejarah kamu di bawah KKM."
Ampun, gusti. Nih, guru gak ada rileks-rileksnya. Bodo amat ah, yang penting sekelas tertawa, biar gue punya banyak temen.
"Gilang, bapak bilang duduk lagi, kenapa kamu berdiri?" Pak Eko tampak menarik-narik tangan Gilang, agar duduk kembali. Maksa sekali, jangan-jangan Pak Eko sedang modus? Eh, tapi kan Pak Eko cowok.
"Izin ke wc, Pak."
"Owalah, Bapak kira mau pulang."
Seketika tawa pecah kembaki, menggema seisi kelas. Ternyata Gilang bisa juga melawak, walaupun memang tujuannya serius, tapi saat Gilanh lewat di hadapaan Gia. Dia malah memalingkan muka.
-----
Gilang napa sih, ada yang tau gak? Hemm
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top