12. TWO GATES OF YAMAHIGASHI
天省22年 10月 14日
14 Oktober, Tahun ke-22 Tenshō. 1915.
Malam hari.
——————————
"DI SINI TEMPATNYA?" Kishiga berdiri di hadapan sebuah rumah kecil. Pagar yang mengelilinginya setinggi pinggang orang dewasa dengan halaman yang sempit. Sebuah gerobak kayu terparkir di sisi kiri rumah itu.
Kirisaki membawa Kishiga menuju pintu depan. Ia mengetuk pintu itu sebanyak enam kali. Seseorang menggeser pintu tersebut dari dalam.
Letnan Sadayuki.
Ia mengangguk pada Kishiga dan Kirisaki, lalu menuntun mereka memasuki koridor rumah yang pendek dan sempit. Kotak-kotak tembakau dibiarkan menumpuk di salah satu sisi koridor, sehingga mereka harus memiringkan tubuh untuk melewatinya. Suasana gelap melingkupi seisi rumah. Mereka masuk ke sebuah ruangan kecil dengan meja rendah.
Seorang laki-laki berwajah serius duduk di balik meja tersebut. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari lilin yang ada di atas meja. Kishiga tidak bisa menerka usia pria itu, karena pencahayaan yang terbatas dan bayang-bayang yang melingkupi sekeliling seperti selubung kabut berwarna hitam membuat kerutan-kerutan alami di wajah pria itu tampak begitu sureal. Pria itu memberi isyarat agar Kishiga mengambil tempat di sisi meja yang berdekatan dengannya.
"Aku cukup terkejut ketika anak buahmu menemuiku," ungkap pria itu ketika Kishiga baru saja mendaratkan tubuh di kursi. "Dua hal yang membuatku terkejut: mendengar nama Jenderal Nagayama, lalu nama yang kalian gunakan untuk memanggilku."
Kishiga membayangkan kira-kira bagaimana ketika Kirisaki dan Sadayuki menghampiri pria itu. "Selamat siang, Tuan Yamawaro. Kami datang atas perintah Jenderal Nagayama." Lugas tanpa basa-basi, sehingga terkadang nyaris terkesan mencengangkan bagi pendengarnya.
Pernyataan Yamawaro barusan membuat Kishiga menyadari sesuatu: tampaknya perubahan rencana yang dilakukan Jenderal Nagayama di detik-detik terakhir sebelum keberangkatan regunya dari Edo merupakan tindakan yang tiba-tiba dan tanpa disertai konfirmasi dari pihak-pihak terkait secara keseluruhan. Itulah sebabnya terdapat kesan bahwa Jenderal Nagayama seakan menutup-nutupi sesuatu dan melaksanakan rencananya sedikit berbeda dari yang mereka rundingkan di Shiramori.
Kendati demikian, Jenderal Nagayama melakukannya dengan cermat. Sejak semula ia telah memperhitungkan segalanya sedemikian rupa, sehingga ketika ia melakukan "improvisasi" mendadak seperti ini tidak menimbulkan disrupsi yang berarti. Strategi memberikan alias bagi para informan dan intendans merupakan metode yang tidak hanya sederhana dan mudah diaplikasikan, melainkan juga efektif.
Nama-nama itu berfungsi sebagai identitas ganda, yaitu nama sandi bagi para informan itu untuk menyembunyikan identitas asli mereka, dan sebagai isyarat bagi para informan itu sendiri agar mengenali identitas orang-orang yang mengalamatkan mereka dengan nama tersebut. Jadi, ketika mereka bertemu dengan seseorang yang mengenali nama tersebut, maka dapat segera teridentifikasi bahwa mereka berada di pihak yang sama. Dalam hal ini, mereka segera mengenali Kishiga dan regunya sebagai orang-orang yang bekerja di bawah perintah Jenderal Nagayama, sebab hanya Sang Jenderal yang menyematkan nama-nama yōkai¹untuk mengidentifikasi para informannya.
'Tak dipungkiri, Kishiga merasa semakin takjub sekaligus takut atas pengaruh Jenderal Nagayama.
"Kami perlu bantuanmu, Tuan Yamawaro." Kishiga mendekatkan tubuhnya. "Malam ini juga, kami harus meninggalkan Kota Yamahigashi."
"Apa tujuanmu?"
"Kota Tsuruga. Kami dalam perjalanan mengambil rute tercepat menuju Edo."
Yamawaro mengerutkan alisnya. "Sesuatu mendesakmu untuk segera tiba di Edo?"
Kishiga mengangguk. "Mm. Tidakkah kau mendengar apa yang terjadi di Kyoto dan Moriyama?"
Pertanyaan itu membuat Yamawaro tersenyum sinis. "Tentu saja aku tahu. Yang kupertanyakan, apa yang bisa kaulakukan setibanya di Edo? Dengan segera sampai di sana, apa yang bisa kaulakukan di tengah kekacauan yang melanda?"
Kishiga menimbang-nimbang, dan akhirnya memutuskan agar tidak memberitahukan tentang keberadaan para pelukis kain sutra. Meskipun Mayor Kawanishi pernah menyiratkan bahwa mereka bebas berkomunikasi dengan para informan, meskipun orang ini bekerja bagi Jenderal Nagayama, Kishiga justru memilih untuk merahasiakan informasi yang demikian sensitif. Ia ingin meningkatkan kewaspadaan sedemikian rupa, terutama setelah apa yang terjadi di Kyoto, di mana Kapten Ōyama kehilangan nyawanya.
"Aku sendiri tidak bisa melakukan apa-apa untuk menangani situasi, tetapi aku bisa membawakan apa yang Jenderal Nagayama perlukan. Dia tahu apa yang semestinya dilakukan."
"Begitukah?" Yamawaro mengisap pipa kiseru-nya dan mengembuskan asap berwarna kelabu. "Jadi, apa yang bisa kulakukan untukmu?"
"Bawa kami keluar dari tembok pertahanan Yamahigashi tanpa ketahuan."
"Itu mustahil. Kau meremehkan pertahanan pasukan garnisun."
Kishiga terdiam untuk beberapa saat. "Baiklah kalau begitu. Setidaknya beri tahu kami bagaimana caranya keluar dari Yamahigashi tanpa melalui gerbang utama? Kudengar, ketika kota ini dikepung oleh pasukan Dinasti Domugi dalam Pertempuran Musim Gugur, prajurit Shūkoku berhasil melarikan para bangsawan Shūkoku menuju Tsuruga melalui suatu jalur rahasia."
Yamawaro tampak berpikir dan merendahkan wajahnya dengan raut merenung. "Kau benar. Ada sebuah terowongan tua yang dahulu digunakan pasukan Mongolia sebagai saluran suplai. Namun, tempat itu sudah lama ditinggalkan. Seperti yang kaukatakan barusan, terakhir kali digunakan tujuh tahun lalu dalam Pertempuran Musim Gugur." Asap mengepul keluar bersama perkataan yang akan terucap dari mulutnya
Yamawaro mengentak kepala pipa kiseru-nya. Bekas bakaran tembakau bejatuhan ke dalam asbak, lalu ia melanjutkan perkataan. "Terbengkalai, bukan berarti tempat itu tanpa pengawalan. Pasukan garnisun menyegel gerbang menuju terowongan tersebut dan menempatkan para penjaga di sana. Terlebih lagi, lintasan itu sudah begitu tua. Apa pun bisa saja sewaktu-waktu terjadi ketika kereta melintas di atasnya."
"Cukup berisiko, memang." Kishiga meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Tetapi jika tidak demikian, kurasa kami tidak mungkin keluar dari Yamahigashi. Kami tidak memegang surat izin perjalanan untuk berangkat dalam perjalanan biasa. Beritahukan di mana, dan bagaimana kami bisa mengakses terowongan tua itu."
"Kalian bisa mengaksesnya dari depo lokomotif. Letaknya tidak begitu jauh dari stasiun– Ah, barangkali kalian melupakan sesuatu. Tentu saja, untuk berangkat melalui lintasan rel, kalian memerlukan lokomotif yang siap sedia."
Faktanya untuk memanaskan sebuah lokomotif uap, diperlukan waktu beberapa jam agar air dalam ketel uap mendidih dan panas tersalurkan secara merata ke seluruh mekanisme lokomotif. Umumnya, mesin lokomotif yang akan melalui prosedur pemeliharaan di depo dibiarkan menyala dalam suhu rendah agar sewaktu-waktu siap untuk dipindahkan sesuai kebutuhan perawatan. Namun, tidak semua lokomotif yang terparkir di depo dalam keadaan siap sedia. Kecuali satu ....
Kishiga menatap Yamawaro dengan tersenyum. "Mengenai itu, kami sudah memiliki lokomotif yang siap berangkat kapan pun."
—————————————————————
¹Yōkai adalah ungkapan umum bagi makhluk-mahkluk mitologi maupun fenomena anomali dalam masyarakat Jepang. Jenderal Nagayama menggunakan nama-nama seperti "Samebito", "Kutabe", "Byakko", "Yamawaro", dan lainnya, yang mana berasal dari cerita-cerita karya para penulis klasik.
***
DEPO LOKOMOTIF BERADA DI SISI TIMUR KOTA YAMAHIGASHI, berjarak kira-kira sepuluh menit berjalan kaki dari stasiun utama. Kishiga bersama dua anggotanya menyusuri trotoar jalan, di mana lampu-lampu berpendar redup. Saat itu telah memasuki dini hari. Beberapa tiang lampu padam, meninggalkan kegelapan membentang seperti kubangan luas berwarna hitam di antara lampu-lampu yang masih menyala.
Kishiga bersama dengan dua orang anggotanya: Maejima dan Matsunaga.
Sepasang cahaya bersinar dari kejauhan seperti sepasang bola berwarna kuning. Ketiga orang itu berkelit ke sela-sela bangunan dan bersembunyi dalam bayang-bayang. Sebuah mobil melintas dengan bunyi roda yang berdesir.
Itu adalah patroli pasukan garnisun.
Sejak menerima sinyal marabahaya atas peristiwa di Kyoto, penanggung jawab Kota Yamahigashi menetapkan jam malam, sehingga pertokoan tutup jauh lebih awal dan tidak seorang pun diperkenankan berkeliaran di jalan ketika malam hari. Pasukan garnisun pun diperintahkan menyusuri seluruh kota ketika berlakunya jam malam.
Maejima mengintip dari balik tembok, memastikan ke kiri dan kanan apabila ada rombongan patroli lain. Situasi lengang. Mereka pun bergegas, berlari menyusuri trotoar. Suara sepatu mereka berderap dan menimbulkan luapan gema yang samar, terurai di dalam keheningan, sebelum akhirnya menghilang ditelan malam. Di sisi kiri jalan, tepat di seberang trotoar itu, pagar besi berbentuk jaring-jaring membentang di sepanjang lintasan stasiun menuju depo lokomotif. Rangka di bagian puncak pagar itu menjorok keluar menyerupai kanopi pendek agar seseorang tidak bisa menyeberang dengan cara memanjat pagar tersebut.
Sebuah bangunan yang luas terlihat berdiri di balik pagar itu. Beberapa bohlam berwarna kuning menyinari lapangan di sekelilingnya, dengan berkas cahaya menyerupai corong.
Setelah beberapa belas meter, tampak sebuah gerbang geser yang menutupi jalan masuk menuju bangunan di balik pagar tersebut. Regu Kishiga menyeberangi trotoar menuju gerbang itu. Sang Kapten mencoba mendorongnya. Gerbang itu pun terhenti, tepat setelah bergeser beberapa sentimeter saja. Pada sambungan gerbang dan pagar, terpasang rantai besi yang dikunci menggunakan gembok besar.
Kishiga mengamati gembok tersebut, lalu mencoba menggerak-gerakkan belenggu "U" dan memutar-mutarnya. Ia mencari bagian poros dari belenggu lengkung tersebut, untuk menentukan di mana posisi pin pengunci. Begitu memastikan dengan tepat, ia mengeluarkan sebatang pipa besi dari dalam mantel. Pipa itu sebelumnya ia pungut dari rongsokan yang dibiarkan bertumpuk begitu saja di sebuah gang kumuh, awalnya dimaksudkan sebagai senjata untuk berjaga-jaga.
Ia menyelipkan pipa tersebut ke sela-sela belenggu "U" dan mengungkitnya sekuat tenaga sampai benar-benar meregang. Dengan begitu, ia membuat mekanisme pin pengunci dalam gembok itu tertarik kencang.
"Maejima, pukul."
Kishiga menunjuk pada sisi gembok, tepat di mana di dalamnya terdapat rangkaian pin pengunci. Maejima mengambil pipa besi miliknya sendiri dan mulai memukulkan pada bagian yang ditunjuk oleh Kishiga.
Ding! Ding! Ding!
Pada pukulan keempat, belenggu itu seketika terbuka. Rantai yang melilit gerbang pun terlepas. Kishiga menggeser gerbang dan membawa regunya masuk. Mereka menyeberangi lapangan perlintasan rel yang dipenuhi bebatuan kerikil kecil, menuju bangunan luas yang berdiri di tengah lapangan. Batu-batu kerikil berderak mengikuti ritme langkah mereka.
Bangunan tersebut merupakan sebuah bangsal lokomotif yang besar, berbentuk nyaris setengah lingkaran. Bentuknya mengingatkan Kishiga dengan sepotong kue geppei yang tebal dan berisi pasta kacang. Bangunan tersebut memiliki konstruksi terbuka, dengan kamar-kamar untuk memarkirkan lokomotif. Di bagian tengah dari bangunan itu terdapat sebuah pelat putar yang tersambung dengan lintasan dari stasiun utama. Pelat putar itu berfungsi untuk menyambungkan lintasan stasiun utama dengan rel-rel pendek menuju masing-masing kamar kereta.
Cahaya dari bohlam gantung menerangi kamar-kamar bangunan tersebut. Di setiap kamar terdapat satu lokomotif. Lokomotif yang mereka cari bernomor seri 9699 yang juga disebut Kyūroku (nama "Kyūroku" [96] berasal dari dua digit paling awal yang menunjukkan tipe lokomotif tersebut).
Itu adalah lokomotif yang mereka tumpangi sejak meninggalkan Stasiun Moriyama. Lokomotif yang sudah terjadwalkan dalam prosedur pemeliharaan depo tanggal 15 Oktober pukul 6 pagi. Dengan kata lain, barangkali itulah satu-satunya lokomotif yang dibiarkan tetap aktif dalam suhu rendah agar memudahkan pemindahannya sesuai jadwal perawatan. Lokomotif ini adalah "tiket keluar" yang bisa membawa Kishiga dan regunya meninggalkan Kota Yamahigashi.
Setelah mengamati kamar-kamar tersebut satu per satu, Maejima menunjuk kepada salah satu kamar. Sinar bohlam meliputi bagian depan sebuah lokomotif berwarna hitam, di mana terpasang pelat yang bertuliskan "9699". Mereka bergegas menghampiri lokomotif tersebut. Mereka mengambil sekop yang disandarkan pada sebuah rangka besi yang menopang bangunan, lalu memanjat gerbong tender. Mereka menyendok timbunan batu bara dari dalam gerbong dan menyingkirkannya ke salah satu sisi.
Beberapa sendokan kemudian, Matsunaga merasakan sekopnya menumbuk sesuatu yang keras. Ia memberi isyarat untuk berhenti, lantas menggali dengan berhati-hati. Sesuatu seperti bahan kulit, dipenuhi oleh debu hitam, terlihat di sela-sela bongkahan batu bara. Matsunaga dan Maejima melepaskan sekop mereka dan menggali menggunakan tangan.
Mereka berhasil mengambil kembali tas-tas berisi perlengkapan mereka. Jumlahnya tepat tiga buah, kemudian diangkut menuju ruang masinis.
Kishiga pun memberi perintah pada Matsunaga. "Temui anggota regu yang tersisa. Bawa mereka ke sini dengan berhati-hati."
Letnan itu berlari meninggalkan bengkel lokomotif, menyusuri lapangan depo yang gelap, dan keluar melalui gerbang yang sama seperti sebelumnya. Kishiga bersembunyi di bawah bayang-bayang yang tidak disorot oleh lampu, di mana ia mengamati sekeliling tempat itu. Maejima tetap berada di ruang masinis, di mana ia beberapa kali menyekop batu bara ke dalam tungku lokomotif yang menyala.
Selesai dengan urusannya di ruang masinis, Maejima memutuskan untuk turun. Ia tampak berjalan mengitari bengkel, dan tidak berapa lama kemudian kembali dengan membawa sesuatu yang menyerupai ganjalan berbentuk segitiga yang terbuat dari logam.
"Benda itu untuk apa?" Kishiga mengamati dengan heran.
"Kita memerlukannya untuk mencegah kejaran pasukan garnisun."
Kishiga tidak bertanya lebih jauh. Ia kembali menyandarkan diri di bawah bayangan dan melayangkan pandang ke halaman depo yang luas. Tidak lama berselang, Kishiga melihat sekelompok orang mendekati pagar depo dari seberang jalan. Ia mulai menghitung. Jumlahnya tepat enam orang: Maejima, Kirisaki, Sadayuki, Nanae, dan dua orang pelukis kain sutra yang tersisa.
"Maejima," seru Kapten Kishiga dari tempatnya. Sang Letnan yang mendengar panggilan tersebut pun melongokkan kepala dari balik ruang masinis. Tanpa menoleh, Kishiga bertanya, "Bisakah kita berangkat sekarang?"
"Lokomotif sudah siap. Tinggal menyambungkannya dengan gerbong. Pertama-tama, aku akan memindahkan lokomotif ini ke pelat putar."
"Beri tahu kalau kau perlu bantuan."
"Baiklah, Kapten." Maejima menyapukan pandang ke sekitar halaman rel, di mana terparkir beberapa gerbong kosong. "Aku perlu kalian menggerakkan pelat putar, lalu memindahkan gerbong itu setelah lokomotif ini berada di lintasan." Ia menunjuk pada salah satu gerbong kosong yang ia lihat di depan.
"Oke." Kishiga berjalan keluar menghampiri pelat putar.
Setelah Sang Kapten berkata demikian, Maejima melepaskan sarung tangannya, lalu mengeluarkan selembar peta berisi skema Kota Yamahigashi. Peta tersebut adalah pemberian dari Yamawaro. Pada peta itu tertera sebuah garis rel yang tersambung pada persimpangan lintasan utama, membentang sejauh enam kilometer dari kawasan depo, melewati kompleks pabrik dan tembok bagian dalam Yamahigashi, di mana terdapat sebuah terowongan, lantas berakhir di sudut utara kota itu, tepat di perbatasan tembok pertahanan luar, di mana terowongan kedua berada. Normalnya, lintasan itu tidak tertera pada peta mana pun. Itulah lintasan rahasia yang dimaksud oleh Kishiga dan Yamawaro.
Mereka tidak menyangka apa yang dimaksud dengan "gerbang" oleh Yamawaro ternyata tidak hanya satu, melainkan dua gerbang, yang masing-masing dikawal oleh penjagaan pos pasukan garnisun.
Maejima menutup katup rem dan menjalankan piston, sehingga lokomotif itu mengembuskan uap putih dan mulai bergerak maju. Begitu lokomotif itu berhenti tepat di tengah-tengah pelat putar, Kishiga dan anggota regu lainnya mengarahkan pelat putar itu secara manual dengan mendorong tangkai yang terdapat pada pagar pelat tersebut. Kemudian, setelah lintasan pelat itu terhubung dengan rel, lokomotif kembali bergerak maju dan memasuki jalur rel dengan perlahan. Lokomotif itu kembali berhenti setelah beberapa meter, menunggu Kishiga dan anggota lainnya menyambungkannya dengan salah satu gerbong.
Sementara itu, Kishiga membagi regunya menjadi dua kelompok. Sebagian tetap tinggal untuk mengoperasikan pelat putar, yang lain membantunya mendorong gerbong menuju pelat putar tersebut. Persis seperti sebelumnya, mereka memindahkan gerbong itu menuju lintasan rel yang sama, sehingga berada tepat di belakang lokomotif tersebut.
Maejima memundurkan lokomotif hingga pengait di bagian belakang lokomotif itu tersambung pada gerbong dengan bunyi jeglag! yang nyaring. Dengan demikian, keduanya terkunci mantap.
"Semuanya siap?" Kishiga kembali bertanya pada Maejima dari sisi rel.
"Siap, Kapten."
Mendengar itu, Kishiga memanggil Sadayuki dan Matsunaga untuk memindahkan tas-tas yang berada di ruang masinis menuju gerbong kereta. Mereka mengeluarkan persenjataan, mengisi senapan dan revolver dengan amunisi, dan menyematkan belati pada sabuk masing-masing. Kishiga dan Matsunaga memasuki ruang masinis, di mana mereka bersiap dengan senapan mereka.
Menerima sinyal dari Sang Kapten, Maejima menjalankan kereta itu menuju gerbang pengawalan pertama, melaju melintasi kesunyian Kota Yamahigashi.
—————————————————————
Depo lokomotif disebut juga sebagai roundhouse karena bentuknya yang melingkar dengan kamar-kamar penampungan bagi lokomotif yang tidak aktif. Pada bagian tengah roundhouse terdapat pelat yang dapat diputar 360° (dikenal sebagai turntable) agar memudahkan relokasi bagi lokomotif-lokomotif yang terparkir di dalam roundhouse.
——— Ω ———
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top