02. DEEMED FOR FUTILITY


KESUNYIAN YANG DIPENUHI KETEGANGAN pun pecah, ketika terdengar seruan yang berkata, "Ada pergerakan dari arah Shinkōji!"

Kishiga segera menempelkan teropongnya, menilik melalui kedua lensanya. Sesuatu bergerak-gerak di kejauhan, tepat di antara celah gunung dari arah datangnya Regu Sasaki tadi. Mereka bergerak cepat melalui celah gunung yang sempit. Mereka menuruni lereng dan menyusuri padang rumput kering. Rerumputan terombang-ambing bagaikan ombak berwarna kecokelatan ketika "sesuatu" tersebut merayap melintasinya. Bunyi kerpas bermeresik hebat bersama tiupan angin musim gugur.

Para penyerbu itu mendekat hingga lama-kelamaan tampak semakin jelas. Mereka bertubuh abu-abu pucat, berlumur lendir yang terlihat mengilap bermandikan sinar matahari. Dengan kecepatan yang mengerikan, mereka tergesa-gesa menghampiri dinding pertahanan Nagano.

Sewaktu mereka sudah nyaris mencapai tembok pertahanan, kira-kira tinggal beberapa puluh meter saja, sebuah ledakan tiba-tiba menyembur dari tanah. Tepat setelah itu, serangkaian ledakan lain bermunculan di berbagai tempat. Serpihan fragmentasi terpancar ke segala arah, mencabik-cabik tubuh para penyerbu tersebut.

"Ranjau-ranjau itu berhasil meredam serbuan!" seru pengawas yang berdiri bersama Kishiga dengan sebuah senyum mengembang di wajahnya. Tanpa melepaskan matanya dari lensa teropong, ia terus melaporkan situasi di kejauhan, berusaha memicu semangat tempur orang-orang yang mendengarnya.

"Makhluk-makhluk itu terlempar layaknya potongan daging sisa. Mereka terus berguguran. Laju serbuan semakin melambat!"

Di sisi lain, Kishiga tetap terdiam dengan mulut yang terkatup rapat. Kenyataan bahwa kecemasan yang ia rasakan sejak semula masih saja menggenangi perasaannya. Selama beberapa hari belakangan, ia memeras otaknya untuk menemukan taktik terbaik yang paling mungkin dilakukan.

Menggunakan seluruh sumber daya yang tersisa, pasukan di Nagano telah merakit ranjau sebanyak mungkin dan kemudian menempatkannya hampir di setiap celah yang mungkin dilalui oleh makhluk-makhluk itu. Mereka juga telah mengosongkan gudang persenjataan untuk menyusun berbagai perangkap. Sayangnya, ini bukan pertempuran biasa. Ada beberapa alasan yang membuat kegelisahan Kishiga sangat berdasar.

Pertama-tama, mereka kalah jumlah dengan perbandingan yang sangat besar. Setelah memikirkannya dengan saksama, Kishiga menaksir rasionya 1 : 10, bahkan lebih.

Yang kedua, lawan mereka kali ini adalah penyerbu jarak dekat yang sangat buas. Terlepas dari kenyataan bahwa setiap prajurit pertahanan terlatih dalam berbagai teknik pertahanan dan pertarungan, refleks dan kekuatan makhluk yang mereka hadapi ini berada di level yang sungguh-sungguh berbeda.

Kecil kemungkinan untuk menang apabila harus berhadapan dalam pertarungan jarak dekat, kecuali jika makhluk-makhluk itu terlebih dahulu berhasil dilemahkan. Sering kali para prajurit lebih memilih taktik serangan jarak jauh atau penghancuran masal. Namun, ketika makhluk-makhluk ini berhasil lolos dari bidikan dan memperpendek jarak jangkauan serangan, maka konsekuensi kematiannya nyaris 100%.

Yang ketiga, sesuatu yang mereka hadapi kali ini tidak mengenal lelah maupun takut. Makhluk-makhluk yang tidak akan berhenti mengejar mangsanya sampai mati. Makhluk-makhluk yang disebut dengan nama Gaki (餓鬼, "Hungry Demon").

Sebaliknya, seluruh prajurit pertahanan sudah kelelahan. Mereka sudah hampir mencapai batas kemampuan fisik mereka. Ketimpangan ini otomatis berdampak besar pada situasi pertempuran. Kishiga berharap dengan awalan yang baik ini ia bisa memenangkan kembali semangat tempur para prajurit. Setidaknya, mereka harus bertahan hingga regu artileri menuntaskan misinya, lalu menggunakan kesempatan yang tersisa untuk mengungsi dari Nagano.

Begitu asap-asap sisa ledakan telah memudar, para Gaki kembali bermunculan dari padang rumput. Serbuan mereka tampak tidak mengendur. Mereka terus berdatangan dengan mobilitasnya yang mengerikan, benar-benar tidak terusik dengan ancaman ranjau atau perangkap yang terpasang di jalur yang mereka tuju. Tidak butuh waktu lama hingga mereka mendekati gerbang yang terbuka.

Kishiga mulai menjalankan taktik selanjutnya. Ia mengamati dari balik persembunyian, lalu memberi aba-aba kepada Kapten Sasaki. "Sekarang!"

Regu Sasaki pun memacu kuda-kuda mereka, seketika bergerak ketika segerombolan Gaki berhasil masuk melewati gerbang. Mereka segera mengejar Regu Sasaki, yang memelesat melintasi lapangan tengah. Regu Sasaki memecah diri menjadi beberapa formasi terpisah dan meluncur melewati gang-gang sempit di antara bangunan, memaksa para pengejar mereka untuk ikut berpencar.

Mereka memancing iblis-iblis itu memasuki kawasan padat yang menyerupai labirin. Regu Sasaki, terdiri dari pasukan kavaleri elite, mampu bergerak secara solid sembari mempertahankan manuver mereka meskipun dalam medan yang menyulitkan, sementara para pengejar mereka kebingungan dan melambat. Iblis-iblis yang kehilangan arah dalam labirin lantas berputar-putar mencari jejak mereka.

Itulah momen yang telah dinanti-nantikan. Kapten Sasaki memberi isyarat dengan menembakkan cahaya suar ke udara.

Kapten Kishiga melihat sinyal tersebut, segera membuka mulutnya meneriakan, "Sekarang, regu penembak!"

Para prajurit yang bersiap di atas bubungan pun keluar dari persembunyian mereka dan menghujani iblis-iblis itu dengan serbuan tembakan. Senapan-senapan berdentum dan melontarkan proyektil secara bergantian. Selagi satu regu mengokang, regu yang lain menembak, dan begitu seterusnya, hingga menciptakan rentetan tembakan yang menyerupai sebuah simfoni.

Satu demi satu, para Gaki berguguran. Aroma cordite dari selongsong kosong memenuhi udara. Tercium seperti bakaran sekam kayu dan grafit. Asap pun membubung bersama kabut pagi.

Taktik itu berhasil memecah serbuan Gaki, tetapi gerombolang yang lain terus berdatangan melalui pintu gerbang yang terbuka. Regu Sasaki yang telah kembali menuju lapangan tengah pun memancing mereka menuju gang di arah yang berbeda. Regu penembak berusaha menghabisi mereka sebelum gerombolan yang lain bermunculan. Taktik isolasi milik Kishiga pada awalnya tampak berbuah manis. Semangat tempur para prajurit meningkat, terasa dari atmosfer yang menyelimuti dan raut wajah mereka.

Namun, lama-kelamaan mereka kehilangan ritme serangan. Mereka kewalahan menghadapi gelombang serangan yang semakin 'tak terbendung. Sebelum regu penembak berhasil membunuh para Gaki yang terperangkap, gerombolan yang lain telah berdatangan.

Iblis-iblis Gaki yang terperangkap di tempat itu pun menyadari keberadaan para penembak, lalu mulai memanjat tembok bangunan-bangunan, memaksa regu penembak untuk berulang kali berpindah tempat. Beberapa prajurit yang malang bahkan tertangkap, lantas terbunuh akibat serangan balasan Gaki. Situasi mulai berbalik secara dramatis.

Menyadari bahwa mereka mulai kehilangan kendali serangan, Kishiga segera mengambil tindakan. Ia mengulurkan tangannya kepada Sadayuki dan mengayunkannya membentuk suatu isyarat.

Letnan muda itu segera mengoperkan sebuah granat tangan. Kishiga menyulut sumbunya dengan sisa puntung rokok yang tersemat di bibir.

"Mundur! Ikuti aku!"

Kishiga berlari melintasi papan-papan kayu yang membentang di atap-atap bangunan sambil membawa granat dalam genggamannya. Prajurit-prajurit yang bersamanya menyusul di belakang. Di bawah, tampak gang-gang sempit yang mulai penuh akibat para Gaki yang terperangkap dan saling berdesak-desakan. Sembari bergegas mundur, prajurit-prajurit melempari mereka dengan granat.

Bunyi ledakan sambut menyambut. Seisi kawasan pertahanan itu bergemuruh. Pijakan mereka bergetar dan suara berderak seolah-olah merobek tanah. Kishiga dan para prajurit pertahanan terus berlari hingga mereka tiba di dinding pertahanan kedua.

Memusatkan pertahanan di garis depan saja tidak mungkin bisa menahan serbuan Gaki. Terlebih lagi, tujuan mereka adalah mengulur waktu. Oleh sebab itu, Kapten Kishiga membagi pertahanan menjadi berlapis-lapis untuk melakukan perlawanan secara bertahap. Saat itu matahari semakin meninggi dan debu yang bertebaran menyelubungi seisi kota menggantikan kabut pagi.

Segerombolan besar Gaki mendobrak pintu gerbang menuju dinding pertahanan kedua. Daun pintu yang besar dan berat itu terempas, menganga dengan lebar. Para Gaki menerobos masuk. Selain melalui lubang gerbang yang terbuka, iblis-iblis itu juga bermunculan dari balik dinding tembok dan menerjang turun. Mereka melanda garis pertahanan seperti banjir yang tidak terhadang.

Pertempuran mulai bergerak menuju hasil yang sudah dikhawatirkan. Kishiga telah kehabisan taktik, kecuali cara yang paling konvensional: melawan balik dengan segenap tenaga.

Pasukan pertahanan semakin terdesak. Teritori pertahanan semakin tipis dan gelombang perlawanan mereka menjadi semakin lemah. Terlalu banyak pasukan yang berguguran, sementara serbuan Gaki terus berdatangan dan melingkupi mereka seperti badai.

Di antara hiruk pikuk yang membubung tinggi, Kishiga menyadari sesuatu.

"Seharusnya di waktu seperti ini, regu artileri yang mengitari gunung sudah menutup jalur-jalur di Asakawa dan Shinkōji, tetapi sejak tadi tidak ada suara tembakan meriam. Apa yang mereka lakukan? Kami tidak mampu mengulur waktu lebih lama lagi."

Seketika, sesuatu menyentak pikirannya. Ia memutar memori dengan cepat dan akhirnya menyadari ada yang salah. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya, menuruni wajahnya hingga membasahi leher. Genggaman tangan Kishiga terasa kaku.

Seseorang telah berkhianat.

Tanpa membuang waktu, Kishiga segera menghampiri dinding blokade dan berseru "Sadayuki! Sadayuki!" seperti orang yang kesetanan. Letnan muda itu mendengarnya, lantas melompat turun dan menghampiri Sang Kapten sembari mengelap debu tanah yang membuat wajahnya menghitam.

"Sadayuki, kita harus pergi dari sini! Ini perangkap! Kita tidak ditugaskan untuk mengulur waktu; sejak semula kita diperuntukkan sebagai umpan. Tidak ada regu bantuan dan tidak ada bombardir dari regu artileri."

Letnan Sadayuki terdiam sejenak. Ia tertegun.  Ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya merangkak keluar, seolah-olah merangkul dan membelit sekujur tubuhnya serta berkata, "Sudah kukatakan, ini adalah pertempuran yang sia-sia. Matilah kalian di sini!"

Namun, Sadayuki mengeratkan rahangnya. Ia harus fokus. Ia menghadapkan wajahnya menatap Sang Kapten yang masih berbicara padanya.

"Pergilah, beritahu Mikazuki! Dia tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini!" Kishiga menyentak Sadayuki. "Aku akan mengumpulkan anggota regu yang lain."

Keduanya pun berpencar ke arah yang berbeda. Kishiga berlari menerobos medan tempur yang dipenuhi dengan kekacauan. Debu dan asap menyelimuti dari berbagai arah, membuat jarak pandang menjadi sangat terbatas. Kishiga baru saja tersadar, bahwa pertempuran ini berada di sebuah titik antara kebenaran dan kebohongan. Ia harus bertindak cepat sebelum keadaan menjadi semakin gawat.

Kishiga memasuki distrik yang berada di sebelah barat. Namun, begitu ia tiba di sana, tempat itu sudah dipenuhi oleh segerombolan iblis Gaki yang mendesak dari berbagai penjuru. Dengan hancurnya blokade di distrik itu, formasi para prajurit garnisun terpencar dalam keadaan yang kacau balau.

Seluruh pasukan yang tersisa melarikan diri tanpa tentu arah. Kishiga sendiri terjebak di antara kekacauan itu. Kishiga membidik dan menarik pelatuk ke berbagai arah. Sudah tidak bisa diperhitungkan berapa amunisi yang tersisa di sakunya. Tarikan napasnya semakin berat. Dadanya sesak. Aliran darah dalam badannya seolah-olah membeku. Ia bergerak, sekadar untuk bergerak. Ia menembak, sekadar untuk menembak.

Iblis-iblis Gaki terus berdatangan dan membunuh siapa saja yang mereka temui. Jauh di dalam hatinya, Kishiga mengakui bahwa pertempuran telah benar-benar berakhir. Yang terjadi saat ini hanyalah pembantaian.

Dalam situasi genting itu, tiba-tiba saja senapannya macet. Panas yang terakumulasi dari tembakan-tembakan tanpa henti membuat rangka senapan memuai, sehingga selongsongnya tersangkut di dalam. Kishiga berusaha mengeluarkan selongsong itu dengan berulang kali menarik kokang.

Di saat bersamaan, seekor Gaki telah mengincarnya dari kejauhan. Makhluk itu melompat dari atap bangunan yang satu ke atap bangunan lain, lalu melompat turun hingga mendarat di tanah. Ia berlari bagaikan seekor banteng gila, berkelit melalui mayat-mayat yang bergelimpangan, dan seketika menerkam dengan kecepatan yang mencengangkan. Dalam rentang waktu yang begitu sekejap, ia sudah mendekati Kishiga. Mereka pun berhadapan muka–dengan–muka.

Refleks membuat Kishiga memukulkan popor senapan pada Gaki itu, tetapi ia kalah kuat dan justru terpental ke tanah. Kishiga segera bangkit dan membuang senapannya, lalu menghela jūseiba (銃セイバー, "Gun Saber") yang tersemat di pinggang. Sebilah pedang melengkung yang dilengkapi revolver pada pegangannya.

Gaki itu mendesis, lalu kembali merayap ke arah Kishiga. Ia bergerak dalam pola zig-zag, berbelok dengan lincah tanpa perlu mengurangi kecepatan. Kishiga membidikkan jūseiba dan menarik pelatuk berulang kali. Gaki itu mengelak kian kemari, kemudian melompat ke udara. Kishiga menantikan momen tersebut. Selincah apa pun geraknya ketika masih berpijak di tanah, sewaktu berada di tengah-tengah udara Gaki itu tidak mungkin mengubah arahnya.

Kishiga menembak bahu iblis itu. Hantaman proyektil membuatnya kehilangan keseimbangan. Memanfaatkan momentum, Kishiga menerjang maju sembari merunduk, hingga ia berada tepat di bawah Gaki. Ia mengayunkan jūseiba, menebas tepat di bagian perut. Lendir tebal tumpah ruah dari luka sayatan yang menganga, memencar ke segala arah.

Dengan disertai suara berdebum yang nyaring, iblis Gaki itu mendarat di tanah sambil menggelepar liar. Tubuhnya pun berhenti bergerak, seketika menjadi kaku. Warna kulitnya berangsur menggelap, dari biru menjadi kehitaman. Kemudian sekujur tubuhnya terurai, berubah menjadi serpihan sekam yang diembuskan angin.

Kishiga sendiri telah kepayahan, dengan ritme napas yang 'tak beraturan. Penglihatannya berbayang, disertai pendengaran yang semakin tumpul. Ia tertunduk, lalu bertekuk lutut. Satu tebasan itu sungguh-sungguh menguras energi yang tersisa.

Debu dan bunyi raungan melingkupi dari berbagai penjuru. Kengerian membahana. Kishiga tiba-tiba mendengar suara derap yang mendekat. Ia segera berbalik, tetapi terlambat. Seekor Gaki menerjangnya dengan kekuatan yang luar biasa, sehingga ia terlempar. Tubuh Kishiga terguling sejauh beberapa meter, sementara jūseiba terlepas dari genggamannya.

Seolah-olah tidak ingin membuang kesempatan, makhluk itu segera menahan lengan kiri Kishiga dengan kukunya yang hitam. Kishiga berusaha menggerakkan lengan kanannya untuk meraih bayonet di pinggang.

Gaki itu mendesis, lalu terdengar suara sesuatu yang bergejolak dari lehernya. Sesuatu di dalam lehernya berdenyut-denyut dengan liar dan mengerikan. Dia pun membuka mulut, dari mana keluar sebuah belalai yang menyerupai tentakel, penuh oleh lendir yang terciprat ke segala arah. Cairan kental meleleh dari moncong Gaki itu.

Kishiga mengelakkan wajahnya agar tidak terkena tetesan lendir. "Sial!"

Kishiga menggeram, berteriak, dan mengerahkan otot-ototnya hingga pembuluh darah di dalam tubuhnya nyaris meledak. Namun, Gaki itu menghunjamkan kukunya semakin dalam hingga menembus kulit lengan Kishiga. Permukaan kuku yang bergerigi seperti mata gergaji, menyayat serat-serat daging.

Belalai dari dalam mulutnya mulai menggeliat. Itu terlihat mengerikan.

Iblis Gaki itu bersiap menembakkan belalainya tepat pada kening Kishiga.

"Ah, beginikah akhirnya bagiku?"


——— Ω ———

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top