08. ASSAULT



22 10 14
14 Oktober, Tahun ke-22 Tenshō. 1915.

-- Satu jam sebelumnya --

——————————



MALAM MENYELIMUTI LAUTAN. Permukaan air yang bergolak memantulkan rona langit yang muram. Bintang-bintang berkilap, seperti serpihan cermin yang berserakan di sepanjang lautan, bergerak mengikuti alunan gelombang. Malam itu, bulan 'tak tampak.

Angin bertiup menuju selatan membuat ombak berdesir deras. Di kejauhan, di antara kesunyian dan kegelapan yang pekat, sesuatu meluncur membelah lautan. Tubuhnya yang dilapisi oleh lempengan baja diempaskan oleh gelombang, tetapi tidak membuatnya melambat. Ketika bergerak maju, jejak buih dan ombak kecil berwarna putih melebar dari dasar haluan depan. Cerobong yang menjulang tinggi mengepulkan gumpalan asap hitam yang menyatu dengan langit.

Sebuah super-dreadnought—kapal perang penghancur.

Tidak hanya satu, melainkan empat kapal yang bergerak dalam formasi lurus. Seluruh bagian dari kapal-kapal itu berwarna hitam pekat, membaur bersama malam. Mereka bergerak dengan kecepatan penuh. Belasan meter di bawah permukaan laut, formasi kapal-kapal selam Ha-3 (Ha-San-Gata) mengiringi para kapal perang penghancur.

Setelah beberapa lama mengarungi lautan, sebuah pulau pun mulai terlihat di kejauhan, perlahan muncul dari balik kaki langit. Tembok tinggi membentang memagari sepanjang pesisir pulau tersebut.

Armada perang itu mendekati pesisir selatan Pulau Honshū, wilayah Dinasti Domugi Jepang. Tembok tinggi yang terlihat itu adalah tembok raksasa Tōkaidō.

Armada perang itu terus meluncur melewati Teluk Wakayama dan menerobos gugusan pulau yang memisahkan teluk tersebut dengan Teluk Ōsaka. Cahaya-cahaya yang menerangi daratan tampak seperti bintik-bintik kecil terang dalam kegelapan. Di kejauhan, terlihat barisan kapal perang milik Dinasti Domugi tengah berlabuh di sepanjang Pelabuhan Ōsaka.

Formasi kapal selam bergerak maju. Katup-katup pada bagian depan pun terbuka. Sepasang torpedo meluncur keluar menembus badan air, meninggalkan jejak buih yang memanjang. Torpedo meluncur dengan ganas tepat ke arah kapal perang yang berlabuh.

Ledakan disertai semburan bola api merobek lambung kapal perang milik Dinasti Domugi. Asap tebal membubung naik, sementara tubuh kapal itu perlahan tenggelam ke dalam laut. Ledakan-ledakan lainnya pun terjadi, bersusul-susulan di antara barisan-barisan kapal perang milik Dinasti Domugi.

Kobaran api menerangi Pelabuhan Ōsaka. Alarm darurat melolong panjang. Namun, semua sudah terlambat. Kapal-kapal selam itu telah menenggelamkan hampir seluruh kapal perang yang berada di sana.

Sementara itu, armada super-dreadnought yang sejak tadi berada di kejauhan, mulai mengarahkan meriam-meriamnya. Pada permukaan zirah meriam itu tertera lambang seekor naga yang melingkar—lambang Kaum Shūkoku.

Moncong meriam tertuju ke Pelabuhan Ōsaka dan pos-pos penjaga yang ditempatkan di sepanjang dermaga. Kapal perang Kaum Shūkoku memborbardir lini pertahanan dengan serangkaian gempuran. Semuanya hancur akibat serbuan hujan besi dan ledakan beruntun. Kobaran api menyebar ke segala penjuru. Kepulan asap bergulung-gulung, menciptakan tabir hitam yang tebal.

Pertahanan Ōsaka telah dilumpuhkan.

Kali ini, armada kapal perang penghancur itu bergerak semakin dalam menerobos zona perairan Dinasti Domugi. Mereka memasuki Teluk Ōsaka, dan melambat ketika memasuki Sungai Yodo. Kapal-kapal itu menurunkan kecepatannya, lalu perlahan membentuk formasi berjajar. Sisi kanan berhadapan dengan daratan utama.

Kapal-kapal itu perlahan mengarahkan meriam utama yang terpasang pada anjungan—sepasang meriam kaliber 350 mm yang luar biasa besar. Meriam raksasa dengan jangkauan tembakan puluhan kilometer. Barisan meriam berputar ke arah kanan. Suara berdengung panjang terdengar ketika meriam itu bergerak, mengulas kesan mengerikan. Barelnya yang panjang terungkit ke atas, membentuk sudut yang siap untuk serangan balistik.

Target mereka adalah pertahanan Kota Kyoto, yang terlindung jauh di balik kemegahan Ōsaka.

Suasana menjadi hening sejenak. Angin terus berembus kencang. Permukaan air bergolak. Mesin kapal samar-samar berderum, sesekali dengan suara berdentang yang metalik ketika mekanisme dalam kapal itu memuat proyektil ke dalam barel meriam.

Tiba-tiba saja, keheningan terpecah sewaktu kapal yang berada di tengah-tengah formasi menembakkan meriamnya. Bunyi berdentum yang bergemuruh membuat permukaan air berguncang. Gemanya meninggalkan gelegar yang menyerupai guntur, menggetarkan seisi dermaga Ōsaka. Tubuh kapal itu terdorong sejauh beberapa meter karena kuatnya entakan balik.

Serangkaian tembakan pun menyusul dari kapal-kapal lainnya. Serangan salvo sepenuhnya mengarah ke Kyoto. Lautan, daratan, dan langit seakan-akan bergetar. Riak besar bergolak akibat empasan ombak.

Proyektil-proyektil besar beterbangan, meluncur secara parabolik hingga akhirnya menghantam Kyoto. Tembakan jarak jauh itu menghancurkan tembok pelindung Kyoto. Bongkah-bongkahan besar berjatuhan, meninggalkan celah yang menganga di antara sambungan tembok yang runtuh. Asap dan debu bergumpal-gumpal dari sisa ledakan. Di balik debu yang beterbangan, titik-titik terang dari cahaya perkotaan pun terlihat.

Pertahanan Kyoto telah terbuka.

Kapal-kapal perang penghancur itu meneruskan serangannya dan menghujani Kyoto dengan bombardir.


***




TOKO KAIN "SAKIORI" TERBAKAR! Api mulai menyebar hingga ke atap.

Menyadari itu, Kishiga segera berlari menghampiri toko tersebut. Ia terkejut ketika mendapati beberapa orang 'tak dikenal berada di halaman. Mereka mengenakan sesuatu yang menyerupai rompi. Pada rompi itu tergantung botol-botol kaca yang berkilap karena pantulan api.

Molotov.

Dengan spontan, Kishiga menarik revolver dari balik mantelnya. Namun, salah satu dari orang itu lebih dahulu melemparkan molotov ke arahnya. Kishiga menepi ke balik pagar dan merunduk. Botol itu menghantam pagar kayu di mana Kishiga bersembunyi, dan seketika itu pula api menyembur seperti muntahan yang menyala.

Kishiga melompat ke belakang, menghindari percikan minyak dan api. Kutabe dan Samebito yang menyaksikan itu pun segera merapat ke dinding pagar yang berseberangan dari Kishiga.

Kishiga memutar-mutarkan tangannya, mengisyaratkan supaya kedua pria itu mengitari pagar toko kain dan masuk melalui rute yang berbeda. Mereka harus memastikan Kapten Ōyama selamat. Kutabe dan Samebito langsung bergerak sesuai dengan instruksi tersebut.

Sementara itu, Kishiga beranjak dari posisinya dan mulai mengatur napas. Ia menimbang-nimbang keadaan. Ia memperhitungkan tindakan orang-orang yang berada di halaman. Mereka tidak akan bertindak ceroboh dengan menerobos keluar dari halaman depan, mengingat mereka sudah mengetahui bahwa Kishiga memegang senjata api. Jika mereka memilih untuk mengitari halaman, maka akan bertemu dengan Kutabe dan Samebito. Dengan begitu, besar kemungkinan mereka memilih untuk masuk ke dalam bangunan toko.

Kishiga menyelinap menuju pintu pagar dan mendorongnya, menunggu apabila itu mendapat respons yang agresif. Namun, tidak terjadi apa-apa. Ia pun menyisipkan diri di antara celah pintu yang terbuka sembari merapatkan punggungnya pada pintu tersebut dan bergerak masuk mengikuti arah engsel. Halaman itu kosong. Nyala api dari atap menerangi seisi halaman, sehingga tidak tampak tempat untuk bersembunyi.

Tiba-tiba terdengar suara tembakan berulang dari dalam bangunan.

Kishiga kesulitan menilai tembakan itu berasal dari pihak yang mana, sebab ia tidak mengetahui persenjataan yang dimiliki para penyerang, maupun milik Kutabe dan Samebito. Berbahaya jika ia menerobos masuk tanpa persiapan. Kendati begitu, ia memiliki sebuah keuntungan: ia sudah pernah memasuki bangunan itu dan menghafal setiap bagian ruangan yang dilalui.

Suatu denah kasar tergambar dalam ingatannya, meninggalkan beberapa petak gelap yang merepresentasikan bagian-bagian bangunan yang belum ia masuki. Kishiga mengambil napas, "Fuh!" lalu menghampiri pintu depan dan memutuskan aliran listrik. Seisi toko itu menjadi gelap gulita.

Kishiga menggeser pintu depan, menyusup masuk ke teras dalam, dan menyusuri koridor sempit yang menyambungkan ruangan-ruangan. Ia bergerak dengan lincah dan teliti, menggesekkan punggungnya pada dinding agar tidak kehilangan arah, tanpa menimbulkan suara apa pun. Setiap kali menemui ruang terbuka atau kelokan, ia terlebih dahulu melemparkan objek kecil dan menunggu reaksi. Sejauh ia menyusuri sepertiga bangunan tersebut, tidak ada tanda-tanda keberadaan lawan.

Akhirnya, ia tiba di lorong panjang yang mengarah ke bagian belakang. Kishiga merunduk di balik tembok dan mengintip. Cahaya dari luar menerangi sebagian kecil lorong tersebut melalui sepasang jendela di sisi kanan. Sementara itu, ujung lorong sepenuhnya diselimuti kegelapan. Apabila lawan bersembunyi di sana dan menunggu untuk menyerang, maka tidak ada ruang untuk berlindung. Ia akan menjadi sasaran empuk.

Lagi-lagi terdengar suara tembakan, tepat dari arah belakang bangunan. Kali ini Kishiga mengenali suara tembakan itu. Karakteristiknya tidak asing. Bunyi itu berasal dari selongsong yang sama dengan revolver yang ia gunakan.

Kapten Ōyama!

Suara tembakan lain membalas. Bunga api terpancar dari ujung lorong. Kishiga menyimpulkan bahwa kedua pihak yang saling berkonfrontasi itu adalah Kapten Ōyama dan orang-orang 'tak dikenal tadi. Dari percikan bunga-bunga api, ia melihat siluet beberapa orang dan arah gerakan mereka.

Kishiga mengambil kesempatan untuk menerobos maju. Ia bergegas sembari merunduk, moncong senjata mengarah tepat ke depan. Dengan berhati-hati ia menyapukan tangan pada dinding sebelah kiri, mencari pintu geser yang bisa dibuka dalam keadaan mendesak.

Tuk! Jarinya bersentuhan dengan bingkai pintu. Kishiga secepatnya menarik pintu tersebut. Di saat bersamaan, dari ujung lorong di depan sana, ia melihat sekelompok orang muncul. Salah satu dari mereka menyadari keberadaan Kishiga. Ia terkejut dan mengangakan mulutnya, hendak memperingatkan yang lain.

Namun, kali ini Kishiga bertindak lebih cepat. Ia menarik pelatuk. Letupan cordite memancar dari moncong revolvernya, disertai proyektil yang menerjang maju melebihi kecepatan suara. Pria itu terpukul mundur dengan kepala yang tersentak. Proyektil menembus keningnya, melemparkan cipratan darah ke segala penjuru.

Kishiga tidak berhenti dan melepaskan lima tembakan lagi, sebelum akhirnya menepi ke dalam ruangan. Orang-orang itu membalas tembakannya. Dinding dan bingkai kayu dihujani oleh peluru, menimbulkan serpihan-serpihan kasar yang beterbangan di udara. Kishiga membuang selongsong-selongsong kosong dari revolver dan memasukkan amunisi baru dari saku selempangnya.

Ia kembali menghampiri pintu untuk mengintip. Tiba-tiba, sebuah proyektil menerjang dan nyaris mengenai, apabila ia tidak cukup cepat untuk menarik kembali kepalanya. Kishiga mengulurkan tangan dan membalas dengan tembakan buta. Seseorang mengerang. Kishiga lagi-lagi mengintip.

Terdesak oleh serangan dari dua arah, para penyerang itu mulai menyulut botol-botol molotov pada rompi mereka. Mereka berniat membakar seisi bangunan dari dalam. Salah seorang dari mereka berlari mendekati kamar tempat Kishiga bersembunyi dan bersiap melemparkan molotov dalam genggamannya. Kishiga menembak paha pria tersebut sehingga terjatuh dan tersungkur tepat di depan pintu kamar. Pria itu tersungkur di depan Kishiga. Ia mendongak. Moncong revolver mengarah ke wajahnya, dan ....

Dam!

Kishiga segera mengalihkan bidikan ke ujung lorong serta melumpuhkan dua penyerang yang tersisa dengan beberapa tembakan. Keduanya tersentak hingga ke sudut lorong. Tubuh mereka menempel pada dinding, lalu perlahan merosot turun dan akhirnya terkapar di lantai. Genangan berwarna gelap merembes dari balik kemeja mereka, membasahi lantai.

Kishiga berjalan keluar dari kamar, menyusuri lorong, dan bergegas menghampiri ruang bawah tanah di mana Kapten Ōyama berada. Saat itu suasana menjadi semakin panas. Ia bisa mencium bau hangus dan mendengar bunyi gemeritik api. Kebakaran sudah menyebar di sepanjang atap bangunan "Sakiori".

Ketika mendekati palka menuju ruang bawah tanah, Kishiga berhenti dan berseru, "Ōyama! Ini aku, Kishiga."

Seseorang dari dalam sana menyahut dengan suara lirih. "... Kaukah itu?"

Kishiga melangkahkan kakinya menuruni undak-undakan. Begitu matanya terbiasa dengan kegelapan, ia melihat seseorang terduduk di dasar anak tangga. Napasnya sengal, diselingi oleh suara batuk yang tertahan.

"Ōyama." Kishiga merendahkan tubuhnya, merangkulkan lengan Kapten Ōyama, dan berusaha mengangkatnya. "Kita harus pergi dari sini."

Ia kesulitan membawa Kapten Ōyama melewati undak-undakan tersebut. Ia berulang kali nyaris terjatuh dan terhuyung-huyung. Saat itulah, terdengar bunyi langkah yang mendekat. Kishiga segera menurunkan Kapten Ōyama dan mengarahkan revolver ke arah datangnya suara.

Sepasang siluet muncul dari kegelapan. Ketika berkas-berkas cahaya menerpa keduanya, tampaklah bahwa itu adalah Kutabe dan Samebito. Kishiga bernapas lega. Ia menurunkan pistolnya. "Kemari! Cepat! Bantu aku membawa Ōyama!"

Kishiga merasakan bahunya lembap dan lengket. Bau yang menyengat pun tercium. Sesuatu yang amis. "Ōyama. Kau terluka?"

Kapten Ōyama tidak berkata apa-apa. Wajahnya nan pucat, basah karena keringat. Ia membuka mulut untuk berbicara, tetapi terhenti. Ia mengernyit sembari mengangkat tangannya dan meremas lengan mantel Kishiga. "... Kishiga. Dengarkan aku. Tadi ... Markas Pusat memberitahukanku tentang ini. Kapal-kapal perang Shūkoku ... telah menyerbu Ōsaka dan Okazaki. Jalur Tōkaidō sudah terputus. Cepat ... selamatkan para pelukis kain sutra. Bawa mereka melalui Nakasendō."

"Aku pasti melakukannya. Bertahanlah, Ōyama! Kami akan membawamu keluar dari sini."

Kapten Ōyama mengeratkan genggamannya. Ia menggelengkan kepala berulang kali. "Tidak ada waktu lagi."

"Berhentilah berbicara." Kishiga melepaskan genggaman tangan Kapten Ōyama dan meletakannya pada luka yang merembes di dada Sang Kapten. "Tekan! Kau harus bertahan."

Kutabe dan Samebito menolong Kapten Ōyama membebat lukanya dengan sehelai kain. Kemudian, mereka membantunya berdiri dan menaiki anak tangga. Kishiga mendahului mereka untuk memastikan keadaan. Mereka berjalan melewati mayat-mayat yang berserakan di lantai, menyusuri koridor nan gelap, dan keluar melalui pintu depan.

Namun, ketika mereka baru saja keluar dari halaman, Kutabe memanggil. "Kapten Kishiga." Kutabe merasakan tubuh Kapten Ōyama menjadi semakin berat.

Mereka menurunkan Sang Kapten dan menyandarkannya pada sisi tembok. Samebito meletakkan jemarinya di bawah lubang hidung Sang Kapten, lalu memeriksa nadi di lehernya. Dengan wajah yang dipenuhi kepahitan, ia menatap Kishiga dan Kutabe bergantian.

Kapten Ōyama terkulai. Kulitnya pun berwarna putih dan memancarkan kehampaan, nyaris seperti kristal yang membeku.

Kishiga berlutut dan membungkuk. Tangannya menyingkap mantel Kapten Ōyama. Telunjuk dan jari tengahnya terselip ke balik rompi Sang Kapten yang berwarna hijau tua, meraba bagian rusuk dengan perlahan. Jemari Kishiga berhenti. Ia mengeluarkan sesuatu yang menyerupai lonceng kecil berwarna keemasan, lalu menyimpannya dalam saku mantelnya sendiri.

Dengan lembut ia mengusap pelupuk mata Kapten Ōyama, menutupnya sambil berkata, "Beristirahatlah."


——— Ω ———

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top