01. GAKIDŌ



By an increase in anger, warfare arises. By an increase of greed, famine arises. By an increase of stupidity, pestilence arises. Because these three calamities occur, the people's earthly desires grow all the more intense, and their false views thrive and multiply.

— Nichiren Daishonin —






GAKIDŌ (餓鬼道)
Ghoul's Realm

———————————————




"KAPTEN KISHIGA."

Kapten Kishiga menoleh, menatap seorang prajurit yang baru saja menaiki anak tangga dan berjalan mendekat. Ia mengeluarkan sekaleng kecil rokok dari saku mantelnya, lalu menyodorkannya. Kapten Kishiga mengambil sebatang, lalu menyulutnya dengan pemantik api.

Sewaktu mengisap rokok itu, Kishiga merasakan sensasi yang tajam dan pedas. Menyerupai sensasi bakaran dari segenggam daun kering yang digulung dengan karet, diikuti oleh masam yang agak mengusik di akhir. Nicotine rush mengalir memompa kesadarannya, seolah-olah ada energi yang menguap keluar dan menyentak dari dalam.

Prajurit itu melirik pada Sang Kapten, yang tampaknya tidak akan mengucapkan apa-apa. Oleh sebab itu, ia pun memulai pembicaraan.

"Sebentar lagi musim dingin."

Namun, Kishiga tetap diam. Sang Kapten justru memandang jauh ke depan. Pikirannya terbang menjauh bersama dengan tatapan itu. Ia mengembuskan segumpal asap. Angin musim gugur melintas dan menerbangkannya.

"... Dan kita tahu itu bukan pertanda baik. Kita harus sampai di Edo sebelum musim dingin, Kapten," ungkap prajurit itu sedikit mendesak.

"Aku tahu itu, Sadayuki."

"Kita tidak bisa terus berada di Nagano. Pertempuran ini ... kita tidak tahu apakah akan berakhir sebelum keadaan semakin buruk."

Kishiga sedikit menelengkan kepalanya sembari menunjukkan raut wajah masam. "Yah, berharap saja regu artileri sudah menyelesaikan tugasnya sebelum itu." Perkataan Kishiga terdengar sinis.

"Kapten Kishiga!" Sadayuki menatap Sang Kapten dengan tegas dan mendesak. Kecemasan yang terkungkung di dalam dadanya bergejolak hebat serta membuat napasnya terasa berat. Ia tidak bisa menahannya seorang diri. Kishiga seharusnya mengerti dan merasakan hal yang serupa.

'Tak biasanya Sadayuki, yang selalu tenang itu, tampak risau.

Kishiga pun berdesah berat. Uap dingin mengepul dari kedua lubang hidungnya. "Dari informasi yang kudengar, seharusnya hari ini regu artileri sudah tiba di lokasi yang ditetapkan. Jika berjalan sesuai rencana, mereka akan menggempur Asakawa dan menutup jalur Shinkōji sebelum pagi beranjak menjadi siang."

"Sudah hampir dua hari sejak keberangkatan regu artileri. Bukankah itu terlalu lama? Lagi pula kabarnya pasukan bantuan sudah menanggapi sinyal darurat yang kita kirimkan, tetapi belum terlihat tanda-tanda kedatangan. Suplai menipis dan seluruh prajurit pertahanan sudah kehilangan semangat tempur."

"Aku menyadari itu semua," jawab Kishiga sembari beranjak dari tempat duduk. Ia mencoba mengangkat lengan kirinya; dari sikut ke bawah, terdiri dari sebuah lengan prostesis yang terbuat dari logam. Jari-jemari tangan buatan itu dioperasikan dengan kawat yang tersambung dengan perangkat yang terpasang hingga bahu kanannya, tertutupi di balik kemeja dan rompi tebal yang ia kenakan.

Kishiga berjalan menuju pagar pembatas dan meraih sebuah senapan yang tersandar di sana. "Kita percayakan sisanya pada Jenderal Nagayama. Lakukan saja tugasmu dan tetaplah bertahan hidup. Yang terpenting, pastikan supaya pelukis sutra itu tetap aman." Ia menarik sedikit kokang senapan dan mengintip ke dalam ruang peluru. Selongsong berwarna kuningan tampak di antara rangkaian mekanis, seolah-olah diam dengan tenang menantikan momen untuk menerkam target.

Pagi itu matahari baru saja terbit dari timur, tepat di belakang Kishiga dan Sadayuki. Keduanya berdiri di atas sebuah menara pengamat, di mana dapat terlihat bentangan perbatasan sebelah barat Kota Nagano yang terdiri dari dinding yang berlapis-lapis.

Selama pertempuran yang berlangsung dua hari belakangan, pasukan pertahanan Nagano telah terpukul mundur sejauh lebih dari setengah teritori pertahanan, menyisakan sebagian besarnya yang telah menjadi reruntuhan. Di balik dinding pertahanan paling luar di sebelah barat, terbentang lapangan berumput yang berlanjut menuju tanah dakian dan berakhir pada celah yang diapit sepasang gunung.

Kawasan Shinkōji berada tepat di balik celah gunung tersebut. Angin sesekali berembus, menggoyangkan lautan rumput yang mengering hingga berwarna keemasan.

Sadayuki memelintir rokoknya hingga padam dan menujukan pandangnya ke arah Shinkōji. Sebuah tatapan yang tajam, sarat dengan ketetapan hati yang mantap. "Kita sudah sejauh ini. Aku tidak akan memaafkan diriku jika mati di tempat ini." Ada sedikit senyum yang terpancar dari mulutnya. "Begitu juga dengan dirimu, Kapten. Jangan harap jiwamu akan beristirahat dengan tenang kalau kau mati di sini. Bertahanlah hingga kita semua tiba di Edo. Aku menyumpahimu."

"Hmph." Tepian bibir Kishiga tertekuk naik. "Pertempuran ini tidak akan menjadi pertempuran terakhirku."

Tepat setelah ia berkata demikian, terdengar suara genta peringatan yang bergaung dari antara tembok pertahanan. Suara peluit yang melengking pun susul menyusul.

Suasana seketika berubah.

Atmosfer yang mencekam memenuhi seisi benteng Nagano, seakan-akan suatu tirai yang tersibak dan membuka sebuah babak baru. Keriuhan bermunculan mengundang perasaan berdebar yang hebat. Kishiga pun menyadari debar jantungnya sendiri meningkat. Nicotine rush bercampur dengan kecemasan yang datang tanpa diinginkan. Adrenalin mengalir memenuhi syarafnya.

Mendengar sinyal peringatan itu, semua prajurit bergegas menuju titik-titik pertahanan yang telah ditentukan. Sepatu mereka berderap-derap, bergerak menuju barisan parapet.

Kota Nagano adalah kota berkubu yang dibangun sedemikian rupa sehingga permukimannya pun memiliki desain protektif. Melindungi Kastil Nagano yang merupakan basis militer utama, tembok-tembok pertahanan di sekelilingnya dibangun sebanyak tiga lapis, dengan masing-masing rentang dari satu tembok ke tembok lainnya sejauh beberapa kilometer. Di antara tembok-tembok tersebut, terdapat bangunan-bangunan dan gang sempit yang ditata dengan pola menyerupai labirin.

Beberapa hari sebelum pertempuran berlangsung, seluruh pasukan garnisun—berdasarkan petunjuk dari Kapten Kishiga—telah membangun jalan bersambung yang membentang dari atap bangunan yang satu ke atap bangunan lainnya. Pos pertahanan strategis pun didirikan pada bubungan gedung dan rumah, di mana para prajurit bersiap dengan persenjataan lengkap. Semua itu menambah pemandangan yang kompleks atas jaringan pertahanan kota yang sejak semula telah rumit.

Bersamaan dengan para prajurit yang menempati posisinya masing-masing, Kishiga dan Sadayuki pun segera menuruni menara pengamat dan berlari melintasi pekarangan terbuka, hingga mereka tiba di sebuah pos penjaga. Keduanya berlari menaiki anak tangga sampai tiba di puncak menara.

Dari posisi tersebut, apabila berpaling ke belakang, bisa terlihat seluruh bagian dalam tembok ketiga Kota Nagano, kubu-kubu pertahanannya, serta seluruh prajurit yang telah bersiap. Di depan, tampak padang rumput luas membentang hingga ke kaki gunung.

"Kapten," sapa seorang pengawas di pos tersebut sembari menyodorkan sebuah teropong. "Regu Sasaki sudah kembali. Perintahkanlah supaya gerbang dibuka."

Kapten Kishiga menilik melalui lensa teropong. Di kejauhan, ia melihat sekelompok penunggang kuda datang mendekat dari celah gunung dengan kecepatan tinggi. Kapten Sasaki dan regu pengintainya telah kembali dari misi pengamatan di Shinkōji. Kedatangan mereka mengindikasin bahwa 'tak lama lagi pertempuran akan kembali dimulai.

"Biarkan mereka masuk. Buka gerbangnya!" perintah Kishiga.

Gerbang pertahanan yang berat pun perlahan terbuka. Prajurit Regu Sasaki menerobos masuk. Mereka bergerak mengitari lapangan terbuka yang luas, perlahan membentuk sebuah formasi kecil dan berhenti tepat di tengah-tengah. Debu kecokelatan beterbangan seperti selubung tipis.

Kapten Sasaki mengarahkan kudanya agar mendekati pos penjaga. Ia menengadahkan wajahnya kepada Kapten Kishiga dan berseru, "Saat ini mereka menuju ke sini."

"Aku mengerti. Kita lakukan sesuai rencana."

Kapten Kishiga memerintahkan agar pintu gerbang dibiarkan terbuka begitu saja, sementara para prajurit yang telah berada dalam persembunyian bersiap dengan senjata mereka. Kishiga, Sadayuki, dan para pengamat di puncak pos penjaga memasang pandangan lekat-lekat.

Seluruh mata tertuju pada satu arah yang sama: Shinkōji.

Tidak seorang pun berbicara dan tidak satu benda pun berbunyi. Angin pun tidak. Kesunyian yang begitu absolut, seumpama keheningan yang mendahului badai.

Sunyi, tetapi bergolak-golak.

Kishiga tidak mengalihkan pandangnya, meskipun barang sesaat. Darah dalam nadinya mengalir kencang. Denyut memenuhi pelipisnya, sambut menyambut dengan embusan napas yang pendek.

Setelah beberapa saat, kesunyian yang dipenuhi ketegangan itu pecah ketika terdengar seruan yang berkata, "Ada pergerakan dari arah Shinkōji!"

Kishiga kembali menilik menggunakan teropong. Sesuatu bergerak-gerak di kejauhan, tepat di antara celah gunung dari arah datangnya Regu Sasaki tadi. Mereka bergerak cepat melalui celah gunung yang sempit, menuruni lereng, dan menyusuri padang rumput kering. Rerumputan terombang-ambing seperti riak raksasa berwarna kecokelatan ketika "sesuatu" tersebut merayap melintasinya. Bunyi kerpas bermeresik hebat bersama tiupan angin musim gugur.

Para penyerbu itu mendekat dan berangsur-angsur tampak semakin jelas. Mereka bertubuh abu-abu pucat. Lendir di tubuh mereka terlihat berkilap-kilap, bermandikan sinar matahari. Dengan kecepatan yang mengerikan, mereka menghampiri dinding pertahanan Nagano.


——— Ω ———

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top