VII

Pulang sekolah, Gia langsung bersampo untuk menghilangkan bau amis bekas telur yang menempel di rambutnya. Rasanya sungguh lengket, sampai ia menyibak air dalam bak dengan kesal, kepalanya pun terasa dingin akibat menggunakan banyak carian shampo.

Dasar, Vanila! Bikin gue gemes pengen nyakar. Untung temen. Rutuk Gia.

Setelah badannya dirasa bersih, Gia lanjut mencuci seragam dan jaket milik Gilang. Sebelum itu, ia sempat menemukan sesuatu yang mengganjal di saku jaket; sebungkus pil berwarna putih, tanpa nama dan masa kedaluwarsa tinggal sebulan lagi.

Obat apa nih?

Meskipun besok pagi pakaian tersebut belum juga kering, setidaknya Gia harus mengembalikan obat milik Gilang, pasti itu penting. Ia berharap semoga saja Gilang tidak marah.

Hempasan semerbak aroma essence langsung menembus indra penciuman Gia. Di saat bintang-bintang menampakkan diri, ditemani senyum dari rembulan, wangi cuciannya ternyata lebih tenang dari kesanjupan angin malam. Gia tebak cowok itu pasti senang setelah mencium wangi pakaiannya kini. Memang Gia seorang cewek mandiri, segala dikerjakan sendiri.

•••

"Lang, maaf ya jaket sama seragam lo gak gue bawa. Kalau udah kering langsung gue balikin deh."

"Slow, masih lama juga pakenya."

"Oh ya, gue nemu ini nih di jaket lo." Gia menyerahkan sebungkus obat dalam keadaan masih terbungkus rapi. Obat itupun langsung diembat Gilang dan dimasukkannya dalam tas. "Itu obat apa, Lang?"

"Obat pening kepala."

"Oh, tapi masa kedaluwarsanya tinggal sebulan lagi loh."

"Gak masalah."

"Ih, udah mau habis itu, nanti lo pingsan atau mati tiba-tiba gimana?"

"Loh, buktinya gue masih di samping lo."

"Yah, tetep aja, Lang. Obat kalau udah lewat tanggal kedaluwarsa berisiko ditumbuhi bakteri dan membuat kandungan antibiotik gagal mengobati infeksi."

"Emang gue infeksi?"

"Yah, kan gue gak tau lo sakit apa?"

"Hati."

"Ya ilah, lebay deh. Emang mau gue obatin--"

"Selamat pagi adek-adek!" Ucapan Gia terpaksa terpotong karena Kevin lagi-lagi datang, ia masuk dalam kelas dengan membawa seringai dan para gerombolannya. "Ok langsung aja. Di sini, gue sama senior lain mau minta maaf atas kejadian waktu lalu."

"Gapapa, Kakak." Kompak, teman sekelas Gia. Padahal, kalau dilihat-lihat Kevin hanyalah mencari perhatian.

"Sebagai senior harusnya gue membimbing kalian ke hal benar. Bukannya malah bertindak semena-mena, ya gak Gilang?"

Gilang hanya diam seribu bahasa.

"Oh ya, coba lo maju sini."

"Lang, lo diajak Kak Kevin maju tuh. Buruan sana," ujar Gia, agar masalah ini cepat selesai.

Gilang berdecak kesal, ia berdiri dengan badan seolah mengangkat beban sepuluh kilo ketika maju ke depan.

"Gue minta maaf nih. Sesama laki, berantem gitu kecil lah. Lo pasti kuat kan," ucap Kevin sambil merangkul leher Gilang layaknya sahabat akrab.

Gilang tersenyum sinis, sejujurnya memang ia tidak ingin dianggap remeh.

"Ngomong dong, jangan diem doang. Lo bisu?"

Gilang langsung memberi Kevin tatapan tajam sampai Kevin tersentak kaget. Tiba-tiba dengan berani Gilang mengepalkan tangan di hadapan senior itu.

"Lah, ngajak baku hantam lagi lo?"

"Tos."

Seketika seisi kelas tertawa, tapi Kevin langsung kicep. Ternyata Gilang hanya mengajaknya untuk Tos. Kevin pun mengepalkan tangan dan kedua kepalan tangan mereka beradu.

"Itu baru laki," kata Gilang. Tanpa menunggu jawaban dari Kevin, ia berjalan kembali ke asal dan duduk dengan santai.

"Wih, keren lo, Lang! Gue bangga."

Gilang menaikkan sebelah alis, hal seperti saja patut Gia banggakan? Yang benar saja.

"Ehem! Ok, dengan begitu berakhir sudah masa MOS kalian. Besok kalian bisa belajar seperti biasa," lanjut Kevin.

"Yahhh!" ucap teman-teman sekelas.

"Tenang, sebagai penutup ada aksi cheerleaders di tengah lapangan. Sekalian cuci mata. Dan buat Gia...." Kevin mengedipkan sebelah mata, membuat bulu kuduk Gia merinding. "Nanti kita ketemu lagi."

Bisik-bisik mulai mengusik di telinga Gia seolah dikerumuni ribuan lebah dibarengi tatapan sinis. Ah, jijik rasanya. Baguslah jika Kevin sudah keluar dari kelas, bisa-bisa Gia muntah karena kelamaan melihat over pedenya, untung saja dia masih tergolong ganteng.

Ngomong-ngomong, chat Kevin yang mengajak ketemuan dengannya kemarin hanyalah bualan semata. Gia pikir senior itu mau memberinya kejutan ulang tahun. Ah, kenapa juga ia berharap pada orang gila. Cukup ada Gilang di sampingnya.

Mata Gia mengitari kelas, tak habis pikir semua temannya sudah berhamburan keluar kelas hanya untuk melihat aksi lompat anggota cheerleader, apalagi para lelaki mata keranjang yang berteriak aneh di luar sana seperti orangutan.

"Yok, Lang kita liat keluar juga."

Gilang menggeleng, ia memilih menelangkupkan wajah di atas lipatan tangan seakan tak berminat.

"Di kelas sepi loh, orang-orang pada keluar."

Gilang tak menggubris.

"Tuh, tuh ada yang main bola kaki juga. Widih kayaknya skor mereka seimbang, ayolah, Lang temenin gue."

"Diem Gi."

Gia berdecak kesal, susah sekali membujuk Gilang, melebihi membujuk anak kecil minum obat. "Ok, gue gak perlu ngeliat bola kaki. Cukup ngeliat bola mata lo aja.”

Gilang akhirnya mendongak, membuat mata Gia berbinar. Tapi ia malah berkata, “sakit lo."

"Dih, ya udahlah gue nonton sendirian!" Kupu-kupu dalam perut Gia lebur kembali, memang mengajak manusia antisosial itu adalah sebuah keajaiban.

----

KuroiDaimond
Dear partnerku, sebenarnya aku udah masukin nama Vanila biar collabs sama kamu uwu ❤️ dari tiga part yang lalu. Yuk dibaca.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top