06. KYOTO



天省22 10 13
13 Oktober, Tahun ke-22 Tenshō. 1915.

——————————




MENJELANG SORE HARI, kereta tersebut mencapai Provinsi Tōtōmi. Gunung Fuji menjulang di kejauhan dengan puncak yang dipenuhi salju putih, bagaikan sapuan awan yang bergayut karena kegagahannya.

Perhentian selanjutnya adalah Stasiun Hamamatsu yang berbatasan dengan Sungai Tenryū. Salah satu kota stasiun tersibuk, sekaligus benteng terbesar di Shizuoka. Pintu gerbang stasiun terbuka dan jembatan penghubung rel perlahan turun, lalu terpasang rapat beberapa menit sebelum kereta tersebut melintas di atasnya dan memasuki tembok pertahanan Hamamatsu. Sekelompok prajurit garnisun berjaga di sekitar stasiun.

Kereta pun melambat, kemudian berhenti di sisi peron yang penuh sesak. Para penumpang turun dan masuk secara bergantian, menyerupai ritme ombak yang pasang dan lalu surut.

Untuk menghibur para penumpang selama perjalanan panjang yang melelahkan, petugas kereta secara rutin menyetel lagu-lagu yang disiarkan melalui pengeras suara di seluruh gerbong kereta. Sebagian besar adalah lagu-lagu enka populer, diselingi dengan siaran iklan singkat yang mempromosikan kota-kota stasiun di sepanjang Jalur Rel Tōkaidō. Petugas kereta menyetel fonograf yang berada di pusat informasi di Gerbong 01, yang kemudian disalurkan melalui jaringan kabel yang terpasang hingga ke seluruh gerbong kelas bisnis. Sedangkan, gerbong kelas eksekutif masing-masing memiliki fonograf dan koleksi piringan hitamnya tersendiri, meliputi musik dan drama kontemporer.

Kishiga membenamkan tubuhnya ke dalam kursi busa yang terasa agak keras, berusaha menemukan suasana yang membuatnya nyaman. Kishiga mengamati arloji di lengannya, kemudian melirik ke samping pada Letnan Sadayuki yang terlelap dengan tenang. Wajah pemuda itu senantiasa dingin, bahkan dalam tidur, menyerupai ukiran patung yang 'tak mengenal ekspresi.

Saat itu, hampir semua penumpang di dalam gerbong tersebut tertidur. Samar-samar hanya terdengar percakapan dari beberapa barisan di depan. Irama saksofon dan gitar mengalun dari pengeras suara yang berada di dalam gerbong, mengiringi nyanyian seorang vokalis wanita.

Kishiga membayangkan Kyoto dan segala hiruk pikuk di dalamnya. Para pelukis kain sutra dari Izumo sudah tiba di sana, beberapa jam lebih dahulu. Mereka membaur di antara orang-orang, menunggu Regu Kishiga menjemput dan membawa mereka ke Edo. Kemudian, Dinasti Domugi akan terbebas dari krisis yang ditimbulkan oleh iblis-iblis Gaki.

"... Jika semua berjalan sesuai rencana, maka misi ini akan berlangsung tanpa halangan yang berarti."

Perkataan yang diucapkan Mayor Kawanishi ketika pertemuan di Asakusa terasa hampa, terdengar setengah berkhayal. Kishiga dengan sepenuhnya sadar, bahwa Jenderal Nagayama tidak akan mengontak dirinya jika pihak mereka yakin semua akan berjalan sesuai rencana.

Kishiga memejamkan mata, kemudian berpaling kepada jendela dan meletakkan tangan sebagai tumpuan pipinya. Selama beberapa kali ia berdesah dalam. Ia pun membuka mata, mengamati padatnya peron stasiun. Saat itulah, sekonyong-konyong, ia mendapati seseorang di antara kerumunan. Seseorang yang dikenalnya.

Kishiga terperangah. Ia tersentak dan menegakkan tubuh.

".... Ryoko."

Di antara lautan manusia yang berkeriapan, pergi dan datang, hanya ada satu orang yang berdiri dan menatap tepat kepada Kishiga. Seorang wanita. Ia senantiasa bergeming, tidak terusik oleh orang-orang yang bergerak di sekeliling. Angin menyapu rambutnya dengan perlahan.

Seketika itu pula, Kapten Kishiga merasakan pusing. Semua yang terlihat olehnya mulai meliuk-liuk, seperti diliputi oleh riak raksasa, sebelum akhirnya lumat dalam sebuah pusaran. Sang Kapten mengerenyit dan memegangi kepalanya, menekan pelipis dengan jemarinya untuk memutus rasa sakit.

"Tidak!" gumamnya dengan menggeram. "Jangan lagi."

Ketika nyeri yang menggerogoti kepalanya mereda, Kishiga kembali membuka mata. Wanita itu sudah tidak berada di sana. Kishiga pun menjatuhkan diri di sandaran kursi, mengembuskan napas yang berat berulang kali. Bulir-bulir keringat memenuhi kening dan lehernya.

Jangan lagi.

Perasaan terusik berlabuh dalam perasaan Kishiga, menyelimuti tubuhnya mulai dari dada. Setiap kali ia berhalusinasi tentang Ryoko, sesuatu yang buruk pasti akan terjadi. Seolah-olah keberadaan wanita itu merupakan pertanda suatu malapetaka. Kishiga berusaha mengikis pikiran itu. Semua berasal dari pikiran dan kegelisahannya sendiri. Tidak ada hubungannya dengan sosok wanita tersebut. Seseorang yang sudah mati tidak ada hubungannya lagi dengan dunia ini.

Kishiga merasakan sentuhan di bahunya dan segera menoleh dengan terburu-buru. Sadayuki menatapnya tanpa mengucapkan apa pun, seakan bertanya, "Anda baik-baik saja?"

Sang Kapten menggeleng, kemudian menatap tangan yang berada di bahunya itu, meminta agar disingkirkan darinya. Sadayuki melepaskan tangannya dari bahu Kishiga.

Gerbong menjadi sunyi sepi. Percakapan yang tadi terdengar, kini menjadi surut. Yang tersisa hanya suara vokalis wanita yang menyanyikan sebuah lagu sendu.

"... Meskipun hidup dan mati berdekatan, dan senja menjelma menjadi malam, matahari tenggelam masih memberiku kehangatan."

Tidak lama kemudian, lokomotif kembali berbunyi dan kereta mulai berjalan. Pemandangan keramaian stasiun pun berlalu, digantikan oleh lautan beton dan jalan-jalan raya yang berkelak-kelok. Bayangan dari dinding pertahanan Hamamatsu menaungi kereta tersebut, sehingga suasana menjadi sedikit redup.


***



DUA JAM KEMUDIAN, kereta meluncur melewati Kota Kusatsu, meninggalkan Provinsi Ōmi, dan memasuki wilayah Kyoto—kota terpenting kedua setelah Edo. Tembok yang mengelilinginya menjulang begitu tinggi, jauh melebihi dinding pertahanan kota-kota yang mereka lalui di sepanjang Jalur Rel Tōkaidō.

Selain dinding pertahanan yang megah, penjagaan garnisun yang ketat, dan lalu lintas yang padat, Kyoto memiliki ciri khas yang tidak dimiliki kota lain, yaitu sistem transportasi trem layang yang meliputi seluruh bagian kota tersebut. Stasiun-stasiun terpasang di wilayah strategis, saling tersambung dengan jaringan kabel listrik yang dilalui oleh gerbong-gerbong trem layang, melintasi langit Kota Kyoto.

Terkadang pemandangan trem yang berlalu-lalang di atas kota membuat Kyoto tampak menyerupai sebuah taman bermain raksasa. Ketika malam hari, gemerlap cahaya dari trem-trem layang itu mengalahkan kemegahan bulan purnama. Namun, beberapa stasiun hanya dapat diakses untuk kepentingan militer, dengan tujuan mencegah intervensi publik dalam keadaan tertentu.

Kereta yang ditumpangi Kishiga menurunkan kecepatannya begitu memasuki peron Stasiun Kyoto, di barisan tengah di antara rel-rel yang berjajar. Bunyi mendesis ketika rem kereta diaktifkan, menyemburkan gumpalan uap panas berwarna putih dari roda lokomotif. Kishiga mengetuk lutut Sadayuki. Letnan itu terbangun dan menegakkan duduknya.

Para penumpang berdiri, menurunkan barang-barang bawaan dari bagasi panjang yang berada di atas tempat duduk mereka. Beberapa orang terdorong ke depan dan berusaha menyeimbangkan tubuhnya yang oleng, ketika kereta itu melambat dengan gaya yang terkesan sedikit dramatis, sebelum akhirnya berhenti total. Para penumpang berjalan ke kedua sisi gerbong, saling memisahkan diri dengan sendirinya, lalu tumpah ruah memenuhi stasiun. Kishiga dan Sadayuki berjalan di antara orang-orang yang berdesak-desakan.

Sesuatu yang membuat Kishiga takjub, setiap kali ia memikirkannya, adalah meskipun dalam jarak yang demikian sempit dan situasi yang dipenuhi ketidakpastian, orang-orang bergerak tanpa saling bertubrukkan satu sama lain. Sebuah sistem yang kompleks di mana sekumpulan orang membaur menjadi satu, tetapi di saat bersamaan mempertahankan individualitasnya.

Kishiga meninggalkan Stasiun Kyoto dan berpisah dari Sadayuki. Ia menaiki sebuah trem yang membawanya melewati Distrik Shimogyō, menyusupi keramaian Kyoto menuju ke utara. Trem itu penuh sesak, sehingga Kishiga memutuskan untuk menumpang di buritan terbuka dan bersandar pada pagar pengaman. Angin malam menyapu wajahnya dari berbagai sisi.

Gerbong-gerbong layang yang melintas di langit Kota Kyoto tampak seperti gugusan bintang yang mengorbit, bergerak dari satu stasiun menuju stasiun lainnya. Kabel-kabel lintasan menyatu dalam kegelapan malam, hanya menyisakan kerlap beragam warna yang berasal gerbong-gerbong tersebut. Kyoto tampak seperti suatu dunia fantasi.

Sewaktu melewati Distrik Nakagyō, Kishiga mengalihkan pandangnya ke sebelah barat jalan raya. Sebuah gerbang yang besar kokoh bergaya tradisional tampak mencolok di antara bangunan-bangunan modern yang terbuat dari batu bata. Sebuah gerbang berwarna putih—arsitektur nagayamon, yang dinaungi atap lengkung—tersambung dengan pagar batu yang membentang jauh.

Gerbang Kastil Nijō, yang akan menjadi tempat diadakannya Perundingan Damai antara Dinasti Domugi dan Kaum Shūkoku.

Prajurit-prajurit berbaris di sekitar gerbang, membentuk formasi penjagaan ketat. Pagar-pagar pembatas didirikan di sekitar trotoar agar tidak dilewati oleh publik. Sepasang pataka besar tergantung pada kedua sisi gerbang tersebut, masing-masing memperlihatkan lambang tumbuhan ilalang dan naga—Dinasti Domugi dan Kaum Shūkoku.



Trem itu terus bergerak hingga kawasan Kastil Nijō menghilang dari pandangan.

Kendaraan itu menurunkan kecepatannya ketika berada di Distrik Kamigyō. Di kejauhan, di antara bangunan-bangunan kayu yang diterangi cahaya redup, Kishiga melihat sebuah kuil tua. Dengan berhati-hati, ia turun dan menjejakkan kakinya di aspal kasar. Di hadapannya terbentang sebuah kawasan terbengkalai. Suasana yang lembap dan gelap mengalir bersama udara malam. Lampu-lampu yang tergantung di plafon pertokoan tua memancarkan penerangan yang pucat. Kishiga mengayunkan langkahnya menyusuri jalan sempit dan suram.

Suara sol sepatunya meninggalkan jejak gema yang pelan, seakan-akan meninggalkan riak kecil di udara. Ia melewati sebuah gerbang torii berwarna cokelat tua yang dipenuhi dengan guratan kasar, memasuki area kuil tua yang dilihatnya tadi. Sepasang mobil sedan berwarna cokelat terparkir di halaman kuil. Di antara kegelapan yang melingkupi tempat itu, Kishiga menyadari kehadiran orang-orang selain dirinya.

Melihat kedatangan Kishiga, dari kejauhan Kapten Ōyama melambaikan tangan. Sadayuki beranjak dari tempatnya. Beberapa orang yang lain menganggukkan kepala kepada Kishiga. Seluruh anggota Regu Kishiga berkumpul di tempat itu.

"Kedatangan yang dramatis sekali," ucap Kapten Ōyama dengan nada bicaranya yang ringan. "Kau sengaja mengambil jalur terjauh supaya muncul belakangan?"

Tentu saja hal seperti itu tidak pernah terpikirkan oleh Kishiga. Semua murni kebetulan. Ia menghitung seluruh anggota regu. Ada satu orang tambahan.

"Perkenalkan." Kapten Ōyama mendekat, sebelum akhirnya berhenti tepat di tengah-tengah Kishiga dan orang tersebut. "Kutabe. Dialah yang akan memandu kita selama di Kyoto."

Kutabe melepaskan topi fedoranya dan membungkukkan tubuh dengan sopan. "Kuharap Anda menikmati perjalanan ke Kyoto."

Kishiga tidak mengacuhkan basa-basi itu. "Bagaimana dengan para pelukis kain sutra?"

"Mereka sudah menunggu kedatangan kalian. Keberangkatan sudah diatur untuk besok pagi, melalui Tōkaidō."

"Aku ingin menemui mereka malam ini juga."

Kutabe menggelengkan kepalanya. "Maaf, Kapten. Itu tidak bisa."

"Apa alasannya?"

"Kami berusaha sebaik mungkin menyembunyikan keberadaan para pelukis sutra. Kedatangan sekumpulan orang asing ke 'tempat itu' di malam hari, tepat sebelum Perundingan Damai diselenggarakan, tampaknya akan menuai kecurigaan dari pihak yang tidak semestinya tahu."

Kishiga memandang Kapten Ōyama, kemudian kepada anggota-anggota regunya. "Cukup aku sendiri."

Sekali lagi, Kutabe menggeleng. Sebuah tanggapan yang membuat raut wajah Kishiga berubah keras. Kejengkelan tersapu jelas pada tatapannya.

"Kau bermaksud mempersulit tugasku?" Nada yang keluar dari sela-sela bibir Kishiga terdengar dingin. Menusuk seperti angin musim gugur. Ia menghunjamkan tatapannya sedalam mungkin, menembus pupil Kutabe.

"Tampaknya ada kesalahpahaman di sini, Kapten Kishiga." Kutabe tetap terlihat tenang. "Anda salah menilai situasi, Kapten. Meskipun Jenderal Nagayama memintaku untuk memandu kalian dalam misi ini, bukan berarti serta-merta aku menjadi bawahanmu. Aku tidak berada di bawah perintahmu. Aku yang mengatur segalanya di sini."

Dahan-dahan pohon diterpa angin malam yang berembus. Dedaunan bergemerisik. Atmosfer terasa menjadi berat ketika kesunyian melintas di antara mereka.

"Semua keputusan ada dalam pertimbanganku, dan kuharap Anda sepenuhnya mengerti tentang itu." Kutabe mengenakan kembali topi fedoranya dan berjalan menghampiri mobil yang terparkir di kanan.

Kishiga berdesah pelan. Ia melemaskan ketegangan yang memenuhi otot wajahnya. "Baik. Aku mengerti."

"Bagus! Sekarang, ...." Kutabe membukakan pintu penumpang yang berada di belakang. "... kita langsung menuju ke penginapan. Silakan masuk, Kapten. Buat dirimu senyaman mungkin."


——— Ω ———

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top