09. EMERGING CHAOS


22 10 14
1Oktober, Tahun ke-22 Tenshō. 1915.
Pagi Hari.

——————————




LANGIT BERWARNA KEEMASAN. Bayang-bayang memanjang menuju barat, meregang seperti kue mochi berwarna hitam. Hujan rintik-rintik membasahi Kyoto, dan mengeluarkan desis ketika bersentuhan dengan nyala api yang membara.

Api menyelimuti atap dan dinding bangunan "Sakiori". Asap membubung tinggi.

Sebuah truk kecil mendekati Kishiga, Kutabe, dan Samebito, kemudian berhenti tepat di pinggir jalan. Sisi kanan berada di sisi yang berlawanan dari mereka. Terdengar suara pintu yang terbuka dari sisi tersebut, lalu seorang lelaki berlari mengitari truk itu untuk menjumpai mereka bertiga. Seorang lelaki tua.

"Kapten Kishiga?" tanya lelaki itu.

Kishiga menoleh dan berdiri, lalu mengangguk pelan.

Lelaki tua itu baru menyadari keberadaan tubuh Kapten Ōyama yang duduk terkulai, karena ia sejenak terhenyak sambil memegangi dada. "... Apakah ini ...."

Kishiga kembali berpaling kepada mayat Kapten Ōyama. Ia berdesah pelan. Tetesan hujan menggenangi rambutnya, mengalir melalui wajah dan lehernya.

Sementara itu, Kutabe melangkah menuju bak truk yang ditutupi oleh kain kanvas. Ia menyingkap kelopak penutup belakang. "Kapten. Kurasa kau harus ke sini," ungkapnya. Kutabe bertubuh pendek, sehingga ia harus melihat ke dalam dengan sedikit mendongak.

Mendengar ucapan tersebut, Kishiga berjalan menghampiri Kutabe. Apa yang ia temukan di dalam sana adalah sekelompok orang. Mereka menatap balik kepada Kishiga dengan raut yang beragam: seorang wanita yang duduk di sebelah kiri, paling dekat dengan mulut bak, mengerutkan tubuhnya dengan sedikit ketakutan. Pria yang duduk berseberangan dengan wanita itu memandangi Kishiga sembari membungkuk. Ia berusaha tenang, meskipun ketegangan terpancar darinya. Seorang gadis muda mengintip dari ujung barisan.

Kira-kira, semua terdiri dari tujuh orang.

"Ada baiknya mulai sekarang Anda mengenali orang-orang ini, Kapten." Kutabe mundur selangkah, memberi ruang bagi Kishiga.

Tidak diragukan lagi, orang-orang tersebut adalah para pelukis kain sutra dari Izumo, yang harus ia kawal dengan selamat hingga tiba di Edo. Kapten Kishiga mengamati mereka satu per satu. Kesan pertama yang tercetus dalam benak Kishiga adalah sesuatu yang terkesan asing.

Para pelukis kain sutra adalah golongan yang terpandang. Mereka memegang peran penting dalam berbagai upacara kerajaan Dinasti Kiku. Konon, para kaisar dan kesatria terdahulu meminta petunjuk mereka sebelum menentukkan rencana perang. Para pelukis kain sutra, meskipun menempuh hidup yang hampir serupa dengan biarawan, memiliki posisi politik yang berpengaruh. Banyak dari mereka diangkat menjadi pegawai Dinasti Kiku dan tinggal di istana-istana. Pakaian yang mereka kenakan selalu terbuat dari sutra.

Namun, orang-orang yang ada di hadapan Kishiga itu tidak menyiratkan kesan pelukis kain sutra yang ia kenali selama ini. Pakaian mereka usang. Debu berwarna cokelat cerah menempel pada celana dan sepatu mereka. Penampilan orang-orang itu lebih menyerupai pengungsi perang.

"Barangkali, itu bagian dari penyamaran," pikir Kishiga. "Saat ini keberadaan mereka diperebutkan dan nyawa mereka sewaktu-waktu bisa terancam."

"Matahari sudah terbit." Samebito menengadah ke timur. "Secepatnya, pergilah ke Stasiun Kyoto. Naiki kereta mana pun yang masih bisa beroperasi dan tinggalkan kota ini." Ia mendorong punggung Kutabe dan Kishiga.

Keduanya segera melompat ke dalam bak.

"Kau tidak turut dengan kami?" tanya Kishiga.

Samebito menggeleng. "Ada beberapa hal yang masih harus kupertanggungjawabkan kepada Jenderal Nagayama. Urusanku tidak hanya mengenai Tuan Tsuneyoshi dan para pelukis kain sutra." Ketika berkata demikian, ia menatap kepada Kutabe. "Pastikan mereka diperlengkapi dengan baik. Nakasendō merupakan perjalanan yang panjang."

"Aku mengerti," sahut Kutabe, lalu menggedor bak truk.

Mesin truk pun mengeluarkan geraman yang berat, kemudian berderum nyaring. Roda-roda truk mulai merayap, sebelum akhirnya melaju menyisir jalanan. Kishiga memandangi Samebito, yang tetap berdiri dan menatap pada rombongan itu, hingga sosoknya menghilang di kejauhan.

***



"SERANGAN YANG MENIMPA KYOTO merupakan upaya yang sudah terencana," gumam Kishiga sembari merenungkan peristiwa yang sedang terjadi. Empat puluh menit telah berlalu sejak keberangkatannya dari "Sakiori".

Saat itu, regunya sudah berada di dalam kereta api yang membawa mereka memasuki Provinsi Gōshū. Seluruh gerbong kereta penuh sesak oleh para pengungsi yang berjejal-jejal keluar meninggalkan kota tersebut.

Sebelum bergegas menuju Stasiun Kyoto, Kishiga dan para pelukis kain sutra itu terlebih dahulu menjemput sisa anggota Regu Kishiga yang menunggu di penginapan. Dengan tergesa-gesa dan dalam waktu yang terbatas, Kutabe menyediakan persenjataan bagi Regu Kishiga—senapan beserta amunisinya, dan sedikit perbekalan. Di penginapan itu juga, Kutabe menerima kabar dari para informannya mengenai seluruh kejadian yang terjadi. Kabar tersebut ia teruskan kepada Kishiga.

Tepat sebelum mereka meninggalkan kota itu, monster-monster Gaki telah menerobos ke dalam tembok pertahanan Kyoto. Orang-orang yang tertangkap seketika menjadi santapan. Kishiga menyaksikan dari balik jendela gerbong. Seorang wanita tersungkur di jalan. Kedua tangannya berada dalam cengkeraman seekor Gaki, sedangkan tubuhnya tertindih. Gaki itu mengeluarkan proboscis dari dalam mulut dan menembakkannya hingga menembus tempurung kepala wanita itu, lalu melelehkan otaknya serta meminum cairan tersebut.

Kemelut. Itulah yang menghinggapi Kishiga. Berbagai peristiwa terjadi dalam rentang waktu yang sempit, seolah-olah telah disusun sedemikian rupa menjadi agenda sekuensial:

1) Gagasan Perundingan Damai agar orang-orang penting berkumpul di Kyoto.

2) Kerusuhan dan upaya pembunuhan atas Tuan Tsuneyoshi beserta tamu-tamu penting yang hadir di sana.

3) Terputusnya jalur Tōkaidō yang menghubungkan Edo dan Kyoto.

4) Serangan monster-monster Gaki.

5) Aktivitas di perairan Tsuruga, yang mengarah langsung ke Edo, di mana Kaisar berada.

Kishiga meletakkan kepingan-kepingan peristiwa tersebut pada lantai pikirannya dan menyusunnya menjadi sebuah gambaran yang lebih besar. Salah satu kejadian yang paling membuatnya terkejut adalah serangan artileri kapal perang yang menghancurkan tembok pelindung Tōkaido, disusul dengan serangan yang mengarah ke Kyoto.

Sebuah lubang besar terbuka pada tembok yang melindungi mereka dari Gaki. Kini monster-monster itu tumpah ruah masuk melalui lubang tembok, merayap ke segala penjuru dan melakukan perburuan atas manusia.

Sejak semula, Kaum Shūkoku berencana memulai kembali perang. Mereka sudah mengetahui keberadaan para pelukis sutra dari Izumo dan rencana penyelamatan yang dilakukan Jenderal Nagayama. Perundingan Damai tidak berlaku lagi, sehingga mereka memilih untuk melemahkan Dinasti Kiku dengan beragam serangan beruntun. Itu menjelaskan mengapa sekelompok orang asing menyerang "Sakiori" dan membunuh Kapten Ōyama. Mereka juga mengincar Kishiga, Samebito, dan Kutabe. Ada kemungkinan bahwa salah satu informan milik Kutabe berkhianat.

Kishiga menatap keluar. Saat itu mereka telah berada jauh dari Kyoto.

Langit yang biru, di mana awan-awan bertebaran. Di sebelah kanan, pepohonan berkelebat. Di sebelah kiri, sebuah kereta bergerak beriringan dengan kereta yang ia tumpangi. Sepasang kereta lain mengikuti dari belakang, membawa serta para pengungsi dari Kyoto. Kereta-kereta itu bergerak dengan lambat karena beban penumpang yang berlebihan. Mereka akan tiba di Edo lebih lambat dari yang seharusnya.

Serangan atas Kyoto dan terputusnya Jalur Tōkaidō bertujuan untuk mengisolasi Edo. Satu-satunya cara kembali adalah menempuh Jalur Rel Nakasendō yang jauh lebih panjang dan sulit, terbentang sejauh 500 km, melalui kota-kota berkubu yang terletak di sepanjang alur pegunungan. Rombongan pengungsi ini menjadi faktor lain yang membuat mereka tidak bisa mencapai Edo dengan segera.


Misi Kishiga tidak lagi hanya terpaku pada mengawal para pelukis kain sutra hingga tiba di Edo, melainkan juga berlomba dengan keadaan. Ia harus tiba di Edo sebelum Kaum Shūkoku berhasil mengambil alih kota tersebut dan mencelakai Kaisar. Ia sepenuhnya menyadari, banyak hal yang mungkin terjadi selama perjalanan menempuh 500 km itu, di tengah-tengah kekacauan yang melanda segenap wilayah Dinasti Kiku.

Tiba-tiba saja, Kishiga merasakan sentuhan pada pundaknya. Ia pun berpaling.

Sadayuki.

"Kapten." Ia menunjuk ke luar jendela. "Stasiun Moriyama."

Kereta yang mereka tumpangi pun menurunkan kecepatan. Terlihat orang banyak berkumpul di Stasiun Moriyama dan memandangi gerbong-gerbong kereta yang bergerak melintasi stasiun. Kishiga mengamati arlojinya. Dua jam sejak keberangkatan dari Kyoto. Stasiun ini semestinya bisa dicapai dalam satu setengah jam. Kenyataan yang membuat Kishiga berdesah berat.

Begitu memasuki peron, kereta itu pun berhenti. Orang-orang yang berkumpul di stasiun berbondong-bondong mendekati gerbong kereta. Ketakutan tergambar jelas pada raut wajah mereka.

"Bawa kami pergi. Jangan biarkan kami mati di sini!" Seorang ibu yang menggendong balita mendekati petugas stasiun.

"Izinkan kami menumpang hanya sampai Toriimoto." Seorang pria merangkul istri dan anak-anaknya. Sambil memohon, ia berulang kali membungkukkan tubuh. "Ibu mertuaku tinggal di sana sendirian. Ia tidak tahu apa-apa, dan tidak ada yang akan menyelamatkannya."

"Tolong kami!"

Semua orang merangsek maju, mendesak semakin dekat menuju kereta. Kishiga memandang dari balik jendela dengan perasaan cemas. Situasi sudah memburuk. Seluruh kota mengetahui apa yang telah terjadi di Kyoto dan kepanikan telah menguasai keadaan.

Tentu saja, kereta-kereta itu tidak mungkin membawa penumpang lebih banyak lagi. Ini tidak lagi mengenai seberapa cepat mereka berangkat, melainkan keselamatan para penumpang. Jalur Rel Nakasendō melintang di antara sirkuit pegunungan. Sebagian besar jalurnya terdiri dari rel layang yang dibangun beberapa meter di atas permukaan tanah untuk menyiasati dataran yang tidak rata. Apabila salah satu gerbong saja kehilangan keseimbangan, maka akan membahayakan seluruh bagian kereta.

Kishiga mendengar para petugas stasiun berusaha menjelaskan kepada orang-orang itu, tetapi suara mereka tertelan oleh keriuhan orang banyak yang bergelora seperti tsunami.

Tiba-tiba saja terdengar suara tembakan.

Massa pun terdiam. Orang-orang yang semula bergolak seperti riak raksasa, seketika mematung. Kishiga menengok dengan mata terbelalak. Bau cordite melintas. Tidak jauh dari tempatnya duduk, beberapa baris di depan, seorang pria memanggul senapan pada pundaknya dengan laras mengarah tepat ke orang-orang. Di antara kerumunan itu, seorang pria terbatuk-batuk. Darah mengalir dari bibir dan dadanya, sebelum kemudian terkapar di lantai stasiun.

"Bodoh!" Sadayuki berlari mendekati pria tersebut. "Kau tahu apa yang kaulakukan?" Ia menjegalnya hingga terjatuh ke lantai gerbong. Keduanya bergelut. Pria itu mengenakan seragam pasukan garnisun, salah satu prajurit penjaga di Stasiun Kyoto yang ikut mengungsi meninggalkan kota tersebut.

Keheningan berubah menjadi kegemparan, seperti sebuah bom yang meledak. Lautan manusia yang berada di stasiun berhamburan ke segala arah. Suara tembakan kembali terdengar, disusul oleh suara kaca-kaca jendela yang pecah. Beberapa orang yang berada di stasiun melakukan serangan balasan dan mengakibatkan beberapa penumpang terluka. Seisi gerbong kini ditimpa kepanikan.

"Lihat akibat perbuatanmu!" Sadayuki menghantamkan tinjunya tepat di hidung pria itu, sehingga membengkok sedemikian rupa. Ia mendaratkan satu-dua pukulan lain hingga Kishiga menyergahnya.

"Hentikan! Letnan, amankan para pelukis kain sutra. Kita harus mencegah orang-orang dari stasiun masuk."

Kishiga memerintahkan agar seisi gerbong merunduk dan menemukan tempat berlindung. Peluru-peluru beterbangan dari luar, menimbulkan suara berdentang dan percikan api, bersamaan dengan teror yang menyeruak masuk memenuhi seisi gerbong. Gang yang menengahi gerbong dan kursi-kursi dipenuhi oleh serpihan kaca jendela.

Sekelompok orang dari stasiun memaksa masuk, menerobos gang penghubung, dan mendobrak pintu gerbong. Para penerobos itu memukuli penumpang yang berada di dalam dan menyeret mereka keluar. Beberapa di antaranya memiliki pisau. Kishiga mengamati. Kewaspadaan meliputinya.

Salah satu dari penerobos itu menoleh pada Kishiga, lalu berlari menghampiri dengan berang. Satu ayunan pisau mengarah pada Sang Kapten. Kishiga berkelit ke kiri dalam gerak diagonal, menangkap pergelangan tangan orang itu, dan menendang belakang lututnya hingga tertekuk. Tangannya pun terpelintir. Pria itu berteriak sambil berlutut, dan melepaskan pisau dalam genggaman.

Kishiga bergegas maju. Ia mengambil senapan yang sejak semula tersampir di punggung. Dengan laras senapan tersebut ia menyodok leher para penerobos, membuka dengan paksa jalan menuju gerbong selanjutnya. Ia bergegas menuju lokomotif, memastikan sang masinis aman dari serbuan para penerobos.

Kishiga menyeberang masuk ke dalam Gerbong 04 dan mendapati pemandangan yang mengerikan.

Segerombolan pria telah menguasai tempat itu. Darah menggenang di lantai. Kursi dan dinding ternodai oleh percikan berwarna merah. Beling berserakan di segala tempat dan tubuh-tubuh 'tak bernyawa bergelimpangan.

Orang-orang itu menyadari kehadiran Kishiga, menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Kishiga mengamati sekeliling, lalu menatap wajah mereka satu per satu, bersiap untuk kemungkinan buruk.

Begitu mendengar bunyi klik! yang entah datang dari mana, Kishiga dengan refleks menembakkan senapannya dan mengenai salah satu dari mereka. Orang-orang itu menjadi gusar dan serta merta menyerbu Kishiga. Pria yang berada paling depan memegang sesuatu seperti pipa besi yang tajam dan mengarahkannya tepat ke leher Kishiga.

Terancam, Kishiga menepis serangan itu dengan popor senapan, lalu memukul wajah pria itu dengan laras senapan. Kemudian, ia melepaskan selempang senapan yang membelit tubuhnya dan mengambil kuda-kuda. Serangan demi serangan pun berdatangan dengan beruntun dari orang-orang itu.

Terlatih dalam jūkenjutsu—seni bertarung menggunakan bayonet—Kishiga bergerak dengan gesit sambil menepis, memukul, dan menusukkan laras senapannya pada titik-titik vital lawan. Proporsi senapan yang panjang memungkinkannya untuk terlebih dahulu mendaratkan serangan. Memanfaatkan suasana gerbong yang sempit, ia memiliki keuntungan dalam serangan menusuk, dibandingkan serangan menebas.

Namun, sesuatu yang 'tak terduga terjadi.

Guncangan hebat melanda seisi gerbong. Kishiga kehilangan keseimbangan dan terjatuh ke lantai. Dari luar, terdengar suara tubrukan disertai dentuman yang nyaring. Lagi-lagi terjadi guncangan.

Kishiga berbalik keluar dari Gerbong 04 untuk memastikan keadaan. Ia melihat kerusuhan besar telah terjadi di Stasiun Moriyama. Cukup jauh di belakang, kira-kira lima baris dari tempatnya berdiri, gerbong kereta yang berada di rel sebelah terguling dan menghantam gerbong di sisinya. Sementara itu, massa berlarian dengan panik seolah-olah menghindar dari sesuatu. Suara jeritan dan raungan menyayat pendengaran.

Saat itulah, Kishiga menyadari apa yang terjadi.

"... Oh, tidak. Tidak mungkin."

Ia melihat segerombolan besar monster Gaki menerkam orang-orang.

—— Ω ——

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top