10. ESCAPE


22 10 14
14 Oktober, Tahun ke-22 Tenshō. 1915.
Pagi Hari.

——————————




GUNCANGAN HEBAT MELANDA SEISI GERBONG. Lantai menjadi oleng sehingga membuat Kishiga kehilangan keseimbangan. Pijakannya selip. Ia terjatuh di lantai. Dari luar, terdengar suara tubrukan disertai dentuman yang nyaring. Lagi-lagi terjadi guncangan keras.

Kishiga berbalik keluar dari Gerbong 04, meninggalkan orang-orang yang menghadangnya dalam tempat tersebut, untuk memastikan apa yang sebenarnya tengah terjadi. Ia melihat kerusuhan besar telah terjadi di Stasiun Moriyama. Cukup jauh di belakang, kira-kira lima baris dari tempatnya berdiri, gerbong kereta yang berada di rel sebelah terguling dan menghantam gerbong di sisinya. Sementara itu, massa berlarian dengan panik seolah-olah menghindar dari sesuatu. Suara jeritan dan raungan menyayat pendengaran.

Saat itulah, Kishiga menyadari apa yang terjadi.

"... Oh, tidak. Tidak mungkin."

Ia melihat segerombolan besar monster Gaki menerkam orang-orang.

Tanpa membuang waktu, Kishiga pun berbalik dan berlari ke depan menyisir rel menuju lokomotif. Dengan tiba-tiba ia melompat naik sehingga membuat masinis yang berada di sana tersentak kaget. Pria itu berjalan mundur beberapa langkah dengan napas sengal.

Kishiga mengatur napas sejenak. "Jalankan kereta ini sekarang," perintahnya kemudian.

Sang Masinis mengamati Kishiga selama beberapa saat dengan mulut gemetar. "T–Tapi ... tidak ada perintah dari kepala kondektur."

Jawaban tersebut memaksa Kishiga meremas kerah Sang Masinis dan menariknya dengan paksa. Pria itu terkesiap.

"Orang-orang mati terbunuh, dan kau justru menunggu perintah dari kepala kondektur?"

"B-b-baiklah! Baik!" Sang Masinis mengangguk. Kata-katanya bergetar dengan rapuhnya, getas, dan terdengar seolah-olah rontok begitu saja ketika keluar dari mulutnya.

Kishiga melepaskan cengkeraman pada kerah pria itu, membiarkan Sang Masinis terduduk lemas. Butir-butir peluh meluap dari pori-pori keningnya yang berkeriput. 'Tak lama kemudian ia segera bangkit walaupun dengan susah payah. Pria bertubuh kurus itu menyesap udara sejenak sembari mengamati serangkaian rumit panel-panel yang memenuhi ruang masinis. Tetesan keringat membasahi alisnya.

Ia pun memerintahkan stoker untuk memanaskan ketel uap. Seorang stoker yang terlihat masih muda lantas membuka sebuah pintu kecil yang tersambung dengan gerbong tender, lalu mulai menyendok setumpuk arang menggunakan sekop. Bongkah-bongkah arang berdentang berat setiap kali stoker itu melemparkannya ke dalam dinding tungku. Sementara itu, Sang Masinis mengoperasikan beberapa klep pipa dan mengamati tabung indikator. Bunyi bergolak terdengar dari dalam ketel uap. Suara air mendidih yang bergelut dengan uap panas. Tabung indikator itu memberi petunjuk seberapa tinggi tekanan udara yang terkandung dalam ketel uap.

Kereta itu mendadak kembali berguncang. Jeritan dan tembakan terdengar dari barisan gerbong di belakang sana. Hawa keberadaan Gaki seakan terasa semakin mendekat, melingkupi seperti dingin yang mencekik. Monster-monster itu telah menyusul mereka hingga ke Moriyama. Itu berarti pasukan pertahanan di Kyoto tidak mampu menahan mereka dan telah jatuh ke dalam serbuan.

"Masih lama lagi?" Kishiga mendesak.

Sang Masinis mengelap keringat dari wajah rentanya. Fokus, ia mengamati jarum pada indikator tekanan yang terus menanjak. Tangan kanannya menggenggam erat sebuah katup di antara rangkaian panel. Sebuah katup rem. Setelah beberapa saat, ia segera menarik katup tersebut dan menggerakkan tuas regulator. Uap panas pun mengalir melalui silinder, menggerakkan piston yang terpasang pada roda lokomotif, dan menyemburkan uap panas yang mendesis nyaring.

Pssssss!

Bersamaan dengan itu, kereta mulai bergerak. Mereka akan meninggalkan Stasiun Moriyama. Namun, setelah beberapa putaran roda kereta pun tiba-tiba terhenti. Terdengar bunyi berderit yang nyaring dari roda lokomotif, seolah-olah terdapat sesuatu yang menahannya dengan paksa.

Kishiga berjalan mendekati Sang Masinis tua. "Apa yang terjadi?"

"Eee ...." Pria itu menggaruk kepalanya. "Seharusnya tidak ada masalah."

"Tentu saja ada yang salah!" bentak Kishiga, sehingga pria itu tercengan. "Tunggu di sini. Perhatikan, dan tunggu aba-aba dariku." Kishiga yang tampak jengkel lantas melompat turun, lalu berlari menyusuri rel dan sekitar peron stasiun.

Ia menduga terdapat salah satu gerbong di barisan belakang yang tersangkut karena hantaman gerbong yang terguling. Satu-satunya cara untuk selamat adalah membebaskan gerbong yang masih bisa bergerak agar lokomotif bisa berjalan maju. Namun, ia tidak tahu apa-apa tentang kereta api, begitu pula cara melepaskan rangkaian pengait antar-gerbong. Di antara rusuhnya lautan manusia yang tumpah ruah ke segala arah, Kishiga mencari-cari para kondektur.

Sayangnya, ia 'tak bisa menemukan keberadaan mereka di mana pun. 

"Kapten!"

Suara barusan berasal dari arah Gerbong 05 di mana para anggota Regu Kishiga berada. Itu adalah Sadayuki, yang memanggilnya dari salah satu jendela yang terbuka. Kishiga pun menoleh dan memberi isyarat dengan tangannya agar anggota-anggota regu mengikutinya berlari menuju ke belakang gerbong.

Satu per satu para anggota regu berjalan keluar dari pintu belakang gerbong. Mereka menyisir lintasan rel mengikuti Kishiga hingga ke Gerbong 07, di mana Sang Kapten berhenti sembari mengamati mekanisme sambungan kereta.

"Kita harus melepaskan gerbong ini," ungkap Kishiga sembari menunjuk pada rangkaian pengunci antar-gerbong. "Seseorang dari kalian mengerti tentang kereta api?"

"Kurasa Maejima mengerti." Sadayuki menoleh pada salah satu rekannya. Letnan Maejima Fumiaki. Keanggotaannya dalam Regu Kishiga terbilang masih sangat muda. Sang Kapten belum begitu mengenalnya, sebab ia hanya bergabung sejak penugasan misi rahasia yang diberikan oleh Jenderal Nagayama. Sebelumnya ia merupakan salah satu teknisi skuadron zeni tempur yang dikepalai oleh atase yang berbeda. Dengan kata lain, ia baru menjadi bagian Regu Kishiga selama beberapa hari belakangan.

Maejima maju ke depan, menghampiri Kapten Kishiga. "Saya bisa memeriksanya, Kapten." Ia lantas mendekati pengunci antar-gerbong dan meniliknya sejenak. "Rangkaian Janney," gumam pemuda itu. Ia melompat melewati sambungan tersebut ke sisi gerbong yang berlawanan dan menghampiri sebuah tangkai besi, lalu menendangnya berulang kali. Engsel pengunci pun terbuka dengan bunyi kling!

Gerbong seketika berderak. Sambungan antar-gerbong yang menyerupai sepasang genggaman tangan yang saling bertaut pun terbuka. Kishiga segera memberi isyarat kepada Sang Masinis yang sedari tadi mengamati dari ruang kemudi. 'Tak lama kembali terdengar bunyi mendesis dari katup rem yang terbuka. Kereta yang mereka tumpangi perlahan bergerak maju. Kishiga, Maejima, dan anggota regu lainnya segera melompat menaiki gerbong. Beberapa orang yang selamat juga berlari menyusul kereta tersebut dan berusaha memanjat gerbong, menyelamatkan diri dari kengerian yang melanda Stasiun Moriyama.

Roda kereta berputar kencang, berjeglak-jegluk menurut irama piston, dan akhirnya melaju kencang. Asap tebal mengepul keluar dari cerobongnya, meninggalkan jejak putih memanjang yang terurai di udara. Kishiga hanya bisa memandang sembari mengatupkan rahangnya, ketika mereka melihat pembantaian yang terjadi di kejauhan.

Maut meliputi Stasiun Moriyama.


***



BEBERAPA DARI PELUKIS KAIN SUTRA TEWAS KARENA TERTEMBAK. Sebagian lagi terluka dan memerlukan perawatan. Kishiga menyuruh anggota regunya membersihkan luka mereka dan membebatnya.

Sang Kapten menyandarkan tubuhnya pada kursi penumpang dengan rasa terpukul yang hebat. Ia meremas pelipisnya dengan kedua telunjuk, berusaha menekan kemelut yang bergumul di dalam kepala.

Sadayuki mendekati Kishiga. "... Maaf, kami ...."

Masih menunduk, Kishiga mengangkat tangan kanannya dan menyela perkataan letnan muda itu. Untuk saat ini, jangan katakan apa pun.

"Hei! Apa yang kaulakukan?" Tiba-tiba saja Sadayuki membentak. Seorang gadis muda berusaha mendorongnya mundur dan duduk di sisi Kishiga. Sadayuki sendiri 'tak mau kalah, berusaha menarik gadis itu menjauh. Mereka terlibat dalam adegan tarik-menarik yang sengit.

"Hentikan." Merasa terusik, Kishiga menatap kedua orang itu bergantian, lalu memandang kepada gadis tersebut. "Apa yang kauinginkan?"

Gadis itu meraih tangan Kishiga, di mana penuh dengan luka lebam. Beberapa sayatan kecil yang terbuka menunjukkan warna merah padam. Gadis itu mengeluarkan sesuatu seperti tabung kecil, membukanya, dan mengoleskan isinya pada luka-luka tersebut.

Kishiga meringis dan menarik tangannya, tetapi genggaman gadis itu menahannya. Di saat bersamaan, ia merasakan dingin yang nyaman ketika permukaan kulitnya bergesekkan dengan losion yang gadis itu berikan. Kishiga mengamati lebih dekat gadis yang berada di sebelahnya itu. Ia adalah salah satu pelukis kain sutra dari Izumo.

Seorang gadis yang agak berisi dengan hidung yang bulat. Rambutnya terurai sebahu, kusut dan ditudungi oleh kain kusam yang tebal. Dengan alis yang sedikit tebal dan mata menyerupai biji badam, ada kesan elok dari rupanya yang sederhana.

"Huh ...." Sadayuki berdesah. "Dia juga membantu para korban dan anggota regu yang terluka ketika terjadi baku tembak. Padahal aku sudah menyuruhnya untuk berlindung."

"Mana mungkin aku diam saja." Gadis itu menyahut tanpa menoleh.

Kishiga perlahan melepaskan pegangan gadis tersebut dan menghela kembali tangannya. "Siapa namamu?"

"Nanae."

"Terima kasih."

Gadis itu tersenyum dan mengangguk.

Ehem. Kishiga berdeham, lalu menghela napas pelan. "...Tapi mulai sekarang, kau harus mematuhi arahan kami."

Gadis itu menelengkan kepalanya. "Kenapa?"

"Kamilah yang bertanggung jawab dengan nyawamu."

Nanae menahan tawa sambil menutup mulutnya. "Pernyataan yang aneh."

"Kau!" Sadayuki menariknya menjauhi Kishiga. "Tutup mulutmu."

Gadis itu terkejut dan berpaling pada Sadayuki, lalu dengan ketus menjawab, "Hanya karena kalian terbiasa dengan perang dan pembunuhan, bukan berarti kalian berkuasa atas nyawa orang lain. Hanya karena kalian tahu cara melakukan sesuatu, bukan berarti kalian berhak melakukan–."

Sadayuki menariknya dengan paksa.

"Kubilang tutup mulutmu." Letnan itu menyeret Nanae hingga berdiri dan mendorongnya ke barisan belakang, membuat gadis itu mengaduh. "Jangan seenaknya mendekat tanpa alasan yang jelas."

Nanae mengerutkan bibirnya, lalu berpaling meninggalkan Sadayuki.

Kishiga menoleh ke tempat duduk di sisinya dan meraih tabung losion yang tertinggal di situ. Ia menengok ke belakang, ke arah Nanae. Gadis itu masih sangat belia, barangkali baru berusia 14 atau 15 tahun—usia Kishiga hampir dua kali darinya. Setelah mengamatinya sejenak, Sang Kapten kembali berpaling ke depan dan membenamkan diri pada sandaran kursi. Pikirannya mengulang rekaman ingatan, menilik kembali peristiwa yang telah terjadi seperti serangkaian segmen yang masih lekat dalam benak.

Saat itu tepat setelah penembakan yang dilakukan oleh salah satu prajurit garnisun, disusul oleh kerusuhan yang melibatkan para penumpang di dalam gerbong dan massa yang berjejal di Stasiun Moriyama. Ketika berhadapan dengan sekelompok pria yang berusaha membunuhnya di Gerbong 04, Kishiga menyadari sesuatu. Mereka tidak memulai perlawanan, melainkan bereaksi atas tembakan yang ia berikan.

Pikirannya pun kembali melompat lebih jauh ke belakang. Tujuh tahun telah berlalu sejak Krisis Gaki menyerang Jepang. Peristiwa yang meninggalkan luka yang mendalam. Orang-orang masih merasakan luka itu di hati mereka. Ketakutan bersemayam dalam sisi gelap benak mereka. Sebuah teror. Mereka telah menyaksikan bagaimana perang membuat manusia saling membunuh, diikuti oleh malapetaka ketika Gaki membantai orang-orang yang mereka kasihi. Tujuh tahun terlalu dini untuk melupakan itu. Teror yang dahulu terjadi masih terasa begitu jelas. Teror membawa ketakutan. Ketakutan membuat mereka menjadi gila.

Barangkali selama ini ia pun memendamnya, tetapi Kishiga mengerti bahwa ketakutan itu terkadang menguasainya.

Tembok raksasa yang mengelilingi Dinasti Domugi tidak serta merta membuat mereka aman dari teror dari masa lalu. Setiap orang mengetahui, bahwa cepat atau lambat mereka harus kembali berhadapan dengannya.

Mereka hanya ingin melarikan diri dari teror yang selama ini tertanam dalam pikiran mereka, menjauh untuk selamat. Mereka tidak pernah bermaksud untuk membunuh. Namun, mereka tetap melakukannya untuk menyelamatkan diri.

Pada dasarnya, manusia telah membunuh sejak zaman dahulu, dan mereka yang mampu bertahan karena melakukannya meneruskan itu melalui garis generasi selanjutnya. Manusia yang tidak membunuh telah mati tanpa sempat meneruskan keturunan—atau keturunan mereka yang selamat pada akhirnya, cepat atau lambat, terbunuh dalam alur hidup yang demikian kompetitif.

Setidaknya, begitulah Kishiga memahami sesuatu yang terjadi dalam rentang dunia yang selama ini berputar di sekelilingnya.


——— Ω ———

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top