VI

“Jangan rindu, Berat. Kamu nggak akan kuat, biar aku saja.”

"Ya ampun, Dilan so sweet banget sih, sama Milea, mau satu deh."

Buliran bening perlahan jatuh dari kelopak mata Gia. Hatinya terkikis, tak pernah mendapat kata-kata manis dari seorang cowok seperti Dilan. Ia juga banyak membaca novel dan film tentang kisah cinta, seperti Crazy Little Thing Called Love, Love Summer, dan Bangkok Traffic (Love) Story.

Hal itu semata-mata Gia lakukan untuk mengetahui arti pacaran lebih jauh, konyol bukan? Daripada salah persepsi lebih baik ia memperkaya diri dengan mengumpulkan banyak informasi dan pesan yang terkandung. Hitung-hitung melestarikan karya mereka.

Ting!

Sebuah notifikasi tiba-tiba muncul di layar ponsel Gia. Ia beralih dari laptop dan matanya langsung berbinar saat membaca pesan dari Vanila tersebut.

Vanila : HBD saudari satu kelasku :) semoga panjang umur dan yang disemogakan, tersemogakan!

Gia : Kok lo bisa tau tanggal ulang tahun gue?

Vanila : Gue liat biodata lo di daftar absen, kebetulan malem ini lagi insom, jadi sekalian ngucapin elo.

Gia : Wah, makasih banyak, Van ^^

Vanila : Sama-sama, jangan lupa pajak ultahnya, ya. Bakso buat teman-teman sekelas.

Gua : Tenang, pasti gue traktir.

Vanila : Yes! Gak salah gue ngucapin elo :*

Gia : Tapi kadonya dulu.

Vanila : Gampil itu mah.

Gia : Okeh, deh.

Tak ada balasan lagi dari Vanila, Gia lantas menutup ponselnya. Mata Gia mulai mengerjap-ngerjap; kelamaan menatap layar ponsel. Ia melirik jam yang sudah menunjukkan pukul 00.00 malam. Pantas saja matanya terasa berat. Gara-gara keasikan nonton film, ia jadi lupa tidur.

Rasa hampa mulai mengusiknya, menunggu pesan dari Gilang yang tak kunjung muncul. Bagaimana ia bisa lupa? Tukeran nomor ponsel saja, belum.

Akhirnya, kepala Gia tumbang di atas keyboard laptop; tak sanggup menahan kantuk yang menggerogoti dirinya. Semoga saat bangun nanti badannya tidak terasa pegal-pegal.

•••

"Happy birthday, Gia Archila!"

Pelukan erat langsung Gia hamburkan untuk teman-temannya begitu masuk dalam kelas. Untuk pertama kalinya ia mendapat ucapan selamat ulang tahun selain dari mantan sahabatnya dulu. Berbagai kado ia terima dengan ukuran yang besar dan unik. Ah, ia jadi bingung bagaimana cara membawanya pulang nanti.

"Nanti sore kalian jangan pulang dulu, ya. Kita makan bakso sama-sama di kantin."

"Asik!" Seketika kelas berteriak girang, kapan lagi ditraktir makanan gratis? Mereka melompat-lompat seolah tidak sabar menyambut sore.

Gia berjalan menuju bangku, kupu-kupu dalam perutnya perlahan lebur saat Gilang tidak ada di sebelah bangkunya. Kok, Gilang gak ada? Batin, Gia.

Kelas sudah dimulai, guru yang mengajar pun mulai mengabsen. Gia menggenggam kuat pena yang dipegangnya, ia takut Gilang bohong. Tidak masalah soal kado yang diberi cowok itu nanti, yang jelas Gia tidak ingin Gilang ingkar janji. Gilang juga harus hadir untuk ikut makan bersama hari ini.

"Gilang Adalson."

"Hadir, Bu!"

Gia sontak menoleh ke arah pintu. Dengan seragam yang tidak dimasukkan dan dua kancing dibiarkan terbuka, dasi tidak terikat rapi, serta rambut acak-acakan, Gilang masuk dalam kelas, lalu mendekati guru di depan. "Maaf, Bu gue telat."

"Mulutmu lancar sekali, menyebut 'gue'. Kenapa tidak sekalian aing!"

Ironi guru tersebut, membuat seisi kelas tertawa. 'Aing' dalam bahasa Sunda terbilang kasar karena digunakan untuk hewan, tidak pantas diucapkan kepada seseorang yang lebih tua. Gia merasa khawatir, sudah buruk di depan senior Gilang juga pasti buruk di mata guru. Setelah, dimarahi habis-habisan, Gilang pun duduk di sampingnya.

"Kenapa bisa telat?"

Gilang menyerahkan sebuah mangga berukuran besar dari dalam tasnya. "Hadiah dari gue."

"Mangga?"

"Gue sempet dikejer anjing."

"Astaga, ngomong anjingnya jangan ngadep muka gue dong." Gilang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Makanya baju lo jadi berantakan gini?"

Gilang hanya mengedikkan bahu.

Gia menghela napas lega, untung saja Gilang tidak diterkam anjing apalagi kalau anjing itu rabies. Gilang pasti tidak bisa hadir di kelas karena kejang-kejang.

"Sini, gue rapiin dasi lo."

Tanpa persetujuan dari Gilang, Gia langsung meraih dasi cowok itu dan melilit dasinya dengan telaten. Hembusan napasnya bisa Gia rasakan dari jarak yang cukup dekat. Meski seragamnya berantakan, setidaknya dia punya selera parfum bagus, bau Vanila yang manis.

"Gia, coba lo tatap gue selama sepuluh detik."

Untuk kali pertama Gilang menyebut namanya, meskipun hanya dua kata. Entah kenapa Gia menurut dan mendongak, menatap manik mata Gilang yang sedikit kecokelatan. Gia menghitung dalam hati sampai di detik yang ke-sepuluh Gilang mengulas senyum dan menunjukkan deretan giginya, Gia ikut tersenyum sampai-sampai terkekeh.

"Apaan si Lang, gak jelas deh"

"Itu hadiah buat lo."

"Maksud lo?"

"Senyum gue."

•••

Remang langit sudah berwarna keemasan, matahari pun lelah tak sabar ingin tenggelam. Hampir seluruh murid di SMA Capella juga lelah dan pulang ke rumahnya masih-masing. Berbeda dengan kelas 10 IPS 2 yang masih sibuk mengambil mangkok, garpu, dan Ibu penjual yang kualahan membuat pesanan bakso untuk 30 orang. Untung stoknya masih ada.

"Makan yang banyak, ya. Kalau mau tambah bilang aja."

"Makasih banyak, Gi. Sering-sering aja gini," kata Vanila sambil mengacungkan jempol.

Gia hanya terkekeh menerima ucapan terima kasih dari teman-teman kelasnya termasuk Ibu penjual kantin. Mata Gia mengitari setiap meja kantin, tapi orang yang dicari lagi-lagi tidak ada. Padahal, tadi orang tersebur sempat berada di kantin.

"Eh, Van. Lo liat Gilang gak?"

"Gilang?" Sekarang kepala Vanila yang celingukan. "Gak ada, kayaknya udah pulang duluan deh."

"Masa sih?"

"Kali aja di rooftop, cowok-cowok kan pada demen merokok di sana."

"Gilang pendiem gitu mana mungkin merokok, Van."

"Kan siapa tau."

"Ya udah, makasih ya." Gia langsung berlari menaiki undakan tangga. Rasanya hampa jika salah satu teman tidak ikut makan bakso, apalagi jika orang itu adalah sebangkunya sendiri.

Sesampainya di tempat, Gia membuka pintu rooftop itu, yang pertama menyergapnya adalah angin sepoi-sepoi yang terasa menyejukkan kulit. Hamparannya begitu luas bersama lampu-lampu bangunan yang mulai menggantikan cahaya langit. Bagaimana Gia bisa tidak tau tempat sebagus ini?

Gia menatap Gilang tengah berdiri; memandang langit yang kemerahan. Dari samping, wajah cowok itu terlihat lelah, seperti memang butuh tempat untuk meluapkan emosinya.

"When you feel my heat

Look into my eyes

It's where my demons hide

It's where my demons hide

Don't get too close

It's dark inside

It's where my demons hide

It's where my demons hide...."

Gia tau lirik lagu itu. Lagu berjudul Demons yang dinyanyikan oleh Imagine Dragons. 'It's dark inside' Gilang seperti menyimpan sesuatu yang buruk dalam dirinya, tapi apa? Gia tak tau.

"Gilang!"

Gilang tersentak kaget dengan kedatangannya seperti melihat hantu saja. Bahu Gilang pun naik-turun seolah ketahuan habis mencuri. "Ngapain lo ke sini?"

"Harusnya gue yang tanya itu. Teman sekelas pada makan bakso tau. Lah elo?"

"Gue gak laper."

"Yah, paling enggak lo ikut nimbrung gitu, ngobrol-ngobrol."

"Gue mau pulang."

"Tunggu, Lang!" Gia menggenggam tangan Gilang sebelum cowok itu turun ke bawah.

"Tetep gue gak mau."

"Gue cuma mau ngomong, suara lo bagus. Cocok jadi vokalis."

Plug!

Sebutir telur berhasil mendarat di kepala Gia, bau amis pun menyeruak ke penciumannya. Tak cukup satu, ada banyak telur lain yang dilemparkan ke arahnya, tepung pun menyelimuti pakaian. "Eh, siapa ngelakuin ini!"

"Selamat ulang tahun Gia, bonus hadiah dari temen sekelas buat lo!" ucap Vanila.

"Kamfret! Gue yang traktir, gue yang dilempar telur!"

Teman-teman kelas langsung tertawa keras sampai ada yang terpingkal-pingkal. Gia tak ada rasa kesal sedikit pun, ia justru ikut tertawa karena momen seperti ini tak pernah ia rasakan sebelumnya.

"Dadah, Gia! Kami pulang ya, mandi yang bersih!"

"Vanila!!!"

Vanila dan yang lain kompak turun dari rooftop. Rasanya Gia ingin mencakar-cakar wajah mereka, ia paling tidak suka kalau sudah ditinggal. Bagaimana bisa ia pulang dalam keadaan seperti ini?

"Pake seragam gue." Gia menoleh ke samping, dilihatnya Gilang sudah melepas seragam. Untung Gilang mengenakan kaos hitam, kalau tidak mungkin Gia sudah salah fokus dengan roti sobek yang dimiliki Gilang. "Sementara lo ganti, gue ngadep belakang."

Gia menganga.

"Cepet."

Secepat kilat Gia meraih seragam yang dipegang Gilang, menghadap belakang, dan menjauhkan diri, sebelum berganti seragam. Lewat beberapa detik, barulah Gia menepuk pundak Gilang, sehingga cowok itu bisa kembali ke posisi semula. Memang ukuran seragamnya besar, tapi setidaknya Gia selamat dari bau amis yang menyengat.

"Angkat tangan lo."

"Ngapain?"

"Gue bilang angkat." Tak mau berdebat, Gia akhirnya menurut. Dengan gerakan lembut, Gilang melingkari jaket kulit di pinggangnya. "Lo bisa pulang sekarang."

Gia baru sadar, jika Gilang bisa bersikap seperhatian ini. Jauh dari kata dingin apalagi cuek. "Gue mau pulang bareng lo."

"Gue pulang naik angkot."

"Justru bagus kok. Gue bawa banyak kado soalnya, termasuk mangga lo."

Gilang terdiam, jeda tiga detik dia mengangguk. Setelah itu, mereka turun dari rooftop, menunggu sejenak di depan gerbang sekolah, sebelum masuk dalam angkot. Baru kali ini Gia naik kendaraan yang sempit, dan cukup tua karena sebelumnya ia selalu memesan ojek, penumpangnya saja tinggal mereka berdua.

"Gue baru tau Lang, kalau rumah kita searah."

"Tetep aja jauh."

"Gapapa, kita bisa berangkat bareng terus."

Gilang balas mengangguk.

"Lang, arti nama lo apa sih?"

"Kenapa?"

"Gue cuma heran, nama lo Gilang tapi orangnya gak seperiang itu. Lo pendiem dan misterius."

"Sok tau."

"Makanya gue tanya arti nama lo apa?"

"Bercahaya terang. Cemerlang. Bener kata lo, sifat gue berkebalikan."

"Menurut gue lo udah bercahaya. Kalau gue pulang sendirian tadi, mungkin mamang ojek ataupun angkot gak sudi ngangkut gue."

"Nama lo?"

"Apa?"

"Arti nama lo?"

"Gia artinya murah hati."

"Cocok."

"Oh ya?"

"Gia. Gue pikir nama lo diambil karena sering nostalgia."

Gia menyengir, benar yang dikatakan Gilang. Ia selalu saja bernostalgia dengan mengingat masa lalu saat bersama mantan sahabatnya dulu. Tapi entah kenapa hari ini ia lupa dengan orang itu, mungkin karena ada Gilang di sampingnya.

"Nostalgia?" Gie tersenyum. "Gue gak inget apa-apa tuh."

-----
1600 kata, besok mereka ngapain ya? :)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top