XII

"Kalau lo gak mau pulang, gue sebar aib lo ke satu sekolah. Gilang si pemabuk!"

"Ok, ok kita keluar dari sini."

Tak mau membuat kericuhan, Gilang langsung menarik tangan Gia keluar dari club melewati pintu darurat karena sepi, sehingga orang lain tak bisa menggodanya. Kemudian, Gilang memesan taksi online dengan tujuan rumah Gia.

Sungguh, Gilang pening. Bagaimana bisa gadis ini mengejarnya sampai ke club? Tak mungkin dia bertelepati seperti di film-film action. Sial! Sudah berapa orang yang tahu ia pergi ke club? Bagaimana jika salah satu dari mereka menyebar luaskan dan mempermalukan aibnya. Semakin sampahlah dirinya.

Entahlah, wajah gadis ini sekarang terlihat pucat, sepertinya ia ketakutan. Ayolah, kapan mobil pesanannya datang?

"Bluebird mas?"

•••

Tangan Gia tak berhenti bergetar, baru kali ia melawan rasa takutnya untuk memasuki sebuah club. Apalagi melihat wanita yang sempat menari dengan lincahnya seperti ulat di dancefloor menggunakan pakaian serba mini, membuat sekujur tubuhnya merinding hebat. Apa yang dipikirkan wanita itu sampai melakukan hal menjijikan tadi? Ia juga merasa kasihan dengan Kevin karena sudah kabur meninggalkannya.

"Muka lo pucet. Lo takut?"

Tatapan Gilang masih sama, lembut seperti biasanya, kali ini dia menggenggam lembut tangannya, setelah lama diam dalam kecanggungan, mungkin bermaksud menenangkannya.

"Gue lebih takut sama lo, Lang."

Bintang malam ini masih belum melunturkan ketakutannya, padahal bunga-bunga di hadapannya juga sudah memberikan kesejukan. Ia meminta Gilang untuk pulang ke rumah, tapi cowok itu bersikeras menemaninya duduk di taman.

"Kenapa?"

"Gue kira lo orang baik. Ternyata gue salah menilai setelah lo dateng ke tempat itu."

"Yang bilang gue baik siapa?" Ah, ucapannya salah? Tentu Gia tak mau mengakui, kalau dirinya sendiri yang menganggap Gilang orang baik. "Gue masih gak ngerti buat apa lo dateng cari gue?"

"Gue mau nolong lo dari hal gila, Lang. Lo tuh mikir gak sih, masih kelas sepuluh udah masuk ke tempat setan, minum alkohol terus ngeliatin tante-tante yang lagi joget."

"Banyak ngatur lo. Kenapa gak jadi ketua kelas aja atau presiden sekalian. Oh polwan nih biar di grebek."

Lagi-lagi Gia kalah telak. Entah jawaban apa yang harus ia katakan, agar Gilang mau mendengarkannya.

"Udah berapa kali lo masuk ke sana?"

"Penting buat lo tau?"

"Penting, lo tau kan kalau alkohol menyebabkan pembengkakan hati dan mendetoksifikasi darah. Kerja keras hati ini akan menyebabkan matinya sel-sel hati atau bahkan menimbulkan lemak hati yang bisa mengarah pada peradangan dan kanker hati."

"Lo sekolah jurusan apa?" Gilang berdesis. "Lupa ya?"

"Gue emang IPS. Kita juga jurusan IPS, tapi jangan lo kira gue gak tau soal begituan."

Kedua mata elang itu kini menatapnya dengan tajam seolah siap mencabik tubuhnya. "Siapa yang ngasih tau lo kalau gue dateng ke sana?"

"Penting buat lo tau?"

"Gak lucu, Gi."

"Lo kira gue ngelawak. Ngapain gue ngasih tau siapa orangnya kalau lo sendiri gak mau cerita apapun ke gue?"

"Lo siapa gue, Gi?"

"Gue temen sebangku lo, sekelas! Lo inget kata senior kita adalah keluarga kedua."

"Gue benci namanya keluarga."

"Kenapa?"

Gilang hanya mengedikkan bahu. Sedangkan, Gia menghela napas panjang, pasti itu yang jadi masalah.

"Lo gak harus melarikan diri dengan pergi ke tempat itu, Lang. Coba lo liat bulan di atas." Gilang perlahan mendongak. "Dia memang sendirian, tapi dia mau meluapkan segala cahayanya kepada langit. Coba kalau bulan mendemin cahayanya, pasti langit dan semuanya jadi gelap. Lo juga bisa luapin masalah lo sambil natap ke atas langit atau cerita ke gue. Itu bisa ngurangin beban lo. Biar hati lo gak gelap."

Gilang menghirup napas dalam, beberapa kali ia memijat kepalanya sendiri seakan terkena migran. Entah, kata-kata Gia membuatnya lebih baik atau justru hanya angin lalu. "Ayo jalan, gue anterin lo ke rumah."

"Ok, lo pasti udah kena gangguan mental gara-gara alkohol itu. Gak mampu menilai realitas, fungsi sosial lo keganggu sampe lo gak bisa naggepin gue."

Cengkaraman tangan Gilang membuat Gia mengerang kesakitan, tak bisakah laki-laki itu bersikap lebih lembut?

"Lang, lepasin lo nyakitin tangan gue!"

"Lo tau, Gi kalau gue itu benci semua orang."

"Kenapa jadi semua orang?" Kali ini Gia dibuat semakin heran, sudah benci dengan keluarga sekarang orang lain. Ada ya manusia yang seperti itu.

"Lama lo jalan."

Gilang yang sudah muak memilih melepaskan genggamannya meninggalkan Gia, semakin lama semakin jauh, tentu saja Gia langsung berlari menyusul Gilang. Yang benar saja ia jika dirinya ditinggal sendirian malam-malam begini? Bisa-bisa dompetnya dicopet atau parah lagi diculik. Atau mungkin Gilang kembali lagi ke club?

"Bener ini arah rumah lo?"

"Iya, tapi lo masih belum jawab pertanyaan gue, Lang. Kenapa bisa lo benci semua orang termasuk keluarga lo sendiri?" Gia berusaha berjalan di samping Gilang karena langkah Gilang cukup lebar atau mungkin dirinya yang kecil. "Lo ada masalah?"

Gilang tak menggubris.

"Lo nginep di rumah gue aja gimana?"

"Rumah lo warna apa?"

"Biru."

"Udah sampe."

"Oh, ya udah, ayo masuk. Gak ada siapa-siapa di rumah gue."

Gilang menaikkan sebelah alisnya, apa Gia sering mengajak laki-laki lain masuk ke rumahnya sesuka hati. "Lo sering ngajak cowok ke rumah lo?"

"Gak pernah. Yah ini udah jam sebelas malem, Lang. Lo pulang naik apa?

"Ngeremehin gue lo. Taksi masih banyak jam segini."

"Lo gak akan balik ke club kan?"

"Kalau gue balik lagi?"

Bugh!

Seketika Gia memukul Gilang di bagian perut, membuat Gilang meringis kesakitan dan merasa mual luar biasa. Jika bukan karena minum-minum tadi, kepala Gilang pasti tak akan sepening ini.

"Sakit, Gi."

"Mau gue tambah?"

"Lo cewek gila."

"Gue emang gila, tapi gak segila lo yang benci semua orang."

"Termasuk lo, Gi orang yang gue benci."

----
Sudah berapa lama kalian memendam?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top