Part 2

Pagi ini, (Name) sudah berpakaian rapi. Seperti yang Akashi inginkan kemarin, dan (Name) menurutinya. Walau awalnya ia terlihat ogah-ogahan, tidak dapat dipungkiri kalau ia juga penasaran dengan dunia luar.

"Sepertinya, aku harus menunggunya diluar..." gumamnya sambil mengambil tas dan ponselnya.

"(Name)!" panggil Akashi yang memunculkan dirinya di balik pintu itu. Matanya bergerak mengamati penampilan (Name) saat ini.

"H-hei, jangan melihatku terus..." ucap (Name) menyadarkan lamunan Akashi.

"Saa, kau siap?" tanya Akashi sambil mengulurkan tangannya. (Name) menyambutnya dengan senyum tipis.

"Tentu."

.
.
.

"Wahh... Akashi, apa itu?" tanya (Name) sambil menunjuk ke arah sebuah kedai es krim.

"Itu kedai es krim. Mau mencobanya?" tawar Akashi yang disambut dengan anggukan antusias dari (Name).

"Ini." Akashi menyodorkan sebuah es krim [F/Flav] pada (Name).

"Terima kasih." (Name) mengambilnya dan langsung memakannya dengan ceria.

"Bagaimana, enak?" (Name) hanya membalasnya dengan anggukan. Mulutnya terlalu sibuk memakan es krim itu hingga ia tidak menyadari bahwa ada sisa es krim yang menempel di sudut bibirnya.

"Oh, (Name), ada sisa es krim di wajahmu..."

"Hm? Mana?" bukannya menjawab, Akashi malah menyeringai dan mendekatkan wajahnya pada wajah (Name) dan menjilat sisa es krim itu.

"Ap- Aka- Apa yang kau lakukan..??" tanya (Name) dengan pipi yang bersemu. Sedangkan Akashi hanya menunjukkan seringaiannya.

"Aku membersihkannya untukmu, apa ada masalah?"

"T-tentu saja ada... kan bisa membersihkannya dengan sapu tangan..."

"Itu sama saja dengan membuang makanan, bukan? Lagipula, es krimnya menjadi lebih manis dari sebelumnya."

"Kau benar-benar menyebalkan..." gerutu (Name) dengan lirih. Sedangkan Akashi hanya terkekeh senang.

"Oh, apa ini?" tanya (Name) yang menghentikan langkahnya karena tertarik pada secarik kertas yang ditempelkan di depan sebuah kafe.

"Hmm... brosur promosi dari sebuah taman bermain, ya?" gumam Akashi setelah membacanya.

"Apa itu? Suatu tempat yang menyenangkan??" tanya (Name). Akashi mengangguk dan menatap (Name). "Kau ingin pergi kesana?" giliran (Name) yang menganggukkan kepalanya.

(Name) dan Akashi berjalan menuju taman bermain yang letaknya tidak jauh dari sana. Mengapa Akashi tidak membawa mobil saja? Karena ia ingin menghabiskan waktunya pelan-pelan dan menunjukkan dunia luar pada (Name).

Di taman bermain itu, mereka mencoba seluruh permainan disana satu persatu. Menghabiskan waktunya disana dan mengenalkan berbagai hal baru bagi (Name). Tak terasa, hari sudah mulai malam.

"(Name), sudah mulai malam. Apa kau tidak ingin kembali?" tanya Akashi sedikit khawatir. Sedangkan (Name) hanya diam saja dan menatap pada salah satu wahana disana.

"Terakhir... aku belum menaikinya..." ujarnya sambil menggerakkan tangannya pada wahana yang dikenal bagus untuk para couple, bianglala.

"Baiklah, ayo." Akashi menggandengp tangan (Name) dan mengajaknya untuk membeli karcis menaiki wahana itu.

"Apa yang kau lihat?" tanya Akashi yang mengamati ekspresi kekanakan (Name) dalam hati.

"Matahari yang tenggelam, lampu-lampu kota yang berwarna.. aku tidak membenci hal yang indah..." jawabnya sambil tersenyum, membuat Akashi ikut tersenyum juga.

"(Name)..."

"Hm?"

Cup

'Eh?' ketika (Name) berbalik, Akashi langsung menempelkan bibirnya pada bibir (Name). (Name) terlalu terkejut untuk itu, jadi ia hanya diam dan membiarkannya.

"Aku mencintaimu, (Name)." Bisik Akashi. Dan ia mengulangi ciumannya lagi.

.
.
.

'Akashi itu... apa yang ia lakukan tadi??' pikir (Name) yang tidak bisa melupakan kejadian tadi. "AAHHH!!" ia mengacak rambutnya dengan gusar.

Tok tok tok

"Hm? Siapa?" (Name) terkejut karena tidak ada yang mengetahui kamarnya selain Akashi dan,

"(Name)~ apa kau lupa suaraku??" Shji. Setelah menyadarinya, raut wajahnya menjadi datar kembali.

"Shuji, ya?" lalu ia membukakan pintu kamarnya tanpa membiarkan Shuji masuk.

"Apa kau tidak mau mengizinkan seorang tamu untuk memasuki rumahmu?"

"Seseorang yang mengganggu waktu tenang seorang gadis di malam hari tidak bisa kusebut sebagai tamu..." ucapnya sweatdrop.

"Hehehe, maaf maaf~"

"Sudah, lupakan itu dan cepat katakan tujuanmu kemari."

"Eh?? Apa aku harus memiliki tujuan tertentu untuk mengunjungi keponakanku sendiri??"

"Cepat katakan atau kubunuh kau..." perempatan imajiner bermunculan di dahinya. Shuji mengeluarkan sebuah kotak yang dibawanya.

"Ada yang mengirimkan ini untukmu..." ucapnya dengan nada serius. (Name) mengambil kotak itu dan membuka isinya.

"Apa ini? Tali? Renda? Siapa ynag mengirimnya?" tanyanya heran.

"Tidak tau. Itu diletakkan didepan kantorku siang ini." (Name) mengobrak-abriknya dengan heran. Tiba-tiba ia berhenti dengan raut terkejut.

"Hei... (Name)? Ada apa? (Name!" Shuji mengguncangkan tubuh (Name), tapi (Name) tetap tidak menjawab. Tiba-tiba matanya berair.

"...ri.."

"Hah? Katakan dengan jelas, (Name)!"

"..me..mori..ku..."

'Apa memorinya kembali??' batin Shuji. Dengan sigap ia segera memanggil Akashi melalui ponselnya.

.
.
.

Seminggu kemudian...

Memori (Name) yang kembali membuatnya sedikit shok, dan ia bahkan tidak mau menemui Akashi untuk sementara waktu. Tapi pagi ini Akashi menerima telepon dari Shuji kalau (Name) sudah mau bertemu dengannya lagi.

"Jadi... hari ini aku sudah boleh mengunjunginya, kan?" tanya Akashi pada sosok di depannya, Shuji.

"Ya. Dia memberikan izin masuk untukmu. Katanya ada yang ingin ia katakan." Jawab Shuji. Setelah mendengarnya, Akashi segera keluar dari sana dan berlari menuju ruang musik, tempat di mana kamar (Name) berada.

"(Name)!" (Name) menoleh ke asal suara dan mendapati Akashi yang terlihat khawatir. Langkah Akashi terhenti ketika menyadari penampilan (Name) yang berbeda.

"Seijuro." Bahkan (Name) memanggil nama depannya sekarang. "Apa kau mengingatku?"

"K-kau..." (Name) mengangguk, ia sudah menduga ucapan Akashi selanjutnya.

"Aku... adalah seseorang yang kau cari selama ini... (Fullname).."

Flashback on

""Bagaimana denganmu? Kenapa kau mau membantu Shuji memecahkan masalah-masalah itu?"

"Oh itu..." Akashi langsung teringat akan seseorang. "Aku sedang mencari seseorang..."

"Heh~ aku tidak tau kalau kau bisa melakukan apapun demi orang lain." Ujarnya dengan nada mengejek.

"Aku ini juga manusia, kau tau..." (Name) terkekeh mendengarnya.

"Mengapa kau rela melibatkan dirimu dalam masalah ini untuk mencarinya?"

"Itu karena... dulu saat ada pertandingan basket SMA, Winter Cup, aku kalah pertama kalinya di hidupku. Ayahku hampir melarangku bermain basket lagi karena perjanjian yang kita buat adalah, aku diperbolehkan bermain basket, tapi tidak boleh sampai kalah."

"Karena basket adalah harapan yang ditinggalkan oleh ibuku, dan kenanganku bersama teman-temanku di SMP dulu, mana mungkin aku bisa menahan stresku."

"Jadi 'seseorang' itu membantumu melalui krisis itu dan membuatmu bisa bertahan sampai sekarang, yah?" (Name) mengambil kesimpulannya dan Akashi mengangguk mengiyakannya.

Flashback off

'Itu benar... aku tidak pernah mengetahui nama depannya, dan penampilan (Name) sangat berbeda, jadi aku tidak menyadarinya...' batin Akashi.

"Maaf.. sepertinya selama ini aku merepotkanmu dalam banyak hal.. dan aku tidak bisa membayar semua kebaikanmu. Aku-" perkataannya terpotong ketika Akashi menariknya dalam dekapannya.

"(Name)... akhirnya, aku menemukanmu..." ucapnya dengan mengeratkan dekapannya.

"K-kau tetap memaafkanku...?"

"Ini bukan kesalahanmu.. dan apapun yang terjadi, perasaanku tidak akan berubah.."

.
.
.

"Lalu, apa yang terjadi padamu selama ini?"

"Akan kuceritakan dari awal. Apa kau ingat kapan aku diculik?"

"Tentu saja. Penculikanmu adalah awal dari penculikan yang lain, tapi entah kenapa jarak waktunya terlalu jauh dibanding dengan yang lain.."

"Itu benar. Dari awal, tujuan mereka adalah untuk menggunakan kemampuanku untuk menjebak pejabat penting yang lain."

"Sejak kecil, aku sudah memiliki kemampuan ini. Aku belum pernah melihat ibuku, tapi karena beberapa barang berharga milik ayah berhubungan dengannya, aku bisa mengerti sifat dan kepribadiannya."

"Ayah hanyalah pengusaha biasa. Karena sakit, aku pernah disuruh mengantar sebuah barang ke kantor pusat, kebetulan ada seorang pejabat tinggi di sana. Tanpa sengaja, aku bertabrakan dengannya, dan... aku melihat beberapa pecahan masa lalunya."

"Pejabat itu melakukan hal-hal seperti korupsi, mengkonsumsi narkoba dan beberapa hal lain yang bisa membuatnya masuk penjara. Lalu aku menceritakannya pada ayahku."

"Entah darimana, keberadaan kemampuanku diketahui oleh pejabat itu, dan aku mulai diincar. Sampai akhirnya aku jatuh ke tangan mereka saat kelas 2 dulu. Seperti yang kukatakan tadi, mereka ingin menggunakanku untu menjebak pejabat tinggi yang lain."

"Tapi karena keburukannya tersimpan di memoriku, ia memikirkan cara agar aku melupakannya. Karena itu mereka memaksaku meminum narkoba dan sejenisnya untuk menghapus memoriku. Dan memori yang mereka hapus bukan hanya sebagian, tapi semuanya."

"Saat mereka lengah, aku memanfaatkannya untu kabur. Lalu Shuji mendatangiku dan memberiku bantuan dengan alasan aku adalah keponakannya. Setelah melihat memori Shuji, aku mempercayainya."

"Dan itulah kenapa aku ada disini sekarang. Oh, dan tentang para gadis yang diculik itu.. mereka dijadikan umpan untuk menyeretku keluar. Mereka berpikir bahwa aku akan menyelamatkan gadis-gadis itu, karena itu mereka meninggalkan beberapa barang dari korban, membuatku memecahkan masalah itu dan menangkapku lagi..." jelasnya panjang lebar.

"Kau sudah mengalami waktu yang sulit, (Name)." Ucap Akashi setelah mendengar semuanya.

"Tidak apa, itu sudah berlalu. Lagipula... kau ada disini sekarang." (Name) menampilkan senyumnya pada Akashi.

"Tentu saja, aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

.
.
.

"Huwaa!! Akashicchi!! Lama tidak berjumpa-ssu~"

"Kise-kun, suaramu terlalu berisik..."

"Hehehe, maaf-ssu~"

"Akashi? Siapa gadis di belakangmu itu-nanodayo?"

"Oh, dadanya lumayan juga.."

"Aomine, apa kau ingin guntingku mengenaimu?"

"Heii, aku makan duluan ya~ nyam nyam~"

"Kau sudah makan daritadi-nanodayo..."

'R-ramai...' batin (Name) sweatdrop melihat pemandangan di depannya.

"(Name), mereka adalah teman-temanku yang pernah kuceritakan dulu."

"Kawaii-ssu~ siapa namamu-ssu?"

(Name) menghela napas sebelum menampakkan senyumannya dan memperkenalkan dirinya. "Namaku (Fullname), yoroshiku onegaishimasu."

.
.
.

"Halo? Pak Shuji?"

"Halo, Nak Akashi. Ini gawat, (Name) tiba-tiba pingsan."

"Apa!? Kalau begitu, saya akan segera kesana." Akashi langsung memutuskan sambungannya dan pergi ke sekolahnya.

Di rumah sakit kota...

"Bagaimana keadaannya?" tanya Akashi pada dokter yang baru memeriksa (Name) itu.

"Dia terkena efek stres dan tanpa sadar menurunkan sistem kekebalan tubuhnya sendiri. Dan juga.. dia terkena kanker. Memang tidak terlalu parah, tapi jika stresnya berlanjut, ini akan berujung pada kematian." Akashi yang mendengar semuanya hanya terdiam.

"A-apa tidak ada cara untuk menyembuhkannya?" tanya Shuji.

"Sebenarnya bisa. Tapi itu semua tergantung padanya. Efek stres dan depresinya lebih kuat dari penderita biasanya. Mungkin ia menyimpannya terlalu lama?"

"...mung..kin.."

"Nak Akashi?"

"Tidak mungkin!! Dia sudah membantuku dan meredakan depresiku dulu. Mana munngkin orang sepertinya- kenapa?? Kenapa harus dia??" bentak Akashi sambil menarik jas dokter itu.

"Tenanglah Nak, ingat kalau (Name) sedang beristirahat di dalam. Apa kau ingin mengganggunya lagi?" Akashi langsung terdiam kembali. Tanpa berkata apapun, ia segera memasuki ruang rawat (Name). Ia duduk di sebelahnya dan menggenggam tangannya, menatap wajah (Name) yang pucat.

Shuji yang juga terpukul tidak ingin mengganggu mereka, jadi ia hanya melihat dari jendela dan kembali ke rumahnya.

.
.
.

Semakin hari, kondisi (Name) semakin memburuk. Setiap kali ia membuka matanya, ia hanya ingin memainkan piano dan berbicara pada Akashi yang mengunjunginya setiap hari. Di kamar rumah sakit itu terdapat sebuah piano kecil yang sering ia gunakan.

Ting ting ting

"Kau bermain piano lagi..." ujar Akashi yang berada di sebelahnya.

"Aku menyukai suaranya. Walau terasa dingin, tapi sangat indah dan ramah, seperti bulan purnama di malam hari."

"Begitu juga denganmu, (Name)." Pipi (Name) sedikit merona. Lalu ia tersenyum ke arah Akashi. "Sou ka."

.
.
.

"Kau mau mengunjunginya lagi-nanodayo?"

"Yah, seperti biasa. Dia akan kesepian jika aku tidak kesana."

"Aku mengerti-nanodayo..."

"Kalau begitu aku pergi duluan, jaa." Ujar Akashi sambil melambai sejenak dan mulai melangkah menjauhi kafe itu. Meninggalkan Midorima yang menatap suatu benda di tangannya.

"Hmm.. yang kubawa hari ini adalah [F/Cake], pasti (Name) akan kegirangan ketika memakannya." Gumam Akashi pada dirinya sendiri.

Tak lama kemudian, Akashi telah sampai di rumah sakit keluarga Midorima, dimana (Name) sedang dirawat.

"(Name), hari ini aku membawakan [F/Cake] untukmu." Panggil Akashi ketika ia sudah memasuki kamar (Name). Akan tetapi, (Name) tidak ada disana. Lalu Akashi keluar dan menanyakan keberadaan (Name) pada seorang suster yang lewat.

"Suster, mana (Name)?"

"O-oh, pasien diruangan ini sudah dipindahkan pagi ini."

"Tanpa sepengetahuanku? Antar aku ke ruangannya yang sekarang." Suster itu hanya mengangguk dan mengantar Akashi ke kamar yang dimaksud.

"S-saya hanya bisa mengantar anda sampai disini saja, permisi." Ujar suster itu yang kemudian langsung pergi dan melaksanakan tugasnya yang lain.

Akashi berdiri sambil termenung. 'Apa benar ini kamarnya? Yang benar saja. Apa mereka sudah gila karena memindah (Name) ke ruangan ini?' dengan senyuman masam di wajahnya, Akashi memasuki kamar yang bertuliskan 'Kamar Mayat' tersebut.

Lalu ia berhenti di salah satu ranjang dimana nama (Name) tertulis. Ia membuka kainnya dan menemukan sosok yang ia cari sedari tadi.

"(Name)...? tidakkah kau lihat kalau sekarang sudah siang? hei.. ayo buka matamu.. (Name)... (Name)..."

.
.
.

Seminggu setelah (Name) di makamkan. Sejak hari itu, Akashi tidak mau keluar dari kamarnya dan mengurung diri, tanpa memakan apapun, tanpa mau menemui siapapun.

"A-Akashi-sama, tolong buka pintunya..." ujar maid di rumahnya berusaha membujuknya keluar.

"Diam dan pergi dari situ." Sahut Akashi dengan suara datar yang menusuk.

"T-tapi, tuan, anda belum-"

"Cepat!" bentaknya lagi.

"B-baik..." dan maid itu lagi-lagi gagal dalam membujuknya.

2 hari kemudian...

"Halo..."

"Akashi-kun, hari ini yang lainnya sedang mengadakan pesta ulang tahun untukmu. Apa kau-"

"Maaf, Tetsuya, aku tidak tertarik." Balasnya yang langsung mematikan teleponnya.

Di lain tempat..

"Oh.. Akashi-kun mematikan teleponnya.."

"Akashicchi itu.. mau sampai kapan dia mengurung dirinya-ssu?"

"Harusnya dia tau kalau dia seperti ini terus, itu hanya akan menyakiti (Name)."

"Dia terlalu terpukul akan kematian seseorang yang berharga baginya-nanodayo."

"Kalau begitu, kenapa kita tidak ke rumahnya saja?" usul Murasakibara.
"Tapi, kalau ia tidak mau keluar, berarti sama saja-nanodayo..."

"Ah, tidak apa-apa. Aku yakin dia akan keluar hari ini." Ujar Kuroko yang sepertinya memiliki ide.

Akhirnya mereka memutuskan untuk mengunjungi Akashi ke rumahunya. Semua orang disana menyambut mereka dengan baik, tapi mereka tidak yakin apa orang yang paling penting itu akan menyambut mereka juga.

Tok tok tok

"Akashi, buka pintunya-nanodayo."

"Kenapa kalian kesini? Bukankah aku sudah bilang kalau aku tidak tertarik?"

"Apa kau yakin? Kami membawa sesuatu untukmu. Ini adalah pesan dari (Name)-san." Tidak ada sahutan dari dalam.

Kriett

"Apa maksudmu, Kuroko?" tanya Akashi yang menampakkan dirinya. Matanya sembap dan tubuhnya pucat. Rambutnya acak-acakan dan pakaiannya berantakan.

"Akashi-kun... kau tau jika (Name)-san melihatmu seperti ini, ia akan sedih kan?"

"Orang yang sudah mati tidak akan bisa merasakan emosi."

"Akashi/cchi..." Aomine dan Kise menatap kawan lamanya itu dengan iba.

Midorima menghela napas, lalu mengeluarkan sebuah amplop yang terlihat agak tebal. "Ini dari (Name) untukmu-nanodayo. Dia menitipkannya padaku setelah kau pulang sehari sebelum ia meninggal." Jelasnya lagi.

Akashi langsung mengambilnya dengan cepat dan kembali memasuki kamarnya lagi.

"Yah.. gagal ya-ssu?"

"Tidak apa-apa, Kise-kun. Aku yakin (Name)-san bisa merubahnya lagi seperti dulu."

"Kalau begitu, sebaiknya kita pulang sekarang-nanodayo." Usul Midorima yang diiyakan oleh yang lainnya.

Disinilah Akashi, duduk sambil menatap flashdisk yang terdapat di amplop tadi. Ia segera mengambil laptop dan memasang flashdisk itu. Membuka satu-satunya file dengan format Mp3 yang terdapat di dalamnya dan mendengarkannya melalui headset.

[Anggap aja kalian yg nyanyi:v]

'Fuyu wo tsugeru, kaze no koe ni
Mimi o katamuke furueru karada
Tonari ni iru, anata no iki
Shiroku natte samuso'

(Suara angin yang menandakan kalau musim dingin telah tiba
Aku mendengarkannya dengan telingaku dan tubuhku terasa dingin
Nafasmu, yang berada di sebelahku
Terlihat putih, pasti kau juga kedinginan)

'Kotoshi mo mata inochi wa karehate
Yagate kuru haru o machiwabiru
Inochi no rensa o kikinagara
Mebuite yuku hikari no naka de'

(Tahun ini, satu kehidupan kembali memudar
Menunggu waktunya dengan sabar
Sambil mendengarkan rantai kehidupan
Yang menghilang di balik cahaya yang terang)

'Kuchite yuku sadame to
Wakatte nao tsuyoku
Iki shite itai yo Utatte itai
Watashi ni mo nanika nokoseru to ii na
Watashi ga ikita inochi no akashi o ...'

(Setelah mengetahui kalau aku ditakdirkan untuk menghilang
Aku semakin menginginkannya dengan kuat
Aku ingin bernafas, aku ingin bernyanyi
Jika aku bisa, aku ingin meninggalkan sesuatu
Sebuah bukti jika aku pernah hidup di dunia ini)

'Kanashii uta ni wa shitaku nai yo
Nē onegai Ima kono toki dake wa
waratte itai yo ...
Anata no yoko de
yasashii uta o utatte itai'

(Aku tidak ingin menyanyikan lagu yang sedih
Hei, tolong untuk saat ini saja
Aku ingin tertawa
Di sisimu
Dan menyanyikan lagu yang ramah)

'Anata ni sasagetai
sekibetsu no uta
Saigo ni tsutaetai yo
Arigatō.'

(Ingin ku persembahkan untukmu
Lagu perpisahan ini
Ingin ku sampaikan untuk terakhir kalinya
Terima kasih.)

Ia mendengarkan lagu yang berupa nyanyian (Name) itu berulang-ulang, hingga ia menutup matanya karena kelelahan.

"Seijuro..."

Suara ini.. (Name)?

"Seijuro.. ini aku, (Name)."

Akashi perlahan membuka matanya dan menemukan (Name), sosok yang ia rindukan. Matanya terbelalak dan tubuhnya tergerak untuk menarik (Name) dalam dekapannya, yang dibalas dengan hangat oleh (Name).

"(Name)! Kenapa kau pergi tanpa mengucapkan apapun??"

"Maaf, tapi aku tidak ingin mengucapkan salam perpisahan padamu.."

"Lalu kenapa kau harus pergi??"

"Karena waktuku sudah habis." Jawab (Name) sambil mengelus surai merah Akashi. Ia tau kalau Akashi sedang menangis karena ia merasakan air matanya yang jatuh.

"Aku selalu mengawasimu, Seijuro. Tolong jangan melakukan hal seperti itu lagi. Lihat, tubuhmu lebih kurus dan pucat..."

"Itu karena aku ingin bertemu denganmu, (Name)."

"Seijuro.. orang yang mati sudah tidak bisa kembali lagi.."

"Aku tau itu, tapi-"

"Tenang saja... aku akan selalu mengawasimu. Dan setiap hari ulang tahunmu, aku akan datang di mimpimu dan merayakannya bersamamu."

"...apa kau berjanji?"

"Tentu saja. Karena itu, jangan mengecewakanku seperti ini lagi.."

"...baiklah.. karena itu permintaanmu, maka akan kuturuti..."

(Name) mengangguk senang dan perlahan, bayangannya mulai menjauh. "Selamat ulang tahun, Seijuro. Terima kasih banyak, sampai bertemu kembali."

Akashi terbangun dari tidurnya dan medapati jika sekarang sudah pagi. Ia melepas headset yang menempel di telinganya sejak kemarin dan menoleh ke arah foto (Name) bersamanya.

"Ohayou, (Name)." Ia berjalan ke arah jendela kamarnya dan membukanya, menatap birunya langit yang menandakan hari baru yang telah dimulai. Dan sesuai jannjinya, ia mencoba untuk kembali ke dirinya yang sebelumnya.

___

Yah.. Akhirnya cerita gaje ini berakhir sudah:v

Maaf kalo banyak yang terlalu gaje sampe susah dipahami pake bahasa manusia:v

Satu bonus gambar Akashi X Rea pas ketemu di mimpi


Nggak diwarnain karena warna rambutnya pasti beda-beda yekan?:v

Terus... Buat Akashi Seijuro, otanjoubi omedetou(^~^)

Semoga stok waifu mu nggak menambah lagi:v

Makasih buat yang nyempetin waktu buat baca FF ini

Samapai ketemu lagi,Jaa ne~

Salam

Namika

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top