11. YAMAHIGASHI STATION
天省22年 10月 14日
14 Oktober, Tahun ke-22 Tenshō. 1915.
——————————
KERETA ITU MENDEKATI KOTA STASIUN YAMAHIGASHI, perhentian terakhir di Provinsi Gōshū, tepat pukul 08.37 pagi. Lampu yang terpasang pada tiang rambu-rambu rel menyala berwarna kuning, sehingga masinis menurunkan kecepatan.
Dari kejauhan, jembatan penghubung menuju kota tersebut perlahan turun, mendarat dengan bunyi berderak yang berat, sebelum akhirnya terpasang rapat pada mekanisme rel yang mengarah ke dalam kota melalui sebuah gerbang yang terbuka. Kota Yamahigashi dikelilingi oleh parit luas yang dipenuhi oleh air. Jalan masuk menuju kota tersebut melalui jembatan yang dioperasikan dari dalam tembok pertahanan oleh pasukan garnisun.
Setelah apa yang terjadi di Moriyama, hanya tersisa dua kereta yang selamat. Kedatangan mereka disambut oleh kepungan dari prajurit-prajurit garnisun. Kabar tentang penyerangan yang menghancurkan Tōkaidō dan Kyoto telah sampai ke Yamahigashi. Menindaklanjuti kejadian tersebut, kesatuan pertahanan garnisun mengambil langkah investigasi. Sebuah tenda kanvas didirikan memanjang, melingkupi seluruh bagian peron stasiun. Tenda tersebut dibagi menjadi panel-panel yang berbeda, di mana para petugas berseragam telah bersiap. Seluruh pengungsi yang berjalan keluar dari gerbong kereta pun dikumpulkan, lalu dipisahkan untuk diperiksa.
'Tak terkecuali seluruh anggota Regu Kishiga. Masing-masing dipisahkan satu sama lain, begitu pula para pelukis kain sutra. Sang Kapten digiring oleh beberapa pria berseragam ke salah satu panel kanvas. Mantel, rompi, arloji, dan kemejanya dilucuti. Seluruh bagian tubuhnya diperiksa. Kemudian, ia dibawa menuju sebuah ruang tertutup yang suram dan didudukkan di antara lebih banyak orang-orang berseragam. Seisi ruangan memandanginya.
Seorang petugas wanita memasuki ruangan. Langkahnya tidak tergesa-gesa, tetapi juga tidak berlambat-lambat. Seakan-akan ayunan kaki yang tenang itu telah diperhitungkan dengan saksama.
Kletuk. Kletuk.
Ia menghampiri Kishiga dan mengambil tempat berseberangan dengannya. Mereka dipisahkan oleh sebuah meja kayu. Satu-satunya sumber cahaya berasal dari lampu pijar yang berada tepat di belakang wanita tersebut, terpasang di antara tembok dan langit-langit ruangan. Cahaya dari lampu itu hampir membutakan penglihatan Kishiga, seperti sebuah mata yang menyorot tajam.
"Apa tujuanmu datang ke Yamahigashi?" tanya Sang Petugas Wanita.
"Melarikan diri dari Kyoto."
"Kau berasal dari Kyoto?"
Kishiga menggeleng.
"Lalu, apa yang kaulakukan di Kyoto?"
"Aku bekerja sebagai importir untuk sebuah perusahaan tekstil."
"Dan perusahaan itu berada di Kyoto?" Wanita itu meletakkan kedua lengannya di atas permukaan meja, bertumpu pada kedua sikutnya. "Nama perusahaan tempatmu bekerja?"
"'Sakiori.'"
Wanita itu mengamati orang-orang di sekelilingnya. "Ada yang pernah mendengarnya?"
Satu per satu, mereka menggelengkan kepala.
Salah seorang dari petugas mendekati Kishiga, mencengkeram lehernya, dan membenturkan kepalanya ke meja. Pria itu mengunci pergerakan Kishiga, yang seketika berusaha melepaskan diri meskipun tidak berdaya.
"Aku sangat tidak menghargai usahamu untuk berbohong, Tuan." Wanita tersebut merendahkan mukanya, mendekat pada permukaan meja, seolah-olah hendak menatap ke arah Kishiga.
Kishiga mengerang. "'Saki...ori, ada di Murasakino ..., Distrik Kamigyō."
Wanita itu kembali menegakkan tubuh. Ia meminta salah satu petugas membawakan peta Kota Kyoto. "Sesuatu yang bisa membuktikan kau benar-benar bekerja di situ?" ucapnya sembari membuka kedua tangannya ke arah Kishiga. "Barangkali, tanda pengenalmu?"
"L... Lihat." Kishiga berusaha mengangkat bahunya. "Tidakkah ... kalian sadar kalau aku datang ke sini hanya dengan membawa badan dan pakaian yang kukenakan? Barang-barang bawaanku, koper, dan ... semuanya tertinggal di penginapan. Bagaimana mungkin aku sempat menghimpun bawaan? Kalian tidak menyaksikan apa yang sesungguhnya terjadi di Kyoto."
Ia tidak berbohong. Surat izin perjalanan dan dokumen-dokumen palsu lain yang digunakan dalam penyamaran, seluruhnya tertinggal di Kyoto yang mungkin sekarang telah menjadi reruntuhan.
"Di mana tepatnya kau menginap?" Wanita itu mengalihkan pertanyaan.
"Kamigyō."
Seorang petugas datang dan menyerahkan selembar peta. Sang Petugas Wanita menghamparkan peta Kota Kyoto di permukaan meja. Bayangan tubuhnya menutupi sebagian dari lembaran peta itu. "Kamigyō?" Ia mengulas telunjuk pada peta tersebut. "Jarak dari penginapanmu sampai ke Stasiun Kyoto cukup jauh. Kurasa, tidak mungkin sempat menempuhnya dengan berjalan kaki."
"Aku menumpang ... dengan truk yang membawa para pengungsi."
Wanita itu menganggukkan kepalanya dan mengambil sepasang alat tulis. "Anda benar-benar beruntung, Tuan ...."
"Ure...shino."
"Tuan Ureshino. Kyoto kota yang besar." Wanita itu melanjutkan. "Tapi yang sampai di sini tidak lebih dari dua kereta api, yang hanya dengan muatan puluhan penumpang. Ke mana yang lainnya?"
"M... Moriyama."
"Apa yang terjadi di Moriyama?"
Sesak dan kesakitan, Kishiga berusaha menyampaikan dengan singkat tentang peristiwa di Stasiun Moriyama. Mengenai baku tembak yang terjadi antara penumpang kereta dan orang-orang yang berkumpul di stasiun, kerusuhan yang menyusul kejadian tersebut, dan serbuan iblis Gaki. Ketika ia menceritakan bagian terakhir itu, suasana dalam ruangan serta merta diliputi atmosfer yang berat.
"Jadi, di sepanjang kejadian-kejadian itu kau memilih untuk menghindar dan bersembunyi?" Sembari berkata demikian, wanita itu memberi isyarat agar melepaskan Kishiga. Petugas tersebut melemaskan cengkeraman, lalu menjauhi Kishiga.
Kishiga memijit leher dan bahunya, sebelum akhirnya menjawab, "Begitulah."
Wanita itu diam selama beberapa saat. Ia memperhatikan raut wajah Kishiga, lalu mengarahkan pandangannya pada tubuh Kishiga yang tidak ditutupi apa pun, menilik proporsi otot dan posturnya.
"Fisik Anda terlalu bugar untuk seorang importir."
"Apakah ada kriteria tubuh tertentu untuk menjadi seorang importir?"
"Maaf. Lupakan saja." Ia menggeleng singkat dan berdeham. "Bagaimana caranya kalian lolos?"
Kishiga berdesah. "Seseorang melepaskan pengait gerbong yang tersangkut, supaya kereta yang kami tumpangi bisa berangkat."
"Apakah orang yang melepaskan pengait itu juga selamat?"
"Kurasa demikian."
"Jadi, kalian membiarkan penumpang yang lain tertinggal di sana? Walaupun kaulihat mereka dimangsa monster-monster itu?"
"Apa lagi yang bisa kulakukan?"
Setelah Kishiga berkata demikian, wanita itu tidak melemparkan pertanyaan lagi. Ia menulis pada sebuah papan kecil yang tersedia di meja. Suasana begitu hening, sehingga setiap goresan pada kertas seakan-akan menggema ke setiap bagian ruangan.
Kishiga membungkukkan tubuhnya, menatap pada petugas wanita itu. "Bisa aku pergi sekarang?"
"Tunggu sebentar," sahutnya tanpa menoleh, masih menulis pada kertas yang terpasang di papan kecil.
"Ketahuilah, aku ini kotor, lelah, dan kelaparan. Lagi pula kurasa tidak bijak jika kalian justru menghabiskan waktu denganku, dibandingkan melaporkan tentang apa yang terjadi di Moriyama."
"Hmm ...."
Setelah beberapa saat seolah-olah mengabaikan keberadaan Kishiga, wanita itu mengizinkannya pergi. Kishiga mengenakan kembali pakaian dan mantelnya, berjalan keluar dari gedung bata yang dioperasikan sebagai pos pengawas oleh pasukan garnisun, dan menyusuri trotoar jalan raya.
Jam sembilan lewat, situasi terlihat lengang. Jalan raya di Yamahigashi tidak dilapisi dengan aspal, melainkan tanah kuning yang berdebu. Sinar mentari membuat serat-serat debu yang beterbangan seolah berpendar samar. Jejak roda, kuda, dan pejalan kaki tertera pada permukaan tanah, menunjukkan sisa-sisa keramaian kota yang masih tertinggal seperti proyeksi dari masa lampau. Beberapa truk militer melintas dari sebuah persimpangan, melewati trotoar di mana Kishiga berjalan, dan menjauh dengan bunyi roda yang berdesir.
Debu bergulung-gulung bersama embusan angin musim gugur. Kishiga melihat ke sekeliling. "Tampaknya pasukan garnisun telah menyebarkan maklumat keadaan darurat dan memperingatkan seluruh penduduk kota," pikirnya.
Ia terus melangkah menuju dalam kota dan mampir ke sebuah toko pakaian, di mana ia membeli sepotong kemeja, celana, dan mantel baru. Kemudian, ia berjalan beberapa blok lagi dan singgah di sebuah tempat pemandian air panas. Tidak ada seorang pun di tempat itu, selain seorang penjaga yang sudah tua.
"Ah, maaf ...." Pria itu canggung ketika melihat Kishiga. "Kami tidak menyangka akan kedatangan tamu hari ini, jadi ...."
Kishiga meletakkan beberapa lembar uang kertas di meja. "Aku tidak keberatan menunggu. Berikan aku sesuatu untuk diminum."
"Baiklah."
Ia menghabiskan sepanjang pagi di tempat itu untuk beristirahat. Bersih dan segar, Kishiga melanjutkan perjalanan siangnya untuk mengisi perut. Ia mengunjungi sebuah izakaya—rumah makan tradisional—dan memesan sup daging babi. Menikmati hal-hal yang begitu normal di kehidupan sehari-hari, sementara sesuatu yang mengerikan sedang terjadi di luar sana, meninggalkan sedikit kesan menggelitik bagi Kishiga.
Setelah menandaskan makan siang, ia meletakkan sumpit dan sendok, serta menata peralatan makan. "Gochisōsama." Lalu, menyulut sepucuk rokok. Kishiga berdesah. Otot-ototnya terasa mengendur, dan ketegangan syarafnya melunak. Ia telah melalui berbagai peristiwa yang melelahkan tenaga dan pikiran. Setimpal rasanya, dengan menghabiskan beberapa jam untuk tidak memikirkan apa-apa selain diri sendiri.
Kini, yang perlu ia lakukan tinggal menunggu.
***
DUA JAM SEBELUMNYA, Kishiga mengumpulkan seluruh anggota regu dan para pelukis kain sutra yang selamat. Mereka mengambil tempat agak jauh dari rombongan penumpang yang lain, di bagian belakang gerbong.
Kishiga membuka perkataannya. "Begitu kereta ini tiba di Stasiun Yamahigashi, kita akan terperangkap." Ia menatap mereka satu demi satu dengan serius. "Kabar tentang penyerangan di Kyoto pasti telah diberitakan di sepanjang Nakasendō. Ada kemungkinan juga mereka menerima sinyal marabahaya dari Stasiun Moriyama. Yamahigashi pasti mengisolasi diri. Pasukan garnisun akan menangkap dan memeriksa siapa pun yang masuk ke dalam kota, 'tak terkecuali kita."
"Apa yang harus kami lakukan?" Salah seorang pelukis kain sutra meremas jemarinya dengan gelisah. Seorang wanita yang mungkin berusia 40-an dengan rambut ikal.
"Yang terpenting, jangan biarkan mereka mencurigai kalian. Maejima, Matsunaga, Kirisaki, Sadayuki, tetaplah pada penyamaran kalian. Kita sudah mempersiapkan ini sejak dari Edo."
Keempat prajurit Regu Kishiga pun mengangguk dengan mantap, nyaris bersamaan.
Dalam keadaan darurat, kota-kota stasiun akan melakukan pemeriksaan dengan gencar. Sebelum mereka menarik perhatian yang tidak perlu, Regu Kishiga harus mencari cara agar secepatnya meninggalkan Yamahigashi.
"Dengarkan aku para pelukis kain sutra. Jangan sampai mereka mengetahui identitas kalian. Mulai sekarang, pikirkan profesi yang tidak mencolok, tetapi juga tidak mencurigakan, yang tidak memerlukan keahlian khusus dan yang memungkinkan kalian bepergian antar kota. Jangan sekali-kali mengaku sebagai penduduk Kyoto, atau mereka akan semakin jauh mengorek informasi dari kalian. Apa pun yang terjadi, jangan terkecoh dengan pertanyaan-pertanyaan ringan yang memancing obrolan. Jawab seperlunya, dan jangan menerima tawaran dalam rupa apa pun. Terakhir, tinggalkan barang-barang yang memancing kecurigaan seperti perlengkapan tulis, obat-obatan, atau barang-barang 'unik' yang entah kalian para pelukis sutra gunakan sehari-hari."
Mendengar itu, mereka segera membongkar bawaan dan meletakkannya di tempat duduk masing-masing. Perhatian Kishiga terarah pada Nanae, saat gadis itu mengeluarkan dari tas selempangnya beberapa jarum besar, juga gulungan benang, serta kain tebal yang dilipat menjadi persegi.
"Apa yang kaulakukan dengan itu?" Kishiga menunjuk pada barang-barang tersebut.
"Ah?" Nanae mengangkat wajahnya. "Ini? Kami diajarkan untuk menjahit pakaian dan kasut sendiri. Jadi, aku selalu membawa-bawa ini."
"Kalian terbiasa menjahit? Seberapa terampil?"
"Yah ... selama di biara, kami sudah melakukannya sejak mulai belajar membaca."
Kishiga mendekat dan memungut salah satu gulungan benang. Sampai saat itu, ia belum tahu apa yang harus dilakukan dengan persenjataan mereka. Tidak mungkin meninggalkannya begitu saja di kereta, sebab mereka memerlukannya di sepanjang perjalanan. Namun, mustahil untuk membawanya melewati pemeriksaan pasukan garnisun.
Ia mengamati seisi gerbong. Terpikirkan sebuah cara, meskipun masih diliputi keragu-raguan. Akhirnya, ia memutuskan untuk menemui masinis. Ia bergegas melewati gerbong-gerbong berisikan para penumpang yang selamat dari kerusuhan di Stasiun Moriyama. Sunyi dan suram. Ketika melangkah, kakinya menjejak kepingan-kepingan kaca yang dibiarkan berhamburan. Bunyi gemeretak yang kecil itu bahkan terdengar bergema di antara keheningan yang mencekam.
Kishiga berjalan keluar dari Gerbong 01, berbelok sedikit melalui gerbong tender, lalu memasuki ruang masinis. Ia memberikan sekotak rokok untuk pria itu, lalu mengajaknya berbicara. Melalui perbincangan itu, ia mendapatkan informasi bahwa kereta ini akan dijadwalkan dalam prosedur perawatan sesampainya di Stasiun Yamahigashi nanti.
Gerbong-gerbong akan dipisahkan dari lokomotif dan dipindahkan menuju lapangan terbuka. Sementara itu, lokomotif akan dibawa ke depo perawatan yang letaknya agak jauh dari jalur utama stasiun. Tipe 2-8-0 "Kyūroku", lokomotif ini akan didinginkan terlebih dahulu sebelum menjalani pembersihan tender dan firebox. Kota Stasiun Yamahigashi memiliki stasiun yang cukup besar meskipun dengan staf terbatas, sehingga Sang Masinis memperkirakan prosedur akan dijadwalkan besok, pukul 6 pagi. Dengan begitu, mesin lokomotif akan dibiarkan selama semalam suntuk dengan mesin yang menyala dalam suhu rendah.
Informasi itu sangat berarti bagi rencana Kishiga. Tanpa menyia-nyiakan waktu, ia bersegera kembali ke gerbongnya dan mengumpulkan seluruh anggota regu.
Kishiga memerintahkan mereka untuk memotong kulit yang melapisi kursi-kursi penumpang serta mengambil busanya. Menggunakan benang dan kain yang tersedia, dengan menjahit kulit dari kursi penumpang tersebut mereka membuat tiga tas panjang. Menggunakan busa-busa kursi, tas itu dijejali sedemikian rupa sehingga memiliki bentuk yang kokoh dan padat. Di dalam dua dari ketiga tas tersebut mereka menyimpan senapan, revolver, kotak amunisi, senter, dan belati tantō. Kishiga menyelipkan sepasang lonceng emas dari sakunya ke dalam kantong tas. Sementara itu, tas ketiga untuk memuat barang-barang milik para pelukis kain sutra.
Kemudian, tas-tas itu dibawa menuju gerbong tender dan disembunyikan di dalam bungker, tertutupi di bawah bongkah-bongkah batu bara. Pada malam hari, ketika lokomotif ini diparkirkan begitu saja di depo, mereka akan menyusup untuk mengambil kembali persenjataan tersebut. Dengan demikian, mereka telah mengamankan suplai.
Hal selanjutnya yang harus dilakukan oleh Kishiga adalah memastikan seluruh prajuritnya dan para pelukis kains sutra lolos dari tahap pemeriksaan. Untuk terakhir kalinya, ia mengevaluasi masing-masing pelukis kain sutra mengenai rangkaian jawaban yang akan mereka berikan apabila ditanya-tanyai oleh petugas pasukan garnisun.
"Kendalikan dirimu," ucapnya sembari menggeleng setelah selesai memeriksa Nanae.
Gadis itu cenderung berlebihan memberikan jawaban, tipikal seseorang yang mudah terpancing dalam obrolan, sehingga Kishiga berulang kali memangkas perkataannya. "Begitu kau terbuai dalam alur pembicaraan yang mereka mau, tanpa sadar kau akan memberikan apa yang mereka inginkan."
"... Maaf. Aku mengerti."
"Itu akan membawa masalah besar." Kishiga berdesah, lalu memandang seluruh anggota regu. "Mereka mungkin akan menyakiti kalian. Barangkali, kalian juga harus bermalam di tempat yang tidak nyaman. Mereka akan melakukan apa pun untuk mendapat informasi. Bersiaplah untuk itu. Tapi ingatlah, mereka tidak memiliki cukup waktu untuk memeriksa seluruh penumpang. Pemeriksaan tidak akan berlangsung lama, selama kita tidak menarik perhatian mereka."
Menutup "pertemuan" di gerbong itu, Kishiga menetapkan titik temu selanjutnya selepas mereka berpisah di stasiun. Titik temu tersebut berada di distrik tua Kashiwabara, di sebuah persinggahan bernama "Kameya". Tempat persinggahan yang ikonik dengan patung Fukusuke. Setiap orang yang pernah mengunjungi Kota Yamahigashi pasti mengenalinya. Selain itu juga, apabila mereka kesulitan menemukannya, bisa dengan mudah ditemukan dengan bertanya penduduk lokal.
"Jam 7 malam. Temui aku di sana."
Seluruh anggota regu pun mengangguk nyaris bersamaan, serta dengan serentak menjawab, "Baik, Kapten!"
Kishiga mengeluarkan selembar plastik kecil dari saku yang tersembunyi di ikat pinggangnya. Setelah lipatan plastik dibuka, ia mengeluarkan secarik kertas, di mana terdapat daftar-daftar sandi Kota Stasiun dan nama-nama. Itu adalah daftar nama yang diberikan oleh Kawanishi ketika mereka masih berada di Asakusa, Edo. Daftar nama para informan yang bekerja bagi Jenderal Nagayama.
Kishiga melambaikan tangan pada dua anggota regunya. "Sadayuki. Kirisaki. Aku punya tugas khusus untuk kalian."
——— Ω ———
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top