IX
.
.
.
Now playing | I Warned Myself
__
Setetes demi setetes bulir embun pagi perlahan jatuh, membawa kesejukan di kulit gadis yang tengah bersandar di balkon kelas. Gia menghirup oksigen dengan rakus sampai paru-parunya terisi penuh. Namun, orang yang ditunggu tak kunjung datang. Mungkin kabut sedang menyembunyikan orang tersebut seiring suara kicauan burung yang saling bersahutan.
"Hey."
Suara tak asing terdengar di telinga Gia, ia menoleh dan tersenyum menyesuaikan suasana hatinya. "Eh, Kak Kev."
"Rajin banget pagi-pagi udah dateng."
"Iya dong, masa kelas sepuluh udah males-malesan."
"Nih, buat lo."
"Makasih." Gia terkekeh, lalu menyambut cokelat panas yang diberikan Kevin.
"Kenapa gak masuk kelas?" tanya Kevin ikut menyuruput cokelat panas. "Dingin gini, betah banget di luar."
"Sekalian nunggu Gilang, Kak. Mau balikin ini, nih." Gia mengangkat sekilas paper bag yang berisi seragam sekolah dan jaket kulit.
"Kok bisa di elo?"
"Ah, ceritanya panjang."
"Gak usah diceritain kalau gitu."
Kevin tersenyum simpul, malas kalau sudah membahas Gilang. Senyum Gia akan terlihat berbeda dibanding saat berhadapan dengannya, seakan ada semangat yang menggebu-gebu padahal hanya menyebut nama Gilang.
Kini mereka terlibat dalam kesunyian, Gia hanya fokus menatap ke depan. Melihat tangan Gia yang nganggur di besi balkon, Kevin pun mendekat dan meraih tangan gadis itu.
Gia merasa ada yang hangat, ia menoleh dan terkejut karena tanpa sadar Kevin menyentuh punggung tangannya. Dengan gerakan cepat Gia mengusap tangannya berkali-kali.
"Tolong jangan lakuin itu, Kak." Gia tak suka jika Kevin mulai bertindak aneh-aneh. Mirip kelakuan mantan sahabatnya dulu.
"Sori, tangan lo dingin soalnya."
"Udah biasa, Kak. Gue aja mandi pake es batu."
"Es batu?"
"Em, maksudnya kalau hujan minumnya aja pake es batu."
"Tambah dingin lah."
"Iya, sengaja."
Lagi-lagi rasanya canggung. Gia tak suka situasi seperti ini, apalagi Kevin tak kunjung pergi dari hadapannya. "Kak gue boleh nanya sesuatu gak?"
"Diterima."
"Ih, bukan itu."
"Terus apa?"
"Gue mau bikin kenangan sama teman sekelas. Kayak foto bareng-bareng gitu. Tapi gue bingung, gak punya kamera soalnya."
"Gue punya. Biar gue yang fotoin, lo cukup chat ke gue kapan perlunya."
"Gimana kalau besok?"
"Boleh, pagi aja kan masih fresh tuh."
"Ok, makasih ya, Kak. Lo baik deh."
Tak lama kemudian, cowok yang ditunggu pun datang. Gia langsung menyapa dan menyerahkan paper bag miliknya kepada Gilang.
"Apa nih?"
"Punya lo, tenang udah gue setrika."
Gilang hanya mengangguk sambil menatap Kevin dengan datar. Mungkin dia bingung melihat Kevin yang terus-terusan datang menemui Gia.
"Kenapa natap gue gitu?" tanya Kevin dengan nada tidak bersahabat. "Ada masalah?"
Gilang memilih tidak peduli, ia masuk dalam kelas yang hendak disusul oleh Gia. "Maaf, Kak. Bentar lagi masuk. Gue duluan," kata Gia.
•••
Dentuman musik terdengar begitu kencang, memekakan telinga dengan iringan bass yang berpacu keras dalam irama. Kerlap-kerlip keindahan malam menyapa setiap instan yang tengah asyik menari di atas dancefloor.
Kevin yang tengah berjalan masuk ke dalam sebuah club tersebut langsung disambut riuh oleh teman-temannya.
"Eh, lama gak liat lo bro!" Mereka melakukan tos ala lelaki.
"Bosen nugas pengen berenti dari OSIS. Sori telat."
"Santai, baru juga jam dua belas malem."
Kevin hanya tertawa, ia mengambil posisi duduk di bar ditemani segelas minum yang diyakini membuat pikiran berhalusinasi. Kepalanya sudah sangat pusing, penuh dengan kebosanan. Mood-nya jadi hancur, mengingat Gia yang sangat sulit ditaklukan di saat cewek-cewek lain pada patuh padanya. Memang tak ada yang lebih baik selain menyenangkan diri ke club untuk minum. Setidaknya, dengan minum pikirannya jauh lebih ringan.
"Lo liat cewek yang lagi joget di sana?" tanya temannya sambil menunjuk cewek yang sedang menari dengan rok mini.
"Uh, seksi bro, padet berisi."
"Hajar, gebet sini."
"Sayang kurang cantik."
"Itu selera lo ketinggian." Temannya hanya tertawa kecil sambil mengacak-acak rambut Kevin.
Perhatian Kevin teralihkan pada seorang yang tampak tak asing sedang duduk sendiri dan tak henti-hentinya menuangkan minum di gelas kecil. Pikirannya pasti sudah terganggu, bisa dihitung dari botol kedua yang dituangkannya.
Cewek yang tadi menari di dancefloor kini duduk dan merangkulnya. Cowok itu terlihat keberatan, tapi mengulas senyum, ternyata senyumannya mampu mengundang setiap cewek duduk mendekatinya, begitu memabukkan.
Entah sudah berapa lama cowok itu berada di sana sampai lampu kerlap-kerlip akhirnya menyorot ke wajahnya. Sontak membuat Kevin tersedak minum. "Weh, kenapa bro!"
"Slow!" Kevin memukul-mukul dadanya sendiri menyesuaikan air yang masuk.
"Bocah lo kek gak pernah minum!"
"Bacot sial!"
Sinting, kalau Gia tau bisa mati lo.
Ya, cowok itu adalah Gilang. Manusia pendiam yang ternyata diam-diam masuk ke tempat setan. Entah apa yang menganggu pikirannya sampai-sampai melarikan diri ke club.
Bisa jadi, ini bukan kali pertama Gilang datang ke tempat itu. Kevin saja terus mengumpat, memperhatikan gerak-gerik Gilang sedari tadi tanpa niat mendekati. Meski sekarang tangan Gilang tampak ditarik oleh cewek seksi sekadar bergoyang melepas penat. Tapi Gilang lebih memilih duduk dan minum.
Tentu Kevin tak menyia-nyiakan kesempatan ini, ia segera meraih ponsel dari dalam saku celananya dan memotret Gilang beberapa kali.
-----
Gimana perasaan kalian tentang Gilang?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top